Ketika air mata ini kembali mengalir, aku mulai menyadari bahwa dalam
hidupku tak ada yang lebih menyedihkan daripada sebuah pengalaman
perpisahan. Aku lupa, entah untuk keberapakalinya aku meneteskan air
mata untuk alasan itu. Buruknya lagi, pengalaman itu seolah-olah menjadi
ritual tahunanku. Jika saat itu tiba, aku tidak peduli lagi umurku yang
telah berkepala dua yang seharusnya tegar. Tetesan air mata seakan tak
kuasa kubendung.
“Bon, apa yang tidak enak-nya
tinggal di biara?” kuingat ibuku bertanya begitu ketika pertama kali aku
liburan delapan tahun silam. Aku terkejut. Tapi kemudian aku paham, ibu
sepertinya ingin tahu lebih banyak tentang kehidupanku. Mungkin ibu
heran, mengapa aku hanya bercerita tentang kejadian-kejadian lucu selama
liburan. Ibu selalu tertawa tiap mendengar ceritaku itu.
Aku
teringat suatu ketika ibu sampai mengusap matanya yang sudah berair
karena tertawa. Kala itu aku bercerita tentang seorang teman yang pulang
mengunjungi salah seorang teman lain di rumah sakit.
“Bro dia sakit apa?” beberapa dari kami bertanya. Kebetulan kami belum sempat menjenguknya.
“Ambivalen” jawabnya dengan wajah yang serius. Ia tampak sedih. Kami bingung dengan jawabannya itu.
“Ia barusan dioperasi” lanjutnya menjelaskan.
“Dioperasi?
Mungkin maksudnya ambeien” aku menimpalinya. Lantas saja, disusul
dengan suara tertawa dari teman-teman. Tak terkecuali mama yang
mendengar cerita itu.
***
“Tidak ada Bu.
Menyenangkan sekali tinggal di Biara.” jawabku saat itu. Kini aku sadar,
saat itu aku barangkali terburu-buru menjawabnya. Ternyata hari-hari
belakangan ini, pengalaman perpisahan begitu menyengat kebahagiaanku
selama tinggal dalam biara. Rasa-rasanya aku terlalu naif ketika
mengatakan bahwa tinggal di biara itu menyenangkan.
Beberapa
hari lalu Rufi mengetuk pintu kamarku. Dengan segelas kopi di tangannya
ia menyelinap masuk. Itu kebiasaannya yang tak pernah berubah selama
delapan tahun bersamanya. Kebiasaan minum kopi seperti telah mendarah
daging dalam kehidupannya. Entahlah bagaimana aku kemudian dapat begitu
akrab seperti sekarang ini. Awal-awal dulu, aku selalu berselisih
pendapat dengannya. Untunglah teman-teman yang lain selalu menjadi
penengah. Kala itu kami berjumlah lima belas orang.
Acapkali yang menjadi persoalan kelihatan sepeleh. Awal-awal aku tidak suka dengan kebiasaannya yang ketagihan minum kopi.
“kayaknya kamu saja yang menghabiskan gula dan kopi di biara!” protesku suatu ketika.
“Makanya terbiasa minum kopi, dong!”
jawabnya dengan nada santai. Kesabaranku selalu menguap mendengar
jawabannya itu. Namun, entah kenapa atau sejak kapan, aku belum tahu
jelas, mengapa aku kemudian menerima kebiasaannya itu. Bahkan, aku lebih
mengenalnya sebagai pribadi yang bekerja keras daripada si pemboros
kopi dan gula. Jika rumput-rumput di halaman biara sudah membesar,
terdengar suara mesin pemotong rumput. Dialah pengendali mesin itu.
***
Di
depanku diteguknya sekali segelas kopi itu. Matanya memipih. Alis mata
digoyang-goyangkannya berkali-kali. Ia benar-benar merasakan sensasi
kenikmatan segelas kopi itu. Aku tidak tahan melihatnya. Kuraih gelas
itu dari tangannya, lalu keteguk sekali. Aku coba merasakan sensasi
kenikmatan yang sama. Namun aku hanya merasakan pahitnya kopi yang
membuatku segera meminum segelas air untuk menetralkan rasa itu. Ia
tertawa terbahak-bahak.
“Frater, terbiasa minum kopi dong!”
ujarnya sambil meneguk berkali-kali segelas kopi itu. Aku mulai merasa
aneh. Tidak biasanya ia menyapaku seperti itu. Kalau bukan namaku yang
disebut, ia biasa memanggil “brother”.
“Kenapa kau aneh
begini?” Aku tidak mau berbasa-basi lagi. Aku segera menangkap
sinyal-sinyal tidak baik di balik sapaannya itu. Dan inilah yang paling
kutakuti semenjak tahun lalu Roni meninggalkan kami berdua. Ia
mengundurkan diri. Tak ada pilihan lain saat itu selain menghormati
keputusannya. Jadi, pada tahun ketujuh perjalanan panggilan kami di
biara, satu per satu ketigabelas orang teman yang lain itu raib dari
pandangan kami berdua.
Hanya kami berdua yang tersisa
dalam seangkatan membuat hatiku galau sejak tahun lalu. Aku tak dapat
tidur nyaman selama berhari-hari. Aku paham bahwa panggilan itu adalah
memang tanggung jawab masing-masing pribadi. Namun, aku juga selalu
yakin, menjawab panggilan pribadi itu selalu bersama dengan orang lain.
Saat itu aku berharap, semoga kami berdua yang akan terus melanjutkan
panggilan ini menuju imamat suci.
“Aku mau nitip panggilan bro!” katanya. Itulah istilah yang kami biasa pakai kalau mau mengundurkan diri.
“Tidak ada istilah nitip-nitip!”
aku segera membentaknya. Ia menundukkan kepala seraya menghela nafas
panjang. Kusuruh dia pulang ke kamarnya. Lalu dia berjalan keluar dari
kamarku dan membiarkan gelas kopinya tertinggal di atas mejaku. Pintu
kamar segera kukunci.
***
Kududuk merenung
memandang gelas kopinya. Lagi-lagi air mata untuk kesekian kalinya
kuteteskan untuk sebuah perpisahan. Aku tak kuasa menahannya. Aku tahu,
aku tak bakalan dapat menolak keputusannya itu. Reaksiku tadi hanyalah
luapan emosi semata, tidak mempengaruhi keputusan bebasnya.
Tak
kusangka air mataku jatuh ke dalam gelas kopinya. Namun tak kulihat
lagi beningnya air mataku itu. Begitu bercampur dengan ampas kopi di
dasar gelas, semuanya jadi hitam. Lalu sejumlah pertanyaan bermunculan
dalam benakku. Akankah perpisahan ini mendatangkan kegelapan dalam
perjalanan panggilanku? Mengapa semua mereka hanya meninggalkan kenangan
dalam ingatanku? Aku tak henti menggerutu dalam batinku. Kalau kutahu
sejak awal hanya aku yang tersisa, mengapa Allah tak mengijinkan aku
sendirian saja memulai semua perjalanan panggilan ini sejak awal? Apakah
kehadiran mereka hanya sebagai penuntun panggilanku?
***
Aku
mengusap wajahku dengan sapu tangan. Lalu aku berjalan mendekati
jendela kamarku. Dari jendela itu, aku biasanya memandangi keindahan
taman di bagian belakang biara ini. Udara sore berhembus lembut menerpa
pipiku yang baru saja dialiri air mata. Pikiranku masih berkecamuk
dengan sejumlah pertanyaan. Aku memandang hampa burung merpati dan
beberapa ekor anjing yang bermain-bemain di halaman itu.
Bunyi deringan handphone mengagetkanku. Ada yang menelponku.
“Hallo mama!”
Ibuku balas menyapa. Kami berbasa-basi sebentar. Namun aku belum betul-betul konsentrasi. Berkali-kali aku
malah salah menjawab pertanyaan.
“Kamu kenapa Bon?”
“Tidak apa-apa, Ma.” Aku coba menghindari pembahasan yang lebih lanjut.
“Oia, mama dengar, kamu akan pulang libur. Nanti mama jemput, ya. Tolong informasikan mama tanggal pulangnya”
“Iya Ma.”
Setelah
itu kami mengakhiri pembicaraan. Namun satu pertanyaan yang terlintas
dalam benakku. Apakah yang akan kuceritakan kepada ibu selama liburan
nanti?
7 Juni 2013 pukul 3:09
Membeli Cinta
-
Di sebuah daerah tinggalah seorang saudagar yang kaya raya. Dia mempunyai
seorang hamba yang sangat lugu. Begitu lugunya, hingga orang memanggilnya
“si bo...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar