Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 19 April 2014

Musim Karet

Dibesarkan di kampung punya kenangan tersendiri. Apalagi di kampung yang tidak ada listrik. Gelap. Tak ada TV. Doraemon tidak kami tahu waktu kecil. Power Rangers apalagi. Dulu sempat ada nonton Wiro Sableng, disiarkan Minggu Pagi. Tapi hanya ketika ada perusahaan tambang. Setelah mereka pergi, tidak ada lagi. Itupun harus naik gunung. Letak basekamp mereka agak jauh dari kampung.
Kalau main catur, siap dua lawan satu. Selalu yang berdua dalam gambar kalah.


Waktu kecil kami punya banyak musim. Saat ujian di SD, kami agak sulit menjawab pertanyaan ini: “Di Indonesia ada berapa musim?” Dahi sudah pasti mengernyit. Syukur-syukur kalau tebakan benar. Soalnya kata musim membuat kami juga berpikir tentang musim kelereng, wayang,  musim karet, musim hongkiong, musim welu, musim mobil, musim mancing, musim rengka, musim kuda kayu, dan musim tikus.


Ya, permainan-permainan ini membuat saya merasa tidak kalah serunya melewati masa kecil tanpa melihat doraemon superajaib, atau power rangers dengan kelincahannya melancarkan cahaya berkilauan, atau sekarang sudah populer dengan Playstasion, dsbnya.

****

Musim karet tiba. Satu-satunya yang diinginkankan anak-anak kalau berbelanja di Reo adalah karet gelang. Saat kecil, Reo dianggap kota yang besar.   Kalau dulu mama ke kota Reo, selalu berpesan, “jangan lupa beli karet.” Sambil tersenyum yang mengancam. Sekali tak dibeli, menangis sampai langit seperti terkoyak dan bumi berguncang.
tampil beda dengan memakai riben!


Dan trik menangis yang kelihatan dramatis itu ada. Saya masih ingat kuat. Keluar dari rumah, cari tanah yang berdebu, lalu mulai menangis sambil mendayun-dayun kaki, kadang berguling-guling di tanah untuk mengotori diri. Pakaian menjadi kotor dan dilihat orang-orang. Pasti mama atau papa datang. Mereka mulai membujuk.

”Nak tidak enak dilihat orang. Esok pasti tidak dilupa lagi.” dalam hati sudah mulai tersenyum. Tapi tidak mungkin berhenti serentak menangis. Ada tahapan akhir,menangis sesegukan: tanpa air mata, hanya suara seperti orang yang sesak nafas.

Jadi mama merasa seperti trauma. Kalau dipesan begitu, cepat-cepat dicatat di kertas kecil sebagai reminder. Lebih baik lupa beli sayur daripada karet. Itulah musim karet.

****

Sayangnya nasib saya cukup sial di musim karet. Main Ki selalu kalah dari teman-teman. Maen pongo juga kalah. Main pantul di dinding paling buruk. Pernah sekali, semua semua karet yang dibeli oleh mama habis karena kalah main pantul di dinding.

Jalan pulang ke rumah seperti orang yang mabuk berat. Masuk rumah ekstra hati-hati, takut kena marah. Eh ketahuan.

“Mana karet?”

Ada triknya. Pura-pura tundukkan kelapa, sandarkan kepala di dinding, wajah masam seolah-olah penuh penyesalan, dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mama tahu, pasti sudah kalah.

“Mandi sana!”

Seketika juga meluncur ke kamar dengan hati senang.

Ada satu permainan yang selalu membuat saya menang. Menyembunyikan karet dalam gundukan pasir. Cara bermainnya mudah, sembunyikan karet dalam pasir, menyuruh lawan mengambil sebatang kayu, lalu menusuk-nusuk dalam pasir, dan  karet yang tersangkut dalam kayu, itulah yang diambil. Saya tahu cara menyembunyikan yang tepat. Setelah giliran lawan yang biasanya hanya mendapatkan sedikit, giliran saya menusuk dengan kayu. Inilah keahlian saya.

Tapi sayangnya, baru dua  atau tiga kali menang, teman-teman sudah protes.

Main lain. Kau menang terus daritadi.” (dialek daerah)

“Oe...saya baru menang.”

“Pokoknya main lain, kalau tidak kami tidak mau main.”

Tidak ada alasan lain, terpaksa harus mengikuti kemauan mereka.  Tidak ada teman bermain lagi. Padahal bermain adalah identitas anak kecil. Kalau sudah mulai dengn permainan lain, siaplah karet gelang saya lenyap. Kalah dan selalu kalah.


****

Minta dibelikan terus-menerus dengan mama, agak takut dan malu. Tiap hari tanpa bermain karet, rasanya mustahil.  Tiap sore suara anak-anak sebaya saya selalu terdengar dari arah lapangan kampung. Mereka ramai bermain karet. Dan tiap sore pun saya ke sana.  
Ahli dalam bermain karet


Untunglah ada kakak saya. Berbeda dengan saya, nasibnya jauh lebih beruntung. Tiap sore pulang ke rumah badanya selalu dililit dengan karet yang sudah dianyam. Panjang sekali.

Mendapatkan karet dari dia adalah usaha yang gampang-gampang sulit. Setelah jam makan malam, saya biasanya mengambil lampu minyak, tempatkan dekat dinding rumah. Dan mulai bermain karet sendiri, menembakkan karet ke dinding rumah, lalu terpantul, dan jatuh ke lantai. Kalau karet gelangnya menindih karet gelang yang lain, itulah tanda kemenangan dalam permainan jenis ini.

Ini hanya iklan. Ketika dia lewat atau lihat, dia selalu yang ajak duluan, “main karet yuk.” Tak tahan godaan untuk bermain. Saya senang. Maksud tercapai. Lalu mulailah bermain. Bermain dalam suasana agak gelap sedikit memang perlu banyak trik. Dan saya sudah mempersiapkannya.

Kalau jumlah karet sudah mulai banyak di lantai, dan belum ditindih oleh satu karet pun, munculah pikiran gila. Menembak dan siap memungut karet-karet itu walaupun karet yang saya tembak belum menindih karet di atas lantai.

“Belum kena tuh!” protesnya dengan teriak.

“Sudah!”  Saya balik berteriak sambil pura-pura tidak menggubris dan terus memungut karet-karet. Dia pun segera datang mendekat. Saling berebutan memungut karet, dan tentu saja saya yang lebih beruntung. Ketika dia coba merebut dari saya, ada triknya lagi.

“Mama...dia mau ambil lagi karet yang saya menang!” teriak untuk mengundang simpati dari mama.

“Belum menang. Dia tipu.” Dia balas melapor. Datanglah mama.

“Jangan begitu.  Mengalah dengan adik.”

Kalau sudah begitu, saya  cepat-cepat lari dalam kamar. Sementara dia diceramahi sebentar. Saya berpura-pura tidur duluan. Dia datang. Kebetulan kami berdua sekamar dan setempat tidur.

“Ihhh pura-pura tidur lagi. Saya cukup main dengan kau.” ujarnya berbisik. Dia tampak marah. Saya iba. Lalu bangun, kembalikan sedikit karet.

Namun hari-hari selanjutnya, saya semakin mengalami kesulitan. Dia semakin hati-hati. Tiap kali giliran saya menembak, dia selalu memperhatikan secara serius. Jangan-jangan saya menipunya lagi dan siap memungut. Mulailah saya kalah dan kalah.

Setiap kali saya kalah, dia menertawai saya dan sengaja mengejek. Dianyamnya karet-karet itu di depan saya, sambil menghitung dan tertawa.

“Mau bantu anyam karet?” tawarnya.

“Iya.” jawab saya cepat. Soalnya tiap kali membantunya untuk menganyam karet-karet,  saya selalu mendapat jatah, sekitar lima sampai sepuluh karet. Setelah itu saya mengajaknya bermain lagi, dia meladeni. Dan kalah lagi.

****

Tetap ada cara lain untuk mendapatkan karet. Setiap kali tidur, dia selalu menyimpan karet-karetnya di bawah bantal. Kalau dia sudah nyenyak, saat itulah saya bangun. Mulai menarik pelan-pelan dan mengambil beberapa.

Keesokan harinya.

“Saya merasa karet saya berkurang.” keluhnya pagi-pagi. Kalau sudah begitu harus cepat-cepat meninggalkan dia dan pura-pura tidak menggubris.

“Pasti kau ambil karet saya semalam?” ujarnya.

“Jangan main tuduh sembarang.”  Wajah saya serius. Dia menatap tajam, lama. Dan biasanya saya lekas tertawa kalau sedang berbohong. Dia hanya menunggu apakah saya tertawa atau tidak. Kalau tertawa pertanda saya sudah berbohong. Satu-satunya cara, setelah menjawab, cepat menghindar dan menjauhi tatapannya.

Malamnya selanjutnya dia punya trik lagi. Dia selalu membiarkan saya tidur duluan. Jika saya sudah tidur, dia menyembunyikan karetnya di tempat rahasia. Dan memang benar, ketika saya bangun dan mengecek dibawah bantalnya, tidak ada karet.
Masih kelihatan imut hahha


Esoknya dia bangun dan mulai mengolok.

“Hahaha...pondik, semalam tidak berhasil.”

Saya hanya bisa tertawa. Dan saya tahu cara selanjutnya. Pura-pura tidur duluan dan mengorok. Ternyata mata saya tetap terbuka, mengintip dia dalam gelapnya kamar kami yang tak diterangi listrik itu. Saya memperhatikan dia menyembunyikan karetnya dalam lemari.
bertambah umur, mulai berpisah!


Keesokan paginya ketika dia sudah mulai berteriak-teriak karena karetnya sudah berkurang, saya sudah berseragam dan siap ke sekolah. Maklum saya selalu bangun lebih cepat tiap pagi.Suara teriak itu seperti lonceng supaya saya segera ke sekolah.

Adu trik adalah hari-hari kami melewati tiap malam tanpa hiburan TV. Paling-paling hanya mendengar berita duka tiap malam yang disiarkan lewat Radio lokal atau berita panggilan dari kantor Dinas untuk para kepala sekolah. Tapi selebihnya, lebih asyik bermain trik-trikan seperti itu.

Akhirnya dia punya cara yang jitu. Saya kesulitan lagi. Tiap malam dia menghitung semua karetnya. Cukup lama dia hitung karena jumlah karetnya yang sangat banyak. Panjangnya kadang-kadang bisa mencapai lima sampai sepuluh meter.

            Sulitnya adalah bangun pagi-pagi dia harus menghitung lagi.

            “Hitung karet terus saja. Ini sudah mau jam sekolah.” Mama selalu mengomelnya tiap pagi. Saya hanya bisa tertawa.

            “Tunggu kau sebentar kalau sampai kurang.” ancamnya kepada saya. Dia berhenti menghitung dan mengamankan semua karetnya dalam lemari. Segera ia menyiapkan dirinya ke sekolah.

            Kesulitan harus menghitung lagi dan lagi, membuat ia merasa lelah sendiri.

            “Saya tiap hari berikan kau 10 karet asalkan jangan .......” katanya mulai bernegosiasi pada malam sebelum tidur.

            “hahaha boleh.” saya tahu, dia sudah mulai lelah menghitung karet-karetnya.

            Ternyata betul, sejak bangun pagi, tanpa diminta, dia sudah menyerahkan karet ke saya. Itu semacam jajan tiap hari sebelum ke sekolah dari seorang kakak. Begitulah tiap hari sampai  musim karet berlalu.


Datanglah musim hongkiong! (bersambung)

Baguio city, 19 April 2014
Inilah perbedaan kenakalan remaja dengan kenakalan anak"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text