Pages

Ads 468x60px

Minggu, 30 November 2014

Kebebasan (negatif dan positif)


1. Pengantar

Kebebasan tidak merupakan suatu istilah netral. Kebebasan dalam perkembangan filsafat politik berkembang ke dalam dua arah penafsiran, yakni kebebasan positif dan kebebasan negatif. Kebebasan positif berkenan dengan kebebasan yang terikat dalam kelompok sedangkan kebebasan negatif melampaui ikatan kelompok.

Untuk memahami lebih dalam perbedaan tersebut, pertanyaan yang layak diajukan pada pembukaan ini adalah siapakah dan bagaimanakah subjek kebebasan mengembangkan kebebasannya dalam masing-masing cara pandang tersebut?


2. Kebebasan negatif (Hobbes, Lock, Kant, Rawls)

Latar belakang gagasan untuk melindungi kebebasan manusia dalam pandangan kaum liberal seperti Hobbes dan Locke  berpangkal dari pengalaman kekuasaan absolut dalam pemerintahan monarkhi dan penderitaan yang diakibatkan oleh perang agama di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18. Untuk melawan kekuasaan tiranis, entah negara atau kelompok yang merampas kebebasan individu, Hak-hak asasi liberal tampil sebagai kekuatan perlawanan terhadap negara. Oleh karena itu, liberalisme membuat demarkasi yang jelas antara hak-hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat sambil member prioritas pada hak-hak asasi manusia. Hak asasi manusia dipikirkan sebagai sesuatu yang pra-politis, yang mendahului negara, maka individu itu utama, dan berdirinya negara adalah untuk menjamin kebebasan individu itu.

Kebebasan negatif dalam pandangan liberal dipahami sebagai individu rasional yang secara bebas menentukan the way of life (bentuk kehidupan) dirinya sendiri berdasarkan pada asumsi bahwa individu mempunyai suatu kepentingan akan tatanan yang menentukan proyek-proyek sentral dan rencana-rencana kehidupan tanpa memperhatikan apa yang telah ditentukan bagi dirinya. Pertanyaannya adalah: Siapakah dan bagaimanakah individu rasional itu sebagai subjek kebebasan dipahami oleh Hobbes, Lock, Kant, dan Rawls?

Orang-orang seperti Hobbes, Lock, dan Kant berpikir tentang kebebasan manusia dengan mengabstrasikan (konstruksi pikiran) manusia-manusia konkret menjadi manusia-manusia menjadi individu pucat tanpa komunitas atau bobot kultural. Akarnya adalah filsafat subjek pada abad ke-17 yang memahami manusia sebagai kesadaran universal. Cogito adalah ciri umum yang menyamakan semua manusia yakni kesadarannya.

Hobbes dan Locke mengembangkan state of nature (kondisi alamiah) sebagai dasar politik kebebasan. State of nature  dari Hobbes adalah kebebasan untuk memuaskan kepentingan dirinya sendiri (self interest). Hal itu terungkap dalam the right of nature  (hak alamiah) bahwa setiap individu menggunakan kebebasannya untuk memelihara diri. Singkatnya, bebas melakukan apa saja adalah paham kebebasan dari Hobbes.

 (4) “..... Setiap orang kiranya mau ditinggikan oleh orang-orang lain seperti dia menilai dirinya 
sendiri...Persaingan, pembelaan dan kemashyuran adalah ketiga alasan pokok mengapa manusia berseteru satu sama lain. Persaingan menuju pada dominasi dan menyebabkan pertikaian untuk meraih kemenangan...Keadaan manusia...merupakan perang manusia melawan semua.....”

Berbeda dari Hobbes yang memahami kebebasan negatif absolut, Locke dalam state of nature  melihat kebebasan sebagai keleluasaan individu memakai hak milik dan kepribadian mereka sendiri. Bagi dia, setiap manusia mempunyai hak atas otonomi dirinya sendiri. 

 (1)“..... keadaan alamiah manusia-manusia. Keadaan itu adalah situasi kebebasan sepenuh-penuhnya untuk mengatur tindakan-tindakan mereka dalam batas-batas laws of nature dan untuk memakai milik dan kepribadian mereka...tanpa meminta izin orang lain atau tergantung pada kehendak orang lain.”

Sedangkan Kant mengabstrasikan manusia sebagai bangsa-bangsa setan (berasal dari Hobbes). Itu artinya  manusia adalah pribadi yang diandaikan jahat, yakni aktor-aktor sosial yang bertindak strategis, yakni dengan berusaha mengecualikan diri dari suatu perjanjian. 

(4) “Manusia adalah seekor hewan yang bila hidup bersama-sama dengan sesamanya dalam kelompok, memerlukan seorang tuan. Karena dia pasti akan menyalahgunakan kebebasannya dalam hubungannya dengan sesamanya. Dan sekalipun sebagai makhluk rasional dia menghendaki sebuah hukum untuk membatasi kebebasan semua orang, dia masih dapat tergoda oleh kecenderungan egoistisnya yang bersifat hewani itu untuk mengecualikan dirinya dari hukum di manapun dia dapat melakukan hal itu....” 

” Setan “ pada dasarnya adalah jahat, namun lebih mudah membangun strategi pada kesamaan seperti itu ketimbang pada manusia yang berpotensi jahat dan baik sekaligus. 

(5) “Masalah pendirian negara—betapa kerasnyapun perkataan ini—dapat diselesaikan bahkan oleh sebuah bangsa setan-setan (jika mereka hanya memiliki akal). Problem itu dapat dirumuskan demikian: > untuk mengorganisir sejumlah makhluk rasional yang bersama-sama menuntut hukum universal bagi kelangsungan hidup mereka, namun setiap individu secara diam-diam cenderung mengecualikan dirinya dari yang lain, sehingga—meskipun para warganegara saling bertentangan satu sama lain dalam sikap-sikap pribadi mereka—pertentangan-pertentangan ini dapat dibatasi dengan cara sedemikian rupa sehingga prilaku publik 
warganegara itu akan sama seakan-akan mereka tidak mempunyai sikap-sikap jahat seperti itu.....”

Selanjutnya Rawls, sebagaimana Hobbes, Locke, dan Kant, berusaha mengontruksi pikiran untuk menentukan “apa yang adil” melalui original position yakni cadar ketidaktahuan ( veil of ignorance). Manusia konkret dicabut dari atribut kultural dan sosialnya seperti perbedaan harta, ras, etnis, kelas social, pekerjaan, jabatan, agama, dsb sedemikia rupa sehingga manusia kemudian dapat menyesetujui apa yang Rawls sebut “prinsip kebebasan”. prinsip ini  berarti bahwa setiap orang harus mempunyai kebebasan yang setara dan luas. Dikatakan : “each person is to have an equal right to most extensive  total system of equal basic liberties compatible with a similar system of liberty of all”.

Tidak luput dari pertanyaan juga adalah: bagaimana mungkin suatu masyarakat terbentuk sementara kita tahu bahwa anggota masyarakat adalah individu dengan pembawaan dan watak yang berlainan dan juga memiliki kepentingan yang berlainan? Dalam konsep manusia sebagai individu dari orang-orang seperti Hobbes, Lock, Kant, dan Rawls, ternyata manusia bukanlah individu yang bebas melakukan apa saja seturut bagian dalam diri yang tidak rasional yakni diri empiris yang dikendalikan oleh nafsu, prasangka, dan emosi. Bagi mereka, manusia adalah individu rational dimana bagian diri yang rational tersebut merupakan aspek diri yang sejati dan lebih tinggi derajatnya yang mampu mengontrol bagian dari diri yang tidak rasional.

Hobbes, misalnya, kebebasan alamiah sebagai dasar chaos (the right of nature) sekaligus dasar kosmos (political order). Kebebasan self-interest ternyata berbenturan dengan self interest yang lainnya sehingga terciptalah batas-batas yang menjamin kebebasan individu.

(6) Right of nature yang pertama adalah “kebebasan yang dimiliki oleh setiap orang untuk mempergunakan kekuasaannya sendiri sekehendaknya untuk memelihara dirinya.” Sementara kebebasan didefenisikan sebagai “tiadanya segala kendala dari luar.”

Rasa takut mati sebagai akibat the right of nature menyebabkan kohesi sosial. Di sinilah akal budi membatasi kebebasan absolut.

(7) Law of nature berupa aturan umum akal budi yang bunyinya: 1) “carilah perdamaian selama ada harapan untuk itu”; 2)” bila harapan itu hilang, engkau bebas menciptakan segala sarana dan memakainya.”... 
Dalam Locke, kekuatan rationalitas terhadap kebebasan individu itu tampak dalam pemahaman bahwa manusia mempunyai hak untuk memakai dirinya tetapi tidak mempunyai hak untuk menghancurkan dirinya. Menghancurkan diri sendiri adalah suatu bentuk penyalahan terhadap kodrat manusia sebagai makluk rasional. Untuk itu Negara dalam pandangan Locke adalah menginstitusionalisasikan state of nature yang baik pada manusia demi menjamin kebebasan.

 (5) “... State of nature berarti kehidupan bersama manusia menurut akal budi mereka tanpa atasan di dunia ini dengan menjamin hak mereka. Namun kekerasan atau maksud terang-terangan untuk memakai kekerasan melawan pribadi orang lain berarti—di mana tak ada atasan yang sama di muka bumi yang dapat diacu oleh manusia—State of war.”

Sedangkan Kant, meskipun semua manusia diandaikan jahat, namun ingin hidup bersama. Lantas peraturan mana yang paling mungkin untuk mereka hidup bersama? Dalam kutipan 5 di atas, konstitusi negara dirancang sedemikian rupa sehingga mengakomodasi semua kepentingan masyarakat. Hukum hadir sebagai mekanisme pengendali sehingga makluk-makluk rasional dapat bekerja sama dan berdamai satu sama lain.
Ditegaskan pula bahwa tujuan pribadi sejauh tidak mengganggu kepentingan umum dapat diterima. Dengan kata lain, managemen kepentingan diri dapat memuaskan kepentingan diri yang lain. Di sini termuat keselarasan dasar antara asas-asas rasio dan kebebasan dasar penentuan diri: (11)” bertindaklah sedemikian rupa sehingga maksim kehendakmu setiap saat dapat berlaku sekaligus sebagai asas legislasi universal”.

Dengan demikian, jelas bahwa politik kebebasan di sini dimengerti sebagai upaya-upaya untuk memperluas ruang kebebasan negatif, yakni individu lepas dari ikatan-ikatan kelompok.

3. Kebebasan Positif ( Rousseau, Montesquieu, dan Hannah Arendt)

Kebebasan positif atau komunitarian beranggapan bahwa tidak cukup management of self interests sebagaimana dalam kebebasan negatif atau kebebasan liberalisme dan neo-liberalisme. Politik seharusnya tidak berupa dominasi manusia atas manusia lain dan bukan sekadar konservasi kebebasan negatif yang mengisolasi manusia yang satu dari manusia yang lain, melainkan suatu proses penguatan kewargaan.

Latar belakang paham seperti ini adalah bahwa modernitas kapitalistis telah membebaskan bangsa-bangsa dari ikatan-ikatan pada otoritas dan tradisi sosial, religious dan historis; individu dan kebebasannya tampil ke muka dan mengambil alih tempatnya dalam sejarah yang dulu diduduki oleh kelompok. Selain itu, orang seperti Hannah Arendt melihat bahwa kebebasan individu itu hanya terjadi dalam pikiran sementara dalam kenyataannya kita mengenal manusia sebagai laki-laki dan perempuan, orang Jawa atau orang Padang dsb.
Gagasan pokok dari kebebasan positif adalah bahwa politik merupakan organisasi diri warga, yakni berupa tindakan pemberdayaan penggalangan solidaritas dan pembukaan kanal-kanal komunikasi politis dalam suatu publik. Politik pemberdayaan bertolak dari konsep kebebasan positif yakni kemampuan individu dan kelompok dalam menentukan diri. Dalam perspektif komunitarian, keberadaan kelompok sangat penting sangat penting bagi martabat manusia dan dimensi sosial dari eksistensi manusia.

Lantas, bagaimana memahami kebebasan manusia dalam relasi antarmanusia itu? Rousseau dalam menjawabi persoalan tersebut bertolak dari state of nature sebagaimana Hobbes dan Locke. State of nature dari Rousseau adalah kolektivisme sehingga kebebasan dipahami  sebagai partisipasi politis untuk ikut serta dalam menentukan konsensus.

(13) “Melanggar kontrak yang memungkinkan adanya lembaga politis itu berarti menghancurkan diri sendiri, dan dari ketiadaan jadilah ketiadaan. Begitu orang banyak itu melebur menjadi lembaga politis itu, orang tak dapat melukai para anggotanya tanpa melukai seluruh lembaga politis itu.”

Konsensus rasional bukan akumulasi kehendak khusus melainkan berada pada titik metafisis. Artinya, kehendak umum yang disebut Rousseau adalah bahwa setiap orang sepakat dengan konsensus itu. Hal itu dikarenakan , (18) “…kehendak umum selalu berada di jalan yang benar dan bertujuan untuk kesejahteraan umum…”

Sedangkan dalam gagasan Montesqueu, seorang republikan Perancis yang sangat menekankan komunitas politis beranggapan bahwa manusia pada dasarnya adalah makluk lemah. Masyarakat terbentuk didorong oleh kebutuhan akan teman. Dengan kata lain, perdamaian adalah hal yang paling utama. Kebalikan dari Hobbes, dia mengatakan bahwa sebelum peradaban orang hidup bersama karena kebutuhan akan teman, sehingga masyarakat tidak terbentuk melalui mekanisme kontrak melainkan oleh hukum kodrat, yakni manusia selalu dalam relasi-relasi yang niscaya.

(6) “Manusia dalam keadaan alamiah lebih memakai kemampuannya untuk mengetahui daripada memakai pengetahuan aktual...Manusia seperti itu kiranya hanya merasakan kelemahan mereka saja dan sangat cemas... Manusia-manusia liar yang ditemukan orang di dalam rimba, menyerah tak berdaya; mereka gentar akan segalanya, mereka lari dari segalanya. Di dalam keadaan seperti ini setiap orang merasa tak berdaya dan paling-paling merasa sederajat. Karena itu orang kiranya tak akan saling menyerang. Perdamaian kiranya merupakan hukum kodrat yang pertama. 

Perihal kritik terhadap liberalisme itu ditegaskan pula oleh Hannah Arendt. Menurutnya, liberalisme sebenarnya terdengar tragis karena individu tercerabut dari komunitas yang merupakan dunia yang dihayati bersama dan kehilangan identitas kolektif yang memberinya rasa ketermasukan ke dalam sebuah kelompok.
“manusia-manusia modern telah kehilangan tanah air sosial dan spiritual mereka: Mereka tidak lagi merasa pasti dengan status tempat mereka dilahirkan karena goncangan-goncangan masyarakat kelas, dan dengan meningkatnya sekularisasi dunia, tiada jaminan lagi bahwa semua sekurang-kurangnya di luar  wilayah politik secular  adalah setara sebagai orang-orang Kristiani atau di hadapan Allah”

Jelas bagi Arendt, kelompok atau negara mempunyai arti penting karena menjamin hak-hak asasi manusia, termasuk di dalamnya kebebasan. bagi dia, hak-hak asasi manusia yang dibayangkan  sebagai hak-hak pra-politis sebagaimana dalam pandangan kaum liberal membutuhkan Negara untuk menjamin pelaksanaannya. Sebab yang dibutuhkan oleh individu seperti itu adalah kondisi yang memungkinkan hak-hak asasi mereka dilindungi, yakni keanggotaan ke dalam sebuah negara. Sebagai konsekuensinya, seorang individu seharusnya tidak dibiarkan sebagai individu melainkan terlebih adalah warga suatu negara. 
Singkatnya, hak dalam ikatan sebagai warga negara adalah hak untuk mendapatkan hak-hak asasi. 

4. Manakah hubungannya?

Dari dua konsep kebebasan kita sekarang memperoleh dua macam konsep kebebasan, yaitu konsep liberal tentang kebebasan yang melampui kelompok dan konsep komunitarianisme yang terkait dengan kelompok.

Pada dasarnya tidak ada pertentantangan dari dua prinsip kebebasan seperti itu. Yang kita butuhkan hanya membedakan dua hal yakni motivasi dan intuisi. Motivasi adalah dorongan batiniah untuk memperlakukan seseorang sebagai sesama manusia. Elemen motivasional ini dalam konsep komunitarian adalah ethos pelaksanaan hak-hak asasi manusia, sebab rasa kemanusiaan kita yang paling alamiah ada dalam bentuk solidaritas komuniter.

Namun dalam hal partikular, yang memotivasi rasa kemanusiaan ini sudah terkandung dalam intuisi tentang kemanusiaan universal. Intuisi adalah kemampuan rasional kita untuk menangkap gambaran kehadiran suatu keseluruhan dalam bagian-bagiannya.

Akhirnya, meskipun dua bentuk kebebasan tersebut adalah bentuk tanggapan terhadap pengalaman negatif yang dialami manusia, namun penafsiran tersebut akhirnya tidaklah berusaha meniadakan sama sekali argumen pihak lawan. Pada hakikatnya keduanya ternyata bisa didamaikan dengan mengingat yang satu bertindak di ranah intuisi sedangkan satunya lagi bekerja di level elemen motivasi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text