Taytay, Rizal, Phillipines |
Mempunyai keluarga yang sederhana namun telah memberikan sesuatu bagi kehidupan orang lain adalah kebanggaan yang tak terlupakan selama hidup saya. Ayah saya adalah seorang guru di daerah yang terbilang terisolasi, letaknya di atas bukit. Belum ada kendaraan roda empat sampai ke sana. Baru-baru ini sudah ada kabar baik yakni motor dari penjual ikan sudah bisa menjangkau ke sana. Melihat motor itu, warga di sana senangnya bukan main, lalu walaupun ikan-ikan sudah tampak memar karena goncangan motor di atas jalan berbatu-batu, mereka tetap membelinya. Kira-kira ini serupa kegembiraan Thomas Alfa Edison yang setelah melakukan lebih dari seribu kali percobaan, ia baru mendapatkan hasilnya.
Tapi saya lumayan beruntung daripada ketiga kakak saya. Ketika saya lahir, keluarga kami sudah berpindah ke kampung dekat REO. Namanya NGGORANG, wilayah sepanjang setelah jembatan Wae Pesi hingga hampir masuk Reo. Ibarat pintu gerbang, kampung ini adalah permulaan untuk masuk wilayah kecamatan Reok kalau datang dari arah Ruteng, ibu kota kabupaten Manggarai, NTT. Barangkali sambutannya kurang bisa dikatakan hangat ketika kampung sepanjang jalan paling ramai lalu lintasnya ini mengalami gerhana berkepanjangan semenjak revolusi industri dimulai dari dua abad yang lalu.
Listrik tidak ada di sana, namun sekurang-kurangnya akses kendaraan sudah lancar. Semenjak SD, saya terbiasa belajar di bawah cahaya suram lampu petromax. Meskipun demikian, saya tidak pernah mempertanyakan hal itu sewaktu kecil. Kenyataan itu dianggap saja sesuatu yang memang harus diterima. Dan masa kecil pun terasa indah ketika saya dan teman-teman selalu melewatinya dengan berburu tikus di sawah, menembak burung dengan ketapel, bekerja di sawah dan kebun, bermain "rakit" di sungai wae pesi, mengejar katak di musim hujan, dan lain sebagainya. Sangat-sangat menyenangkan!
Lebih lucunya kalau hari-hari sekolah. Teman-teman dari daerah gunung selalu dibekali jagung atau ubi rebus dalam plastik atau tas buku mereka. Saya selalu membawakan indomie goreng atau es batang yang saya curi dari warung kecil kami haha. Kami sering makan bersama atau saling tukar dalam kelas. Saking akrabnya,kadang saya pergi ke kebun mereka untuk mengambil sayur-sayuran atau jagung untuk keluarga kami.
Lalu kemudian saya mengikuti testing masuk SEMINARI KISOL pada tahun 2002. Boleh dikatakan "kecelakaan" ketika saya dinyatakan lulus. Tak pernah terlintas dalam benak saya untuk sekolah di sana. Waktu ikut testing, alasannya hanya karena setiap tahun SD kami selalu mengirim siswa peserta Tes. Dan rata-rata tiap tahun selalu gagal. Selain itu, pada malam menjelang tes, kami yang berjumlah 75 orang berdiskusi tentang kemungkinan soal yang keluar sewaktu ujian. Saya benar-benar buta dengan apa yang mereka diskusikan. Soal-soal itu kedengaran asing di telinga saya. Tapi saya berusaha mengikuti saja tes tersebut dan ketika mengisi soal saya terbantu ingatan pada diskusi mereka. Dan ternyata lulus.
Dibimbing dalam kehidupan yang serba aturan, saya melewatkan masa yang indah di Seminari. saya mulai berkenalan dengan banyak teman dari seluruh Manggarai dengan dialek yang berbeda-beda. Kerapian penampilan semakin terasah. Dilatih hidup mandiri. Berdoa. dan lain sebagainya.
Selain itu, datang dari latarbelakang keluarga yang berbeda dengan karakter yang unik, saya semakin mengenal asal-usul saya dan mulai mengapresiasi perbedaan. Persahabatan kami selama enam tahun membuat saya selalu berpikir bahwa sejauh ini kebanggaan saya adalah teman-teman saya. Hanya dengan kebersamaan itu, saya bisa menjelajah sampai ke Bejawa, Labuan Bajo, Pagal, Cancar, Golo Welu, Lembor, dan Ruteng untuk mengunjungi keluarga dari teman-teman. Begitu akrab dan intim, kami pun sampai sekarang tak bisa melupakan bahkan selalu menguatkan satu sama lain.
Memang awalnya tidak mudah. Saya sempat kehilangan percaya diri dan minder bergaul dengan teman-teman dari yang berasal dari kota Ruteng. Dalam pelajaran bahasa Inggris, mereka sudah tampak fasih pada saat saya baru mulai mengenal bahasa Inggris sebab sewaktu SD saya tidak pernah mempelajarinya. Begitu pun kalau mereka berbicara tentang Detective Conan, Power Rangers, Dragon ball dsbnya. Tapi kemudian semuanya terlupakan seiring dengan perjalanan waktu dan karena keakraban kami satu.
Setelah tamat, saya seorang diri melamar biara misionaris, CICM. Sedikit berlaku curang saat itu karena pihak Seminari Kisol melarang kami untuk melamar biara-biara lain selain yang ditentukan yakni Projo, SVD, SMM, dan OFM. Lalu dengan cara yang tidak "biasa", saya mengajukan lamaran ke CICM dan diterima.
Di Bulan Agustus tahun 2008, saya tiba di pelabuhan Makassar. Berangkat seorang diri ke Makassar dengan Kapal Tilong Kabila, saya ibarat rusa masuk kampung ketika melihat gedung-gedung tinggi di pelabuhan itu. Gambaran kehidupan kota yang dipenuhi perampok, penjahat, pencuri justru mengurungkan niat saya untuk berjalan keluar dari pelabuhan. Untunglah ada orang yang menolong. saya tinggal selama setahun di Makassar,tepatnya di Daya dekat UNHAS. Setahun adalah waktu yang cukup untuk berbicara dengan dialek yang ditambah, "ji,mi,,di" hahha
Kemudian pindahlah ke ibu kota negara, Jakarta pada tahun 2009. Di sinilah pertualangan inteklektual yang sesungguhnya dimulai. Disebut pertualangan karena bukan soal hanya menyelesaikan kuliah selama empat tahun, tetapi saya mengartikan dan merasakan ritme perkuliahan dari tahun ke tahun selama di STF Driyarkara. Sangat menantang dan membuka wawasan berpikir. Saya mulai berlatih menulis dan coba terus mengasahnya. Kadang di waktu luang, ingatan tentang ujian dan tugas-tugas yang dikerjakan selama kuliah muncul lagi. Sensasinya masih bisa terasa.
Pengalaman paling berharga ketika terpilih jadi ketua SENAT di tahun ketiga. Tentu saja, pengalaman memimpin itu tidak bisa dipelajari dari buku atau melalui seminar, kecuali kalau kita benar-benar pernah terlibat dalam organisasi dan berani mengambil tanggung jawab. Dan kesulitan saya waktu itu adalah bagaimana memimpin teman-teman yang saya kenal banyak yang cerdas, kritis, dan kebanyakan biarawan. Saya percaya satu hal bahwa kalau berhadapan dengan orang yang "bodoh", saya mungkin harus berbicara lebih banyak dan mengomandoi sana-sini. Tetapi kalau berhadapan dengan orang "pintar", kata iklan ini perlu dipakai, "Talk less, Do more." Orang-orang "pintar" akan takluk dengan sendirinya.
Dan di tahun keempat saya merasa sangat terinspirasi dengan romo Magnis, seorang pendidik yang ilmunya tak hanya tersangkut di kepala tetapi juga dalam kehidupanya. Disegani karena ia seringkali tampil di layar kaca TV dan tampil dalam event yang penting, ia sebetulnya pribadi yang sangat sederhana, ramah dan menginspirasi. Mengerjakan skripsi di bawah bimbingannya, saya belajar banyak tentang kerendahan hati seorang pendidik. Ia menuntun dengan setia dan sangat toleran. Sambil bermain-main dengan kucing di kamarnya, kami berdiskusi tentang "monyet vs manusia?". Dan semua itu adalah kenangan yang memberikan hidup, bukan sekadar ingatan.
Bersambung saja biodata, lagi ngantuk ketik......hahaha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar