Berawaldari mbah google, kusadari bahwa semua orang ingin mengetahui siapa dirinya. Saat kutulis “ramal”, aku kemudian diantar ke dunia indo-spiritual.com.Di sana
data diriku kumasukkan, klik enter, sesaat kemudian semua tentang
diriku muncul.Mulai dari sifat, asmara, bahkan nasib pada tahun tertentu
dipaparkan. Dan hasilnya, hampir semuanya benar.
Lalu aku beralih ke facebook. Sedere tLampu hijau menyala di ruang ngobrol online.
Aku tidak tergoda langsung bergabung. Kusiapkan segelas kopi,kutaruh
asbak di samping laptop, kubakar sebatang rokok. Itulah ritual awalku
saat ingin nongkrong di dunia maya. Lalu aku mulai bergabung.
“hai!”sapaku pada beberapa orang.
“hai”mereka
membalasnya. “Jg” jawab yang lain. Terkesan menghemat kata, tetapi
begitulah dunia maya. Kekuatan kata-kata seolah-olah mewakili kualitas
diri.Contohnya, ketika hanya menjawab “jg”, saya selalu berpikir,
orangnya pendiam,serius, dan selalu sibuk. Padahal, terlalu klise kalau
hanya menyimpulkan dari kata-kata itu.
“Mau diramal?” aku
mulai memberikan tawaran. “Mau!!!” Tak ada yang menolak. Bagiku ini
mirip sebuah drama. Untuk terkesan menarik, maka harus ada tarik-ulur
penawaran.
“Ada syaratnya?” ujarku mulai mendramatisir situasi.
“Apa?”
“berikan
nama depan dan tanggal lahir.” Tak perlu waktu lama, sederet nama khas
orang kristiani muncul pada layar laptop. Ada Ignasius,Vinsensius,
Elisabet,Margareta, Maria, Ursula, dan seterusnya. Begitu juga tanggal
lahir mereka.Lalu kumasukkan nama-nama dan angka kelahiran itu pada
indo-spiritual.com.Hanya dengan klik enter, semua tentang mereka muncul.
Aku
memberitahukan mereka, tapi tentunya dengan teknik. Kusampaikan sedikit
demi sedikit. Bak kehausan yang hanya dipuaskan seteguk air, mereka
tampak emosional.
“Terus?”
“Asmara bagaimana?”
“Bagaimana rejekiku tahun ini?”
Aku
tersenyum, sekaligus bingung, mengapa mereka mudah diperdayai. Tidakkah
mereka tahu, internet adalah segala-galanya pada zaman ini. Namun, aku
tetap mau meladeni mereka. Ketika ada hal yang mulai menyentuh hati
mereka, dimulailah tahap curhat. Mereka mulai mengutarakan isi hatinya.
Daripengalaman itu, aku paham bahwa tidak semua orang membiarkan hidupnya misterius.
***
Pada
suatu kesempatan, aku terkena perangkap yang sama. Kuingat, saat itu
siang hari berangsur lenyap. Kegelapan melebarkan sayapnya menutupi
jagat. Pun semilir angin malam melilitkan tubuhku dengan rasa dingin
yang menusuk hingga tulang.
“Kamu masih bimbang di jalan
hidup ini.” kata seorang wanita tua yang duduk didepanku. Matanya tak
lepas meneliti sebuah gelas yang dilumuri ampas kopi dihampir semua
sisinya. Ia benar. Aku mengiyakannya. Tak kusangka gelap kopi yang
kuminum tadi bak mikroskop yang dapat membongkar semua apa isi hatiku.
Ya,
memang semua ini berawal dari seorang teman. Ia mengajakku ke rumahnya.
Segelas kopi dan kue tacupiang disiapkannya pada sore itu.
Berbincang-bincang santai, tertawa ringan, sembari menghabiskan kopi dan
tacupiang adalah semacam menikmati sedikit aroma surgawi ala dunia.
“Mamaku
bisa menerawang tentang kamu lewat ampas kopi di gelas minuman itu”
temanku itu mulai menjeratku dengan rasa penasaran. Aku berada di antara
rasa percaya dan tidak. Tapi kemudian aku mengiyakannya. Lalu gelas itu
kusodorkan. Ia membalikannya.Ampas kopi yang berada pada “pantat” gelas
mulai bergerak perlahan-lahan ke arah permukaan gelas. Tak berapa lama
kemudian, ibunya mengambil gelas itu,memonitor semua sisinya, dan
mulailah permainan ini.
Keraguanku mulai sirna. Pasalnya,
wanita tua itu mengetahui semua tentang keluargaku.Padahal sebelumnya
aku tidak pernah memberitahukannya. Bukan hanya itu, semua pengalaman
termasuk masalah asmara dan rencana-rencanaku diketahuinya. Akumulai
menimpalinya dengan beberapa pertanyaan untuk mengetahui lebih jauh.
“Kamu
jangan takut. Jalan hidup kamu terbuka lebar. Rejeki tidak jauh. ” Aku
tersenyum sambil mengepulkan asap rokok dari cerobong hidungku ketika
mendengar perkataan itu.
Saat itu aku merasa
indo-spiritual.comkalah telak. Soal masa depan seolah-olah kuketahui
sebagian kecilnya. Ada koneksi yang kuat antara apa yang kupercayai
tentang masa depan dengan apa yang dikatakan wanita itu. Saat itulah aku
menertawakan diriku.
***
Segudang
pertanyaan mulai menyesaki kepalaku. Apakah ramalannya benar tentang
masa depanku? Apakah masa depan dapat diketahui dengan cara seperti itu?
Siapakah dia sehingga bisa mengetahui masa depanku?
Namun
ramalan yang bersifat positif membuatku antusias dan optimis. Di lain
pihak,aku masih merasa tak percaya. Bagiku, ini hanyalah sebuah sugesti.
Ketika aku terus memikirkannya, maka aku akan mengalaminya dalam
kenyataan. Kekuatan pikiranlah yang dapat merealisasikan semua apa yang
terjadi tentang masa depan itu.
Tapi semuanya tak semudah
itu. Hariku-hariku seperti diliputi pergulatan antara rasa percaya dan
tidak. Pada suatu kesempatan, aku boleh menyakininya. Di lain
kesempatan, aku tidak percaya. Namun yang jelas, kali ini internet
dikalahkan oleh segelas kopi.
***
Sampailah pada
suatu pagi. Terik mentari pagi itu seperti memanggang kulitku saat aku
berjalan melintasi trotoar depan gereja katedral “lama” Ruteng. Suasana
pagi itu cukup lengang. Namun aku tak tertarik pada keadaan sekitar.
Sudah biasa aku melewati tempat itu. Tak ada lagi yang menarik
perhatianku.
Lagi-lagi aku hanya bergulat dengan
pikiranku. Lagi-lagi antara rasa percaya dan tidak.Sejurus kemudian, aku
menyeberangi jalan. “prakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk” bunyi tabrakan yang
sempat kudengar. Dunia terasa gelap. Aku tak sadarkan diri.
Aku
tak tahu, entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Namun ketika aku
sadar, aku berhadapan dengan suasana yang berbeda. Aku berada sebuah
lorong gelap dan sepi. Tak ada orang lain di sana, kecuali diriku
sendiri. Tak ada jalan lain,kecuali harus melintasi lorong gelap itu.
Lalu aku mulai bergerak perlahan. Diujung lorong gelap itu ada seberkas
cahaya. Ketika aku berjalan semakin mendekat, berkas cahaya itu kian
membesar.
Sulit dijelaskan, entah bagaimana sehingga semua
keadaan di depanku berubah seketika.Aku tiba-tiba berada pada sebuah
singgasana. Tepat di depanku ada sebuah tangga panjang yang dilapisi
emas sehingga memantulkan cahaya kemilauan. Aku menaikinya
perlahan-lahan. Pada ujung tangga itu aku melihat pintu berukuran besar,
berwarna silver, dihiasi dengan pelbagai ukiran. Aku merasa terpesona.
Belum
hilang rasa kagumku, tiba-tiba seseorang membukakan pintu itu. Aku
merasa takut. Ia mengenakan pakaian putih seperti seorang imam. Ia sudah
kelihatan tua,berambut panjang yang berwarna putih, serta memiliki
janggut berwarna putihyang panjang. Senyumnya membuat ketakutanku sirna.
Aku dipersilakannya masuk.Lalu aku membuntutinya sampai pada sebuah
ruangan. Pada bagian atas pintu masuk ruangan itu tertulis, “Saint
Peter”. Aku mulai paham siapa orang itu.
***
“Tolong informasikan nama dan tempat tanggal lahir kamu?” tanyanya ramah.
“Gregorius
Afioma. Lahir 7 Mei 1989.” jawabku sambil tersenyum. Ia kemudian
mengetik namaku. Kuperhatikan namaku muncul pada layar monitor berukuran
besar yangterletak di depan kami berdua. Tak ada satu barang apapun di
atas mejanya,kecuali segelas kopi yang hampir sebagiannya sudah
diminum. Aku langsung teringat pada indo-spiritual.com. dan segelas
kopi dirumah temanku.
“Ini bukan untuk meramal kamu” katanya seolah-olah ia mengetahui apa yang ada dalam pikirkanku.
“Lalu untuk apa?” tanyaku penasaran.
“sekarang
kamu tak perlu lagi mencari tahu tentang siapa kamu, apa masa lalu, dan
apa masa depanmu. Ini hanya mau tahu seberapa besar dosamu.” Aku
langsung merasa gugup mendengarnya. Tak ada lagi senyum yang terpantul
dari wajahku. Aku sadar,semua yang dikatakan wanita itu tentang masa
depanku tidak ada gunanya lagi.
Namun kuperhatikan
gerak-geriknya dengan seksama. Ia mengklik folder bertulis “gregorius
Afioma.”Folder itu belum langsung terbuka. Adas esuatu yang aneh pada
komputer itu. Barangkali loadingnya lama. Aku semakin cemas. Ekor mataku
menatap wajahnya.Ia kelihatan serius. Lalu ia meneguk sampai habis kopi
di atas mejanya.
“Barangkali komputernya kebanyakan virus” ujarku coba mencairkan suasana.
“Bukan
komputernya. Hanya folder ini yang kebanyakan virus.” balasnya serius.
Aku semakin gugup. Saking lamanya folder itu belum terbuka, ia tampak
gerah.
“Kamu boleh pulang sekarang.” pintanya dengan
lembut. Mungkinkah ramalan wanita tuaitu terjadi? Begitulah pertanyaanku
dalam hati.
“Sebelum pulang, bolehkah aku meminta satu permohonan kepada Bapa?”
“Apa?”
“Aku
ingin membawa pulang gelas minuman Bapa.” kataku dengan nada merayu.
Petrus sontak tertawa terbahak-bahak. Rupanya ia membaca isi pikiranku.
“Tapi
dengan satu syarat. Tidak boleh melihat masa laluku terutama sebelum
peristiwa pentakosta.” Kami berdua spontan tertawa menggelegar dalam
ruangan itu. Aku paham maksudnya.
***
Seiring
dengan suara tertawa itu, aku mendengar suara teriakan. Kepalaku mulai
terasa sakit. Mataku perih dan tertutup. Tapi aku coba membukanya
perlahan. Tak kusangka, kerumunan orang sedang menatapku.
“Ia sadar.” Mereka berteriak satu sama lain.
“Aku
dimana? gelas kopi dimana?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Mereka
diam sejenak dan tampak bingung. Lalu kemudian mereka menertawakanku.
Saat itulah aku sadar, aku terbaring pada bagian depan gereja katedral
lama. Rupanya merekamembaringkanku di situ ketika pingsan sesudah
tabrakan tadi.
22 Agustus 2013
Membeli Cinta
-
Di sebuah daerah tinggalah seorang saudagar yang kaya raya. Dia mempunyai
seorang hamba yang sangat lugu. Begitu lugunya, hingga orang memanggilnya
“si bo...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar