Aktif dalam pelbagai kegiatan di paroki tidak secara otomatis
menunjukkan kehidupan menggereja yang baik. Pengakuan itu pernah
diutarakan oleh seorang bapak – umat salah paroki di Jakarta – yang saya
kenal baik.
Bapak itu bercerita, ia terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan di
parokinya. Ia pernah menjabat sebagai salah satu pengurus inti Dewan
Paroki. Ia kerap menjadi anggota panitia dalam acara-acara besar di
paroki. Namanya dikenal luas. Relasinya banyak.
Baginya, pelayanan untuk Tuhan tidak boleh ditawar-tawar. Makanya, di
tengah kepadatan waktu kerja dari hari Senin-Jumat di mana tiap hari ia
biasa pulang malam, Sabtu dan Minggu difokuskannya untuk kegiatan di
paroki. Jika keadaan mendesak, pada hari-hari kerja pun ia menyempatkan
diri untuk terlibat aktif.
Namun, suatu ketika ia mulai bertanya diri, apa arti terlibat dalam
kegiatan paroki baginya? Kesadaran itu bermula dari pengalaman dalam
rumah tangganya sendiri. Kedua anaknya yang masih kecil tidak pernah
mengiyakan ajakannya untuk mengikuti kegiatan Sekolah Minggu di gereja.
Bahkan, pada suatu hari Minggu, anaknya tidak mau ke Gereja. Ia merasa
hilang akal saat itu. Sedangkan isterinya sesekali saja terlibat dalam
kegiatan paroki.
Ia semakin tidak nyaman, tatkala seorang ibu yang sama-sama terlibat
aktif di paroki bergurau dengannya suatu ketika. “Ajak dengan istri dan
anak-anaknya sesekali dong, Pak!”, kata ibu itu. Sejak itu berkecamuk
rasa curiga dalam dirinya. “Kok, bapak ini aktif tapi isteri dan
anak-anaknya jarang kelihatan.” Ia curiga, orang-orang berkata begitu
dalam hati mereka.
Ia menjadi kecewa. Dalam hatinya ia bertanya, apakah Tuhan tidak
melihat segala pengorbanannya selama ini? Mengapa Tuhan tidak memberikan
berkat bagi keluarganya? Apakah ini cobaan dari Tuhan? Ia kerap bingung
dengan persoalannya itu. Sempat timbul niat untuk tidak terlibat lagi
dalam pelbagai kegiatan paroki.
Sampailah pada peristiwa ini. Suatu ketika ia diundang temannya yang
sama-sama aktif dalam kegiatan di paroki untuk menghadiri acara ultah
puterinya yang berusia enam tahun. Saat itu ia terheran-heran. Anak itu
mendaraskan doa secara spontan dan amat lancar. Sebelum acara makan,
anak itu lagi-lagi memimpin doa dengan khusyuk. Kedua tangannya dikatup.
Matanya dipejamkan.
“Kok bisa ya, dia berdoa selancar itu?”, katanya dalam hati.
Tertarik dengan sikap anak itu ia mulai berbicara dari hati ke hati
dengan temannya, tak lain ayah dari anak itu. Saat itulah ia mulai
sadar. Baginya, kebiasaan temannya itu patut diteladani. Pasalnya, di
tengah kesibukan kerja, temannya itu selalu menyempatkan diri pada pagi
hari untuk memberikan tanda salib di dahi puterinya. Begitu juga
menjelang tidur malam. Juga ada kebiasaan makan dan doa bersama. Kamar
puterinya dihiasi dengan berbagai gambar kudus. Ia sadar, kegiatan
rohani seperti itu kerap diremehkannya, bahkan nyaris tidak dilakukan
kepada anak-anaknya.
Tidak ada kata terlambat baginya. Sejak itu ia membangunkan kebiasaan
baru di rumah tangganya. Anak-anak diajak berdoa bersama. Saat makan
malam, anak-anaknya mulai bercerita tentang kehidupan di sekolahnya. Ia
juga membacakan kisah parah santo-santa kepada kedua anaknya itu.
Ditempelkannya gambar-gambar kudus dan salib di kamar mereka.
Suatu ketika ia merasa terharu. Anaknya yang bungsu bertanya, “Pa,
patung yang depan gereja itu Santo Fransiskus ‘kan?” Ternyata si bungsu
baru saja berdebat dengan kakaknya soal patung itu. Dan beberapa malam
sebelumnya ia memang sempat menceritakan kisah hidup Santo Fransiskus
Assisi kepada mereka. Ia lantas berpura-pura tidak tahu. “Aduh bapa gak
tahu. Nanti hari Minggu kita tanya romo ya?”. Ternyata pada hari Minggu
setelahnya, ia dibangunkan oleh kedua anaknya pagi-pagi. Mereka sudah
mandi dan siap-siap ke gereja dengan senyum sumringah.
Dari kisah itu, bapak itu mengakui bahwa kegiatan rohani di paroki
sama pentingnya dengan membangun kehidupan rohani dalam keluarga.
Baginya, keluarga adalah gereja kecil. Misa pada hari Minggu akan lebih
dihayati apabila dalam keluarga dibiasakan doa bersama dan makan
bersama. Anak-anaknya juga tidak perlu merasa asing lagi dengan
gambar-gambar di gereja kalau di rumah gambar-gambar itu sudah
dipajangkan. “Kebiasaan kehidupan rohani yang sehat seperti itu perlu
diintensifkan”, kata bapak itu.
Dari pengalaman itu, tergambar jelas, Gereja tidak dibatasi dalam
pengertian kegiatan-kegiatan di paroki. Kegiatan-kegiatan itu hanyalah
salah satu dari dimensi kegiatan menggereja. Seperti bapak tadi, Gereja
pada hakekatnya adalah pribadi kita sendiri. Namun, Gereja tidak pernah
diisolasikan dalam pribadi individual semacam itu. Gereja adalah
kumpulan orang-orang yang terpikat karena iman akan Allah Bapa, yang
diwahyukan melalui Yesus Kristus, dan dalam Roh Kudus. Dia akhirnya
mengartikan, Gereja yang paling dasar adalah keluarganya sendiri. Maka,
membangun Gereja dimulai dari bagaimana membangun iman, kasih, harapan
Kristiani dalam hidupnya sendiri dan dalam keluarganya.
Tidak jarang dalam banyak keluarga di kota metropolitan urusan
membangun iman, kasih, dan harapan Kristiani diserahkan dan dilimpahkan
kepada pihak sekolah, terutama Lembaga Pendidikan Katolik. Seolah-olah
urusan iman, kasih, dan harapan Kristiani merupakan urusan kognitif saja
sedemikian sehingga anak-anak perlu dibekali dengan pengetahuan rohani.
Harus disadari bahwa iman, kasih, dan harapan Kristiani tidak cukup
dengan pengetahuan rohani. Hal itu harus dinyatakan dalam kebiasaan
dalam keluarga.
Kalau sekolah dapat memberikan pengetahuan kognitif tentang iman,
harapan, dan cinta kasih Kristiani melalui pelajaran bina iman, maka
menjadi tanggung jawab orang tua untuk membangun habitus bagaimana iman,
cinta kasih, dan harapan Kristiani itu dinyatakan dalam kehidupan.
Apakah Anda sudah menyadari hal ini?
Pernah diterbitkan di ucanews Indonesia
07/06/2013
Membeli Cinta
-
Di sebuah daerah tinggalah seorang saudagar yang kaya raya. Dia mempunyai
seorang hamba yang sangat lugu. Begitu lugunya, hingga orang memanggilnya
“si bo...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar