Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Menata Gereja Kecil

Aktif dalam pelbagai kegiatan di paroki tidak secara otomatis menunjukkan  kehidupan menggereja yang baik. Pengakuan itu pernah diutarakan oleh seorang bapak – umat salah paroki di Jakarta – yang saya kenal baik.

Bapak itu bercerita, ia  terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan di parokinya. Ia pernah menjabat sebagai salah satu pengurus inti Dewan Paroki. Ia kerap menjadi anggota panitia dalam acara-acara besar di paroki. Namanya dikenal luas. Relasinya banyak.



Baginya, pelayanan untuk Tuhan tidak boleh ditawar-tawar. Makanya, di tengah kepadatan waktu kerja dari hari Senin-Jumat di mana tiap hari ia biasa pulang malam, Sabtu dan Minggu difokuskannya untuk kegiatan di paroki. Jika keadaan mendesak, pada hari-hari kerja pun ia menyempatkan diri untuk terlibat aktif.

Namun, suatu ketika ia mulai bertanya diri, apa arti terlibat dalam kegiatan paroki baginya? Kesadaran itu bermula dari pengalaman dalam rumah tangganya sendiri. Kedua anaknya yang masih kecil tidak pernah mengiyakan ajakannya untuk mengikuti kegiatan Sekolah Minggu di gereja. Bahkan, pada suatu hari Minggu, anaknya tidak mau ke Gereja. Ia merasa hilang akal saat itu. Sedangkan isterinya sesekali saja terlibat dalam kegiatan paroki.

Ia semakin tidak nyaman, tatkala seorang ibu yang sama-sama terlibat aktif di paroki bergurau dengannya suatu ketika. “Ajak dengan istri dan anak-anaknya sesekali dong, Pak!”, kata ibu itu. Sejak itu berkecamuk rasa curiga dalam dirinya. “Kok, bapak ini aktif tapi isteri dan anak-anaknya jarang kelihatan.”  Ia curiga, orang-orang berkata begitu dalam hati mereka.

Ia menjadi kecewa. Dalam hatinya ia bertanya, apakah Tuhan tidak melihat segala pengorbanannya selama ini? Mengapa Tuhan tidak memberikan berkat bagi keluarganya? Apakah ini cobaan dari Tuhan? Ia kerap bingung dengan persoalannya itu. Sempat timbul niat untuk tidak terlibat lagi dalam pelbagai kegiatan paroki.

Sampailah pada peristiwa ini. Suatu ketika ia diundang temannya yang sama-sama aktif dalam kegiatan di paroki untuk menghadiri acara ultah puterinya yang berusia enam tahun. Saat itu ia terheran-heran. Anak itu mendaraskan doa secara spontan dan amat lancar. Sebelum acara makan, anak itu lagi-lagi memimpin doa dengan khusyuk. Kedua tangannya dikatup. Matanya dipejamkan.

Kok bisa ya, dia berdoa selancar itu?”, katanya dalam hati.

Tertarik dengan sikap anak itu ia mulai berbicara dari hati ke hati dengan temannya, tak lain ayah dari anak itu. Saat itulah ia mulai sadar. Baginya, kebiasaan temannya itu patut diteladani. Pasalnya, di tengah kesibukan kerja, temannya itu selalu menyempatkan diri pada pagi hari untuk memberikan tanda salib di dahi puterinya. Begitu juga menjelang tidur malam. Juga ada kebiasaan makan dan doa bersama. Kamar puterinya dihiasi dengan berbagai gambar kudus. Ia sadar, kegiatan rohani seperti itu kerap diremehkannya, bahkan nyaris tidak dilakukan kepada anak-anaknya.

Tidak ada kata terlambat baginya. Sejak itu ia membangunkan kebiasaan baru di rumah tangganya. Anak-anak diajak berdoa bersama. Saat makan malam, anak-anaknya mulai bercerita tentang kehidupan di sekolahnya. Ia juga membacakan kisah parah santo-santa kepada kedua anaknya itu. Ditempelkannya gambar-gambar kudus dan salib di kamar mereka.

Suatu ketika ia merasa terharu. Anaknya yang bungsu bertanya, “Pa, patung yang depan gereja itu Santo Fransiskus ‘kan?” Ternyata si bungsu baru saja berdebat dengan kakaknya soal patung itu. Dan beberapa malam sebelumnya ia memang sempat menceritakan kisah hidup Santo Fransiskus Assisi kepada mereka. Ia lantas berpura-pura tidak tahu. “Aduh bapa gak tahu. Nanti hari Minggu kita tanya romo ya?”. Ternyata pada hari Minggu setelahnya, ia dibangunkan oleh kedua anaknya pagi-pagi. Mereka sudah mandi dan siap-siap ke gereja dengan senyum sumringah.

Dari kisah itu, bapak itu mengakui bahwa kegiatan rohani di paroki sama pentingnya dengan membangun kehidupan rohani dalam keluarga. Baginya, keluarga adalah gereja kecil. Misa pada hari Minggu akan lebih dihayati apabila dalam keluarga dibiasakan doa bersama dan makan bersama. Anak-anaknya juga tidak perlu merasa asing lagi dengan gambar-gambar di gereja kalau di rumah gambar-gambar itu sudah dipajangkan. “Kebiasaan kehidupan rohani yang sehat seperti itu perlu diintensifkan”, kata bapak itu.

Dari pengalaman  itu, tergambar jelas, Gereja tidak dibatasi dalam pengertian kegiatan-kegiatan di paroki. Kegiatan-kegiatan itu hanyalah salah satu dari dimensi kegiatan menggereja. Seperti bapak tadi, Gereja pada hakekatnya adalah pribadi kita sendiri. Namun, Gereja tidak pernah diisolasikan dalam pribadi individual semacam itu. Gereja adalah kumpulan orang-orang yang terpikat karena iman akan Allah Bapa, yang diwahyukan melalui Yesus Kristus, dan dalam Roh Kudus. Dia akhirnya mengartikan, Gereja yang paling dasar adalah keluarganya sendiri. Maka, membangun Gereja dimulai dari bagaimana membangun iman, kasih, harapan Kristiani dalam hidupnya sendiri dan dalam keluarganya.

Tidak jarang dalam banyak keluarga di kota metropolitan urusan membangun iman, kasih, dan harapan Kristiani diserahkan dan dilimpahkan kepada pihak sekolah, terutama Lembaga Pendidikan Katolik. Seolah-olah urusan iman, kasih, dan harapan Kristiani merupakan urusan kognitif saja sedemikian sehingga anak-anak perlu dibekali dengan pengetahuan rohani. Harus disadari bahwa iman, kasih, dan harapan Kristiani tidak cukup dengan pengetahuan rohani. Hal itu harus dinyatakan dalam kebiasaan dalam keluarga.

Kalau sekolah dapat memberikan pengetahuan kognitif tentang iman, harapan, dan cinta kasih Kristiani melalui pelajaran bina iman, maka menjadi tanggung jawab orang tua untuk membangun habitus bagaimana iman, cinta kasih, dan harapan Kristiani itu dinyatakan dalam kehidupan. Apakah Anda sudah menyadari hal ini?

Pernah diterbitkan di ucanews Indonesia  07/06/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text