Rasa penasaran yang panjang mulai sirna. Perlahan-lahan harapan itu
menepi ke ruang nyata. Aku sangat bergembira. Saking menggebu-gebunya
perasaan itu, aku hampir lupa pada sengatan kejam terik mentari siang
ini. Aku juga tak mempedulikan sama sekali orang-orang yang lalu-lalang
di depanku. Sebaliknya, dalam hatiku, aku selalu berujar, “ Semoga taman
ini menjadi saksi perjumpaan ini”.
Begitulah siang itu
aku berada di sebuah taman. Banyak orang menyebut taman ini sebagai
taman Cinta . Itu hanya sebuah julukan mengingat di tanam inilah banyak
anak muda mengumbar kemesraan dengan pujaan hati mereka. Tak heran,
jika siang itu sejauh mata memandang, yang ada hanya orang-orang sedang
pacaran. Ada yang berjalan mengelilingi taman. Ada yang duduk berduaan.
Kelihatannya mereka asyik bercerita dengan pujaan hatinya
masing-masing.
Aku sendiri hanya duduk di sebuah kursi
panjang. Duduk diam dan termenung. Pikiranku disesaki skestsa rekaan
wajah si gadis itu. Aku mulai menebak-nebak soal tingginya, hidungnya
yang mancung, rambut lurusnya yang setengah bahu, dan kaos warna putih
kesukaannya.
Ya, itulah Asri, gadis yang kukenal melalui facebook enam bulan yang lalu. Hari ini kami berjanji melalui chatting untuk bertemu di taman ini.
“Aku
pakai baju warna putih nanti!” janjinya beberapa hari yang lalu. Aku
hanya mengiyakan. Lagi katanya dengan nada memperingatkan, “jangan
kecewa nanti kalau sudah ketemu sama aku!”.
“ Mana mungkin aku kecewa!” ujarku coba menyakinkan dia.
“Ah,
gombal. Laki-laki kan begitu!” balasnya menyiratkan suatu tuduhan bagi
kaum laki-laki. Tapi aku sendiri tak ingin menggali lebih jauh maksud
dari kata-katanya itu. Kesediaanya untuk bertemu sudah sangat berarti
bagiku. Pasalnya, bukan usaha yang ringan untuk dapat menyakinkan dia
agar dapat bertemu di taman ini.
***
Aku masih ingat persis awal perkenalan dengan Asri melalui chatting enam bulan silam. Kala itu, aku tengah asyik chatting dengan
teman-teman seangkatanku di seminari. Tiba-tiba ada satu pesan.
Namanya, Asricheza Wersun. Kuliihat profilnya, barangkali pernah
berkenalan. Ternyata tidak kukenal. Fotonya hanya satu. Itupun foto
warna setengah badan. Rambutnya terurai lurus. Hidungnya mancung.
Pipinya lesung. Bibir tipis. Kulitnya putih. Ia mengenakan kaus berwarna
putih dalam foto itu.
“frater, ya?” tulisnya singkat.
“kok tahu?” jawabku penasaran.
Dia
tidak menjawab. Malahan dia memburu aku dengan pertanyaan lain.
“Apakah seorang frater bisa bergaul dengan semua orang tanpa pilih
kasih?”
“Tentu bisa.”
“Aku tidak percaya.”
tulisnya lagi seolah-olah memancingku untuk berdiskusi sengit. Aku tidak
menjawab. Aku bahkan mulai geram dengan kata-katanya itu. Tetapi aku
tidak hilang akal.
“Bagaimana kalau kita berdiskusi melalui telepon?” Aku coba menawarkan gagasan itu. Bagiku diskusi lewat chatting tidak begitu memuaskan.
“Aku tidak punya hp frat”
Aku tidak percaya. Aku berpikir, dia hanya mau menghindar dari tawaranku. Aku lantas tidak melanjutkan chatting dengannya hari itu.
***
Semenjak hari itu, kami selanjutnya semakin sering berdiskusi via chatting.
Ada banyak persoalan yang kami diskusikan bersama. Mulai dari masalah
gereja, pergaulan remaja, masalah moral, teologi, politik, dan lain
sebagainya. Kesannya, dia amat cerdas. Acapkali mengujiku dengan
berbagai pertanyaan sulit. Pengetahuannya juga luas. Ketika ditanya,
bagaimana ia mempunyai pengetahuan yang begitu luas, dia lantas menyebut
ibunya sebagai guru baginya.
Meskipun demikian, dia layak
disebut gadis misterius. Aku tidak pernah mengetahui sedikitpun tentang
identitas dirinya; Berapa umurnya? Dimanakah ia tinggal? Kuliahnya
dimana? Hobbinya apa?. Itulah sederet pertanyaanku yang tidak pernah
dijawabnya. Setiap kali ditanya, dengan lincah ia mengalihkan topik
pembicaraan. Hanya satu hal yang aku persis tahu. Dia beragama Katolik.
Ia juga jarang mencurahkan masalah kehidupannya. Sebaliknya aku
kerapkali meminta nasehatnya tentang masalah-masalah yang kuhadapi.
Dirinya
yang misterius itu tidak segera membuat kesabaranku menjadi pendek. Aku
tidak pernah bosan meladeni dirinya yang sedikit agak aneh itu. Bahkan
ketika aku berkali-kali meminta nomor handphone-nya dan ia juga berkali-kali menjawab tidak, aku tetap sabar.
***
Beberapa hari yang lalu, saat aku asyik membaca status facebook dari teman-teman, dia kembali menyapaku lewat chatting.
Kali ini aku tidak menjawabnya. Ia mengirim pesan lagi. Ia menggodaku
dengan lelucon. Lagi-lagi aku tidak mau menjawab. Rupanya dia tidak
hilang akal. Dia memancingku lagi.
“Katanya mau bergaul dengan siapa saja. Mana buktinya?” Ia mengkritik pernyataanku sebelumnya. Aku tidak sabar lagi.
“Frater juga manusia. Aku hanya mulai bosan berteman denganmu.”
“Kenapa?”
“Kamu tidak pernah memberitahuku tentang dirimu.”
Untuk
sesaat dia tidak menjawab. Aku mulai menebak-nebak, apakah yang akan
dijawabnya.Firasatku cenderung mengatakan, ia akan mengalihkan lagi
topik pembicaraan kali ini. Namun, aku tiba-tiba tersentak dengan
jawabannya. Ia mengajakku untuk bertemu. Hal yang lebih mengejutkan lagi
ketika ia meminta bertukaran nomor handphone denganku. Dan kami pun berjanji bertemu di taman ini.
***
Inilah
hari yang aku tunggu-tunggu itu. Hari kesepakatan kami berdua untuk
bertemu. Wajarlah kalau sejak pagi tadi, tak henti-hentinya aku
membayangkan apa yang bakalan terjadi hari ini. Namun, dia tetaplah
sosok yang menyengatku dengan rasa penasaran. Pasalnya, aku sejak tadi
telah mengirimkannya pesan singkat. Dia tidak membalasnya. Sesekali
kutelpon. Tapi tidak dijawabnya. Aku mulai gelisah.
Di
tengah-tengah kegelisahanku, tiba-tiba punggungku ditepuk dari belakang.
Aku menoleh. Seorang gadis sedang berdiri menatapku. Bola matanya
bulat. Berhidung mancung. Berkulit putih. Rambutnya dibiarkan terurai
bebas. Ia kelihatan sangat cantik.
“Asri ya?” tanyaku
disertai dengan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Dia hanya
mengangguk-anggukan kepala. Aku lalu mempersilakan ia duduk. Sejenak aku
tidak mengajaknya berbicara karena ia sedang mengutak-atik handphone-nya.
“Bagaimana
kabarmu asri?” tanyaku untuk memulai percakapan dengannya. Ia menatapku
dengan senyuman ramah. Aku belum sempat mendengar jawabannya, tiba-tiba
ada pesan masuk di handphone-ku.
“Loh, inikan
nomor kamu!” kataku heran. Ia hanya menganggukkan kepala dan tersenyum.
Aku segera membacanya. Aku lagi-lagi sulit mempercayainya. Dia menulis,
“Maaf. Aku sebenarnya tidak dapat berbicara. Maukah kamu selalu berteman
denganku?”.
“Kamu bisu?” tanyaku heran.
Gadis bermata bulat itu hanya meneteskan air mata.
4 Juli 2012 pukul 22:52
Membeli Cinta
-
Di sebuah daerah tinggalah seorang saudagar yang kaya raya. Dia mempunyai
seorang hamba yang sangat lugu. Begitu lugunya, hingga orang memanggilnya
“si bo...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar