Pages

Ads 468x60px

Minggu, 30 Maret 2014

Rahasia Wanita (Episode pertama)

Joe dan Imut hahaha
Dari jendela kamar, Markus mengintip keluar  sebentar. Sudah pukul 07.00, tapi masih gelap. Kelebihan air membuat bunga-bunga tak segar, basah, dan tertunduk lesu. Hujan semalam memang lebat sekali. Sekarang, pagi-pagi sudah mendung lagi. Seolah-olah matahari tersesat. Sebenarnya tidak. Ia selalu konsisten. Hanya mata dan pikiran manusia yang kerap dibingungkan oleh awan yang menutupinya pagi itu. Enaknya tidur lagi kalau mendung begini, pikirnya. Lalu Markus menarik lagi selimut. Menutupi semua badan. Tapi tidak mudah untuk tertidur lagi.

“Putus cinta sebenarnya gampang. Putus tapi masih cinta itulah yang sulit.” Status temannya di facebook diingatnya lagi  karena pas untuk  suasana hatinya belakangan ini. Dia masih cinta. Masih sayang, malah pakai “banget.”


“Masa karena dia kamu seperti ini. Bukan hanya dia wanita bro! Buka mata lebar-lebar.” Reaksi teman-teman menguatkan dia. Tidak mempan. Ini yang benar-benar namanya galau.

“Begitulah kalau kalian sudah cinta.” ujarnya membela. Mereka lantas terdiam. Seolah dunia cinta dunia insan itu terlalu misteri. Teman-temannya hilang dari dari peredaran bersamanya beberapa saat. Dia sendirian. Sepi.

Hari-harinya belakangan ibarat aktivitas seorang detektif. Dikelilingi buku psikologi, ramalan, dan sebagainya. Semuanya hanya demi satu alasan. Kenapa wanita yang dia cintai itu tiba-tiba diam. Status yang dulunya pacaran, beberapa minggu lalu berubah menjadi complicated dan sekarang lajang. Ia semakin tergila-gila memecahkan misteri itu.

Bahkan ada hal yang tergila. Menemui temannya untuk membuktikan apakah gadis itu masih mempunyai perasaan atau tidak melalui permainan kartu. “Masih ada.” kata temannya itu. Ia bangkit lagi. Berusaha lagi. Masih ada harapan untuk jadian lagi.

“berikan aku alasan, kenapa kau tiba-tiba berubah.  Aku hanya butuh alasan. Biarlah setelahnya kita tetap putus?” rayunya kepada wanita itu. nadanya sedikit memohon belaskasihan. Wanita terdiam sejenak diseberang telepon. Hanya desahan nafasnya panjangnya terdengar lembut.

“Tidak kenapa-kenapa.” jawabnya. Dia semakin linglung. Marah. Tapi lumayan sabar untuk tidak melampiaskannya.

“Cukup ya. Aku mau keluar dengan mama.”

“Tunggu ...” telepon sudah mati. Kejam, ujarnya dalam hati. Wanita itu seakan tak peduli dengannya. Membiarkannya menderita tak tidur. Semangat belajarnya hilang total.

Ditunggunya hari esok. Mengirimkan pesan singkat, apakah dibalas atau tidak. Eh, ternyata dibalas. Semangatnya bangkit lagi. Diteleponnya.

“Kalau telpon lagi dan tanya terus, aku akan blokir nomormu.”


Tak disangka jawaban itu yang menyambutnya. Terlalu sayang, tak sempat meluapkan amarah. Hanya menghela nafas panjang. Jiwa premannya lenyap seketika. Siapa yang tak kenal dia di sekolah? Semenjak setahun lalu ia menjadi terkenal. Badan kecilnya ternyata berhasil menumbangkan seorang kakak kelas yang badannya berbentuk karena sering fitness. Apalagi terkenal karena ikut beladiri.

“nyali di atas segala-galanya.” Itu prinsipnya. Naik tahta sebagai preman sekolah karena prinsip itu. Namanya terkenal. Tiap kali jalan, banyak mata yang memperhatikan derap langkahnya. Dia ibarat negara dimana adik-adik dan teman-teman kelas banyak mencari suaka.

Ternyata galau karena cinta tak mengenal itu.

Sudah tiga puluh menit, matanya tak bisa terpenjamkan lagi dalam selimut. Suasana hatinya kacau. Tapi ia masih mampu menahan jatuhnya air mata.

****
Hati wanita itu ibarat laut yang tak berdasar. Tak dapat diukur atau ditebak. Kesimpulannya dalam hati. Lalu bangkit. Melipat selimut. Segera ke dapur.

Ibunya sedang memasak. Mata seorang ibu. Amat peka.

“Kamu kenapa? Tidak pergi ke sekolah?”

“tidak kenapa-kenapa.” Berusaha menyembunyikan. tapi ia merasa cukup nyaman dengan pendekatan ibunya. Lalu tak dirahasiakannya lagi suasana hatinya itu. Ini kali pertamanya bercerita dengan ibunya.

“Sebenarnya tidak seperti itu. Hati wanita tetap punya dasar yang dapat diukur.” 

“Kenapa?”

“Tanya sama ayahmu. Kenapa aku tergila-gila dengannya hahahha ”

Ia langsung terpana. Baru disadarinya. Kisah cinta ayah dan ibunya sedikit mengundang pertanyaan memang. Setidaknya sekarang ia mengingat gurauan teman-temannya. “Kenapa sih bapa kamu menikah dengan ibu kamu”. Ia tahu maksudnya.  Ayahnya memang tak hadir pada acara pembagian hidung oleh santo Petrus. Tingginya juga tak seberapa. Dari penampakkan fisik, agaknya tidak cocok.

Kala itu dia hanya menjawab. “Otak perempuannya kan ada tiga bagian. Otak fisik, otak logika, dan otak emosional. Kalau otak fisik, perempuan akan selalu ingin laki-laki yang ganteng karena pengamatan indera. Kalau otak logika, perempuan akan selalu bilang, ‘suka laki-laki yang pintar, baik, perhatian, dsbnya. Tapi jangan salah. Yang buat wanita jatuh cinta, bukan kedua otak itu. keduanya ibarat pintu gerbang saja untuk jatuh cinta. Tapi tidak mutlak. Yang buat perempuan jatuh cinta adalah otak emosi. Siapa yang bisa menggerakkan emosinya. Tak ada alasan rasional untuk itu. Makanya kalau ditanya, ‘kenapa kamu suka sama dia?’ kebanyakan perempuan yang sudah jatuh cinta, jawabnya begini, ‘tau lagi! Nyaman saja.’’ Aduh tidak tau bagaimana’ dsb.” Mungkin orangtuaku begitu.”

Teman-teman terperangah. Ia puas. Tapi sebetulnya dia hanya menjawab sekenanya saja. Dia sendiri tak mengerti banyak bagaimana menggerakkan otak emosi itu.

“Kenapa ibu jatuh cinta sama bapa?”

Ibunya berhenti sejenak dari memasak. Mengambil kursi. Duduk manis dan mengedarkan senyum lebar.

“Ceritanya agak panjang. Dulu kami teman semasa SMA. Suatu hari dia Datang ke rumah dengan teman-teman. Awalnya dia terlihat cuek. Kupikir dia orangnya seperti itu. Diajak ngobrol, aku kaget. Ngomongnya blak-blakan. Tapi semenjak itu kami dekat. Aku merasa nyaman dengannya. Bola matanya tak mencurigakan seperti teman-temannya yang lain.” jelas mamanya. Matanya seolah masih merekam kuat romantisme masa lalu itu.

Apakah wanita suka dicuekin? Apakah wanita suka laki-laki yang blak-blakan? Kenapa wanita bisa mengetahui apa yang dirasakan laki-laki? Pertanyaan-pertanyaan sudah mulai tumbuh bak jamur dalam kepalanya.

“Mam, kenapa mama tahu, kalau teman-temannya bapa dulu suka dengan mama?”

“hahahhaa...wanita punya pendeksi perasaan yang kuat. Sepuluh kali lipat dari laki-laki.” Giliran mamanya yang bikin penasaran kali ini. “wanita tahu, kalau laki-laki ada maunya.”

“Tapi semenjak kami pacaran, tiap hari aku penasaran sama bapa kamu. Dia tidak seperti pacar mama sebelumnya. Perhatian tiap saat. Tanya tiap saat. Pokoknya ngatur mama segalanya. Dia super cuek. Beda. Beda sekali. Kadang kalau mama telpon, dia bilang, ‘ntar yah, aku lagi belajar.’ Terus lebih gila lagi, kalau datang ke kosnya mama, tidak pernah sms duluan. Beberapa kali mama malu. Belum mandi. Eh tau-taunya dia udah depan kos.”

Apakah ayahnya tidak sepenuhnya mencintai ibunya? Kenapa ayahnya bisa secuek itu? pertanyaan itu membuatnya ia terbang jauh. Raganya mematung saja.

“Hey, kamu masih dengar mama?”

“Iya mama.” Ibunya ketagihan bercerita.  Entah mengapa. Barangkali ia mau anaknya mengerti tentang wanita.

“Bapamu tak pernah melarang mama. Kalau aku jalan dengan teman, dia memperbolehkannya. Kukira itu hanya awal-awal saja. Biasa laki-laki selalu baik di awal masa pacaran. Tapi tidak dengan dia. Konsisten sikapnya. ”

Diam sejenak.

“Satu lagi. Bapamu tak pernah menanyakan apa yang saya mau. Eh tau-taunya di ultahku, dia sudah bawa dengan boneka doraemon. Aku sebenarnya tidak suka. Lalu aku komplain dengan manja. Eh jawabannya membuatku terkejut. “

“terkejut bagaimana?”

“dia bilang,’aku sengaja memberikan sesuatu yang bukan kamu suka. Supaya kamu mengerti bagaimana gejolak perasaan belajar untuk menyukai sesuatu.’”

Tak tahan, keduanya tertawa. Tak disangka, ayahnya sepandai itu bermain kata.

“Kalau soal bermain kata, bapamu paling hebat. Satu kali. Dia tiba-tiba bilang, ‘minta nomor mama kamu.’ Dan mama terkejut. ‘untuk apa?’ enteng saja dia jawab. ‘mau bilang terima kasih karena sudah melahirkan anak yang manis dan cantik ini.’ Mama tertawa. Dan ketika mau ngobrol lagi, ternyata dia udah matikan hpnya. Kejam kan? Teganya dia membuat aku penasaran saat itu.”

Markus tertawa. Hatinya tertegun. Dia mulai paham. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Sedikit demi sedikit ia mulai mengoreksi diri. Ia membandingkan dengan kisah orang tuanya. Ada yang salah yang ia lakukan dengan pacarnya selama ini.

“Mam lanjut masak dulu.” ujarnya. Ia kembali masuk kamar. Kali ini ia tertidur pulas.

***

Hujan es. Atap rumah seperti diguyur butiran batu. Amat ribut. Ia terjaga. Melihat jam. Mengusap matanya biar penglihatan lebih terang. Terperanjat. Hari sudah sore. Ia melewati jam makan siang. Keluar dari kamar dan tersenyum ketika memasuki ruang tengah.

Di sana seorang pria sedang duduk seolah tak menyadari kehadirannya. Ia memperhatikannya sejenak.  Membaca koran, kepalanya yang kian gersang untuk pertumbuhan rambut tertunduk melahap halaman demi halaman. Tangannya tak sekadar sibuk membuka halaman demi halaman koran itu,juga mengatur kacamatanya yang beberapa kali melorot.

Ia mendehem untuk mencuri perhatiannya. Ayahnya menoleh. Tersenyum. Kumis lebat dan janggut tebalnya tak serem lagi.

“Mari, duduk di sebelah sini.” Ada yang aneh. Sepertinya ibunya membocorkan sesuatu.

“Kamu ada pertanyaan?”

Selagi ada kesempatan sebaiknya dimanfaatkan, pikirnya.

“Apa sih rahasia bapa mendekati mama dulu?” ia tersenyum cengar-cengir. Baru kali ini ia bicara dengan ayahnya tentang itu. Pria tua itu tertawa. Barangkali merasa diri hebat.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

“Hanya ingin tahu.” Ayahnya diam. Barangkali ia ingin membongkar lagi file-file lama yang tersimpan di kepalanya. Sejenak kemudian, ia tersenyum. Ada ide.

“Pernah sekali bapa diajak teman-teman ke rumahnya. Saat itu, aku hanya berpikir untuk menemani mereka. Semua mereka menyukainya. Bahkan bertaruh, siapa yang bisa menaklukan hatinya. Dan  Kebersamaan kami hanya dihabiskan untuk menceritakan mamamu. Di sana, di rumahnya, ternyata hanya aku yang bisa berbicara lepas. Tak ada beban. Sedangkan teman-teman kelihatan aneh hari itu. Ada yang alim. Ada yang mau kelihatan lucu. Mereka lain dari biasanya. Kikuk dan berwibawa.”

Markus tak bisa menahan rasa lucu. Ia tertawa. Ia mulai tahu. Perlunya tampil natural. Tapi itu tidak mudah. Rasanya kalau depan gadis yang kita suka, tidak bisa seenaknya bertingkah. Takutnya wanita bisa menjauh, pikirnya.

“Kenapa ayah bisa seperti itu?”
The wedding Party of my sister!


“Di pikiran ayah, dia adalah teman. Jadi ayah bicara dengannya seolah-olah bicara dengan teman. Ternyata mamamu merasa nyaman. Komunikasi berlanjut. Awal-awalnya aku cerewet. Tapi belakangan, ketika mamamu mulai cerewet, ayah hanya diam. Tanya sedikit dan dengar. Hahaha...”

“Mama cerewet?”

Ayahnya mengintai keadaan sekitar. Bola matanya memutar cepat.

“Tahu gak kamu kalau semua perempuan pada dasarnya cerewet?” ujarnya setengah berbisik. Geleng-geleng kepala dan dahinya mengernyit, pertanda belum yakin.

“Kalau perempuan masih agak alim-alim, itu hanya awal-awal atau karena kita belum tahu mau-maunya mereka. Sekali kamu tahu, ibarat menarik pelatuk nak. Dia akan bercerita dan mengejekmu sesukanya. Rata-rata perempuan suka bercerita. Hanya kita butuh waktu membuat mereka begitu.”

“hahahaha....Benar juga.” Ia teringat mantan pacarnya. Awal –awal perkenalan benar-benar susah. “Mat malam” tegurnya. Hanya dijawab, “jg”. Benar-benar hemat kata. Tapi hanya beberapa minggu setelahnya, ternyata mantan pacarnya mulai bercerita banyak.

“Jadi pertama buat mereka nyaman. Kalo ngobrol, anggap saja ngobrol dengan teman sendiri. Lalu sesekali aku gombalin mama kamu. Pernah dia tanya serius begini, ‘kamu benaran sayang semakin sama aku?’. Aku hanya jawab, ‘benar, tapi hanya tambah satu persen.’ ‘Kenapa hanya satu persen?’ ‘yeah, karena sudah 99 persen aku sudah sayang sama kamu. Hanya butuh satu persen, biar jadi seratus.lebih sempurna.’ Tertawanya ngakak. Selagi tertawa, aku bilang, ‘jangan tertawa terlalu besar?’’emangnya kenapa?’’ horror!!, mending senyum saja.’’kenapa kalau senyum?’’senyummu manis.’ Dia ngambek. Tapi ngambek romantis.”

“hahhahahha.....sulit dipercaya...!” Muka markus memerah karena tertawa.

“Lalu ketika jadian dua prinsip yang aku percaya. Bahwa kami bisa saja putus kapan saja. Artinya, sejak jadian, aku juga sudah rela, kalau sesekali waktu nanti dia putuskan hubungan kami berdua. Ternyata dengan begitu, aku semakin rileks. Tidak membatasinya. Tidak mengekangnya. Dan dia semakin nyaman dan malah semakin sayang, bahkan takut kehilanganku. Dia malah yang takut kehilanganku.”

“Ehem...” markus menyela dengan batuk yang dibuat-buat. Ayahnya diam sejenak.

“Mau dilanjutkan atau tidak?” setengah mengancam. Wajahnya tetap tersenyum.

“lanjut!”

“Kemudian, aku tidak menjadikan pacarku sebagai urutan nomor satu. Pertama, kuliah. Kedua, dia. Karena, kalau dia jadi nomor satu, sejak bangun pagi, aku pasti sudah mulai smsan, dan menyibukkan diri seharian hanya untuk dia. Mengekangnya dengan pertanyaan bertubi-tubi. Dan itu membuat wanita cepat bosan. Kalo game di komputer, itu seperti level satu, yang membuat orang cepat bosan.  Karena urusan kedua, efeknya luar biasa. Dia ternyata penasaran. Kenapa sih, aku kadang-kadang bilang, ‘aku belajar dulu, ntar baru telpon lagi’. Perempuan kan suka penasaran. Itu seperti game level 4. Sulit dan orang akan betah, bahkan lupa waktu.”

“hmph....seperti masih sulit.” Markus berguman kecil.

“hahahha....sebenarnya tidak sulit. Asalkan kamu bahagia duluan.”

“Apa hubungannya dengan bahagia?”

“Seorang yang bahagia, sebenarnya punya daya tarik yang luar biasa. Punya karisma. Melihatnya saja sudah mempesona.  Dan sumber bahagia itu jangan ditaruh pada wanita. Kenapa? Karena, kalau misalnya, kamu putus sama dia, seolah-olah kamu jadi tidak bahagia. Seolah-olah kamu hanya bahagia karena dia. Jadilah laki-laki bahagia, sebelum kamu mengenal dia. Jangan merasa bahwa kamu hanya bahagia kalau berkenalan atau berpacaran sama wanita .”

“Hey sekarang jam makan malam!”

Keduanya kaget. Ibunya sudah berdiri di pintu antara ruang tengah dan kamar makan. Lalu mereka beranjak ke ruang makan.

*****

Suasana meja makan seakan ada misteri. Ia bisa membacanya. Ibunya tersenyum. Ayahnya pun tersenyum.
“sayang! Silakan pimpin doa.” ujar ibunya. Markus setengah heran. Ayahnya memejamkan mata. Doa dimulai. Amat khusyuk.

Selama jam makan, ayah dan ibunya berbagi cerita. Sesekali mereka tertawa. Dia sedikit serius. Gairah makannya bertambah. Namun kepalanya masih disesaki misteri. Ada pertanyaan yang belum tertuntaskan. Ia makan cepat-cepat biar ada kesempatan bertukar pikiran lagi dengan ayahnya.

“Nak, sebentar setelah makan kami berdua ada keluar.” ujar ayahnya. Perhatiannya berhasil dialihkan sejenak.

“kamu sendirian di sini ya!” lanjut ibunya.

“Oke.”

Selesai jam makan kedua orang tuanya bergegas. Beres-beres sebentar, lalu mereka keluar dari pintu depan. Seiring mereka berjalan, pertanyaan itu kembali datang menghampiri dirinya.

“Apa itu kebahagiaan? Bagaimana jadi seorang yang bahagia?” tanyanya dalam hati. Rasanya awan-awan masih menutupi alam pengertiannya tentang itu. (nantikan jawabannya dalam episode tentang “kebahagiaan”). hahhha





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text