Pages

Ads 468x60px

Rabu, 16 Oktober 2013

Tarian Para Perawan

Sepasang kekasih duduk bersampingan di bawah terang  bulan yang pucat pada malam itu. Pria barwajah oval, dengan rambut ombak yang dibiarkan acak-acakan itu duduk laksana patung di samping gadis bermata bulat kecoklatan dengan rambut berderai yang seolah-olah menyandar pada bahu kirinya.

            “Kamu tidak boleh menuruti ayahmu! Sebaiknya kita jujur saja  sebelum bulan purnama bulan ini” ujar lelaki itu. Sorotan matanya tajam. Bola matanya mengintai setiap gerak-gerik gadis yang tertunduk lesuh itu. Nada suaranya merajuk. Disentuhnya bahu gadis itu. Diusapnya dengan lembut berkali-berkali. Gadis itu pun membalas dengan menyandarkan kepalanya pada bahu pria itu.

            “Tidak. Aku tidak bisa. Aku tidak mau ayahku dipermalukan di depan orang-orang kampung. Dan kalau sampai ayah tahu aku begini, ia akan marah besar. Semuanya bakalan berantakan. Lagi pula aku tak ingin semua orang di kampung akan kecewa.” Kegetiran tak dapat disembunyikan dari suara itu. Air mata segera membasahi pipinya yang tembem. Sejenak keduanya terdiam. Yang terdengar hanya suara gemersik dedaunan yang ditiup angin malam itu.

            “Aku minta maaf! Sebenarnya kita tidak boleh melakukan ini sebelum waktunya. Tapi ini sudah terjadi. Sejujurnya aku sayang padamu.  Dan aku tidak mau, hanya karena kesalahan kita bersama, sesuatu yang buruk hanya menimpa kamu. Kalau pun ini terjadi, kita akan menghadapinya bersama.” Suara pria itu lagi terdengar lagi. Diejanya setiap kalimat dengan pelan. Volume suaranya makin lama, makin mengecil.

            “Sudahlah! Aku tak ingin membahas itu lagi. Ingat! kamu tidak mempunyai saudara yang lain, kasian dengan orang tua kamu. Aku hanya ingin kita menghabiskan waktu bersama selama tujuh hari  ini, sebelum bulan purnama nanti”

            Lelaki itu kehabisan kata lagi. Ia kembali diam. Kepalanya menunduk.

            Malam semakin larut. Tak ada yang menyaksikan kegetiran sepasang kekasih itu pada malam itu. Tidak ada. Kecuali beberapa pohon kapuk yang meranggas karena musim kemarau yang berkepanjangan, tanaman liar yang berebutan lahan di sekitar situ, serta kelelawar yang terbang kesana- kemari mencari makan pada malam itu.

******

Sepuluh hari lagi. Tarian Shinzui (*bukan nama yang sebenarnya) akan segera dipentaskan. Ini waktu yang dinanti-nantikan warga di kampung itu.

Menurut mitos yang mereka percaya, tarian Shinzui akan mendatangkan hujan. Ini sebuah pesta besar. Namun syaratnya tidak mudah. Tarian ini harus dilakukan oleh gadis perawan pada siang hari, setelah malam bulan purnama. Harus gadis perawan yang berjumlah 12 orang. Hujan akan turun setelah tarian itu berlangsung.

“Bagaimana kalau tidak perawan?” kebanyakan anak-anak di kampung itu ketika kecil bertanya demikian kepada orangtuanya karena orang tualah yang menjadi agen sosialisasi tarian ini sejak kecil kepada anak-anaknya.

“Kalau tidak perawan, gadis itu akan sakit atau ditimpa bencana setelah tarian itu berlangsung ataupun selama tarian berlangsung. Maka gadis itu segera diungsikan ke tempat lain. Ia dibiarkan tinggal sendirian. Itu artinya, dewa mengutuknya.” Kebanyakan orang tua menjelaskan demikian.

“Apakah hujan turun setelah ia dikucilkan?” Pertanyaan itu masih menjadi misteri bagi sebagian besar warga kampung itu. Menurut cerita yang berlangsung turun-temurun, hujan akan turun jika gadis yang diketahui tidak perawan dikucilkan dari kampung. Tidak ada yang tahu pasti tentang itu.

Kejadian itu belum pernah terjadi selama generasi yang sekarang hidup. Selama ini tarian ini berlangsung baik. Setelah para perawan menari, hujan segera turun dengan sangat lebat. Bahkan berlangsung berhari-hari. Butiran hujan laksana prajurit menerjang bumi, menerobos di antara sela-sela tanah yang kering dan keras yang disebabkan kemarau yang berkepanjangan. Jika demikian, musim bertani pun segera dimulai. Perkebunan mulai dibuka. Orang tua dan anak-anak mulai menghabiskan waktu di kebun. Mereka menanam jagung, padi, ubi, sayur-sayuran, dan lain sebagainya.

Namun Tarian Shinzui bukan sekadar tarian pendatang hujan. Prestise keluarga ikut meroket saat anak gadis mereka ikut ambil bagian dalam tarian itu. Dikenal memiliki anak perawan, akan menjadi incaran. Sebab tak jarang setelah tarian berlangsung pinangan mulai berdatangan dari keluarga-keluarga mapan dari kampung itu atau pun warga dari kampung lain.

Mungkin itulah alasannya tarian ini terus dipertahankan. Bukan hanya didorong oleh motivasi kultural, tetapi juga sosial.

*******

Beberapa Minggu sebelum kedua pasangan kekasih itu bertemu pada malam itu.

Seorang ayah, ibu, dan dua orang anak perempuan duduk melingkar dalam sebuah rumah panggung. Di atas tikar yang dibentangkan, mereka duduk bersila, bercerita, dan sesekali terdengar gemuruh tertawa dari rumah itu.

“ Sinta!” Pria itu menyebut nama anaknya perempuannya paling tua. Kumisnya tebal dan lebat, kerutan dahinya kentara, kedua alisnya seperti mengait satu sama lain, dan dadanya kekar dan lebar.

Anak itu menoleh dan memusatkan pandangannnya pada ayahnya. Wajahnya terlihat tenang. Adiknya yang duduk di sampingnya ikut menatap ayahnya. Hanya ibunya yang sibuk mengunyah daun sirih, yang diambilnya dari sebuah kota berwarna keemasan. Mulutnya komat kamit menggilas ruas-ruas daun-daun itu menjadi halus.

“Ayah mau kamu ikut tarian ‘Shinzui’ tahun ini.”

“Horee.................” adiknya berteriak sambil tersenyum menyusuli ucapan ayahnya. Matanya dikedip-kedipkannya berulang-ulang kepada kakaknya.

“Mama setuju. Saatnya giliran kita. Sudah lama mama menabung untuk membeli perhiasan kamu untuk tarian itu nanti.”

Gadis itu terlihat kebingungan, namun cepat menyadari situasi. Ia diam sejenak dan membiaskan senyuman.

“Jangan-jangan umurku belum cukup untuk mengikuti tarian itu.”

“Mama dulu ikut tarian pada umur yang lebih muda dari kamu.” sergap mamanya kemudian.


            “Ayah harap, kamu menjaga kesehatan dan penampilan kamu dalam beberapa waktu ke depan!”

Setelah itu pria itu berdiri dan berjalan menuju kamar. Tidak lama setelah itu, ibunya menyusul. Lalu ia sendirian dengan adiknya berada di ruang itu. Keduanya bercakap-cakap sebentar. Lalu akhirnya adiknya mengantuk. Ia beranjak juga dari tempat itu. Tinggalah ia seorang diri.

Inilah situasi sulit yang sudah ia prediksi. Malam-malam selanjutnya berlalu dalam kegelisahan.

Malam itu ia ingin membagikan kegelisahan itu dengan kekasihnya itu.

******

Tibalah saat yang dinanti-nanti. Dua belas gadis perawan itu sudah dikarantina selama tiga hari. Mereka tidak berhubungan dengan keluarga atau orang lain selama tiga hari. Kecuali beberapa orang yang dipercayakan untuk merawat mereka.

Dalam sebuah rumah adat, mereka dirawat layaknya seorang permaisuri. Sekujur tubuh mereka dioleskan dedaunan yang membuat kulit mulus, cantik, dan terlihat menawan. Serangkaian ritual adat harus mereka lewati sebelum pementasan.

            Hari itu tanah lapang di tengah kampung yang berdebu dipadati manusia. Kombinasi bunyi alat-alat musik tradisional seperti gong, gendang, seruling, dan lain sebagainya menghasilkan irama yang enak didengar. Panas yang menyengat seakan tak dihiraukan. Para pemuda kampung itu bahkan dari kampung lain datang dengan stelan yang neces. Rambut ditata rapi, pakaiannya bersih mengkilap, dan wajah keliatan cerah dari hari-hari biasanya.

            Nada yang semakin lama, semakin cepat dan volumenya makin membesar itulah yang dinanti-nanti. Dalam kemeriahan musik itu, berdua belas gadis muncul dari sebuah rumah adat. Kecantikan mereka terlihat begitu alami. Mereka tidak memakai kosmetik ala dunia modern.

 Mereka mulai memancarkan senyum, sambil memamerkan gerakan-gerakan berirama, dengan tangan yang meliuk-liuk, melambai, dan bergoyang dengan lincahnya. Kaki mereka berlangkah ke depan, lalu sesekali ke belakang, memutar, menyerong ke samping kiri-kanan. Semuanya dilakukan dengan cepat dan kompak.
            
            Tatapan penonton mulai melongo terpikat dengan senyum yang membias dari gadis berhidung macung yang ada di barisan paling depan. Alis matanya tebal, sesekali digoyangkannya membuat ia terlihat manis dan manja. Bibir tipisnya yang melebar berwarna merah cerah dan terlihat mengkilat di bawah terik siang itu. Hidungnya mancung memanjang diapit oleh pipi tembem yang kemerah-merahan. Bola matanya yang kecoklatan seakan-akan menerjang setiap mata lelaki yang hadir di situ dan memenjarakan mereka dalam cengkraman hatinya.
           
             “Siapa gadis itu?” seorang pria mulai berbisik dengan dua orang temannya yang menonton acara itu di bawah sebuah tiang yang terpancung di tengah kampung itu, tak jauh dari tempat pementasan itu.
            
             “ Itu Sinta. Ayahnya salah satu tokoh adat di sini.” Yang lain menerangkan.
            
             “ Ia selalu melihat ke arahku sejak tadi. Sepertinya dia.....”
            
             “Aku juga merasakan hal yang sama. Ia melihat ke arahku.” temannya yang lain menyela pembicarannya.
            
              Ketiganya tertawa.
             
              “Dia pacarku.”

            Ketiganya menoleh. Seorang pria berbadan tegap dan tinggi menyipitkan matanya memandang para penari itu dan berdiri tepat di samping mereka.

            “Setahuku, tak ada gadis yang berani berpacaran sebelum mereka mengikuti tarian ini. Kau tak bisa menipu kami,hahahaha......” ucap salah seorang di antara ketiganya. Kedua temannya ikutan tertawa menyindir.

            Tak ada perdebatan lebih lama. Amarah pria itu menyala saat mendengar ketiganya tertawa.Ia  berbalik dan melayangkan tinju ke arah ketiganya dan mendarat di pelipis kiri pria yang menyindirnya tadi yang membuatnya jatuh terpelanting ke tanah. Kedua temannya membalas. Mereka melompat dan menyergap dengan pukulan dan tendangan. 

            Perkelahian berlangsung sengit. Konsentrasi massa menjadi buyar. Para penari berlari kembali ke rumah adat. Anak-anak dan para ibu-ibu berhamburan kesana-kesana kemari. Sementara beberapa lelaki dewasa coba melerai dan menenangkan situasi. Agak lama kemudian, situasi aman terkendali. 

            Tarian kembali berlangsung. Setelah tarian, kedua belas gadis itu kembali ke rumah adat.

*******

Dua jam setelah tarian berlangsung.

            Warga kampung masih memadati tanah lapang itu menanti turunnya hujan. Biasanya hanya sejam atau dua jam setelah tarian hujan akan segera turun. Kini mereka berharap-harap cemas.

            Tiga jam berlangsung hujan tak kunjung turun. Beberapa tetua adat mulai berjalan kesana-kemari. Pertemuan dadakan berlangsung di antara mereka di salah satu sudut lapangan itu. Semua mata tertuju kepada mereka.

            Salah seorang dari tetua adat itu berpaling dari kumpulan itu dan berjalan menuju rumah adat. Ia berjalan menunduk di tengah kerumunan itu. Semua mata mengawasi langkahnya. Ia masuk ke dalam rumah adat itu dan semua orang memandang pintu itu. Mereka menanti kapan ia keluar dari sana. Cukup lama ia di sana sebelum wajahnya kembali terlihat dari arah pintu itu.

            “Sintaa  hilang......” teriaknya mengagetkan semua orang yang ada di situ. Semua tampak terperanjat memandang satu sama lain.

            “Ayo kita cari dia!”

            Massa kembali berhamburan di tengah lapangan itu. Debu kembali berterbangan mengaburkan pandangan. Nama sinta menjadi buah biri siang itu. Ia dicari kemana-mana, tapi tak ditemukan. Hingga malam mereka mencarinya dan hujan tak turun-turun.

            *********

Dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun Sinta dicari. Ia tak ditemukan. Ia hilang bak ditelan ombak yang ganas tanpa meninggalkan jejak sedikitpun

Sementara hujan belum juga turun selama waktu itu. Kekeringan melanda. Kelaparan mulai menyerang warga kampung. Penyakit yang bermacam-macam tumbuh bak jambur. Kematian demi kematian terjadi. 

Konon, tak ada yang tersisa dari kampung itu kecuali “tarian perawan” yang menjadi buah bibir orang-orang yang berada di kampung lain.
           

           

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text