Pages

Ads 468x60px

Featured Posts

Selasa, 24 Februari 2015

Rindu Kopi Kiriman Ayah

Tidak seperti hari biasanya, sekarang tepung kopi yang ditaruh dalam toples kaca ini hanya menjadi barang tontonan. Banyaknya tidak seberapa lagi. Tinggal seruas ujung jari telunjuk tingginya dari pantat toples kaca. Dan kali ini,demi menyisakan harapan, aku enggan menghabisinya walau kantuk menyerang dengan hebatnya.

“Barangkali ini kiriman yang terakhir dari kami” begitu suara ayah terdengar berat dari ujung telpon beberapa hari yang lalu.

“Kenapa?” tanyaku yang masih tercekat kebingungan. Ia segera mengalihkan topik pembicaraan. Aku gagal mendesakknya tatkala telpon segera berakhir.

Di Pantai yang Melupakan Waktu

Jika kau duduk di pantai itu, waktu terasa berhenti. Kau bisa menikmati percakapan dengan temanmu hingga melupakan waktu. Dari pagi kau bisa duduk, matamu tak lepas  memandangi laut yang tenang di hadapanmu, sambil menikmati percakapanmu dengan temanmu.  Lalu di sore hari kau menikmati  cahaya kuning keemasan dari matahari di batas cakrawala. Dimana-mana sunset memang indah, tapi kau merasakan sesuatu yang berbeda ketika melihat sunset di pantai itu.

Ketika malam menjemput, mungkin kau ingin tetap berjaga di sana dan menikmati kebersamaan dan mengabadikan kematian waktu, tetapi temanmu menolak, barangkali, dan perlahan-lahan kau akan mengalami dan merasakan waktu. Kau tahu bahwa semenit setelah  berpisah dengan teman-temanmu dari tempat itu, kau merasakan waktu yang berjalan lamban. Semenit pun kau rasakan seperti tengah menanti seorang di sebuah bandara dimana tiap detikpun kau sadari. Dan karenanya wajar saja kau bersedih atas perpisahan itu dimana kau mulai merasakan kejamnya waktu.

Engkau bahkan lebih menikmatinya tatkala berjalan dengan kekasihmu. Ketika kau berbicara, pantai itu seolah paling mengerti melebihi pengertian yang diberikan teman-teman dan keluargamu sendiri. Pepohonan seakan berhenti bergerak kecuali menghembuskan keademan yang kamu perlukan. Laut pun tenang tak mengeluarkan riak-riak kecil. Pasir putih yang memancarkan cahaya keemasan dan bebatuan di pantai itu seakan melupakan kehadiran kalian hingga kau bebas mengekpresikan rasa cintamu tanpa malu-malu.

Aku pernah mengatakan kepada kekasihku, “Aku mencintaimu sayang!” Aku hampir saja tak percaya aku bisa berbicara demikian. Kau barangkali tidak tahu bahwa di tempat lain di manapun, setiap kali aku menemui gadis gebetanku itu, aku sudah seringkali mencoba berkata demikian. Tapi aku gagal. Kepalaku dikecamuk oleh banyak pemikiran dan strategi, lalu gagal hanya karena takut. Tidak demikian di pantai ini. Aku nyaman mengungkapkannya, bahkan tanpa direncanakan sekalipun.

Dan betapa kagetnya aku ketika perempuan itu menatapku. Ia melemparkan senyuman yang paling manis yang pernah kulihat. Tanpa di-zoom sebagaimana foto di media sosial, aku masih bisa melihat dan mengingat tiap guratan senyum di wajahnya. Kecuali guratan di dahinya yang tak tampak saat itu. Barangkali ia tidak  ingin meragukan, apalagi mulai berpikir-pikir tentang ketulusan ungkapanku itu. Dari mata cengkungnya, ia menarikku dengan daya magis yang di luar kendaliku. Secepat kilat, aku  mendaratkan sebuah kecupan di keningnya. Ia menjadi tampak malu-malu dan mulai mengelus-elus ujung rambutnya.

Di pantai itulah, aku mulai percaya bahwa saat kau jatuh cinta, hanya di pantai itu aku sepakat bahwa dunia menjadi milik berdua. Aku tidak  perlu merasa tergesa-gesa apalagi takut dengan semua tuntutan di tempat  kerjaku, di lingkungan sekolah atau kampus, dari orang tua dan teman-temanku. Aku melupakan semuanya untuk beberapa saat dan hanya menaruh perhatian kepada kekasihku itu, berbicara dari hati ke hati.

Toh kalaupun kau pergi sendiri ke pantai itu, kau langsung sepakat bahwa kebahagiaan ialah ketika  kau tidak menyadari waktu. Kau menikmati kesendirianmu di bawah rindangan pepohonan, merasakan tiupan angin yang sejuk, dan tanpa dialaspun kau tak segan untuk duduk di atas pasir karena saat kau berdiri, pasir-pasir itu gugur dengan sendirinya seolah tak ingin menyibukkanmu jika harus mengibas celanamu. Dan tentu yang paling kau ingat, saat kau duduk di sana sendirian, alam seolah-olah menghalangi masa lalu dan masa depan menyinggahi pikiranmu hingga kau benar-benar menikmati keberadaanmu saat itu saja.

Sebetulnya tak ada yang istimewa dengan pantai itu kalau bukan karena sepasang suami-istri orang kaya.  Betapa tidak, di pantai itu tidak lebih dari pepohonan, pasir yang tersebar sepanjang pantai, dan laut yang tenang. Kalaupun pantainya landai, toh ada banyak pantai yang lebih landai dan indah di beberapa bibir pantai di dunia ini.

Dulu ada sepasang suami-isteri  kaya yang hendak bercerai.  Meski telah memiliki tiga orang anak yang sudah beranjak dewasa, nasib pernikahan suami yang pebisnis terkenal itu  dan isteri yang menjadi dosen ternama berada di ujung tanduk. Entah mengapa, di setiap perjumpaan di rumah dalam waktu yang terbatas karena kesibukan pekerjaan masing-masing, keduanya lebih menghabiskan  waktu dengan pertengkaran atas hal-hal kecil. Bosan dan jenuh seakan tak bisa dibendung lagi.

Lalu pada suatu siang di masa-masa genting hubungan tersebut, keduanya melintasi jalan raya di dekat pantai itu. Tak tahu alasannya apa, suaminya tiba-tiba terpesona dengan pemandangan di pantai itu. Dengan rendah hati, ia mengajak isterinya singgah sebentar. Keajaiban pun terjadi. Keduanya seolah melupakan semua persoalan mereka. Rencana perceraian pun tiba-tiba saja menguap begitu saja. Semacam ada misteri yang menyebabkan keretakan rumah tangga mereka selama ini, terungkap di tempat itu. Lalu mereka pulang ke rumah dengan wajah berseri-seri.

Cerita tentang itu tersebar luas dengan cepat. Lalu mulai pula terdengar sebuah mitos yang dipercaya semua orang. Konon, pantai di laut itu pernah terjadi pernikahan anak dewa dari kayangan. Maka di tempat itulah segala bentuk cinta menjadi kembali murni dan dimurnikan. Seiring tersebarnya kisah tersebut, semakin banyak pasangan dan keluarga yang mengunjungi tempat itu, sekadar melupakan kesibukan mereka dan mengeratkan tali pernikahan dan keluarga masing-masing. Keajaiban dari pantai itu selanjutnya memikat para banyak orang, anak-anak, remaja, orang tua entah dengan tujuan apapun.  Walaupun sudah ramai, tetapi masing-masing orang tetap merasakan bahwa pantai itu membuat mereka bisa melupakan waktu sejenak, menikmati kekinian dengan sangat intim dalam kedalaman hati.

Saking bertambahnya pengunjung, mulai didirikan beberapa rumah penginapan. Suami isteri yang kaya tadi membangun sebuah hotel sederhana di sekitar pantai itu. Beberapa tahun kemudian, banyak hotel yang dibangun. Karyawan yang bekerja di hotel-hotel tersebut, setelah melakukan pekerjaannya mendatangi pantai itu untuk melepaskan penatnya dan seolah menimba semangat baru. Barangkali  juga alasan kerena pantai itu satu-satunya tempat yang tak harus dibayar untuk dikunjungi.

Akan tetapi, tibalah suatu hari, dimana seorang pengusaha ingin membeli pantai itu. Tak ada yang tahu alasannya, apakah ia tertarik karena di tengah kesibukannya ia pernah bepergian ke sana dan menikmati kedamaian yang ditawarkan hingga ia ingin memilikinya secara pribadi ataukah ia ingin meraup keuntungan dari tempat itu dengan insting bisnis yang ia miliki. Yang jelas, ia sudah menghasut pemerintah setempat untuk memberikannya ijin untuk memiliki pantai itu.

Engkau mesti tahu, saat ini aku tengah memprotes usaha tersebut. Bagaimana mungkin, tempat terindah yang pernah aku kunjungi dimana aku dan mungkin kau bisa melupakan waktu kesibukan kita di tempat kerja dirampas begitu saja?  Bukankah kita harus bersikeras memprotes para pembunuh kenangan indah di tempat itu? Bagaimana mungkin kedamaian yang dicuri dari surga di tempat itu menjadi hanya dimiliki oleh seseorang? Kalau saja demi uang kita memprotes sudah barang tentu kita sudah disodorkan dengan segelontor uang. Tentu ini bukan demi uang.

Payahnya, kau tahu, saat kita--andaikata kau mau-- memprotes, kita berhadapan dengan orang yang tak memahami momen waktu yang terhenti. Maka jawaban yang mereka buat bisa kau mengerti, tapi alasanmu untuk protes tak mereka pahami.

Diktator yang Cakap

 Sekarang menjelang setiap pilkada, pertanyaan paling relevan adalah: siapakah “diktator” baru yang paling cakap untuk dipilih?

Sebutan diktator bukan tanpa alasan.  Kebijakan otonomi Daerah melalui pemberlakuan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 telah berkontribusi dalam melahirkan para pemimpin lokal yang bertindak ala diktator. Raja-raja baru tumbuh bak jamur. Koruptor di daerah semakin merajalela. Tentu saja, kenyataan itu tidak terlepas dari kekuasaan yang semakin besar di tangan elite lokal melalui penerapan kebijakan otonomi tersebut.

Selasa, 17 Februari 2015

Island-Selling via Internet in West Manggarai Regency




The good camera's capture at Labuan Bajo
Punggu Island, one of beautiful islands around Komodo Island, West Manggarai regency, East nusa tenggara is on for sale at around US$ 11 billions .

The offer have been advertised by skyproperty. org since 22 November 2014. In the ads  it is mentioned that Komodo Island can be reached in 20 minutes from Punggu island and 314, 84 kilometers away from Bali. 

Rabu, 11 Februari 2015

Should Flores be a Province?



The militant effort of the committee planning the formation of new province in Flores has triggered critic and controversy.
A wonderful view in Labuan Bajo

The group led by Ngada regent Marianus Sae insistently argues that the forming of new autonomous province, separating Flores from the former province centered in Kupang would easy the administrative affairs. The realization of this proposal later on would stimulate the healthy economic growth and gain much more benefits for investors and societies.

Would social problems that have been long linked to Flores like poverty, corruption, defected bureaucracy, human trafficking, and under nutrition rate be lessened by this new plan?
 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text