Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Gadis Misterius

Rasa penasaran yang panjang mulai sirna. Perlahan-lahan harapan itu menepi ke ruang nyata. Aku sangat bergembira.  Saking menggebu-gebunya perasaan itu, aku hampir lupa pada sengatan kejam terik mentari siang ini. Aku juga tak mempedulikan sama sekali orang-orang yang lalu-lalang di depanku. Sebaliknya, dalam hatiku, aku selalu berujar, “ Semoga taman ini menjadi saksi perjumpaan ini”.

Begitulah siang itu aku berada di sebuah taman. Banyak orang menyebut taman ini sebagai taman Cinta . Itu hanya sebuah julukan mengingat di tanam inilah banyak anak muda mengumbar kemesraan  dengan pujaan hati mereka. Tak heran, jika siang itu sejauh mata memandang, yang ada hanya  orang-orang sedang pacaran. Ada yang berjalan mengelilingi taman. Ada yang duduk berduaan. Kelihatannya mereka asyik bercerita dengan pujaan hatinya masing-masing.

Aku sendiri hanya duduk di sebuah kursi panjang. Duduk diam dan termenung. Pikiranku disesaki skestsa rekaan wajah si gadis itu.  Aku mulai menebak-nebak soal tingginya, hidungnya yang mancung, rambut lurusnya yang setengah bahu, dan kaos warna putih kesukaannya.

Ya, itulah Asri, gadis yang kukenal melalui facebook enam bulan yang lalu. Hari ini kami berjanji melalui chatting untuk bertemu di taman ini.

“Aku pakai baju warna putih nanti!” janjinya beberapa hari yang lalu. Aku hanya mengiyakan. Lagi katanya dengan nada memperingatkan,  “jangan kecewa nanti kalau sudah ketemu sama aku!”.

“ Mana mungkin aku kecewa!” ujarku coba menyakinkan dia.

“Ah, gombal. Laki-laki kan begitu!” balasnya menyiratkan suatu tuduhan bagi kaum laki-laki. Tapi aku sendiri tak ingin menggali lebih jauh maksud dari kata-katanya itu. Kesediaanya untuk bertemu sudah sangat berarti bagiku. Pasalnya, bukan usaha yang ringan untuk dapat menyakinkan dia agar dapat bertemu di taman ini.

***

Aku masih ingat persis  awal perkenalan dengan Asri melalui chatting enam bulan silam. Kala itu, aku tengah asyik chatting dengan teman-teman seangkatanku di seminari. Tiba-tiba ada satu pesan. Namanya, Asricheza Wersun. Kuliihat profilnya, barangkali pernah berkenalan. Ternyata tidak kukenal. Fotonya hanya satu. Itupun foto warna setengah badan. Rambutnya terurai lurus. Hidungnya mancung. Pipinya lesung. Bibir tipis. Kulitnya putih. Ia mengenakan kaus berwarna putih dalam foto itu.

“frater, ya?”  tulisnya singkat.

“kok tahu?” jawabku penasaran.

Dia tidak menjawab. Malahan dia memburu aku dengan pertanyaan lain. “Apakah  seorang  frater bisa bergaul dengan semua orang tanpa pilih kasih?”

“Tentu bisa.”

“Aku tidak percaya.” tulisnya lagi seolah-olah memancingku untuk berdiskusi sengit. Aku tidak  menjawab. Aku bahkan mulai geram dengan kata-katanya itu. Tetapi aku tidak hilang akal.

“Bagaimana kalau kita berdiskusi melalui telepon?” Aku coba menawarkan gagasan itu. Bagiku diskusi lewat chatting tidak begitu memuaskan.

“Aku tidak punya hp frat

Aku tidak percaya. Aku berpikir, dia hanya mau menghindar dari tawaranku. Aku lantas  tidak melanjutkan chatting dengannya hari itu.

***

Semenjak hari itu, kami selanjutnya semakin sering berdiskusi via chatting.  Ada banyak persoalan yang kami diskusikan bersama. Mulai dari masalah gereja, pergaulan remaja,  masalah moral, teologi, politik, dan lain sebagainya. Kesannya, dia amat cerdas. Acapkali mengujiku dengan berbagai pertanyaan sulit. Pengetahuannya juga luas. Ketika ditanya, bagaimana ia mempunyai pengetahuan yang begitu luas, dia lantas menyebut ibunya sebagai guru baginya.

Meskipun demikian, dia layak disebut gadis misterius. Aku tidak pernah mengetahui sedikitpun tentang identitas dirinya; Berapa umurnya? Dimanakah ia tinggal? Kuliahnya dimana? Hobbinya apa?. Itulah sederet pertanyaanku yang tidak pernah dijawabnya. Setiap kali ditanya, dengan lincah ia mengalihkan topik pembicaraan. Hanya satu hal yang aku persis tahu. Dia beragama Katolik. Ia juga jarang mencurahkan masalah kehidupannya. Sebaliknya aku kerapkali meminta nasehatnya tentang masalah-masalah yang kuhadapi.

Dirinya yang misterius itu tidak segera membuat kesabaranku menjadi pendek. Aku tidak pernah bosan meladeni dirinya yang sedikit agak aneh itu. Bahkan ketika aku berkali-kali meminta nomor handphone-nya dan ia juga berkali-kali menjawab tidak, aku tetap sabar.

***

Beberapa hari yang lalu, saat aku asyik membaca status facebook dari teman-teman, dia kembali menyapaku lewat chatting. Kali ini aku tidak menjawabnya. Ia mengirim pesan lagi. Ia menggodaku dengan lelucon. Lagi-lagi aku tidak mau menjawab. Rupanya dia tidak hilang akal. Dia memancingku lagi.

“Katanya mau bergaul dengan siapa saja. Mana buktinya?” Ia mengkritik pernyataanku sebelumnya. Aku tidak sabar lagi.

“Frater juga manusia. Aku hanya mulai bosan berteman denganmu.”

“Kenapa?”

“Kamu tidak pernah memberitahuku tentang  dirimu.”

Untuk sesaat dia tidak menjawab. Aku mulai menebak-nebak, apakah yang akan dijawabnya.Firasatku cenderung mengatakan,  ia akan mengalihkan lagi topik pembicaraan kali ini. Namun, aku tiba-tiba tersentak dengan jawabannya. Ia mengajakku untuk bertemu. Hal yang lebih mengejutkan lagi ketika ia meminta bertukaran nomor handphone denganku. Dan kami pun berjanji bertemu di taman ini.

***

Inilah hari yang aku tunggu-tunggu itu.  Hari  kesepakatan kami berdua untuk bertemu. Wajarlah kalau sejak pagi tadi, tak henti-hentinya aku membayangkan apa yang bakalan terjadi hari ini. Namun, dia tetaplah sosok yang menyengatku dengan rasa penasaran. Pasalnya, aku sejak tadi telah mengirimkannya pesan singkat. Dia tidak membalasnya. Sesekali kutelpon. Tapi tidak dijawabnya. Aku mulai gelisah.

Di tengah-tengah kegelisahanku, tiba-tiba punggungku ditepuk dari belakang. Aku menoleh. Seorang gadis sedang berdiri menatapku. Bola matanya bulat. Berhidung mancung. Berkulit putih. Rambutnya dibiarkan terurai bebas. Ia kelihatan sangat cantik.

“Asri ya?” tanyaku disertai dengan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Dia hanya mengangguk-anggukan kepala. Aku lalu mempersilakan ia duduk. Sejenak aku tidak mengajaknya berbicara karena ia sedang mengutak-atik handphone-nya.

“Bagaimana kabarmu asri?” tanyaku untuk memulai percakapan dengannya. Ia menatapku dengan senyuman ramah. Aku belum sempat mendengar jawabannya, tiba-tiba ada pesan masuk di handphone-ku.

“Loh, inikan nomor kamu!” kataku heran. Ia hanya menganggukkan kepala dan tersenyum. Aku segera membacanya. Aku lagi-lagi sulit mempercayainya. Dia menulis, “Maaf. Aku sebenarnya tidak dapat berbicara. Maukah kamu selalu berteman denganku?”.

“Kamu bisu?” tanyaku heran.

Gadis bermata bulat itu hanya meneteskan air mata.

4 Juli 2012 pukul 22:52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text