Pages

Ads 468x60px

Senin, 01 Desember 2014

Bersama Drijarkara Menyimak Kembali Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa


“Garuda Pancasila, Akulah pendukungmu, Patriot proklamasi, Sedia berkorban untukmu
                          Pancasila dasar negara, Rakyat adil makmur sentosa, Pribadi bangsaku, Ayo maju maju, Ayo maju maju, Ayo maju maju, ”

(Garuda Pancasila - Sudharnoto)

A. Latar Belakang Pemilihan Tema

Siapa yang tidak mengenal lagu ini? Orang Indonesia mana yang tidak hafal isi Pancasila? Sejak dididik di Sekolah Dasar para siswa wajib menghafalkannya. Pancasila pun dibacakan seminggu sekali dalam upacara bendera di sekolah. Dalam suatu kurun waktu, yaitu Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) diwajibkan dimana-mana dalam bentuk seminar-seminar maupun pendadaran, mulai dari mahasiswa sampai dengan pegawai negeri. Tanggal 1 Juni dirayakan oleh Bangsa Indonesia sebagai hari kelahiran Pancasila. Kemudian kita melihat juga di pelbagai institusi terdapat atribut yang menandakan Garuda Pancasila atau juga ada kelompok yang memakai nama Pancasila.
Hal tersebut di satu sisi  barangkali tidaklah berlebihan mengingat Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia. Namun di sisi lain orang dapat mempertanyakannya, 65 tahun telah berlalu sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, sudahkah Negeri tercinta ini sampai kepada cita-cita luhur sebagaimana dirumuskan dalam Pancasila? Apakah kelima dasar tersebut telah sungguh menjadi sendi-sendi yang menggerakan roda kehidupan Bangsa Indonesia dalam seluruh dinamika berbangsa dan bernegara? Sejarah mencatat, di  pertengahan tahun 1998, ribuan mahasiswa dari aneka perguruan tinggi berkumpul memadati halaman Dewan Perwakilan Rakyat/ Majelis Permusyawaratan Rakyat di Senayan, Jakarta, melantunkan orasi-orasi dan mendendangkan lagu-lagu yang mengungkapkan kepedihan generasi muda atas situasi bangsa pada waktu itu. Salah satu (plesetan) lagu yang dinyanyikan saat itu adalah : “Pancasila dasarnya apa? Rakyat adil makmurnya kapan? Prihatin bangsaku. Kapan maju, maju? Kapan maju, maju? Kapan maju, maju?” Sedangkan dalam lirik Garuda Pancasila tadi, tentu ada maksud di balik kata pribadi bangsaku. Kata tersebut pun menarik hati kami ketika melihat bahwa pribadi kian tidak dilihat sebagai pribadi karena pelbagai tinta hitam yang mengotori kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila sepertinya telah kehilangan wibawa. Orang sampai kepada suatu ”titik jenuh” apabila mendiskusikan soal Pancasila. Ideologi ini cenderung dipaksakan pada masa Orde Baru namun kemudian terpental pada awal reformasi dengan pembubaran Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dan penghentian penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Namun, di tengah munculnya gejala disintegrasi bangsa, konflik horizontal, radikalisme agama, dan terorisme, terasa lagi kebutuhan akan sebuah ideologi yang dapat mempersatukan bangsa serta diterima oleh semua golongan, agama, dan etnis.



Ketika kami, anggota kelompok yang memilih tokoh Drijarkara, berkumpul untuk memutuskan materi apa yang menampilkan pengaruh Drijarkara tentang keindonesiaan, ceramah-ceramah beliau tentang Pancasila seperti membangunkan sebuah tidur panjang dan membangkitkan kembali apatisme banyak orang (termasuk kami) akan pamor Pancasila yang sudah meredup itu. Maka, melalui makalah ini, kami bersama-sama hendak mencoba untuk menyimak (kembali) Pancasila bersama Drijarkara, dalam terang inspirasi pemikiran-pemikiran beliau sebagai seorang tokoh yang terlibat penuh dalam perjuangan bangsanya yaitu Indonesia.
Dalam mengupas pemikiran Drijarkara ini, kami akan menghubungkannya dengan konteks politik dan sejarah pada saat itu. Bahan penelitian kelompok kami dibatasi pada pemikiran Drijarkara sesudah tahun 1965. Drijarkara mencoba membahas Pancasila dalam sejarah nasional setelah terjadi peristiwa G30S. Dalam forum yang berjudul “Kebangkitan Angkatan 66” Drijarkara menyampaikan gagasan perlunya kembali ke Pancasila sebab ia berpandangan bahwa Pancasila sudah diselewengkan. Masa krisis sesudah G30S mengundang Drijarkara untuk mengadakan penjernihan ideologi Pancasila, khususnya atas masuknya pengaruh komunisme di Indonesia.

Sumber-sumber primer makalah ini ialah kompilasi karangan Drijarkara dalam Karya Lengkap Driyarkara  (KLD) dan secara spesifik akan mengacu pada teks-teks Drijarkara sebagai berikut:
1. Kembali ke Pancasila (KKP),
2. Pancasila dan Pedoman Hidup Sehari – Hari (PPH)
3. Pancasila sebagai Ideologi (PSI)
4. Gambaran Manusia Pancasila (GMP)
5. Serta sebuah esai berjudul Mencari Kepribadian Nasional (MKN) yang ternyata dapat ditempatkan sebagai pengantar masuk ke dalam tema Drijarkara dan Pancasila.

Kajian tulisan ini akan dibatasi pada karangan filosofis Drijarkara mengenai Pancasila dan keindonesiaan pada umumnya.

B. Latar Belakang Driyarkara


1. Riwayat Hidup dan Pendidikan

Drijarkara lahir di lereng pegungungan Menoreh, tepatnya di desa Kedunggubah, kurang lebih 8 km sebelah timur Purworejo, Kedu, Jawa Tengah pada tanggal 13 Juni 1913. Ia diberi nama Soehirman. Saat kecil, ia lebih sering dipanggil Djenthu; yang berarti kekar dan gemuk.  Baru ketika masuk novisiat SJ di Girisonta, Djenthu menamakan sendiri dirinya: Drijarkara.

Semula Drijarkara bersekolah di Volksschool dan Vervolgschool di Cangkrep. Itu semua harus ditempuhnya dengan berjalan kaki. Pada tahun 1929, Drijarkara masuk Seminari Menengah di Yogyakarta. Setelah tamat ia melanjutkan pendidikan calon imamnya dengan bergabung ke SJ. Ia menempuh dua tahun masa Novisiat (St. Stanislaus Kostka, Girisonta) kemudian satu tahun masa Yuniorat: belajar bahasa Latin, Yunani Kuno serta sejarah kebudayaan Timur dan Barat sebagai persiapan studi filsafat. Sesudah itu selama tiga tahun (1935-1941) ia belajar filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat di Yogyakarta yang waktu itu disebut Ignatius College.

Sesudah tamat studi filsafat ia menjadi guru bahasa Latin dalam program humaniora di Girisonta selama satu tahun. Ia belajar kesusateraan Barat dan Timur. Selama di Girisonta ini, dalam bulan Maret 1942 ia mengalami masa-masa penyerahan tanpa syarat pemerintahan Hindia Belanda kepada Bala Tentara Jepang. Antara tahun 1942-1943 ia belajar teologi di Xaverius College Muntilan yang akhirnya pada tahun yang sama sekolah ini akhirnya ditutup oleh Jepang.  Driyarkara sempat tinggal di beberapa waktu di Mendut dekat candi Borobudur. Dari situ, ia dipanggil ke Yogyakarta berhubung para misionaris Belanda termasuk dan dosen-dosen filsafat harus masuk interniran (tahanan kolonial). Driyarkara yang adalah seorang pribumi  harus menggantikan peran mereka sebagai dosen filsafat di Seminari Tinggi. Sementara itu, ia banyak belajar sendiri teologi sebagai persiapan untuk ditahbiskan. Ia ditahbiskan pada tanggal 6 Januari 1947 oleh Mgr. Soegijapranata SJ. Drijarkara melanjutkan kembali studi teologi pada 1947-1949 di Maastrich, Belanda. Kemudian pada 1950-1952 ia diutus untuk studi filsafat di Pontificia Università Gregoriana, Roma dengan disertasi ‘Peranan Pengertian Partisipasi dalam Pengertian Tuhan Menurut Malebranche.” Ia meninggal dunia di RS Carolus, Jakarta pada 11 Februari 1967 karena sakit dan dimakamkan di Tanah Abang, kemudian dipindahkan ke kompleks pemakaman “Getsemani” di Girisonta, Jawa Tengah. Meski meninggal pada usia yang tergolong muda, 53 tahun, ia menyumbangkan gagasan berharga bagi bangsa Indonesia dan kemanusiaan pada umumnya.

2. Riwayat Pekerjaan:

Drijarkara dikenal sebagai imam, filsuf, dosen, guru besar, pengisi pidato radio RRI, dan pejabat pemerintahan. Secara kronologis, riwayat pekerjaannya ialah:  
1955-1967 Pendiri dan rektor FKIP Sanata Dharma
1960-1967 Dosen filsafat di Universitas Indonesia, Universitas Hassanudin Makassar dan St Louis University di  Amerika Serikat
1962-1967 anggota MPRS fraksi Golongan Karya
1965-1966 angggota DPA
1969 piagam Anugerah Pendidikan, Pengabdian, dan Ilmu Pengetahuan dari Mendikbud
1999 anugerah Bintang Jasa Utama dari presiden RI, B. J. Habibie

3. Konteks

Sampai tahun 1951 nama Driyarkara tidak dikenal. Hampir seluruh waktunya dia gunakan untuk studi secara intensif. Catatan harian yang ditulisnya sejak 1 Januari 1941 sampai awal tahun1950 tidak pernah lepas dari persoalan aktual-mendesak yang dihadapi manusia, khususnya rakyat Indonesia.

Karya publik awal tulisannya tidak langsung filosofis. Karya awalnya berupa catatan ringan dalam bahasa Jawa yang dimuat majalah Praba, sebuah mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Yogyakarta. Disusul kemudian dengan Warung Podjok dengan nama samaran Pak Nala. Semula, ia hanya dikenal oleh pembaca dari golongan Katolik dan mereka yang berbahasa Jawa.

Terbitnya majalah Basis tahun 1951 dan berdirinya Sanata Dharma membuka peluang Driyarkara memperkenalkan ide-idenya ke masyarakat. Mulanya dengan nama Puruhita, kemudian dengan nama lengkap Driyarkara. Tulisannya tersebar di majalah Basis, Hidup, Intisari, Kompas, Penabur, Pusara, dan Nasional. Cara penyajiannya bergaya percakapan, setapak demi setapak membawa pembaca ke permenungan filosofis.

Dalam makalah ini, Driyarkara tampil dengan menempatkan Pancasila dalam sejarah nasional setelah terjadinya peristiwa G30S yang menurut pemerintah Orde Baru didalangi oleh PKI. Dalam forum yang bertemakan “Kebangkitan Angkatan 66’” tersebut, Driyarkara menyampaikan gagasan-gagasannya tentang perlunya “Kembali ke Pancasila”, suatu topik yang jelas memperlihatkan pandangan bahwa Pancasila sudah di selewengkan. Nantinya kita juga akan digiring kepada situasi dan deviasi aktual yang mencerminkan disorientasi kepribadian nasional.

C. Pancasila Sebagai Kepribadian Nasional dalam pemikiran Drijarkara

1. Kembali kepada Pancasila

Pancasila merumuskan realitas manusia dan alam semesta. Hal itu berarti setiap orang yang betul-betul berpikir tentang hidupnya akan menemukan Pancasila.

Pancasila sebetulnya lahir dari suatu jalan pikiran atau suatu cara berpikir. Metode berpikir ini  menempatkan objek realitas manusia dalam jalan berpikirnya. Metode yang umum dipakai adalah dialektik, yaitu pandangan yang seolah-olah berupa wawancara dan dialog.

Pandangan ini selalu melihat situasi manusia sebagai sementara, sebagai gestalt-luar (visible) dari inti yang berjalan terus. Dalam cara memandang ini kita selalu tanya tentang makna atau meaning dari realitas manusia yang berjalan terus.

Ideologi Pancasila pertama-tama berperanan merumuskan realitas. Sebetulnya bukan hanya realitas Indonesia, melainkan realitas manusia pada umumnya. Selain itu, Pancasila merumuskan keharusan kita sebagai realitas yang harus berkembang.

Pembentukan ideologi Pancasila berasal dari realitas, kemudian ideologi tersebut kembali lagi ke realitas. Artinya harus menjiwai realitas, menjiwai hidup, dan macam-macam sektornya. Ideologi yang kembali ke realitas manusia dan menjiwainya lantas  mengadakan sikap dan kesiap-siagaan. Bagi Drijarkara, ideologi mengonstruksikan makna, bukan jatuh pada pengertian saja.

Pandangan ini cukup kontradiktif dengan pandangan Marxisme Leninisme. Menurut  refleksi Marxian, realitas hanyalah materia. Karena itu, Marxisme tidak bisa melihat secara utuh situasi manusia yang konkret. Marxisme tidak pernah mampu berbicara tentang aspek rohani dari kehidupan manusia. Dengan demikian, tertutup jalan  untuk berbicara tentang keadilan dan kesatuan seluruh bangsa.

Fakta konkret lain dari Marxisme tampak dalam soal indoktrinasi. Adanya indoktrinasi menyebabkan pikiran sempit, mengurangi kemampuan dan selera berpikir secara kritis, menyebabkan berpikir secara skablon [ed. sablon] dan lama-lama menyebabkan depersonalisasi.

Cara berpikir seperti itu tidak sesuai dengan alam pikiran Pancasila, yaitu pikiran tidak boleh dikesampingkan, orang tidak boleh diajari membeo. Jika tidak, di Indonesia akan muncul ilmu baru, yaitu beologi (awas: bukan biologi). Tidak boleh doktrin dari siapa saja atau dari mana saja yang ditelan saja, tanpa kritik.

2. Kepribadian Nasional

Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang dikenal dari kepribadiannya. Orang lain akan menilai dari tindakan dan pikiran seseorang. Ada orang yang menyenangkan, tetapi ada juga yang tidak. Sejauh ini, kepribadian menjadi faktor yang menentukan baik dalam masyarakat maupun dalam lingkungan kerja/ organisasi.  Kepribadian dimaknai sebagai ‘sebuah organisasi dinamis di dalam sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan pikirannya (G. Allport)’. Orang dikenali dari kepribadiannya. Orang yang tidak memiliki kepribadian yang matang atau sehat seringkali berdampak negatif bagi orang lain.
Apakah yang dimaksud dengan kepribadian nasional itu? Drijarkara berangkat dari pengertian bahwa manusia itu pribadi. Sebagai pribadi, manusia harus mempribadikan diri sehingga menjadi kepribadian. Pemribadian itu dijalankan bersama-sama dengan manusia. Dengan dan dalam berada bersama dan mempribadi bersama itulah, manusia membangun kesatuan yang disebut bangsa. Driyarkara amat yakin bahwa Pancasila merupakan corak terpokok kepribadian Indonesia. Pancasila tidak boleh dikurangi dan menjadi sekadar semboyan kosong.

Drijarkara merupakan pengajar filsafat manusia. Pertanyaan khas filsafat manusia adalah ‘siapakah manusia?’ Idea of man menjadi titik pangkal Drijarkara menerangkan mengenai Pancasila. Siapakah manusia (Indonesia) menurut Driyarkara? Ia menegaskan bahwa manusia berasal dari Tuhan. Karena berasal dari Tuhan, maka manusia sekalipun tidak sempurna merupakan cerminan dari Tuhan. Tiap buatan, bagaimanapun juga tentu mencerminkan pembuatnya. Di situlah letak keluhuran manusia. Di situlah juga letak kesamaan derajatnya. Jika kita mengakui human rights, maka hal itu bukan untuk ikut serta dalam dunia intenasional. Kita memiliki dasar sendiri yaitu manusia Pancasila. Sementara, eksistensi manusia bagi Drijarkara ada pada cara berada manusia yang didasarkan pada berada-bersama. Gagasan-gagasan ini akan mewarnai dan memengaruhi pemikirannya mengenai Pancasila sebagai kepribadian nasional.

3. Gambaran Kepribadian Manusia Pancasila: Humanis, Religius, Sosialis

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang gambaran manusia yang dituntut oleh Pancasila, baiklah kita ketahui terlebih dahulu beberapa gambaran tentang manusia. Pertama, gambaran physis (physiologis), memperlihatkan suatu tipe manusia. Kedua, gambaran  psikologis. Ketiga, gambaran fundamental, gambaran yang mencantumkan corak-corak manusia yang esensial. Gambaran ini bisa disebut idea of man atau image of man. Gambaran fundamental inilah yang akan kita bahas selanjutnya.

Tiap ideologi (dan pemikiran politik) membawa gambaran manusia sendiri. Thomas Hobbes menunjukkan bahwa manusia itu saling berkompetisi, ibarat serigala satu sama lain (homo homini lupus). Macchiavelli menunjukkan bahwa manusia memiliki nafsu berkuasa, penipu, maka perlu bermain sebagai binatang buas, seperti rubah dan singa. Gambaran manusia yang dituntut oleh Pancasila menjalankan bahwa manusia itu merupakan kesatuan dengan dunia material, tetapi juga dengan manusia sesama; dan akhirnya manusia Pancasila itu berhubungan dengan Tuhan penciptanya. Dengan ini tampak bahwa manusia itu adalah relasi atau berelasi vertikal ke Tuhan dan horisontal ke sesama manusia dan dunia.

Homo Homini Socius adalah tema besar yang diangkat Driyarkara. Manusia adalah titik sentral dalam pemikirannya. Memanusiakan manusia dan manusia sebagai subjek selalu mewarnai pemikirannya. Manusia harus memanusiakan diri secara aktif. Orang Indonesia harus mengindonesiakan diri. Hanya dengan demikianlah muncul sifat-sifat nasional. Namun muncul pertanyaan berkaitan dengan fakta historis bahwa masyarakat Nusantara ini telah mengalami persilangan kebudayaan dengan kebudayaan asing: Apakah kepribadian nasional itu hanya serta merta melibatkan potensi bangsa itu belaka? Driyarkara meyakini bahwa kebudayaan asing memiliki arti dalam menyumbangkan unsur-unsur pembangunan manusia. Drijarkara merujuk kepada Gandhi dan Nehru di India yang dididik di Inggris dan belajar paham Asing. Andaikata mereka tidak menerima ide-ide luar (Lombard: pembaratan), mungkinkah mereka dapat menjadi tokoh yang besar? Baik untuk pembangunan bangsa maupun pribadi, pengaruh kebudayaan luar adalah syarat mutlak. Menolak kebudayaan luar berarti matinya kebudayaan nasional.

Bagaimanakah Pancasila dapat dikatakan sebagai gambaran kepribadian nasional? Dalam karangannya Gambaran Manusia Pancasila, Drijarkara secara singkat memberikan petunjuk bahwa gambaran manusia yang dituntut oleh Pancasila ialah bahwa manusia itu kesatuan dengan dunia material, tetapi juga dengan sesama manusia, dan akhirnya manusia Pancasila itu berhubungan dengan Tuhan penciptanya. Pada pernyataan ini, Drijarkara menyampaikan sebuah gagasan image of man atau idea of man, bukan sebagai suatu pernyataan final atau baku. Sebab, ia ingin menghindari interpretasi kata ‘gambaran’ sebagai yang hanya direduksi pada gambaran fisis dan psikologis. Inilah struktur fundamental manusia, sebab mencantumkan corak-corak manusia yang esensial.

Identitas manusia Indonesia ialah komples dan multipleks. Kebangsaan Indonesia bukanlah monolit. Ada bermacam suku dengan aneka ragam rupa dan warna. Kebangsaan itulah yang dijadikan dasar negara. Tentu saja semua itu harus menuju kesatuan, tetapihal ini tidak berarti hilangnya kebhinekaan. Drijarkara ingin membela kebhinekaan dengan menunjukkan bahwa gerakan Gestapu PKI dan NII Kartosuwiryo adalah mentalitas primitif. Sebab segalanya harus disatukan dan diseragamkan. Driyarkara sampai kepada pernyataan bahwa Indonesia tidak boleh disetrikasamaratakan oleh suatu golongan atau partai.  
Kalau Soekarno mengajukan gotong royong sebagai eka-sila, Drijarkara mengajukan Ketuhanan sebagai eka-sila. Sikap Pancasila yang diuraikan oleh Dijarkara disimpulkannya sebagai humanisme yang bersifat religius dan sosialis. (coba dicek lagi ini pernyataan dari halaman berapa? Apa penjelasannya?)
Humanisme berarti pandangan / pendirian yang melihat dan mengakui bahwa manusia itu dalah makhluk yang mempunyai struktur sendiri dalam dunia ini dan karenanya harus menuju ke status dan cara hidup yang sesuai dengan struktur itu. Humanisme menuntut penyempurnaan manusia dalam hidupnya, dalam kondisi-kondisinya sehingga ia dapat berkembang, artinya : berkebudayaan, menikmati hidup secara layak, merasakan bahagia secukupnya, menikmati keindahan dan kesenian, hidup dan bergerak dengan merdeka.

Humanisme juga menuntut struktur masyarakat (dan juga ekonomi) yang sedemikian rupa sehingga di dalamnya tidak timbul macam-macam struktur yang menyebabkan manusia satu dijadikan alat oleh yang lain. (struktur dalam Marx oleh Drijarkara dinilai sebagai in-human). Humanisme memandang manusia, hendak meng-humanisasi-kan manusia, hendak memperkembangkan manusia menurut kodratnya.  Intinya bahwa struktur-struktur masyarakat tidak boleh menjadikan manusia sebagai alat bagi kepentingan manusia lain.
Ia menolak humanisme yang ateistis. Humanisme bisa bersifat a-religius : tanpa keagamaan, soal-soal Ketuhanan di dalamnya ditolak. Humanisme Pancasila meskipun bersifat religius karena berdasarkan pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa, namun tidak boleh dan tidak akan bersifat fanatik. Humanisme Pancasila harus punya pandangan yang mendalam mengenai manusia sehingga dia bisa menerima adanya Bhinneka Tunggal Ika dalam alam Pancasila, juga mengenai soal Ketuhanan Yang Maha Esa. Di sinilah gambaran kepribadian nasional hendak ditunjukkan. Jika sudah ditunjukkan arahnya, maka yang diminta selanjutnya oleh Drijarkara ialah realisasinya. Realisasinya dijalankan dalam subjek - subjek yang menegara. Meaning atau arti (makna) berguna untuk mempertahankan, memperkembangkan, dan menyempurnakan human existence agar lebih konkret; pribadi (human person) yang mengada-bersama. Kepribadian nasional ini hanya bermakna jika diwujudkan dalam lingkungan ada-nya hidupnya, in der welt sein. Jika insan Indonesia saing kait berkait mempribadikan diri sesuai dengan Pancasila, di sanalah kepribadian nasional terbentuk dan menjadi suatu cermin identitas yang sungguh bermakna.

D. Tinjauan Kritis dan Penutup

1. Saripati dan Hubungan Filsafat Drijarkara dalam Lombard

- Meski dididik secara Barat dan di Barat, namun ia tidak melakukan pembaratan, namun justru membangun dan mengintroduksi keindonesiaan pada zamannya. Lombard menyebutkan bahwa Drijarkara adalah seorang pemikir terkemuka komunitas Katolik dan pakar terbaik dalam bidang suluk atau puisi mistis Jawa. Melalui tulisan-tulisannya ia banyak menyumbangkan penyusunan konsep sinkretik Pancasila dan atas penerimaan ideologi itu. Majalah Basis dinilai dapat menggemakan sikap rukun itu, terutama dengan memberikan perhatian besar kepada segala bentuk dan perwujudan kebudayaan Jawa tradisional. Kehebatan Drijarkara ialah memperlakukan filsafat bukan sebagai ‘Isi Pemikiran Barat’, ‘produk impor Barat’, melainkan ‘universalitas nilainya’ sehingga ia dapat menemukan nilai – nilai tersebut dalam khazanah bangsa sendiri. Kita melihat bahwa Drijarkara mampu membebaskan dikotomi Barat-Timur yang menuai perdebatan dan wacana panas pemikir pada masa itu.

Drijarkara memberikan petunjuk bahwa sudah lebih dari 2000 tahun lalu sudah ada kelompok-kelompok yang menurunkan suku-suku yang akan menjadi bangsa Indonesia. Namun, bukan berarti 2000 tahun yang lalu sudah ada bangsa Indonesia, dalam arti kesatuan ekonomi, sosial, dan politik. Drijarkara tidak berani mengatakan bahwa apakah kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit menyatukan Indonesia sehingga menjadi keseluruhan yang berupa Negara nasional atau kebangsaan. Bagi Drijarkara, tidak mungkin dikatakan bahwa negara kita ini merupakan kelanjutan dari Sriwijaya atau Majapahit. Manusia mempribadi dan membangun kesatuan dalam hidup bersama. Corak kita mengada di dunia ialah dalam berada-bersama. Manusia baru dapat mengalami dirinya jika Aku berhadapan dengan Engkau. Mereka membangun  bangunan, istitusi, lembaga dan menentukan cara hidupnya. Adanya kesatuan darah / ras dan geografis itu penting, tetapi bukan satu-satunya faktor. Kesatuan negara Indonesia terwujud karena adanya aktivitas manusia yang membangun, bukan karena faktor-faktor di atas. Aktivitas membangun artinya pembangunan kepribadian dan kebangsaan tidaklah boleh mandeg.

- Drijarkara adalah seorang imam Katolik. Peran Gereja Katolik dalam keindonesiaan amat penting dalam usaha pendidikan. Lombard menyebut majalah Basis (1952), yakni majalah yang didirikan oleh para imam misionaris di Yogyakarta sebagai majalah kebudayaan yang penting dan bermutu. Drijarkara adalah salah seorang perintis dan penyumbang tulisan tetapnya. Pendidikan intensif yang diterima Drijarkara berlangsung sejak tahun 1929 di seminari menengah sampai tahun 1952 pada program doktoralnya sebagian besar adalah pendidikan imamat. Persiapan imamat artinya diproyeksikan untuk pemimpin agama Katolik. Namun, jika melihat tulisan dan kiprah Drijarkara, maka akan terlihat bahwa ia tidak mengekslusifkan diri melulu pada kepentingan Gereja Katolik. Dengan meyakini bahwa filsafat manusia, dan khususnya paham homo homini socius, merupakan jalan masuk untuk mengambalikan manusia ke arah yang lebih manusiawi. Dengan metode filsafat yang dikembangkan Malebranche, persoalan kemanusiaan ditempatkan dalam situasi bersama masyarakatnya. Driyarkara lewat perenungan kehidupan bangsa-negara Indonesia terlibat dalam jatuh-bangunnya menjadi Indonesia. Dalam hal ini ia mewakili wajah / profil orang Katolik Indonesia yang inklusif – pluralis, serta terlibat kritis dalam keindonesiaan.

2. Kesimpulan dan Relevansi

- Drijarkara berperan sebagai dosen filsafat dan agamawan. Selain itu, pada masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Soeharto, Drijarkara berperanan sebagai salah satu Tim Ideologi. Ia sering memberikan seminar bersama Prof. Dr. Slamet Imam Santoso dan  Prof. Dr. Fuad Hassan.  Di bawah kepemimpinan Soekarno, muncul banyak program nation and character building. Tulisan-tulisan Drijarkara juga dibuat sebagai ‘pesanan’ pemerintah. Hubungan Drijarkara dan Soekarno mencerminkan hubungan yang senantiasa pelik antara seorang intelektual dan penguasa. Dalam tulisan-tulisan ini, kita melihat bagaimana Drijarkara menafsirkan sendiri pelbagai isu yang diangkat oleh Soekarno. Yang jelas, Drijarkara berusaha untuk tidak terseret ke dalam ranah ideologis, melainkan menarik isu-isu ideologis ke dalam ranah filosofis. Secara praksis, ia pun berani menolak pengangkatannya sebagai anggota DPA(S) yang baru (1966), sebab selama menjadi anggota DPA(1965), ia tidak pernah dimintai nasihat. Ia pun menunjukkan sikap oposisinya terhadap komunisme Marxisme. Pancasila bagi Drijarkara tidak dapat dipertemukan dengan ideologi komunis. Sementara, dalam praktik pemerintahan tampak tendensi untuk bekerjasama dengan blok tertentu. Terhadap ide Nasakom, Drijarkara berkomentar bahwa Pancasila mengandung pengakuan Tuhan, sedangkan Kom mengingkarinya.  Nasakom merupakan deviasi terhadap Pancasila. Membangun kepribadian bangsa berdasarkan Pancasila bermakna membangun manusia utuh yang memiliki nilai-nilai universal humanis, religius, dan sosialis.

- Tulisan Drijarkara masih relevan untuk masa sekarang ini. Indonesia sampai saat ini masih didera oleh aneka tindakan separatisme dan fundamentalisme. Tindakan separatisme dan fundamentalisme agama, sebagaimana tercermin dalam perang antar suku, terorisme, penyerangan tempat ibadah,  terlalu menekankan diri pada salah satu elemen / dimensi manusia saja; entah itu identitas etnik ataupun keyakinan religius. Pancasila sebagai kepribadian nasional mengajak manusia untuk tidak hanya memiliki satu dimensi, entah itu materi, aspek rohaninya saja. Pesan dan nilai universal dari Pancasila seperti humanisme, religiositas, sosialitas, termasuk pandangan Drijarkara bahwa manusia itu makhluk yang membudaya mengajak manusia semakin menjadi manusiawi dan dengan demikian menjauhkan diri dari sikap anarkis yang belakangan ini ditimbulkan oleh gerakan fundamentalisme. Negara Pancasila bukan negara teokrasi, bukan organisasi yang melaksanakan agama. Maka, sila ketuhanan misalnya tidak boleh direduksi dan diselewengkan menjadi cara melaksanakan ibadat. Pribadi manusia yang menganut ketuhanan tidak menyerang orang beragama lain, sebab ada kodrat ilahi dalam pribadi manusia. Berkaitan dengan sila kemanusiaan, manusia tidak boleh dijadikan sebagai obyek, terutama dalam bidang ekonomi, kita diminta untuk tidak melihat orang lain hanya sebagai alat penghasil suatu produk, tetapi melihatnya sebagai person, sebagai subyek (yang lain). Maka, setiap pemilik faktor produksi diminta memperlakukan tenaga kerjanya sebagai subyek atau sebagai rekan kerja. Ia adalah pribadi sesama (socius),  mewakili image of God, dan  yang mengada bersama dalam sosialitas. Melalui Pancasila, Drijarkara mengajak manusia memandang dimensinya secara  utuh/ tidak secara parsial, serta menjauhi dehumanisasi.

Jika kepribadian manusia lengkap, maka ia tidak terjerumuskan ke dalam tindakan yang melawan kodrat manusia. Pancasila merupakan kepribadian yang membantu manusia semakin menjadi manusiawi. Keapaan manusia Indonesia tergantung dari perbuatannya. Seruan dari Drijarkara sekali lagi ialah: kita harus mengindonesiakan diri kita!

E. Kepustakaan:
Danuwinata (ed.),  Kumpulan Surat Romo Drijarkara, SJ, Jakarta:  Pusat Pengkajian Filsafat dan Pancasila, 2010
Danuwinata, F., Drijarkara: Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, Jakarta: STF Driyarkara, 2006
Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid I,  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Mudji Sutrisno, Driyarkara: Dialog Panjang Bersama Penulis, Jakarta: Obor, 2000.
Mudji Sutrisno, Drijarkara: Filsuf yang Mengubah Indonesia, Yogyakarta: Galang Press, 2006.
SEMA-STF Driyarkara, Bunga Rampai Mengenang Prof. Dr. N. Driyarkara SJ dan Pemikiran Filosofisnya, Jakarta: 1988.
Sudiarja dkk. (ed.), Karya Lengkap Driyarkara: Esai- Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006
www.driyarkara.ac.id, diakses 14 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text