Pages

Ads 468x60px

Senin, 07 April 2014

Beramal

Beramal selalu menjadi ajakan yang sentral selama masa prapaskah. Akan tetapi, tidaklah mudah memahami arti amal dalam konteks Indonesia yang belakangan ini semakin hiruk-pikuk menjelang pesta demokrasi.
Paus Fransiskus

Aksi amal bermunculan. Beberapa hari lalu di sebuah jejaring sosial, misalnya, seorang mengunggah sebuah foto yang memperlihatkan sembako yang diberikan oleh seorang calon legislatif. Beberapa bulan sebelumnya, di beberapa tempat bencana terdapat posko-posko penyelamatan yang berbendera partai politik tertentu.

Barangkali kita bingung, yang mana aksi amal yang benar-benar bercita rasa Kristiani?


Paus Fransiskus dalam pesan masa praspakahnya (http://ncronline.org) seakan menjernihkan pikiran kita tentang tindakan beramal khas Kristiani. Beramal sebagai sebuah aksi nyata dari doa dan pantang pada masa prapaskah ini seharusnya datang dari sebuah refleksi yang mendalam tentang cinta Allah kepada kita umat-Nya.

Beramal dari keberlimpahan bukanlah tipe khas Kristiani. Ia mengatakan, “ Allah tidak membiarkan keselamatan jatuh begitu saja dari langit, seperti seseorang yang memberikan derma dari kelimpahannya tanpa rasa altruisme dan kesalehan.”

Meskipun pandangan ini mendatangkan kesulitan tersendiri karena bukan tidak mungkin orang mengganggapnya hanya permainan kata saja, namun justru kesulitan itu sebenarnya memperlihatkan betapa radikalnya pemahaman kristiani dalam beramal.

Memberi dari Kekurangan

            Memberi dari kekurangan sejatinya bukanlah ungkapan Paus Fransiskus sendiri. Ia menegaskan kembali apa yang disampaikan Yesus. Sebagaimana dituliskan dalam injil Markus (12: 44), Yesus menekankan pentingnya memberi dari kekurangan.
Paus Fransiskus lahir dengan nama Jorge Mario Borgoglio pada 17 Desember 1936

Yesus mengatakan demikian ketika melihat seorang janda miskin yang berada di antara orang-orang kaya memasukkan uang ke dalam peti persembahan.  Katanya, Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, seluruh nafkahnya.” Persembahan janda itu bagi-Nya layak dicontohi.

Ungkapan ini memang sulit dimengerti karena pada dasarnya berlawanan dengan pertimbangan akal sehat sehari-hari. Dalam perhitungan matematika, angka kecil jika dikurangi angka yang besar selalu menghasilkan minus. Dalam dunia bisnis, minus merupakan gejala yang buruk. Rugi sebaiknya dihindari. Maka, memberi dari kekurangan sebenarnya terlihat aneh.

           Terbiasa dengan logika seperti itu, saya misalnya,membenarkan tindakan saya yang mengabaikan seorang ibu pengemis yang sedang menyusui anaknya di sebuah jalan menuju ke kampus pada suatu hari. Tak sepersen sen pun saya berikan padanya.

            Menatapnya, logika saya berbicara untung-rugi. Pikiran bahwa uang saku saya pas-pasan saja tiap bulan dan prasangka bahwa orang miskin adalah pemalas, mengurungkan niat saya untuk berbagi. Meskipun tidak rugi-rugi amat, rasanya tidak pas kalau saya yang berkekurangan menolong dia. “Sama-sama susah cari uang.” ungkap seorang teman dalam sebuah metromini ketika seorang pengamen menghampiri kami pada suatu hari. Sepola pikir dengannya,  saya  pun melewati ibu itu hanya dengan meninggalkan rasa iba sesaat.

           Akan tetapi, justru berlawanan dengan logika demikianlah Paus Fransiskus memberikan gambaran tentang cinta dalam pengertian Kristiani.  Cinta itu tampak dalam peristiwa inkarnasi, Allah menjadi manusia. Ini merupakan “misteri besar."

 Sebagaimana dalam jamak pengertian misteri selalu terkait dengan suatu peristiwa yang melampaui tangkapan akal sehat, demikianpun  Allah menjadi manusia dikatakan  suatu misteri yang besar karena sulit dipahami bagaimana mungkin Allah yang kaya itu ingin menjadi miskin.

            Paus Fransiskus mengatakan itulah cinta. Hanya karena cinta, Allah memilih menjadi manusia.  “Meskipun dia kaya, akan tetapi karena kepentinganmu dia menjadi miskin. Kristus, Putra Kekal Allah, satu dengan Bapa dalam kekuasaan dan kemuliaan, memilih menjadi miskin; dia tinggal di antara kita dan mendekati masing-masing kita; menyampingkan kekuasaan dan mengosongkan diri  sehingga dia dapat menjadi sama seperti kita dalam segala hal. Alasan dari semua itu adalah cinta.”

            Akan tetapi, karakter dasar yang paling menonjol dari cinta Allah itu adalah intensinya untuk memberdayakan umat manusia. “Karena kemiskinannya kamu menjadi kaya.” Tampak ketika ia rela melucuti tahtanya, tinggal di antara kita, merasakan penderitaan manusia, dan mengangkat martabatnya. Cinta Allah itu telah membawa suatu kesetaraan, menghancurkan tembok pemisah, dan menghapus jarak antara Allah dan manusia.

            Namun cinta yang memberdayakan itu tidaklah instan. Butuh pengorbanan. Allah rela melepaskan segala kekuasaannya dan menjadi sama dengan manusia dalam segala hal. Paus menulis, “Dia bekerja dengan tangan manusia, berpikir dengan dengan pikiran manusia, bertindak dalam pilihan yang manusiawi, dan mencintai dengan hati seorang manusia.”

            Cinta tanpa hitung-hitungan itulah sebenarnya juga ditunjukkan oleh seorang ibu yang menyusui seorang anak di jalan yang saya lewati. Entah ada yang memberinya uang atau tidak, dalam kesahajaannya ia tetap menyusui anaknya. Entah suatu saat anaknya membalas atau tidak, ia tetap merasa diwajibkan untuk merawat dan membesarkan anaknya. 

            Jadi, melalui peristiwa inkarnasi, Allah menghadiahkan sesuatu kepada manusia dengan cara “mengurangkan” diri-Nya. Sementara, ibu tua itu membuat saya paham bahwa meskipun berkekurangan kita masih mampu memberi.


Cinta Kristus

Beramal dalam pandangan Kristiani sebetulnya harus merefleksikan cinta Allah kepada manusia itu. Bahwa Cinta itu melampaui hitung-hitungan akal sehat, semestinya terlibat, berkorban, dan memberdayakan.

 Memberi, misalnya sepaket sembako , kemudian mengharapkan sesuatu sebagai balasannya adalah contoh dari keterlibatan hitung-hitungan akal sehat dalam ber-“amal.”

Tentang memberi sebagai anak-anak Allah, Yesus bersikap amat radikal dalam ajarannya. Mengharapkan sesuatu dari suatu pemberian bukanlah suatu sikap pengikut Kristus.

Yesus berkata , “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.

     Pun apabila bertemu dengan seorang pengemis di jalan, tergerak hati karena penampilannya yang kotor, kusam, dan dekil, kemudian kita memberi sedekah,meninggalkannya, dan melupakannya bukan gambaran amal bercita rasa Kristiani.

           Beramal karena dorong perasaan sesaat bukanlah yang dimaksud Yesus.  Adalah beda orang yang tergerak karena perasaan iba saja dengan orang yang didorong oleh refleksi yang mendalam tentang Cinta Allah.

Paus mengatakan bahwa suatu dorongan bahwa, “ dalam wajah orang miskin dan tak diperhatikan kita melihat wajah Kristus.”, diperlihatkan contohnya dalam tindakan seorang Samaria yang baik hati. Cinta itu membuat kita sanggup mengambil suatu tindakan yang berkelanjutan dalam menolong sesama.

Amal menjelang paskah adalah pintu bagi umat nasrani untuk merefleksikan cinta Allah kepada manusia. Bahwa dalam kesederhanaan dan ketidakmampuan, kita sebenarnya mampu memberi dan mengambil tindakan yang  mampu melawan segala upaya menistakan harkat dan martabat manusia dalam kehidupan sehari-hari.  Selamat beramal!
           
           

             



             
             
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text