Malam ini tak seperti biasanya.
Lebih gelap. Cahaya lampu tanam pun seakan lebih redup. Tak ada kendaraan yang
melintasi jalan di dekat rumah. Sepi. Biasanya ramai, kadang macet sesekalli terjadi.
Malam ini, hanya rintik-rintik air hujan
terdengar, menghujam seng-seng rumah tanpa henti.
Pura-pura mesrah,,,,ahhaha |
“Orang yang bahagia itu menarik. Dan
laki-laki yang bahagia itu punya daya tarik tersendiri bagi wanita. Begitu juga
sebaliknya.” ucapan ayahnya kembali menggema dalam batinnya. Tak konsentrasi
lagi ia membaca bukunya. Meja belajarnya tampak berantakkan. Beberapa buku tersusun
tak teratur. Kertas berserakkan di atas
meja. Beberapa ballpoint terpencar letaknya.
“Makanya jadilah laki-laki
bahagia dahulu sebelum mendekati wanita, jangan menjadikan wanita sebagai
sumber kebahagiaan.” Ayahnya benar. Galau terjadi ketika menjadikan sesuatu di
luar diri kita sebagai sumber kebahagiaan. Ia melongo. Menatap dinding kamarnya,
hampa.
Ia merasakan sendiri kata-kata
itu. Saking sayangnya dengan pacarnya, sekali dilepas dan dicuekin seperti
sekarang, rasanya ia seperti manusia yang paling menderita di dunia. Harapan
hilang. Semangat belajar jadi kendor. Untunglah sudah mendengar nasehat
ayahnya.
Sekarang
ia seolah bisa bangkit dari keterpurukannya. Meski berbicara tentang
kebahagiaan itu rumit.Satu hal yang jelas sejauh ini. Jangan letakkan sumber
kebahagiaan di luar dirinya.
“crinnnnnngngng......”
Bel pintu rumah berdering. Dia beraksi cepat. Lari ke arah pintu depan. Orang
tuanya sudah pulang. Sambil tersenyum, ayahnya menyodorkan sebuah kotak yang
dibungkus plastik besar. Wajahnya bersinar. “terima kasih pa!” ucapnya sambil
berlari ke dalam kamar.
Dirobeknya
kardus itu. Hampir saja ia menjerit. Sebuah sepatu bermerek ada di dalamnya.
Sudah lama ia menginginkannya. Lagi, Ia keluar kamar menemui orang tuanya.
“Pa,
esok saya ke sekolah. Terima kasih untuk sepatunya!”
“Kami
mengerti kenapa kamu mau bolos hari ini.” Ibunya berujar lembut. Dia tersenyum
malu. Lalu kembali ke kamar dan ingin lekas tidur. Matanya belum sempat
tertutup ketika satu rahasia lagi sudah terkuak: Kebahagiaan sepertinya
bertolak dari rasa puas. Keinginan
terpenuhi.
***
Kesimpulannya
benar. Memakai sepatu berharga mahal membuat percaya diri. Rasanya benar-benar
puas. Apalagi dipuji dan selalu ditanyai teman-temannya di kelas. Tapi hanya
sesaat. Setelah dua minggu berikutnya, tidak lagi. Tak ada lagi kenikmatan
memakai sepatu itu. Perasaan kembali seperti biasa layaknya ketika ia memakai
sepatu-sepatu yang lain.
“Keren sekali sepatumu ?” Giliran
ibunya memuji. Tapi ia diam. Wajahnya datar. Senyum pun tak terlintas. Sudah
bosan dengar pujian tentang sepatu itu.
“Kamu kenapa?” Ibunya peka.
“Tidak kenapa-kenapa. Oia, malam
itu bapa-mama kemana?” Ia seperti mau mengalihkan. Ibunya menyelidiki bola
matanya sejenak.
“Mama dan papa mengunjungi teman
lama papa di rumah sakit. Sudah agak lama dia sakit. Waktu kami datang, dia
sangat senang sekali. Tersenyum lebar dan bercerita banyak. Keluarganya ada di
sana. Berada di samping dia. Sebelum pulang, berulang-ulang dia ucapkan terima
kasih.”
“Keadaannya bagaimana sekarang?”
“Sudah agak membaik. Tapi biaya
rumah sakit lumayan mahal. Makanya ketika pulang kami singgah di ATM. Papamu
transfer uang untuk membantu mereka. Sepertinya banyak. Sekalian aja malam itu,
aku membujuk papamu untuk membeli sepatu. Jangan hanya menolong orang. Iya kan?”
Ia diam. Dalam hati mulai merasa
kagum dengan ayahnya. Setia kawan dan murah hati.
“Hey! Sudah pulang?” Ayahnya datang
dari arah belakang. Menatapnya teliti. Kepala sampai kaki.
“iya, Pa.”
“Kenapa lihat papa begitu?”
“Dia kagum dengan kamu?” jawabnya
ibunya sambil tersenyum. Perasaannya terbaca. Namun saat itu ia sebenarnya
bukan saja karena mengagumi ayahnya. Sebuah pengertian tentang kebahagiaan
kembali datang menghinggapinya.
Ternyata perasaan kepuasaan itu
terbedakan. Kepuasaan karena keinginan kita terpenuhi itu berbeda dari
kepuasaan karena kita berterima kasih apa yang sudah kita terima. Sepatu
barunya memang membuat dia senang. Tapi akhirnya dia jenuh juga. Tak bertahan
lama.
Tapi teman ayahnya yang sakit,
sepertinya memperoleh kepuasan yang lain. Bersyukur dengan apa yang dia telah
terima. Terpuaskan karena cinta dari keluarganya dan teman-temannya. Tak
terkatakan, kecuali ekspresi senangnya yang dibaca oleh ibunya.
Ternyata, orang sakit belum tentu
menderita. Belum tentu tidak bahagia. Orang kaya yang berpakaian trendy,
bersepatu mahal, mengenakan arloji merk ternama, belum tentu bahagia. Bisa saja
mereka menderita dan tak menemukan perasaan kepuasaan yang bertahan lama.
“Papa tidak olahraga hari ini?” Ia
mengalihkan topik. Kebetulan ayahnya juga sering berolahraga tiap sore. Jogging
hampir tiap sore dan kadang bermain badminton bersama teman-temannya.
“Ini lagi siap-siap mau jogging.
Kamu mau ikut?”
Ia mengangguk. Berlari ke kamar,
mengenakan pakaian olahraganya. Keduanya sudah siap.
“Nanti aku siapkan sesuatu yang
spesial buat kalian berdua.” ibunya berpesan.
Keduanya mulai berlari keluar
rumah. Mula-mula melewati kompleks perumahan, lalu melintasi arah pertokoan.
Dan kini malah sampai ke pasar.
“Hey! kamu lihat dia?” ujarnya
ayahnya.
Keduanya berhenti. Bola matanya
menggeliat mengikuti arah telunjuk ayahnya. Di sana seolah lelaki tua berpakaian
kumal duduk tenang. Kedua tanganya tidak ada. Kakinya juga diamputasi. Ia duduk
di atas sebuah papan beroda. Di depannya terdapat sebuah mangkuk. Matanya
menatap nanar tiap orang lewat. Mengharapkan belas kasihan mereka. Ada yang
lewat begitu saja seolah tak peduli. Ada yang memberikannya uang.
Keduanya mendekat. Ayahnya
membungkuk. Menaruh uang dalam kotaknya.
“Terima kasih pak! ujar pengemis
itu.
“Sama-sama” jawab ayahnya
singkat.
Keduanya melewatinya. Perasaannya
mulai berkecamuk. Merasa iba dan tak sanggup menebak seberapa besar penderitaan
yang dialami orang itu tanpa kedua tangan dan kakinya.
“Pa, kasian sekali orang itu.” Ia
mulai membuka percakapan.
“Iya.”
“Bersyukur sekali kita yang masih
mempunyai tangan dan kaki.”katanya lagi sambil menatap kedua tangan dan
kakinya. Baru pertama kalinya ia merasakan pentingnya tangan dan kakinya dalam
hidup.
“Makanya kalau bawa motor harus
lebih hati-hati, awas seperti itu.” ujar ayahnya. Dugaan ayahnya, pengemis itu
pernah mengalami kecelakaan makanya diamputasi seperti itu.
Lalu mereka pun terus berlari
melewati pasar. Kembali ke arah perumahan mengikuti jalur lain. Baru saja tiba pintu rumah, aroma kue bakar
sudah menjemput mereka. Keduanya menyerbu masuk pintu.
“Istriku sayang, apa yang kamu
siapkan?” Suara ayahnya memecah kesunyian dalam rumah itu.
“Oh kamu sudah pulang?”
“Iya.”
“Ini ada jus dan kue bakar. Kamu
jogging ke arah mana?”
“Keliling kompleks perumahan, ke
arah pertokoan, dan terus melintasi pasar. Lalu kembali ke sini lewat jalur
belakang.”
“Tadi kamu sempat lihat rumah
baru di sudut sana?”
“Iya.”
“Bagus kan?”
“Bagus.” Keduanya menjawab
serentak.
“Yeah, sepertinya waktu kita
bangun rumah ini, kita terlalu terburu-buru. Coba kita hubungi arsitek yang
sama. Murah!”
“Mama tahu darimana?”
“Kemarin mama jalan-jalan ke arah
sana. Mama bertemu dengan pemilik rumahnya. Bercakap-cakap sebentar. Mereka cerita
dengan mama. Eh biaya tak terlalu mahal. Hanya beda tipis dengan rumah kita
yang ini.”
“Sudahlah. Tidak usah
membanding-bandingkan begitu.” ujar ayah sambil mengunyah kue.
“Eh..main makan aja!” protes
ibunya. “Doa dulu!”
Ayahnya malu-malu. Sudah
terlanjur mengunyah sebagian. Terpaksa
harus memimpin doa.
“Hmph, doa yang kurang menarik.
Masa hanya bilang terima kasih, tidak ada permohonan sama sekali!” lagi-lagi
ibunya protes.
“Doa ‘kan sebenarnya hanya soal
terima kasih. Bukan permohonan.” dengan santai ayahnya merespon.
“Hanya soal terima kasih?”
“Benar. Kalau kita sudah terima
kasih untuk semua hal yang kita terima, tanpa diminta atau dimohonkan, hal-hal
baik yang belum kita terima akan datang sendiri.”
“Kok bisa begitu pa?” Ia seakan
protes. Ibunya terlihat cuek.
“Hahahha..aku juga tidak tahu
bagaimana membuat ini dimengerti secara akal sehat. Tapi aku selalu percaya
kalau kita mengucapkan terima kasih untuk semua hal yang kita alami, entah baik
atau buruk, itu seperti melihat segala sesuatunya dalam cara berpikir positif. Itu mekanisme
pikiran positif. “
“Lalu apa hubungannya dengan
hal-hal baik di luar diri kita?”tanyanya dengan penuh penasaran.
“Kalau kamu punya pikiran
positif, dirimu akan positif, dan hal-hal positif akan datang dan terjadi
dengan kamu. Karena hukumnya, yang sama mengenal yang sama. Yang positif akan
menarik hal-hal positif di luar kamu untuk terjadi dalam hidup kamu. Kalau kamu
berpikir, kamu selalu sial karena selalu ditolak sama cewe, kamu akan mengalami
itu terus. Berkali-kali kamu akan ditolak. Beda kalau kamu berpikir, saat kamu
ditolak, kamu berpikir bahwa penolakan itu hanya jalan untuk mendapatkan yang
lebih baik. Dan sepahit apapun pengalaman itu, selalu berusaha melihat celah
positifnya sekecil apapun dan mensyukurinya. Makanya ayah tidak percaya yang
namanya kebetulan.”
“Kenapa?” kini giliran ibunya
yang penasaran.
“karena keberuntungan, misalnya menang undian, itu bukan kebetulan, tapi hal
itu datang ke kamu karena kamu punya energi positif untuk menerimanya.
Kelihatannya aja kebetulan.”
“Ajaran sesat darimana sih?”
ibunya mulai mengomel sambil tertawa. Ayahnya ikutan tertawa. Ia tahu, istrinya
pura-pura tidak percaya. Maklum, istrinya itu seringkali berpura-pura tidak
mengakui. Jaga gengsi.
“Kalau gitu aku mandi dulu.” ujar
ayahnya.
“pa lanjut dulu teorinya.haha”
“Mama kamu udah tidak percaya, gimana mau lanjut. Orang paling dipercaya di dunia sudah tidak percaya duluan.”
jawab ayahnya.
“hahhaha...jangan begitulah pa.
Lanjut dulu! Mama please percaya sama suami tercinta!”
“Bagaimana mau dipercaya, bapamu
suka main kata-kata dari dulu. Saya selalu jadi korbannya bahkan sampai
sekarang.“
“Hanya kata-kata yang membuat dia
takluk dan tentunya karena aura positifku. Karena aku sudah merasa sebagai
laki-laki yang bahagia sebelum mulai berkenalan sama mama kamu. Apapun yang dia
lakukan, karena moodnya yang terombang-ambing itu, tak membuatku galau berat.
Hanya sedikit..hahaha...” ayahnya membalas sambil menjauh dari kamar makan.
Takut berdebat lebih lama. Sementara ibunya tertawa cekekan seolah tak bisa
menjawab apa-apa lagi.
****
Malam sebelum tidur. Ia coba
mengurai semua pengalamannya seharian itu. Mendeteksi dimana letak sendi-sendi
kebahagiaan dalam hidupnya.
Ia sadar kebahagiaan jangan
diletakkan di luar diri. Pada benda-benda, pada harta kekayaan atau pada orang
yang kita cintai karena kecantikannya, kegantengannya, dan lain sebagainya. Apa
yang berada di luar itu mudah berubah.Sekali mereka berubah, berubahlah juga
perasaan kita. Ada rasa tidak puas. Jika demikian,sulitlah mencapai
kebahagiaan.
Dan perasaaan puas atau tidak
ternyata berangkat dari kebiasaan suka membanding-bandingkan. Manusia memang
suka membanding-bandingkan, pikirnya. Ketika melihat pengemis yang di jalan, ia
merasa bersyukur. Namun setelah melihat rumah yang cukup mewah, ibunya merasa
ada yang kurang. Ia sempat terpengaruh apa yang dirasakan ibunya.
Baginya, itu artinya ada dua jalan pemuasan batin. Satu, memenuhi
apa yang belum dimiliki atau memenuhi apa yang diinginkan. Kedua, mensyukuri
apa yang sudah dimiliki. Yang pertama sudah dialaminya dan mempunyai kelemahan.
Pikirnya, andaikan ayahnya
mempunyai uang dan membangun rumah yang diinginkan ibunya, pasti rasa puasnya
hanya pada awal-awal saja. Sama halnya ketika ia memakai sepatu baru.
Ia sepakat dengan ayahnya.
Bersyukur tiap saat. Pikiran harus positif. Mensyukuri semua yang dimiliki. Ini
memang tidak mudah. Tapi itu jalan satu-satunya jika ingin merasa puas dengan hidup. Ia jadi teringat lagi dengan
teman ayahnya yang sakit.
Lalu pikirannya mendarat pada
bayangan tentang gadis yang berhidung mancung, berpipi tembem, berbibir tipis
dengan senyum yang selalu menggoncang suasana batinnya. Sudah dua minggu lebih
mereka tak berkomunikasi lagi. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Apalagi
tanpa alasan dan sebab yang jelas.
Kini saatnya ia ingin merangkai
kembali keping-keping yang hancur itu.
Menyusunnya kembali hingga utuh.
***
Tiba-tiba ia bangun dari tempat
tidurnya. Mengatupkan kedua tangannya. Berdoa.
“Aku bersyukur ya Tuhan karena
engkau pernah menganugerahkan dia dalam hidupku. Bahwa sekarang dia hilang
begitu saja aku sudah paham. Ada orang yang Kau hadirkan dalam hidupku, hanya
untuk mengantarku sampai pada pengertian tertentu tentang hidup. Ketika aku
sudah sampai pada pengertian itu, Engkau membuatnya hilang tiba-tiba dari
hidupku. Aku percaya, Engkau melakukan itu karena Engkau sudah menyiapkan
sesuatu yang lebih besar lagi. Aku mensyukuri semua yang terjadi sekarang.
Amin”
Dia berbaring lagi. Senyumnya
lebar. Tiba-tiba tempat tidurnya terasa bergetar. Ia memeriksa sebentar.
Diperhatikannya handphone yang diletakkan di samping bantal. Ada sebuah pesan
masuk.
“Sayang, kamu sudah tidur?” tulis
pesan itu. Ia tersenyum lebar. HP itu diletakkannya lagi. Ia berbaring dan
tertidur lelap.
(Nantikan selanjutnya: bagaimana seorang yang mulai berpikiran positif menanggapi kenyataan hidupnya dan kisah-kisah selanjutnya: sambil menunggu inspirasi dari orang-orang hahha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar