Dalam salah satu artikel berjudul “Paus Fransiskus: Saya Percaya Tuhan,
tetapi Bukan Tuhan Katolik” yang
dimuat Kompas.com, Selasa (8/10),
terdapat kutipan pernyataan Paus: "Saya percaya akan Tuhan, tetapi bukan
(kepada) Tuhan Katolik. Tuhan
bukan Katolik. Tuhan adalah universal dan kita adalah umat Katolik karena cara
kita memuja Dia."
Paus menyampaikan hal itu
dalam sebuah wawancara dengan pendiri dan mantan editor harian terbitan Italia La Repubblica,
Eugenio Scalfari.
Sekalipun beberapa media menyebut
pernyataan itu ‘amat mencengangkan’, namun bagi seorang Bapak dari
sebuah paroki di Jakarta yang saya temui beberapa hari lalu, pernyataan itu justeru
sesuatu yang memperdalam
imannya.
Bapak itu
menganggap, pernyataan
Paus hendak menarik garis pisah antara “ber-AGAMA Katolik”
dan “ber-IMAN Katolik”.
“Kita
tidak sekadar beragama,
tetapi juga — dan paling penting — beriman Katolik,” katanya.
Kesimpulan
demikian ia tarik dari pengalaman konkret, saat menghadapi kenyataan sulitnya
mendapat Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) Gereja mereka.
Bapak ini,
yang menjadi salah satu anggota dewan paroki tersebut menganggap kelompok Islam
sebagai biang di balik hal ini, di samping pemerintah yang ia nilai diskriminatif.
Hal ini
membuat persepsinya terhadap Islam sangat negatif. Pada saat berkumpul dengan
anggota dewan yang lain, mereka menjelek-jelekan agama yang didirikan Nabi
Muhammad SAW itu, sembari membangga-bangkkan kekatolikan, terutama karena organisasi Gereja yang rapi, hierarki
yang solid dan teratur, tata liturgi yang meriah hingga kekayaan simbol dalam
gereja.
Menurutnya, hal
demikian memberi manfaat: kejengkelan terhadap kesulitan pembangunan Gereja seperti terobati.
Rupanya
kebanggaan itu tidak terbatas di antara mereka. Saat di rumah,
ia menularkan kebanggaan
sebagai orang ber-AGAMA Katolik itu kepada istri dan anak semata wayangnya yang
duduk di kelas II SD.
Namun, bagi anaknya itu tidak sedemikian ditekankannya, mengingat ia masih kecil untuk berdiskusi
topik semacam itu.
Dampak dari
hal ini: relasi sosial dengan warga sekitar menjadi renggang. Ia tak lagi
bertegur sapa dengan tetangganya yang mayoritas Muslim, hal yang sebelumnya
kerap ia lakukan.
Namun, suatu
siang, ia digugat oleh sebuah pengalaman yang kemudian membalikkan cara berpikirnya.
Ia dan istrinya sedang
duduk berdampingan
menonton berita di salah
satu ruang dalam rumahnya, ketika siang itu anaknya berjalan lalu lalang. Sesekali ia masuk ke dalam
kamar. Tidak lama kemudian,
ia keluar lagi dengan membawa tas sekolah.
“Saya
mau ke rumah Ririn. Kami mau belajar bersama. Tapi saya ingin membelikan
sesuatu untuknya. Dia berulang tahun hari ini.” ujar anak itu,
ketika ditanya ayahnya. Jawaban itu membuatnya tersentak.
Ririn
adalah anak dari tetangganya yang beragama Muslim. Sejak hari itu diperhatikannya
kelakuan anaknya itu bersama Ririn. Ternyata setiap hari mereka bermain bersama. Keduanya bersepeda mengelilingi
kompleks perumahan itu, kadang
belajar bersama, bahkan beberapa kali anaknya makan di rumah Ririn.
Kejadian
itu menyadarkannya bagaimana seharusnya beriman Katolik. Anaknya memberikan
contoh menghayati kekatolikan secara benar, yaitu mencintai sesamanya tanpa dibatasi
oleh label tertentu.
Pengalaman
kesulitan mendapatkan IMB, bagi bapak ini, tidak serta-merta menjadi penghambat
untuk membangun relasi dengan umat Muslim.
“Selama ini saya hanya beragama katolik,
tetapi belum mengimani ajaran katolik tentang cinta kasih secara mendalam,” akunya kemudian.
Pengalaman
bapak itu mengingatkan saya pada tulisan almarhum Romo Mangunwijaya dalam buku Gereja Diaspora. Romo Mangun menegaskan
hal itu dengan membedakan secara tajam antara ber-AGAMA katolik dan ber-IMAN,
ber-CINTA KASIH, ber-PENGHARAPAN Kristiani.
Seorang
yang ber-IMAN kristiani, menurutnya,
adalah orang-orang yang terpikat kepada pribadi Yesus Kristus, melakukan praktik keagamaan tidak
dimotivasi oleh aspek-aspek lahiriah keagamaan, tetapi didorong oleh sesuatu yang lebih
mendalam yang diperoleh dari hubungan dengan Kristus sendiri.
Pandangan
demikian jugalah yang
mengoreksi strategi misi dalam Gereja Katolik. Misi sebelum konsili Vatikan
II misalnya, amat menekankan peningkatan
kuantitas umat beragama Kristiani. Label lebih dipentingkan. Umat dibaptis
secara paksa. Jika tidak mau, kekerasan—bahkan senjata—bermain. Di sini yang
dipentingkan ber-AGAMA katolik.
Kualitas
iman dari strategi misi demikianpun amat rapuh. Hal itu terlihat di Indonesia
sebelum tahun 1900-an. Peningkatan jumlah umat beragama katolik berjalan
lambat, bahkan dikatakan gagal. Parahnya lagi, orang yang sudah dibaptis dengan
mudah beralih ke agama dan aliran kepercayaan lain ketika bangsa lain mulai
menjelajah Nusantara.
Menurut Romo
Mangun, strategi misi yang baik seharusnya mengantar orang kepada pengenalan
Yesus Kristus secara mendalam. Strategi misi demikian ditunjukkan oleh gaya
keberimanan Santa Theresia Kanak-Kanak Yesus. Santa Theresia kecil yang
melambangkan sisi iman yang tidak kelihatan di mata dunia, yang dilaksanakan di
dalam dan oleh pengerjaan tugas-tugas kecil sehari-hari, namun dengan
intensitas cinta kasih Kristiani yang amat dalam semurni anak kecil. Yang
paling menonjol adalah bahwa orang sekecil apapun bahkan anak kecil bisa
berkarya misi.
Cara
beriman demikian telah diterjemahkan Romo Van Lith dalam strategi misinya di
Tanah Jawa. Ia hanyalah seorang minoritas di tengah umat saat itu. Ia sendiri
sebagai orang katolik dan berkulit “putih”.
Namun,
ia menampakkan cara hidup yang telah terhipnotis oleh kehidupan Kristus
sendiri. Ia dikenal sederhana, dekat dengan masyarakat setempat, dan membawa
perubahan bagi kehidupan masyarakat di sana dengan merintis pendidikan bagi
anak-anak, remaja, guru-guru muda, dan baru orang tua. Kesaksian hidup seperti
inilah yang menjadi cikal bakal “pertumbuhan yang spektakuler” umat katolik di
Nusantara.
Kesaksian
hidup sebagai seorang yang ber-IMAN, ber-CINTA KASIH, dan ber-PENGHARAPAN
Kristiani adalah hal yang paling utama sebagai seorang ber-AGAMA katolik di tengah
krisis pelbagai dimensi kehidupan saat ini. Inilah
misi yang harus kita emban.
Dari bagi bapak tadi, hal
yang bisa dipetik: kesulitan
mendapatkan izin pembangunan Gereja tidak seharusnya menghalangi kita untuk
menunjukkan keteladanan sebagai orang yang terpikat dengan keteladanan kasih
Kristus sendiri.
“Siapa
tahu, melihat kesaksian iman kita suatu saat mereka akan berbaik hati juga.”
harapnya.
Dalam
pemahaman demikian, saya semakin mengamini
kesimpulan Bapak tadi terhadap pernyataan Paus. Katanya, “Paus ingin kita hidup
sebagai orang yang beriman katolik, bukan sekadar beragama Katolik. Itulah misi
kita sekarang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar