Namaku, daun hijau. Aku bergantung pada sebuah ranting dari pohon
yang terletak di pinggir jalan ke desa. Ya, tepatnya di sebuah
tingkungan jalan menuju desa itu. Aku persis berada di atas jalan.
Maklum dahan pohon dimana aku bergantung, menjulur ke badan jalan.
Tidak
terlalu mengganggu arus kendaraan lewat. Maklum ini adalah jalan
bebatuan. Banyak yang menyebutnya sebagai jalan perintis. Hanya
kendaraan roda dua yang sering lewat, sesekali kendaraan roda empat.
Bahkan yang paling sering lewat adalah pejalan kaki. Begitulah nasib
sebuah desa di wilayah pegunungan seperti ini.
Aku bangga berada
di sini. Aku menemukan hakekat diriku. Pasalnya, setiap orang yang lelah
berjalan, biasanya berteduh sementara di bawah kerindangan pohon ini.
Ada saja mereka mengungkapkan kekagumannya. Misalnya saja mereka
mengatakan, “wah segarnya udara di sini.”
Bahkan suatu ketika
seorang remaja sekolahan berkata, “ daun-daun hijau inilah penghasil
oksigen. Mereka menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen. Itulah
alasan, mengapa udara di sini cukup sejuk”. Dia coba menceramahi
temannya yang kebingungan dengan kesejukkan yang disediakan oleh
sebatang pohon ini. Dari situlah Aku merasa bangga . Setidaknya karena
aku menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi kehidupan manusia.
***
Pagi
ini aku coba merasakan sensasi keindahanku. Begitu mentari pagi
bersinar, selimut embun yang mencumbuku melepas perlahan-lahan. Saat
itulah aku tampak segar, hijau, dan berkilauan. Segarnya angin pagi di
lereng bukit itu pun bertiup lembut nan santun. Aku bergerak
kesana-kemari penuh irama. Seolah-olah aku mendendangkan himne kepada
Sang Pemilik kehidupan ini.
Benarkah aku selalu merasa kagum
dengan diriku? Ternyata pagi ini aku mulai sulit menjawabnya. Di ranting
di mana aku menggantung, seekor ulat turut memanasi tubuhnya di bawah
mentari pagi. Ia menatapku dengan senyuman lembut.
“Pagi!” sapanya lembut.
“Sedang
apa kamu di situ?” aku segera menyergapnya dengan pertanyaan. Itu tanda
tak ada basa-basi lagi dengan dia. Sikap ramahnya itu sudah lama tidak
kusukai. “Siapa sih yang tidak tahu niatnya busuknya itu?”
Alih-alih
bersikap ramah, ia ternyata siap menjadikan aku sebagai santapan
lezatnya. Sayangnya, pertanyaan itu ditanggapinya hanya dengan tertawa
sinis.
“Okelah, aku tahu, kamu tertawa dengan pertanyaanku itu.
Tapi tolong jawab pertanyaanku yang satu ini. Kenapa kamu tega
menghabiskan aku (kami), sedangkan kamu seenaknya berubah menjadi
kepompong, lalu menjadi kupu-kupu?”
Aku sengaja coba menantangnya.
Padahal dibalik pertanyaan itu, terkandung suatu perasaan takut. Aku
tahu, meskipun aku bisa memprotes, namun aku tidak memiliki kekuatan
untuk melawan. Aku tidak punya kaki untuk berlari dari kenyataan ini.
Inikah nasib yang harus kutanggung?
“Aku tidak tahu kenapa. Tapi
inilah hukum rantai makanan yang aku percaya. Kamu selalu jadi
makananku. “ ungkapnya datar. Kentara sekali ia tidak peduli dengan
pertanyaanku.
“Apakah kamu berpikir, hanya kamu yang bernasib seperti itu?” tanyanya dengan serius. “Aku juga”.
***
Kata-katanya
membuat aku menjadi semakin gelisah. Aku malah larut dalam permenungan.
Haruskah aku menerima nasibku ini? Apakah aku memang ditakdirkan hanya
untuk menjadi mangsa bagi seekor ulat itu? Kenapa aku tidak
“dipersenjatai” agar dapat melindungi diriku? Kenapa aku menjadi makluk
terlemah, padahal aku mempunyai peran yang vital bagi manusia dan makluh
hidup pada umumnya?
Tapi, tunggu dulu. Aku harus membela diriku.
“Bukankah aku harus hidup demi kelangsungan banyak makluk hidup
ketimbang menyerah kepada keegoisanmu?” tanyaku pula dengan nada
menggertak.
***
Dia lagi-lagi diam saja. Ekpresinya makin
datar. Bahkan ia seolah-olah tidak mendengar apa-apa. Aku makin
penasaran. Apakah dia lagi memikirkan pertanyaanku atau dia tidak
menggubris sama sekali dengan protesku itu?
Kali ini sulit
ditebak. Ia diam saja. Aku makin tak sabar. Kenapa dia tidak langsung
saja makan diriku? Ini benar-benar membuatku kesal. Layaknya seekor
domba dalam cengkraman harimau, aku hanya dijadikan mainan sementara
waktu sambil menanti saat yang tepat untuk dimangsa.
Amarahku
memang makin meninggi, tapi itu hanya sia-sia. Aku memberanikan diri
untuk berbicara lagi sekadar memecahkan keheningan ini. Kali ini dengan
sedikit bersikap santun.
“Jika kau ingin memangsaku, silakan saja! Benar katamu, aku harus menerima takdirku itu.”
“Tidak kali ini..”
“Kenapa?”
“Aku
ingin kau tahu, betapa buruknya dunia ini ketika kita tidak menerima
nasib kita. Kalau aku tidak akan memakanmu, aku akan mati. Kau dan aku
akan sama-sama mati. Menjelang kematianmu kau tidak menyaksikan
kehidupan, tetapi malah kematian juga yang kau saksikan!” jelasnya
dengan sedikit kesal.
“Aku paham. Tapi tahukah kau, betapa berharganya aku bagi kehidupan manusia”
“Siapakah manusia bagimu sehingga kau mengutamakan mereka?”
“Mereka adalah makluk ciptaan Allah yang paling mulia.”
***
Kini
ia hanya tertunduk lesu. Aku malah mulai iba dengan dirinya. Lalu aku
coba menawarkan, bagimana kalau ia hanya memakan sebagian dari diriku
demi kelangsungan hidupnya. Mungkin dengan begitu, ia dapat bersambung
nyawa menjadi kepompong, lalu menjadi kupu-kupu.
Ternyata ia
menyepakati tawaranku. Tidak kusangka, ia masih punya hati untuk
memikirkan hidupku. Padahal sebelumnya aku berpikir, ulat ini adalah
serakah. Liat saja tubuh gemuknya. Bukankah itu tandanya ia telah
memangsa terlampau rakus? Aku salah. Aku terlalu percaya prasangkaku.
Perlahan ia mulai berjalan mendekatiku. Wajahnya ramah. Senyumnya pun penuh makna. Aku merasa benar-benar merasa lega.
“Pohon
ini secepatnya ditebang siang ini!” ucapan itu sontak mengagetkan kami
berdua. Kami memandang ke bawah. Ada beberapa orang mengenakan helm
kuning, sedang berdiri siaga di bawah pohon sambil menatap ke arah kami.
Salah seorang di antaranya sudah siap dengan mesin gergaji kayu.
Lantas percakapan itu pun kami simak lebih lanjut.
“Pohon
ini menganggu pelebaran jalan” kata seorang yang sedang memegang sebuah
kertas berukuran lebar. Barangkali dia adalah seorang arsitek.
Tak
lama berselang, bunyi mesin gergaji kayu mulai terdengar. Kami
menyaksikan orang yang memegang mesin itu mulai memotong batang pohon.
Lalu aku beradu pandang dengan ulat. Ia menatapku dengan tatapan yang
dalam. Wajahnya hanya melukiskan kesedihan.
“Siapakah manusia bagimu?” dia mengulang pertanyaan itu.
*18 Juni 2012: Ini adalah cerpen pertama semenjak saya mulai menyukai dunia cerpen. Ditulis ketika mengikuti pelatihan penulisan Cerpen yang diselenggarakan Majalah Hidup dan bekerja sama dengan Senat Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta.
Rahmat
-
Dua malaikat sedang melakukan perjalanan. Ketika malam tiba, mereka
berhenti dan bermaksud menginap di sebuah rumah milik keluarga kaya. Keluarga
itu s...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar