Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Daun Hijau

            Namaku, daun hijau. Aku bergantung pada sebuah ranting dari pohon yang terletak di pinggir jalan ke desa. Ya, tepatnya di sebuah tingkungan jalan menuju desa itu. Aku persis berada di atas jalan. Maklum dahan pohon dimana aku bergantung, menjulur ke badan jalan.

           Tidak terlalu mengganggu arus kendaraan lewat. Maklum ini adalah jalan bebatuan. Banyak yang menyebutnya sebagai jalan perintis.  Hanya kendaraan roda dua yang sering lewat, sesekali kendaraan roda empat. Bahkan yang paling sering lewat adalah pejalan kaki. Begitulah nasib sebuah desa di wilayah pegunungan seperti ini.



          Aku bangga berada di sini. Aku menemukan hakekat diriku. Pasalnya, setiap orang yang lelah berjalan, biasanya berteduh sementara di bawah kerindangan pohon ini. Ada saja mereka mengungkapkan kekagumannya. Misalnya saja mereka mengatakan, “wah segarnya udara di sini.”
Bahkan suatu ketika seorang remaja sekolahan berkata, “ daun-daun hijau inilah penghasil oksigen. Mereka menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen. Itulah alasan, mengapa udara di sini cukup sejuk”. Dia coba menceramahi temannya yang kebingungan dengan kesejukkan yang disediakan oleh sebatang pohon ini. Dari situlah Aku merasa bangga . Setidaknya karena aku menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi kehidupan manusia.

                                                                          ***

           Pagi ini aku coba merasakan sensasi keindahanku. Begitu mentari pagi bersinar, selimut embun yang mencumbuku melepas  perlahan-lahan. Saat itulah aku tampak segar, hijau, dan berkilauan. Segarnya angin pagi di lereng bukit itu pun bertiup lembut nan santun. Aku bergerak kesana-kemari penuh irama. Seolah-olah aku mendendangkan himne kepada Sang Pemilik kehidupan ini.

          Benarkah aku selalu merasa kagum dengan diriku? Ternyata pagi ini aku mulai sulit menjawabnya. Di ranting di mana aku menggantung, seekor ulat turut memanasi tubuhnya di bawah mentari pagi. Ia menatapku dengan senyuman lembut.

          “Pagi!” sapanya lembut.

          “Sedang apa kamu di situ?” aku segera menyergapnya dengan pertanyaan. Itu tanda tak ada basa-basi lagi dengan dia. Sikap ramahnya itu sudah lama tidak kusukai. “Siapa sih yang tidak tahu niatnya busuknya itu?”

           Alih-alih bersikap ramah, ia ternyata siap menjadikan aku sebagai santapan lezatnya. Sayangnya, pertanyaan itu ditanggapinya hanya dengan tertawa sinis.

          “Okelah, aku tahu, kamu tertawa dengan pertanyaanku itu. Tapi tolong jawab pertanyaanku yang satu ini. Kenapa kamu tega menghabiskan aku (kami), sedangkan kamu seenaknya berubah menjadi kepompong, lalu menjadi kupu-kupu?”

          Aku sengaja coba menantangnya. Padahal dibalik pertanyaan itu, terkandung suatu perasaan takut. Aku tahu, meskipun aku bisa memprotes, namun aku tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Aku tidak punya kaki untuk berlari dari kenyataan ini. Inikah nasib yang harus kutanggung?

         “Aku tidak tahu kenapa. Tapi inilah hukum rantai makanan yang aku percaya. Kamu selalu jadi makananku. “ ungkapnya datar. Kentara sekali ia tidak peduli dengan pertanyaanku.

“Apakah kamu berpikir, hanya kamu yang bernasib seperti itu?” tanyanya dengan serius. “Aku juga”.

                                                                         ***

           Kata-katanya membuat aku menjadi semakin gelisah. Aku malah larut dalam permenungan. Haruskah aku menerima nasibku ini? Apakah aku memang ditakdirkan hanya untuk menjadi mangsa bagi seekor ulat itu? Kenapa aku tidak “dipersenjatai” agar dapat melindungi diriku? Kenapa aku menjadi makluk terlemah, padahal aku mempunyai peran yang vital bagi manusia dan makluh hidup pada umumnya?

          Tapi, tunggu dulu. Aku harus membela diriku. “Bukankah aku harus hidup demi kelangsungan banyak makluk hidup ketimbang menyerah kepada keegoisanmu?” tanyaku pula dengan nada menggertak.

                                                                         ***

           Dia lagi-lagi diam saja. Ekpresinya makin datar. Bahkan ia seolah-olah tidak mendengar apa-apa. Aku makin penasaran. Apakah dia lagi memikirkan pertanyaanku atau dia tidak menggubris sama sekali dengan protesku itu?

          Kali ini sulit ditebak. Ia diam saja. Aku makin tak sabar. Kenapa dia tidak langsung saja makan diriku? Ini benar-benar membuatku kesal. Layaknya seekor domba dalam cengkraman harimau, aku hanya dijadikan mainan sementara waktu sambil menanti saat yang tepat untuk dimangsa.
Amarahku memang makin  meninggi, tapi itu hanya sia-sia. Aku memberanikan diri untuk berbicara lagi sekadar memecahkan keheningan ini. Kali ini dengan sedikit bersikap santun.

         “Jika kau ingin memangsaku, silakan saja! Benar katamu, aku harus menerima takdirku itu.”

         “Tidak kali ini..”

         “Kenapa?”

         “Aku ingin kau tahu, betapa buruknya dunia ini ketika kita tidak menerima nasib kita. Kalau aku tidak akan memakanmu, aku akan mati. Kau dan aku akan sama-sama mati. Menjelang kematianmu kau tidak menyaksikan kehidupan, tetapi malah kematian juga yang kau saksikan!” jelasnya dengan sedikit kesal.

        “Aku paham. Tapi tahukah kau, betapa berharganya aku bagi kehidupan manusia”

        “Siapakah manusia bagimu sehingga kau mengutamakan mereka?”

        “Mereka adalah makluk ciptaan Allah yang paling mulia.”

                                                                 ***

         Kini ia hanya tertunduk lesu. Aku malah mulai iba dengan dirinya. Lalu aku coba menawarkan, bagimana kalau ia hanya memakan sebagian dari diriku demi kelangsungan hidupnya. Mungkin dengan begitu, ia dapat bersambung nyawa menjadi kepompong, lalu menjadi kupu-kupu.
 
         Ternyata ia menyepakati tawaranku. Tidak kusangka, ia masih punya hati untuk memikirkan hidupku. Padahal sebelumnya aku berpikir, ulat ini adalah serakah. Liat saja tubuh gemuknya. Bukankah itu tandanya ia telah memangsa terlampau rakus? Aku salah. Aku terlalu percaya prasangkaku.

          Perlahan ia mulai berjalan mendekatiku. Wajahnya ramah. Senyumnya pun penuh makna. Aku merasa benar-benar merasa lega.

         “Pohon ini secepatnya ditebang siang ini!” ucapan itu sontak mengagetkan kami berdua. Kami memandang ke bawah. Ada beberapa orang mengenakan helm kuning, sedang berdiri siaga di bawah pohon sambil menatap ke arah kami. Salah seorang di antaranya sudah siap dengan mesin gergaji kayu.

          Lantas percakapan itu pun kami simak lebih lanjut.

         “Pohon ini menganggu pelebaran jalan” kata seorang yang sedang memegang sebuah kertas berukuran lebar. Barangkali dia adalah seorang arsitek.

         Tak lama berselang, bunyi mesin gergaji kayu mulai terdengar. Kami menyaksikan orang yang memegang mesin itu  mulai memotong batang pohon. Lalu aku beradu pandang dengan ulat. Ia menatapku dengan tatapan yang dalam. Wajahnya hanya melukiskan kesedihan.

         “Siapakah manusia bagimu?” dia mengulang pertanyaan itu.

*18 Juni 2012:  Ini adalah cerpen pertama semenjak saya mulai menyukai dunia cerpen. Ditulis ketika mengikuti pelatihan penulisan Cerpen yang diselenggarakan Majalah Hidup dan bekerja sama dengan Senat Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text