Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Perpisahan

Ketika air mata ini kembali mengalir, aku mulai menyadari bahwa dalam hidupku tak ada yang lebih menyedihkan daripada sebuah pengalaman perpisahan. Aku lupa, entah untuk keberapakalinya aku meneteskan air mata untuk alasan itu. Buruknya lagi, pengalaman itu seolah-olah menjadi ritual tahunanku. Jika saat itu tiba, aku tidak peduli lagi umurku yang telah berkepala dua yang seharusnya tegar. Tetesan air mata seakan tak kuasa kubendung.

“Bon, apa yang tidak enak-nya tinggal di biara?” kuingat ibuku bertanya begitu ketika pertama kali aku liburan delapan tahun silam. Aku terkejut. Tapi kemudian aku paham, ibu sepertinya ingin tahu lebih banyak tentang kehidupanku. Mungkin ibu heran, mengapa aku hanya bercerita tentang kejadian-kejadian lucu selama liburan. Ibu selalu tertawa tiap mendengar ceritaku itu.


Aku teringat suatu ketika ibu sampai mengusap matanya yang sudah berair karena tertawa. Kala itu aku bercerita tentang seorang teman yang pulang mengunjungi salah seorang teman lain di rumah sakit.

“Bro dia sakit apa?” beberapa dari kami bertanya. Kebetulan kami belum sempat menjenguknya.

“Ambivalen” jawabnya dengan wajah yang serius. Ia tampak sedih. Kami bingung dengan jawabannya itu.

“Ia barusan dioperasi” lanjutnya menjelaskan.

“Dioperasi? Mungkin maksudnya ambeien” aku menimpalinya. Lantas saja, disusul dengan suara tertawa dari teman-teman. Tak terkecuali mama yang mendengar cerita itu.

***

“Tidak ada Bu. Menyenangkan sekali tinggal di Biara.” jawabku saat itu. Kini aku sadar, saat itu aku barangkali terburu-buru menjawabnya. Ternyata hari-hari belakangan ini, pengalaman perpisahan begitu menyengat kebahagiaanku selama tinggal dalam biara. Rasa-rasanya aku terlalu naif ketika mengatakan bahwa tinggal di biara itu menyenangkan.

Beberapa hari lalu Rufi mengetuk pintu kamarku. Dengan segelas kopi di tangannya ia menyelinap masuk. Itu kebiasaannya yang tak pernah berubah selama delapan tahun bersamanya. Kebiasaan minum kopi seperti telah mendarah daging dalam kehidupannya. Entahlah bagaimana aku kemudian dapat begitu akrab seperti sekarang ini. Awal-awal dulu, aku selalu berselisih pendapat dengannya. Untunglah teman-teman yang lain selalu menjadi penengah. Kala itu kami berjumlah lima belas orang.

Acapkali yang menjadi persoalan kelihatan sepeleh. Awal-awal aku tidak suka dengan kebiasaannya yang ketagihan minum kopi.

“kayaknya kamu saja yang menghabiskan gula dan kopi di biara!” protesku suatu ketika.

“Makanya terbiasa minum kopi, dong!” jawabnya dengan nada santai. Kesabaranku selalu menguap mendengar jawabannya itu. Namun, entah kenapa atau sejak kapan, aku belum tahu jelas, mengapa aku kemudian menerima kebiasaannya itu. Bahkan, aku lebih mengenalnya sebagai pribadi yang bekerja keras daripada si pemboros kopi dan gula. Jika rumput-rumput di halaman biara sudah membesar, terdengar suara mesin pemotong rumput. Dialah pengendali mesin itu.

***

Di depanku diteguknya sekali segelas kopi itu. Matanya memipih. Alis mata digoyang-goyangkannya berkali-kali. Ia benar-benar merasakan sensasi kenikmatan segelas kopi itu. Aku tidak tahan melihatnya. Kuraih gelas itu dari tangannya, lalu keteguk sekali. Aku coba merasakan sensasi kenikmatan yang sama. Namun aku hanya merasakan pahitnya kopi yang membuatku segera meminum segelas air untuk menetralkan rasa itu. Ia tertawa terbahak-bahak.

“Frater,  terbiasa minum kopi dong!” ujarnya sambil meneguk berkali-kali segelas kopi itu. Aku mulai merasa aneh. Tidak biasanya ia menyapaku seperti itu. Kalau bukan namaku yang disebut, ia biasa memanggil “brother”.
“Kenapa kau aneh begini?” Aku tidak mau berbasa-basi lagi. Aku  segera menangkap sinyal-sinyal tidak baik di balik sapaannya itu. Dan inilah yang paling kutakuti semenjak tahun lalu Roni meninggalkan kami berdua. Ia mengundurkan diri. Tak ada pilihan lain saat itu selain menghormati keputusannya. Jadi, pada tahun ketujuh perjalanan panggilan kami di biara, satu per satu ketigabelas orang teman yang lain itu raib dari pandangan kami berdua.

Hanya kami berdua yang tersisa dalam seangkatan membuat hatiku galau sejak tahun lalu. Aku tak dapat tidur nyaman selama berhari-hari. Aku paham bahwa panggilan itu adalah memang tanggung jawab masing-masing pribadi. Namun, aku juga selalu yakin, menjawab panggilan pribadi itu selalu bersama dengan orang lain. Saat itu aku berharap, semoga kami berdua yang akan terus melanjutkan panggilan ini menuju imamat suci.

“Aku mau nitip panggilan bro!” katanya. Itulah istilah yang kami biasa pakai kalau mau mengundurkan diri.

“Tidak ada istilah nitip-nitip!” aku segera membentaknya. Ia menundukkan kepala seraya menghela nafas panjang. Kusuruh dia pulang ke kamarnya. Lalu dia berjalan keluar dari kamarku dan membiarkan gelas kopinya tertinggal di atas mejaku. Pintu kamar segera kukunci.

***

Kududuk merenung memandang gelas kopinya. Lagi-lagi air mata untuk kesekian kalinya kuteteskan untuk sebuah perpisahan. Aku tak kuasa menahannya. Aku tahu, aku tak bakalan dapat menolak keputusannya itu. Reaksiku tadi  hanyalah luapan emosi semata, tidak mempengaruhi keputusan bebasnya.

Tak kusangka air mataku jatuh ke dalam gelas kopinya. Namun tak kulihat lagi beningnya air mataku itu. Begitu bercampur dengan ampas kopi di dasar gelas, semuanya jadi hitam. Lalu sejumlah pertanyaan bermunculan dalam benakku. Akankah perpisahan ini mendatangkan kegelapan dalam perjalanan panggilanku? Mengapa semua mereka hanya meninggalkan kenangan dalam ingatanku? Aku tak henti menggerutu dalam batinku. Kalau kutahu sejak awal hanya aku yang tersisa, mengapa Allah tak mengijinkan aku sendirian saja memulai semua perjalanan panggilan ini sejak awal? Apakah kehadiran mereka hanya sebagai penuntun panggilanku?

***

Aku mengusap wajahku dengan sapu tangan. Lalu aku berjalan mendekati jendela kamarku. Dari jendela itu, aku biasanya memandangi keindahan taman di bagian belakang biara ini. Udara sore berhembus lembut menerpa pipiku yang baru saja dialiri air mata. Pikiranku masih berkecamuk dengan sejumlah pertanyaan. Aku memandang hampa burung merpati dan beberapa ekor anjing yang bermain-bemain di halaman itu.
Bunyi deringan handphone mengagetkanku. Ada yang menelponku.

“Hallo mama!”

Ibuku balas menyapa. Kami berbasa-basi sebentar. Namun aku belum betul-betul konsentrasi. Berkali-kali aku
malah salah menjawab pertanyaan.

“Kamu kenapa Bon?”

“Tidak apa-apa, Ma.” Aku coba menghindari pembahasan yang lebih lanjut.

“Oia, mama dengar, kamu akan pulang libur. Nanti mama jemput, ya. Tolong informasikan mama tanggal pulangnya”

“Iya Ma.”

Setelah itu kami mengakhiri pembicaraan. Namun satu pertanyaan yang terlintas dalam benakku. Apakah yang akan kuceritakan kepada ibu selama liburan nanti?

7 Juni 2013 pukul 3:09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text