Pages

Ads 468x60px

Selasa, 08 April 2014

Indahnya Berdialog !

Suara lembut yang terdengar ketika memasuki rumah berlantai dua berada dekat gerbang utama Saint Louis University, Baguio City menjadi pertanda bagi kami. Suara itu tidak asing lagi. Begitu pun lagu “Say Something” yang dinyanyikan itu.
Ahmad dan Peng sedang berkolaborasi dalam presentasi hahah


“Itu suaranya John.” tebak Peng, teman seperjalanan saya hari itu. Pria berkaca mata, berbadan mungil, dan kulit kecoklatan itu menyendengkan lagi telinganya. Pria yang dulunya kupikir orang India,namun ternyata berasal dari Myanmar ingin memastikan lagi suara itu.

Kami pun kemudian mengedap masuk ke gerbang rumah itu. Berlangkah ragu-ragu. Dan ternyata dugaan kami benar.

“Mana Ahmad?” tanya kami ketika melihat John, Apeng, dan Emen.



“Dia sedang keluar membeli makanan” jawab mereka singkat. Ahmad adalah pengontrak salah satu bilik dari rumah itu. ia berasal dari Lebanon dan tinggal di Arab Saudi. Kini ia berencana kuliah di Filipina. Dan dia dan kami harus mengambil kursus bahasa Inggris. Hari itu ia mengundang kami untuk acara makan-makan bersama di kontrakannya. Berhubung hari itu adalah hari terakhir kami menyelesaikan kursus bahasa Inggris di Saint Louis University.
Satu dalam keanekaragaman

“Ayo kalian ambil minum dan makan kue di sana.” tawar Emen. Berdua kami mendekati kulkas di sudut ruangan itu. Peng lekas tertawa setelah melihat kue tar. Geleng-geleng kepala sebentar. Saya mulai paham. Di bagian Kue tar berlapis coklat itu tertulis “welcome brothers”. Teringat beberapa hari lalu, Ahmad mengingatkan kami. ”kalau kalian datang ke rumah, saya harus menyiapkan sesuatu yang spesial.” Seakan tidak menyangka, kalau ia mempersiapkan sespesial itu. Kue itu tidak diragukan lagi kalau berharga mahal.

Tapi ketika beberapa hari lalu itu Ahmad mengajak kami ke rumahnya, Peng tampak bersemangat. “Saya akan ikut.” Segera kami bersepakat. Lalu ketika Ahmad meninggalkan kelas duluan, Peng berkomentar lepas, “Tak kusangka dia seperti ini.”

Sebenarnya bagi Peng kebersamaan kami selama mengikuti kursus bahasa Inggris memang mengubah banyak hal dalam pandangannya yang berasal dari Myanmar.

“Saya jengkel sekali melihat mereka. Amat menganggu.” ujar Peng mengungkapkan apa yang dia rasa sejak awal pertemuan kami di kelas. Kami yang mendaftar kursus bahasa Inggris sekitar dua puluhan orang. Datang dari berbagai negara seperti Palestina, Korea, Cina, Indonesia, Mongolia, Eritrea, Arab Saudi, Somalia, Lebanon, thailand, dan Myanmar.

Sebagian besar berasal dari Timur Tengah dan berbicara bahasa Arab. Kekesalan itu karena mereka selalu ribut, berbicara bahasa Arab setiap saat, bahkan  meskipun guru sedang mengajar mereka tetap bercakap-cakap, dan seperti tak menghargai kami yang berada di situ.

“Saya tidak bisa belajar kalau ribut seperti ini terus” curhat Jenah yang berasal dari Korea. Bahkan ia marah-marah seorang asisten dosen. “Tolong pisahkan kami dengan mereka.” bentaknya suatu saat.

Tak tahan dengan situasi itu, kami bertanya Ahmad. “Itu sudah biasa bagi kami. Biarpun guru sedang ngajar, kami masih ribut-ribut.” ujarnya yang membuat tambah kesal.

Berbeda dengan kami yang jengkel melihat kelakuan mereka hanya karena sering ribut, Peng justru punya alasan lain. Peng melihat mereka dalam kaca mata bahwa mereka adalah orang-orang beragama Muslim.

“Kamu ingat Kasus Rohingya di Myanmar?” tanya Peng. Saya mengangguk. “Rata-rata perspektif kami terbentuk dari masalah itu.” katanya lagi.

Rohingya adalah sebuah kelompok minoritas di Myanmar. Tahun lalu dibantai habis-habisan oleh kelompok mayoritas yang beragama Budha. Banyak yang mati. Banyak juga yang diusir. Bahkan ada yang mencari suaka ke Australia.

“sekarang mereka ada teritori tertentu. Dijaga tentara agar tidak keluar masuk secara bebas dari wilayahnya.” jelasnya. Kebencian masyarakat yang meluas memang membuat mereka dibatasi seperti itu. Mereka dianggap warga Negara illegal.

Sejumlah kasus telah memercik kebencian yang luas. “Mereka tak segan membunuh orang dan kerap menjadi dalang kasus kriminal[1], Bahkan ada beberapa peristiwa pemerkosaan. Pelakunya dari Rohingya. Orang-orang Myanmar tak suka membunuh binatang, tapi mereka berbeda. Mereka membunuh dengan kejam..”

Terbangunlah suatu image buruk tentang mereka. Meluap menjadi kebencian meluas. Lalu upaya menghabisi mereka pun dimulai tahun lalu itu. Dilaporkan sekitar lebih dari 6000 ribu warga etnis Rohingya telah dibantai.

“Mereka itu rata-rata orang beragama muslim. Jadi itu menjadi isu agama juga. “ ternyata ungkapan itu menjadi alasan di balik sikap diamnya selama di kelas beberapa bulan awal. Peng tidak banyak berbicara. Hanya memperhatikan guru. Dia takut dan jengkel dengan mereka.

“Saya takut sekali dengan mereka. Bayangan saya kembali ke Myanmar.” akunya.
Ahmad dan saya...Kue bikin romol lagi


*****

Setelah beberapa bulan, kami dipisahkan menjadi dua kelas. Bukan terutama karena usulan Jenah, tapi pertimbangan agar kelas menjadi lebih efektif bagi kami pemula dalam belajar bahasa Inggris.

Dan yang tersisa bersama kami  di kelas, hanya Ahmad dan Luqman. Hari berlalu banyak kejutan mulai terukir. Kami semakin dekat satu sama lain. Ahmad mulai terbuka tentang negaranya, budaya, dan sifat dasarnya.

“Banyak orang Kristen di Lebanon. Tetangga dan teman-teman saya banyak yang katolik.” Cerita Ahmad.Kami kaget. “Betul. Di sana sering ada konflik politik. Kalau kali ini yang menjadi presiden dari kalangan Islam, nanti akan diserang. Kemudian kali lain, seorang Kristen yang jadi Presiden, kelompok muslim yang serang.” Katanya lagi. Itu informasi baru bagi kami. Lalu dia bercerita tentang presiden Michael Sulaiman, seorang Kristen yang terpilih oleh suara mayoritas di Lebanon.

Begitu juga Lugman. “Kalian tidak kawin? Masa?” reaksinya begitu mendengar tentang kehidupan para selibat. Itu pertama kalinya dia mendengar tentang kehidupan imamat. Penasaran dengan itu, ia datang mengunjungi kami di seminari pada suatu hari Minggu.

            “Brother, I will pray for you” katanya. Selanjutnya ia sering mengunjungi kami. Dan tiap kali jalan bersama, begitu mata saya dan teman-teman seminari agak menggeliat ketika melihat cewe cantik, dia segera memperingatkan. “Heits,,,itu tidak bagus” tegurnya sambil tertawa.

            Sikap keduanya membuat kami perlahan-lahan segera mengoreksi diri. Ahmad misalnya, hampir tiap pagi tidak pernah terlambat.. Tiap kali kami sudah mulai mengantuk, ia izin ke toilet. Ternyata ia ke warung terdekat, membeli makanan ringan dan permen. Lalu kami kaget  dia datang lagi dan mulai membagikan permen dan biskuit. Berhenti sejenak, lalu kami berbagi cerita dengan guru. Belum lagi reaksinya yang spontan kerap membuat tertawa dan menghibur.

            Ia juga amat perhatian. Suatu saat misalnya, seorang Guru memberi kami tugas untuk menulis renungan tentang Allah. Spontan Itan, seorang teman dari Cina beraksi, “ apa Allah?” Kami tertawa. Namun Ahmad tidak. Ia mulai menerangkan, membantunya untuk mengerti. Memang bagi dia, Allah adalah ide baru. Beberapa saat kemudian kami baru mengerti kalau paham tentang Allah dia tidak pernah tahu. Dia masih memeluk agama lokal.

            Peng pun mulai terbiasa bercanda dengan Ahmad. Saling mengolok hampir tiap hari. Setiap kali Peng mempresentasi dan berbicara dengan suara kecil, kami selalu berteriak dan Ahmad selalu mempunyai suara yang besar. “Open your mouth!” Peng tertawa. Ahmad pun sering kena balasannya. Setiap kali Ahmad berbicara, Peng paling pertama berteriak, “hold your tongue!” segera kelas mengelegar. Kami tertawa.

            Kami selalu mempunyai lima jam kuliah setiap hari. Meskipun selalu bersama selama 5 jam, rasanya tak cukup. Setelah kuliah, kami nongkrong bersama. Minum kopi, rokok, dan nyanyi. Bahkan malam hari ketika sedang online kami bertegur sapa dan bercanda lewat dunia maya.

            Hal itulah yang membuat kami sadar. “saya salah menilai dia.” aku Peng setelah melihat persaudaraan di antara kami yang kian akrab selama beberapa bulan. Baginya, melabeli orang dengan predikat-predikat tertentu adalah sesuatu yang harus dihindari.

******


Inilah hari yang kami harus kenang. Ini seperti acara perpisahan bagi kami. Mereka akan pulang libur ke negaranya masing-masing. “ nanti kalau kamu ke rumah kontrakan saya, bawa gitar ya. Nanti kita nyanyi bersama.” pesan Ahmad beberapa hari yang lalu.

Setelah sekian lama menunggu, Ahmad datang, ditemani Roy dan Johan dari Indonesia. “Sorry teman-teman sudah lama menunggu. Kami baru pulang dari restorant Arab. Tidak apa-apa’kan makan makanan Arab.”

Di Filipina memang kesulitan mereka untuk dapat makanan yang halal. Hampir di setiap warung hanya disediakan daging babi. Kalaupun ada sayur, selalu sudah dicampuri dengan irisan kecil daging babi.

Kami mengangguk. Lalu mereka sholat sebentar. Kebetulan hari jumat. Kami menanti. Lalu makan bersama. Sesekali kami menyelipkan cerita lucu.

Tiba-tiba kemudian ahmad menyuruh kami berdiri depan rumahnya. Berbaris rapi.
 “Kita akan nyanyi dan direkam. Saya mau kirim ke keluarga dan pacar saya.” katanya.  Dengan rasa lucu, kami pun menyanyi dan di-videokan. Suara kami terdengar hampir di seluruh kompleks itu. Siang itu kami ingin, kebersamaan dan persahabatan itulah yang orang dengar dan saksikan.

Kami pulang dan berpisah.

Kalau sudah narsis, saya tukang pegang kamera!!







[1] Bisa dibuka di sini sebagai perbandingannya. http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/07/29/inilah-kronologis-lengkap-pemicu-tragedi-rohingya-481586.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text