Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Segelas Kopi

Berawaldari mbah google, kusadari bahwa semua orang ingin mengetahui siapa dirinya. Saat kutulis “ramal”, aku kemudian diantar ke dunia indo-spiritual.com.Di sana data diriku kumasukkan, klik enter, sesaat kemudian semua tentang diriku muncul.Mulai dari sifat, asmara, bahkan nasib pada tahun tertentu dipaparkan. Dan hasilnya, hampir semuanya benar.

Lalu aku beralih ke facebook. Sedere tLampu hijau menyala di ruang ngobrol online. Aku tidak tergoda langsung bergabung. Kusiapkan segelas kopi,kutaruh asbak di samping laptop, kubakar sebatang rokok. Itulah ritual awalku saat ingin nongkrong di dunia maya. Lalu aku mulai bergabung.


“hai!”sapaku pada beberapa orang.

“hai”mereka membalasnya. “Jg” jawab yang lain. Terkesan menghemat kata, tetapi begitulah dunia maya. Kekuatan kata-kata seolah-olah mewakili kualitas diri.Contohnya, ketika hanya menjawab “jg”, saya selalu berpikir, orangnya pendiam,serius, dan selalu sibuk. Padahal, terlalu klise kalau hanya menyimpulkan dari kata-kata itu.

“Mau diramal?” aku mulai memberikan tawaran. “Mau!!!” Tak ada yang menolak. Bagiku ini mirip sebuah drama. Untuk terkesan menarik, maka harus ada tarik-ulur penawaran.

“Ada syaratnya?” ujarku mulai mendramatisir situasi.

“Apa?”

“berikan nama depan dan tanggal lahir.” Tak perlu waktu lama, sederet nama khas orang kristiani muncul pada layar laptop. Ada Ignasius,Vinsensius, Elisabet,Margareta, Maria, Ursula, dan seterusnya. Begitu juga tanggal lahir mereka.Lalu kumasukkan nama-nama dan angka kelahiran itu pada indo-spiritual.com.Hanya dengan klik enter, semua tentang mereka muncul.

Aku memberitahukan mereka, tapi tentunya dengan teknik. Kusampaikan sedikit demi sedikit. Bak kehausan yang hanya dipuaskan seteguk air, mereka tampak emosional.

“Terus?”

“Asmara bagaimana?”

“Bagaimana rejekiku tahun ini?”

Aku tersenyum, sekaligus bingung, mengapa mereka mudah diperdayai. Tidakkah mereka tahu, internet adalah segala-galanya pada zaman ini. Namun, aku tetap mau meladeni mereka. Ketika ada hal yang mulai menyentuh hati mereka, dimulailah tahap curhat. Mereka mulai mengutarakan isi hatinya.

Daripengalaman itu, aku paham bahwa tidak semua orang membiarkan hidupnya misterius.

***

Pada suatu kesempatan, aku terkena perangkap yang sama. Kuingat, saat itu siang hari berangsur lenyap. Kegelapan melebarkan sayapnya menutupi jagat. Pun semilir angin malam melilitkan tubuhku dengan rasa dingin yang menusuk hingga tulang.

“Kamu masih bimbang di jalan hidup ini.” kata seorang wanita tua yang duduk didepanku. Matanya tak lepas meneliti sebuah gelas yang dilumuri ampas kopi dihampir semua sisinya. Ia benar. Aku mengiyakannya. Tak kusangka gelap kopi yang kuminum tadi bak mikroskop yang dapat membongkar semua  apa isi hatiku.

Ya, memang semua ini berawal dari seorang teman. Ia mengajakku ke rumahnya. Segelas kopi dan kue tacupiang disiapkannya pada sore itu. Berbincang-bincang santai, tertawa ringan, sembari menghabiskan kopi dan tacupiang adalah semacam menikmati sedikit aroma surgawi ala dunia.

“Mamaku bisa menerawang tentang kamu lewat ampas kopi di gelas minuman itu” temanku itu mulai menjeratku dengan rasa penasaran. Aku berada di antara rasa percaya dan tidak. Tapi kemudian aku mengiyakannya. Lalu gelas itu kusodorkan. Ia membalikannya.Ampas kopi yang berada pada “pantat” gelas mulai bergerak perlahan-lahan ke arah permukaan gelas. Tak berapa lama kemudian, ibunya mengambil gelas itu,memonitor semua sisinya, dan mulailah permainan ini.

Keraguanku mulai sirna. Pasalnya, wanita tua itu mengetahui semua tentang keluargaku.Padahal sebelumnya aku tidak pernah memberitahukannya. Bukan hanya itu, semua pengalaman termasuk masalah asmara dan rencana-rencanaku diketahuinya. Akumulai menimpalinya dengan beberapa pertanyaan untuk mengetahui lebih jauh.

“Kamu jangan takut. Jalan hidup kamu terbuka lebar. Rejeki tidak jauh. ” Aku tersenyum sambil mengepulkan asap rokok dari cerobong hidungku ketika mendengar perkataan itu.

Saat itu aku merasa indo-spiritual.comkalah telak. Soal masa depan seolah-olah kuketahui sebagian kecilnya. Ada koneksi yang kuat antara apa yang kupercayai tentang masa depan dengan apa yang dikatakan wanita itu. Saat itulah aku menertawakan diriku.

***

Segudang pertanyaan mulai menyesaki kepalaku. Apakah ramalannya benar tentang masa depanku? Apakah masa depan dapat diketahui dengan cara seperti itu? Siapakah dia sehingga bisa mengetahui masa depanku?

Namun ramalan yang bersifat positif membuatku antusias dan optimis. Di lain pihak,aku masih merasa tak percaya. Bagiku, ini hanyalah sebuah sugesti. Ketika aku terus memikirkannya, maka aku akan mengalaminya dalam kenyataan. Kekuatan pikiranlah yang dapat merealisasikan semua apa yang terjadi tentang masa depan itu.

Tapi semuanya tak semudah itu. Hariku-hariku seperti diliputi pergulatan antara rasa percaya dan tidak. Pada suatu kesempatan, aku boleh menyakininya. Di lain kesempatan, aku tidak percaya. Namun yang jelas, kali ini internet dikalahkan oleh segelas kopi.
***

Sampailah pada suatu pagi. Terik mentari pagi itu seperti memanggang kulitku saat aku berjalan melintasi trotoar depan gereja katedral “lama” Ruteng. Suasana pagi itu cukup lengang. Namun aku tak tertarik pada keadaan sekitar. Sudah biasa aku melewati tempat itu. Tak ada lagi yang menarik perhatianku.

Lagi-lagi aku hanya bergulat dengan pikiranku. Lagi-lagi antara rasa percaya dan tidak.Sejurus kemudian, aku menyeberangi jalan. “prakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk” bunyi tabrakan yang sempat kudengar. Dunia terasa gelap. Aku tak sadarkan diri.

Aku tak tahu, entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Namun ketika aku sadar, aku berhadapan dengan suasana yang berbeda. Aku berada sebuah lorong gelap dan sepi. Tak ada orang lain di sana, kecuali diriku sendiri. Tak ada jalan lain,kecuali harus melintasi lorong gelap itu. Lalu aku mulai bergerak perlahan. Diujung lorong gelap itu ada seberkas cahaya. Ketika aku berjalan semakin mendekat, berkas cahaya itu kian membesar.

Sulit dijelaskan, entah bagaimana sehingga semua keadaan di depanku berubah seketika.Aku tiba-tiba berada pada sebuah singgasana. Tepat di depanku ada sebuah tangga panjang yang dilapisi emas sehingga memantulkan cahaya kemilauan. Aku menaikinya perlahan-lahan. Pada ujung tangga itu aku melihat pintu berukuran besar, berwarna silver, dihiasi dengan pelbagai ukiran. Aku merasa terpesona.

Belum hilang rasa kagumku, tiba-tiba seseorang membukakan pintu itu. Aku merasa takut. Ia mengenakan pakaian putih seperti seorang imam. Ia sudah kelihatan tua,berambut panjang yang berwarna putih, serta memiliki janggut berwarna putihyang panjang. Senyumnya membuat ketakutanku sirna. Aku dipersilakannya masuk.Lalu aku membuntutinya sampai pada sebuah ruangan. Pada bagian atas pintu masuk ruangan itu tertulis, “Saint Peter”. Aku mulai paham siapa orang itu.
***

“Tolong informasikan nama dan tempat tanggal lahir kamu?” tanyanya ramah.

“Gregorius Afioma. Lahir 7 Mei 1989.” jawabku sambil tersenyum. Ia kemudian mengetik namaku. Kuperhatikan namaku muncul pada layar monitor berukuran besar yangterletak di depan kami berdua. Tak ada satu barang apapun di atas mejanya,kecuali segelas kopi yang hampir sebagiannya sudah diminum.  Aku langsung teringat pada indo-spiritual.com. dan segelas kopi dirumah temanku.

“Ini bukan untuk meramal kamu” katanya seolah-olah ia mengetahui apa yang ada dalam pikirkanku.

“Lalu untuk apa?” tanyaku penasaran.

“sekarang kamu tak perlu lagi mencari tahu tentang siapa kamu, apa masa lalu, dan apa masa depanmu. Ini hanya mau tahu seberapa besar dosamu.” Aku langsung merasa gugup mendengarnya. Tak ada lagi senyum yang terpantul dari wajahku. Aku sadar,semua yang dikatakan wanita itu tentang masa depanku tidak ada gunanya lagi.

Namun kuperhatikan gerak-geriknya dengan seksama. Ia mengklik folder bertulis “gregorius Afioma.”Folder itu belum langsung terbuka. Adas esuatu yang aneh pada komputer itu. Barangkali loadingnya lama. Aku semakin cemas. Ekor mataku menatap wajahnya.Ia kelihatan serius. Lalu ia meneguk sampai habis kopi di atas mejanya.

“Barangkali komputernya kebanyakan virus” ujarku coba mencairkan suasana.

“Bukan komputernya. Hanya folder ini yang kebanyakan virus.” balasnya serius. Aku semakin gugup. Saking lamanya folder itu belum terbuka, ia tampak gerah.

“Kamu boleh pulang sekarang.” pintanya dengan lembut. Mungkinkah ramalan wanita tuaitu terjadi? Begitulah pertanyaanku dalam hati.

“Sebelum pulang, bolehkah aku meminta satu permohonan kepada Bapa?”

“Apa?”

“Aku ingin membawa pulang gelas minuman Bapa.” kataku dengan nada merayu. Petrus sontak tertawa terbahak-bahak. Rupanya ia membaca isi pikiranku.

“Tapi dengan satu syarat. Tidak boleh melihat masa laluku terutama sebelum peristiwa pentakosta.” Kami berdua spontan tertawa menggelegar dalam ruangan itu. Aku paham maksudnya.

***

Seiring dengan suara tertawa itu, aku mendengar suara teriakan. Kepalaku mulai terasa sakit. Mataku perih dan tertutup. Tapi aku coba membukanya perlahan. Tak kusangka, kerumunan orang sedang menatapku.

“Ia sadar.” Mereka berteriak satu sama lain.

“Aku dimana? gelas kopi dimana?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Mereka diam sejenak dan tampak bingung. Lalu kemudian mereka menertawakanku. Saat itulah aku sadar, aku terbaring pada bagian depan gereja katedral lama. Rupanya merekamembaringkanku di situ ketika pingsan sesudah tabrakan tadi.


22 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text