Sedemokratis apapun sebuah sistem jika para politisi tak dibekali
pendidikan nilai dan karakter yang kuat, keruntuhan sebuah sistem
menjadi ancaman yang nyata.
Kesadaran tentang nilai-nilai itulah yang pernah ditulis Plato dalam Republic
(buku III). Meski tidak menyepakati sistem demokrasi yang rawan
dimanipulasi oleh kekuatan dominan dan anarkisme, ia beranggapan bahwa
prinsip-prinsip teologi adalah hal dasar yang perlu dibicarakan dalam
sistem pemerintahan manapun.
Prinsip Teologi
Maksud
dari prinsip-prinsip teologi adalah nilai-nilai yang perlu diturunkan
kepada generasi muda.Sebelum diceritakan dan diteruskan melalui mitos
sebagai satu-satunya medium penyampaian keutamaan-keutamaan moral saat
itu, basis moral tersebut perlu diuji dalam suatu diskursus agar tidak
tumpang tindih sehingga menyesatkan generasi muda.
Tentang
keutamaan seorang politisi adalah contohnya. Dalam kurun waktu abad ke V
dan IV SM, politik dianggap kotor. Generasi muda sudah dirasuki pikiran
bahwa kalau mau menjadi seorang politisi, jangan berlaku jujur. Seorang
politisi yang jujur akan menderita. Ia tidak kaya dan hanya mempunyai
sedikit teman. Sebaliknya jika bisa licik seperti ular, seorang politisi
bisa menjadi kaya, hidup berfoya-foya, bahkan lingkungan pergaulannya
luas.
Sebagaimana ditulis Plato, Sokrates menyangsikan
kenyataan itu dan berharap mitos-mitos menekankan bahwa keutamaan
seorang pemimpin adalah pelayanan kepada masyarakat. Ditekankan pula
dalam mitos tersebut bahwa begitulah kehendak para dewa.
Tatanan Nilai
Untuk
memahami kekacauan tatanan moral para politisi itu, kita perlu paham
tiga kategori nilai berdasarkan tingkat kepuasaannya yang diulas Plato
dalam Arete, rahasia hidup sukses.
Paling bawah adalah kepuasaan makan-minum, seks, dan uang (epithumia). Kenikmatannya hanya sesaat. Harga diri dan kehormatan adalah tingkat kedua (thumos). Tingkat teratas adalah pengetahuan moral (logistikon).
Manusia
berjalan di antara tarikan-tarikan nafsu-nafsu tersebut. Plato menyebut
manusia sebagai makhluk “antara” karena ia masih menentukan diri
apakah ia mengikuti nafsu epithumia dan thumos yang diidentikkan dengan nafsu kebinatangan atau dorongan untuk mencapai pengetahuan sejati yang dimiliki para dewa.
Manusia tidak bisa menghindar dari tarikan nafsu epithumia dan thumos.
Inilah dorongan dasar. Namun manusia tetap dapat membebaskan diri
melalui pemurnian pikiran agar sejalan dengan hasrat jiwa untuk
mendekati kehidupan dewa-dewa sebagai tujuan tertinggi.
Tentu
saja bagi Plato, seorang pemimpin punya kualifikasi yang tinggi. Ia
bukan orang yang rakus akan makan dan minum, seks, dan uang. Bukan pula
seorang yang merebut jabatan publik untuk mendapatkan apresiasi dari
masyarakat . Sebaliknya politisi adalah pencinta nilai-nilai keadilan,
kebaikan, keberanian, dan kebijaksanaan.
Seorang pemimpin
harus cerdas, tidak saja secara intelektual tetapi juga emosional dan
spiritual. Menurut Plato, filsuf adalah sosok yang tepat untuk posisi
tersebut. Tentu saja, gambaran filsuf saat itu berbeda dari zaman
selanjutnya. Filsuf ialah figur yang telah ditempa melalui pendidikan
berdisiplin tinggi dan khusus. Mereka tinggal di tengah masyarakat,
mampu melakoni hidup tanpa beristri, dan sejumlah larangan-larangan yang
keras lainnya. Salah satu yang digambarkan cukup ekstrem misalnya, demi
menjaga kebugaran raga, ketika berkemah di tepi pantai, seorang filsuf
dilarang makan ikan.
Singkat kata, tokoh filsuf adalah
gambaran pribadi yang mampu memahami tatanan nilai dan terdorong untuk
selalu terarah kepada nilai tertinggi, yakni memperoleh
pengetahuan-pengetahuan sejati tanpa tunduk pada nafsu epithumia dan thumos. Melayani rakyat adalah tujuan utamanya.
Ancaman Demokrasi
Membandingkan kenyataan sekarang, ada situasi kekacauan tatanan moral. Para politisi belum sepenuhnya terbebas dari belenggu epithumia dan thumos. Semangat mencari kekuasaan demi kehormatan masih kental. Uang dan gratifikasi seks sangat familiar di kalangan elite politik.
Cita-cita
demokrasi masih jauh dari harapan. Sejatinya demokrasi menurut
Aristoteles adalah ruang diskursus tentang keutamaan-keutamaan moral.
Sebab sebagai makluk rasional, manusia tidak saja ingin hidup belaka
yakni hanya pemenuhan kebutuhan dasar seperti makan dan minum, tetapi
juga ingin hidup bahagia. Kebahagiaan hanya tercapai melalui diskusi
basis moral tersebut. Hal itu hanya mungkin ketika ruang politik steril
dari pengaruh-pengaruh uang dan popularitas.
Dipenuhi
para politisi yang minim kesadaran nilai dan berkarakter, demokrasi
saat ini masih terancam. Pemimpin memanfaatkan rakyat yang mudah dibuai
oleh uang. Popularitas seorang artis mampu merangsang pilihan-pilihan
yang irasional dalam pemilihan umum.
Tanpa tatanan nilai,
tentunya kita bisa jatuh ke dalam hidup “belaka” seperti para pengungsi,
tawanan perang, dan pencari suaka. Inilah yang disebut Carl Schmitt,
filsuf asal Jerman, sebagai keadaan darurat.
Cara-cara
seperti pengutamaan kurikulum pendidikan berbasis nilai-nilai kehidupan
dan karakter, pertimbangan rekam jejak seorang calon pemimpin dengan
cermat, konsolidasi masyarakat sipil melawan politik uang dan
kepentingan oligarkhi adalah usaha yang bisa dilakukan untuk
menyembuhkan demokrasi yang sedang “sakit” saat ini.
Rahmat
-
Dua malaikat sedang melakukan perjalanan. Ketika malam tiba, mereka
berhenti dan bermaksud menginap di sebuah rumah milik keluarga kaya. Keluarga
itu s...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar