Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Bukan sekadar Beragama Katolik

Dalam salah satu artikel berjudul “Paus Fransiskus: Saya Percaya Tuhan, tetapi Bukan Tuhan Katolik”, yang dimuat Kompas.com, Selasa (8/10), terdapat kutipan pernyataan Paus: “Saya percaya akan Tuhan, tetapi bukan (kepada) Tuhan Katolik. Tuhan bukan Katolik. Tuhan adalah universal dan kita adalah umat Katolik karena cara kita memuja Dia.”


Paus menyampaikan hal itu dalam sebuah wawancara dengan pendiri dan mantan editor harian terbitan Italia La Repubblica, Eugenio Scalfari.

Sekalipun beberapa media menyebut pernyataan itu ‘amat mencengangkan’, namun bagi seorang Bapak dari sebuah paroki di Jakarta yang saya temui beberapa hari lalu, pernyataan itu justeru sesuatu yang memperdalam imannya.

Bapak itu menganggap, pernyataan Paus hendak menarik garis pisah antara “ber-AGAMA Katolik” dan “ber-IMAN Katolik”.

“Kita tidak sekadar beragama, tetapi juga — dan paling penting — beriman Katolik,” katanya.
Kesimpulan demikian ia tarik dari pengalaman konkret, saat menghadapi kenyataan sulitnya mendapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja mereka.

Bapak ini, yang menjadi salah satu anggota dewan paroki tersebut, menganggap kelompok Islam sebagai biang di balik hal ini, di samping pemerintah yang ia nilai diskriminatif.

Hal ini membuat persepsinya terhadap Islam sangat negatif. Pada saat berkumpul dengan anggota dewan lain, mereka menjelek-jelekan agama yang didirikan Nabi Muhammad SAW itu, sembari membangga-bangkkan ke-Katolik-an, terutama karena organisasi Gereja yang rapi, hierarki yang solid dan teratur, tata liturgi yang meriah hingga kekayaan simbol dalam Gereja.

Menurutnya, hal demikian memberi manfaat: kejengkelan terhadap kesulitan pembangunan gereja seperti terobati.

Rupanya kebanggaan itu tidak terbatas di antara mereka. Saat di rumah, ia menularkan kebanggaan sebagai orang ber-AGAMA Katolik itu kepada istri dan anak semata wayangnya yang duduk di kelas II SD. Namun, bagi anaknya itu tidak sedemikian ditekankannya, mengingat ia masih kecil untuk berdiskusi topik semacam itu.

Dampak dari hal ini: relasi sosial dengan warga sekitar menjadi renggang. Ia tak lagi bertegur sapa dengan tetangganya yang mayoritas Muslim, hal yang sebelumnya kerap ia lakukan.
Namun, suatu siang, ia digugat oleh sebuah pengalaman  yang kemudian membalikkan cara berpikirnya.

Ia dan istrinya sedang duduk berdampingan menonton berita di salah satu ruang dalam rumahnya, ketika siang itu anaknya berjalan lalu lalang. Sesekali ia masuk ke dalam kamar. Tidak lama kemudian, ia keluar lagi dengan membawa tas sekolah.

“Saya mau ke rumah Ririn. Kami mau belajar bersama. Tapi saya ingin membelikan sesuatu untuknya. Ia berulang tahun hari ini,” ujar anak itu, ketika ditanya ayahnya.
Jawaban itu membuatnya tersentak.

Ririn adalah anak dari tetangganya yang beragama Islam. Sejak hari itu diperhatikannya kelakuan anaknya itu bersama Ririn. Ternyata setiap hari mereka bermain bersama. Keduanya bersepeda mengelilingi kompleks perumahan itu, kadang belajar bersama, bahkan beberapa kali anaknya makan di rumah Ririn.

Kejadian itu menyadarkannya bagaimana seharusnya beriman Katolik. Anaknya memberikan contoh menghayati ke-Katolik-an secara benar, yaitu mencintai sesama tanpa dibatasi oleh label tertentu.
Pengalaman kesulitan mendapatkan IMB, bagi bapak ini, tidak serta-merta menjadi penghambat untuk membangun relasi dengan umat Muslim.

“Selama ini saya hanya beragama Katolik, tetapi belum mengimani ajaran Katolik tentang cinta kasih secara mendalam,” akunya kemudian.

Pengalaman bapak itu mengingatkan saya pada tulisan almarhum Romo Mangunwijaya dalam buku Gereja Diaspora. Romo Mangun menegaskan hal itu dengan membedakan secara tajam antara ber-AGAMA Katolik dan ber-IMAN, ber-CINTA KASIH, ber-PENGHARAPAN Kristiani.
Seorang yang ber-IMAN Kristiani, menurutnya, adalah orang-orang yang terpikat kepada pribadi Yesus Kristus, melakukan praktik keagamaan tidak dimotivasi oleh aspek-aspek lahiriah keagamaan, tetapi didorong oleh sesuatu yang lebih mendalam yang diperoleh dari hubungan dengan Kristus sendiri.

Pandangan demikian jugalah yang mengoreksi strategi misi dalam Gereja Katolik. Misi sebelum Konsili Vatikan II  misalnya, amat menekankan peningkatan kuantitas umat beragama Kristiani. Label lebih dipentingkan. Umat dibaptis secara paksa. Jika tidak mau, kekerasan—bahkan senjata—bermain. Di sini yang dipentingkan ber-AGAMA Katolik.

Kualitas iman dari strategi misi demikianpun amat rapuh. Hal itu terlihat di Indonesia sebelum tahun 1900-an. Peningkatan jumlah umat beragama Katolik berjalan lambat, bahkan dikatakan gagal. Parahnya lagi, orang yang sudah dibaptis dengan mudah beralih ke agama dan aliran kepercayaan lain ketika bangsa lain mulai menjelajah Nusantara.

Menurut Romo Mangun, strategi misi yang baik seharusnya mengantar orang kepada pengenalan Yesus Kristus secara mendalam. Strategi misi demikian ditunjukkan oleh gaya keberimanan Santa Theresia Kanak-Kanak Yesus. Santa Theresia kecil yang melambangkan sisi iman yang tidak kelihatan di mata dunia, yang dilaksanakan di dalam dan oleh pengerjaan tugas-tugas kecil sehari-hari, namun dengan intensitas cinta kasih Kristiani yang amat dalam semurni anak kecil. Yang paling menonjol adalah bahwa orang sekecil apapun bahkan anak kecil bisa berkarya misi.
Cara beriman demikian telah diterjemahkan Romo Van Lith dalam strategi misinya di Tanah Jawa. Ia hanyalah seorang minoritas di tengah umat saat itu. Ia sendiri sebagai orang Katolik dan berkulit “putih”.

Namun, ia menampakkan cara hidup yang telah terhipnotis oleh kehidupan Kristus sendiri. Ia dikenal sederhana, dekat dengan masyarakat setempat, dan membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat di sana dengan merintis pendidikan bagi anak-anak, remaja, guru-guru muda, dan baru orang tua. Kesaksian hidup seperti inilah yang menjadi cikal bakal “pertumbuhan yang spektakuler” umat Katolik di Nusantara.

Kesaksian hidup sebagai seorang yang ber-IMAN, ber-CINTA KASIH, dan ber-PENGHARAPAN Kristiani adalah hal yang paling utama sebagai seorang ber-AGAMA Katolik di tengah krisis pelbagai dimensi kehidupan saat ini. Inilah misi yang harus kita emban.
Dari bagi bapak tadi, hal yang bisa dipertik: kesulitan mendapatkan IMB gereja tidak seharusnya menghalangi kita untuk menunjukkan keteladanan sebagai orang yang terpikat dengan keteladanan kasih Kristus sendiri.

“Siapa tahu, melihat kesaksian iman kita suatu saat mereka akan berbaik hati juga.” katanya berharap.

Tulisan ini pernah diterbitkan oleh ucanews Indonesia 17/10/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text