Pages

Ads 468x60px

Senin, 14 April 2014

Olah Pikiran (episode II)

Malam ini tak seperti biasanya. Lebih gelap. Cahaya lampu tanam pun seakan lebih redup. Tak ada kendaraan yang melintasi jalan di dekat rumah. Sepi. Biasanya ramai, kadang macet sesekalli terjadi.  Malam ini, hanya rintik-rintik air hujan terdengar, menghujam seng-seng rumah tanpa henti.
Pura-pura mesrah,,,,ahhaha


“Orang yang bahagia itu menarik. Dan laki-laki yang bahagia itu punya daya tarik tersendiri bagi wanita. Begitu juga sebaliknya.” ucapan ayahnya kembali menggema dalam batinnya. Tak konsentrasi lagi ia membaca bukunya. Meja belajarnya tampak berantakkan. Beberapa buku tersusun tak teratur.  Kertas berserakkan di atas meja. Beberapa ballpoint terpencar letaknya.




“Makanya jadilah laki-laki bahagia dahulu sebelum mendekati wanita, jangan menjadikan wanita sebagai sumber kebahagiaan.” Ayahnya benar. Galau terjadi ketika menjadikan sesuatu di luar diri kita sebagai sumber kebahagiaan. Ia melongo. Menatap dinding kamarnya, hampa.

Ia merasakan sendiri kata-kata itu. Saking sayangnya dengan pacarnya, sekali dilepas dan dicuekin seperti sekarang, rasanya ia seperti manusia yang paling menderita di dunia. Harapan hilang. Semangat belajar jadi kendor. Untunglah sudah mendengar nasehat ayahnya.

            Sekarang ia seolah bisa bangkit dari keterpurukannya. Meski berbicara tentang kebahagiaan itu rumit.Satu hal yang jelas sejauh ini. Jangan letakkan sumber kebahagiaan di luar dirinya.

            “crinnnnnngngng......” Bel pintu rumah berdering. Dia beraksi cepat. Lari ke arah pintu depan. Orang tuanya sudah pulang. Sambil tersenyum, ayahnya menyodorkan sebuah kotak yang dibungkus plastik besar. Wajahnya bersinar. “terima kasih pa!” ucapnya sambil berlari ke dalam kamar.

            Dirobeknya kardus itu. Hampir saja ia menjerit. Sebuah sepatu bermerek ada di dalamnya. Sudah lama ia menginginkannya. Lagi, Ia keluar kamar menemui orang tuanya.

            “Pa, esok saya ke sekolah. Terima kasih untuk sepatunya!”

            “Kami mengerti kenapa kamu mau bolos hari ini.” Ibunya berujar lembut. Dia tersenyum malu. Lalu kembali ke kamar dan ingin lekas tidur. Matanya belum sempat tertutup ketika satu rahasia lagi sudah terkuak: Kebahagiaan sepertinya bertolak dari rasa puas.  Keinginan terpenuhi.

***
            Kesimpulannya benar. Memakai sepatu berharga mahal membuat percaya diri. Rasanya benar-benar puas. Apalagi dipuji dan selalu ditanyai teman-temannya di kelas. Tapi hanya sesaat. Setelah dua minggu berikutnya, tidak lagi. Tak ada lagi kenikmatan memakai sepatu itu. Perasaan kembali seperti biasa layaknya ketika ia memakai sepatu-sepatu yang lain.

“Keren sekali sepatumu ?” Giliran ibunya memuji. Tapi ia diam. Wajahnya datar. Senyum pun tak terlintas. Sudah bosan dengar pujian tentang sepatu itu.

“Kamu kenapa?” Ibunya peka.

“Tidak kenapa-kenapa. Oia, malam itu bapa-mama kemana?” Ia seperti mau mengalihkan. Ibunya menyelidiki bola matanya sejenak.

“Mama dan papa mengunjungi teman lama papa di rumah sakit. Sudah agak lama dia sakit. Waktu kami datang, dia sangat senang sekali. Tersenyum lebar dan bercerita banyak. Keluarganya ada di sana. Berada di samping dia. Sebelum pulang, berulang-ulang dia ucapkan terima kasih.”

“Keadaannya bagaimana sekarang?”

“Sudah agak membaik. Tapi biaya rumah sakit lumayan mahal. Makanya ketika pulang kami singgah di ATM. Papamu transfer uang untuk membantu mereka. Sepertinya banyak. Sekalian aja malam itu, aku membujuk papamu untuk membeli sepatu. Jangan hanya menolong orang. Iya kan?”

Ia diam. Dalam hati mulai merasa kagum dengan ayahnya. Setia kawan dan murah hati.

“Hey! Sudah pulang?” Ayahnya datang dari arah belakang. Menatapnya teliti. Kepala sampai kaki.

“iya, Pa.”

“Kenapa lihat papa begitu?”

“Dia kagum dengan kamu?” jawabnya ibunya sambil tersenyum. Perasaannya terbaca. Namun saat itu ia sebenarnya bukan saja karena mengagumi ayahnya. Sebuah pengertian tentang kebahagiaan kembali datang menghinggapinya.

Ternyata perasaan kepuasaan itu terbedakan. Kepuasaan karena keinginan kita terpenuhi itu berbeda dari kepuasaan karena kita berterima kasih apa yang sudah kita terima. Sepatu barunya memang membuat dia senang. Tapi akhirnya dia jenuh juga. Tak bertahan lama.

Tapi teman ayahnya yang sakit, sepertinya memperoleh kepuasan yang lain. Bersyukur dengan apa yang dia telah terima. Terpuaskan karena cinta dari keluarganya dan teman-temannya. Tak terkatakan, kecuali ekspresi senangnya yang dibaca oleh ibunya.

Ternyata, orang sakit belum tentu menderita. Belum tentu tidak bahagia. Orang kaya yang berpakaian trendy, bersepatu mahal, mengenakan arloji merk ternama, belum tentu bahagia. Bisa saja mereka menderita dan tak menemukan perasaan kepuasaan yang bertahan lama.

“Papa tidak olahraga hari ini?” Ia mengalihkan topik. Kebetulan ayahnya juga sering berolahraga tiap sore. Jogging hampir tiap sore dan kadang bermain badminton bersama teman-temannya.

“Ini lagi siap-siap mau jogging. Kamu mau ikut?”

Ia mengangguk. Berlari ke kamar, mengenakan pakaian olahraganya. Keduanya sudah siap.

“Nanti aku siapkan sesuatu yang spesial buat kalian berdua.” ibunya berpesan.

Keduanya mulai berlari keluar rumah. Mula-mula melewati kompleks perumahan, lalu melintasi arah pertokoan. Dan kini malah sampai ke pasar.

“Hey! kamu lihat dia?” ujarnya ayahnya.

Keduanya berhenti. Bola matanya menggeliat mengikuti arah telunjuk ayahnya. Di sana seolah lelaki tua berpakaian kumal duduk tenang. Kedua tanganya tidak ada. Kakinya juga diamputasi. Ia duduk di atas sebuah papan beroda. Di depannya terdapat sebuah mangkuk. Matanya menatap nanar tiap orang lewat. Mengharapkan belas kasihan mereka. Ada yang lewat begitu saja seolah tak peduli. Ada yang memberikannya uang.

Keduanya mendekat. Ayahnya membungkuk. Menaruh uang dalam kotaknya.

“Terima kasih pak! ujar pengemis itu.

“Sama-sama” jawab ayahnya singkat.

Keduanya melewatinya. Perasaannya mulai berkecamuk. Merasa iba dan tak sanggup menebak seberapa besar penderitaan yang dialami orang itu tanpa kedua tangan dan kakinya.

“Pa, kasian sekali orang itu.” Ia mulai membuka percakapan.

“Iya.”

“Bersyukur sekali kita yang masih mempunyai tangan dan kaki.”katanya lagi sambil menatap kedua tangan dan kakinya. Baru pertama kalinya ia merasakan pentingnya tangan dan kakinya dalam hidup.

“Makanya kalau bawa motor harus lebih hati-hati, awas seperti itu.” ujar ayahnya. Dugaan ayahnya, pengemis itu pernah mengalami kecelakaan makanya diamputasi seperti itu.

Lalu mereka pun terus berlari melewati pasar. Kembali ke arah perumahan mengikuti jalur lain.  Baru saja tiba pintu rumah, aroma kue bakar sudah menjemput mereka. Keduanya menyerbu masuk pintu.

“Istriku sayang, apa yang kamu siapkan?” Suara ayahnya memecah kesunyian dalam rumah itu.

“Oh kamu sudah pulang?”

“Iya.”

“Ini ada jus dan kue bakar. Kamu jogging ke arah mana?”

“Keliling kompleks perumahan, ke arah pertokoan, dan terus melintasi pasar. Lalu kembali ke sini lewat jalur belakang.”

“Tadi kamu sempat lihat rumah baru di sudut sana?”

“Iya.”

“Bagus kan?”

“Bagus.” Keduanya menjawab serentak.

“Yeah, sepertinya waktu kita bangun rumah ini, kita terlalu terburu-buru. Coba kita hubungi arsitek yang sama. Murah!”

“Mama tahu darimana?”

“Kemarin mama jalan-jalan ke arah sana. Mama bertemu dengan pemilik rumahnya. Bercakap-cakap sebentar. Mereka cerita dengan mama. Eh biaya tak terlalu mahal. Hanya beda tipis dengan rumah kita yang ini.”

“Sudahlah. Tidak usah membanding-bandingkan begitu.” ujar ayah sambil mengunyah kue.

“Eh..main makan aja!” protes ibunya. “Doa dulu!”

Ayahnya malu-malu. Sudah terlanjur mengunyah sebagian.  Terpaksa harus memimpin doa.

“Hmph, doa yang kurang menarik. Masa hanya bilang terima kasih, tidak ada permohonan sama sekali!” lagi-lagi ibunya protes.

“Doa ‘kan sebenarnya hanya soal terima kasih. Bukan permohonan.” dengan santai ayahnya merespon.

“Hanya soal terima kasih?”

“Benar. Kalau kita sudah terima kasih untuk semua hal yang kita terima, tanpa diminta atau dimohonkan, hal-hal baik yang belum kita terima akan datang sendiri.”

“Kok bisa begitu pa?” Ia seakan protes. Ibunya terlihat cuek.

“Hahahha..aku juga tidak tahu bagaimana membuat ini dimengerti secara akal sehat. Tapi aku selalu percaya kalau kita mengucapkan terima kasih untuk semua hal yang kita alami, entah baik atau buruk, itu seperti melihat segala sesuatunya  dalam cara berpikir positif. Itu mekanisme pikiran positif. “

“Lalu apa hubungannya dengan hal-hal baik di luar diri kita?”tanyanya dengan penuh penasaran.

“Kalau kamu punya pikiran positif, dirimu akan positif, dan hal-hal positif akan datang dan terjadi dengan kamu. Karena hukumnya, yang sama mengenal yang sama. Yang positif akan menarik hal-hal positif di luar kamu untuk terjadi dalam hidup kamu. Kalau kamu berpikir, kamu selalu sial karena selalu ditolak sama cewe, kamu akan mengalami itu terus. Berkali-kali kamu akan ditolak. Beda kalau kamu berpikir, saat kamu ditolak, kamu berpikir bahwa penolakan itu hanya jalan untuk mendapatkan yang lebih baik. Dan sepahit apapun pengalaman itu, selalu berusaha melihat celah positifnya sekecil apapun dan mensyukurinya. Makanya ayah tidak percaya yang namanya kebetulan.”

“Kenapa?” kini giliran ibunya yang penasaran.

“karena keberuntungan, misalnya  menang undian, itu bukan kebetulan, tapi hal itu datang ke kamu karena kamu punya energi positif untuk menerimanya. Kelihatannya aja kebetulan.”

“Ajaran sesat darimana sih?” ibunya mulai mengomel sambil tertawa. Ayahnya ikutan tertawa. Ia tahu, istrinya pura-pura tidak percaya. Maklum, istrinya itu seringkali berpura-pura tidak mengakui. Jaga gengsi.

“Kalau gitu aku mandi dulu.” ujar ayahnya.

“pa lanjut dulu teorinya.haha”

“Mama kamu udah tidak percaya, gimana mau lanjut. Orang paling dipercaya di dunia sudah tidak percaya duluan.” jawab ayahnya.

“hahhaha...jangan begitulah pa. Lanjut dulu! Mama please percaya sama suami tercinta!”

“Bagaimana mau dipercaya, bapamu suka main kata-kata dari dulu. Saya selalu jadi korbannya bahkan sampai sekarang.“

“Hanya kata-kata yang membuat dia takluk dan tentunya karena aura positifku. Karena aku sudah merasa sebagai laki-laki yang bahagia sebelum mulai berkenalan sama mama kamu. Apapun yang dia lakukan, karena moodnya yang terombang-ambing itu, tak membuatku galau berat. Hanya sedikit..hahaha...” ayahnya membalas sambil menjauh dari kamar makan. Takut berdebat lebih lama. Sementara ibunya tertawa cekekan seolah tak bisa menjawab apa-apa lagi.
****
Malam sebelum tidur. Ia coba mengurai semua pengalamannya seharian itu. Mendeteksi dimana letak sendi-sendi kebahagiaan dalam hidupnya.

Ia sadar kebahagiaan jangan diletakkan di luar diri. Pada benda-benda, pada harta kekayaan atau pada orang yang kita cintai karena kecantikannya, kegantengannya, dan lain sebagainya. Apa yang berada di luar itu mudah berubah.Sekali mereka berubah, berubahlah juga perasaan kita. Ada rasa tidak puas. Jika demikian,sulitlah mencapai kebahagiaan.

Dan perasaaan puas atau tidak ternyata berangkat dari kebiasaan suka membanding-bandingkan. Manusia memang suka membanding-bandingkan, pikirnya. Ketika melihat pengemis yang di jalan, ia merasa bersyukur. Namun setelah melihat rumah yang cukup mewah, ibunya merasa ada yang kurang. Ia sempat terpengaruh apa yang dirasakan ibunya.

Baginya, itu artinya  ada dua jalan pemuasan batin. Satu, memenuhi apa yang belum dimiliki atau memenuhi apa yang diinginkan. Kedua, mensyukuri apa yang sudah dimiliki. Yang pertama sudah dialaminya dan mempunyai kelemahan.

Pikirnya, andaikan ayahnya mempunyai uang dan membangun rumah yang diinginkan ibunya, pasti rasa puasnya hanya pada awal-awal saja. Sama halnya ketika ia memakai sepatu baru.

Ia sepakat dengan ayahnya. Bersyukur tiap saat. Pikiran harus positif. Mensyukuri semua yang dimiliki. Ini memang tidak mudah. Tapi itu jalan satu-satunya jika ingin merasa puas  dengan hidup. Ia jadi teringat lagi dengan teman ayahnya yang sakit.

Lalu pikirannya mendarat pada bayangan tentang gadis yang berhidung mancung, berpipi tembem, berbibir tipis dengan senyum yang selalu menggoncang suasana batinnya. Sudah dua minggu lebih mereka tak berkomunikasi lagi. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Apalagi tanpa alasan dan sebab yang jelas.

Kini saatnya ia ingin merangkai kembali keping-keping yang  hancur itu. Menyusunnya kembali hingga utuh.
***
Tiba-tiba ia bangun dari tempat tidurnya. Mengatupkan kedua tangannya. Berdoa.

“Aku bersyukur ya Tuhan karena engkau pernah menganugerahkan dia dalam hidupku. Bahwa sekarang dia hilang begitu saja aku sudah paham. Ada orang yang Kau hadirkan dalam hidupku, hanya untuk mengantarku sampai pada pengertian tertentu tentang hidup. Ketika aku sudah sampai pada pengertian itu, Engkau membuatnya hilang tiba-tiba dari hidupku. Aku percaya, Engkau melakukan itu karena Engkau sudah menyiapkan sesuatu yang lebih besar lagi. Aku mensyukuri semua yang terjadi sekarang. Amin”

Dia berbaring lagi. Senyumnya lebar. Tiba-tiba tempat tidurnya terasa bergetar. Ia memeriksa sebentar. Diperhatikannya handphone yang diletakkan di samping bantal. Ada sebuah pesan masuk.

“Sayang, kamu sudah tidur?” tulis pesan itu. Ia tersenyum lebar. HP itu diletakkannya lagi. Ia berbaring dan tertidur lelap.
 (Nantikan selanjutnya: bagaimana seorang yang mulai berpikiran positif menanggapi kenyataan hidupnya dan kisah-kisah selanjutnya: sambil menunggu inspirasi dari orang-orang hahha)


                                                             



           
           
           





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text