“Pagi!” sebuah sapaan hangat mengagetkanku pagi itu.Aku mendongakkan kepala. Ternyata Yohan dan ayahnya. Mereka sedang menuju kesawah. Di depan rumahku adalah jalan satu-satunya menuju ke sawah di daerahkami.
“Pagi juga Om!”Aku menjawabnya. Mereka berlalu sambil tersenyum kepadaku. Kuperhatikan Yohan.Tangan kanannya memegang pacul yang ditaruhnya di pundak. Sedangkan tangankirinya sedang memegang sebuah sirigen berisi air. Dia berjalan membuntutiayahnya.
Dua tahun lagi aku akan seperti Yohan, pikirku dalamhati. Tiap pagi harus ke sawah bersama ayahku. Bekerja keras, mulai denganmembajak sawah, menanam padi, lalu memanen hasil, itulah kebiasaan yang mestidisosialisasikan oleh seorang ayah kepada anaknya di kampung kami.
Kini penampilan Yohan itu tidak seperti tahun lalu. Mengenakan jas hitam,dipadu dengan dasi kupu-kupu, ia bagaikan seorang pangeran pada pesta syukurkomuni pertamanya. Banyak yang datang merayakan pesta itu. Syukuran komunimemang selalu menjadi event besar dikampung kami. Sapi dan babi tidak tanggung-tanggung disembelih untuk pesta.Minuman tuak melimpah. Semua orang bergembira, bergoyangdan berdansa hingga subuh menjemput.
Setahun lagi aku seperti Yohan. Aku membayangkandiriku menjadi seorang pangeran kecil dalam satu malam. Aku harus duduk di tengah podium. Diapit oleh orang yangdituakan di kampung, dijepret oleh kamera dari segala macam sisi, dan disalamioleh ratusan orang. Gerak-gerikku diperhatikan banyak orang.
Namun apalah artinya semua itu, pikirku kemudian.Aku hanya bisa menjadi pengeran dalam dalam satu malam seperti Yohan. SetamatSD aku harus belajar bertani. Tidak mungkin melanjutkan pendidikan ke jenjangyang lebih tinggi. Keadaan ekonomi di kampung ini pas-pasan. Hampir tidak ada anakdari dua puluh kepala keluarga di sini melanjutkan ke perguruan Tinggi.Paling-paling yang tertinggi hanya tingkat SMA. Tapi setelah tamat SMA, merekatetap pulang ke kampung, belajar bertani. Lalu banyak orang tua yang melihatpendidikan para jenjang pendidikan yang lebih tinggi hanya buang-buang waktusaja. Ayahku adalah salah satunya. Sekolah Dasar sudah cukup. Cukup tahukompetensi dasar, membaca dan menulis.
“Fi, ayo mandi. Siap-siap ke sekolah!” perintahibuku dari dalam rumah. Rasanya berat mau ke sekolah. Bukan saja karena sayamalas harus mandi dalam kondisi sedingin ini, tetapi lebih-lebih bentangan nasib yang sudah terbaca sejak kini.
“Iya, ma.”
***
“Acara syukuran komuni pertamamu mungkin tidak akandirayakan?” kata mama ketika aku baru saja melepaskan
pakaian seragam di kamarsepulang sekolah.
“Kenapa, Ma?”
Mama hanya menggelengkan kepala. Dia menyuruhkumenemui ayah di kamar makan. Kulihat mata ayah sedang duduk memangku tangan.Tatapannya melototi sayur terong goreng dan sebuah bakul nasi berada di atasmeja makan.
“Giliran pesta keluarga kita dicurangi dengankeputusan seperti ini” protesnya dengan nada-nada marah-marah. Aku tidak beranimenanggapinya. Hanya ibuku yang berani bertanya.
“Kenapa, Pa?”
“Tanya saja sama tetangga kamu yang sok pahlawanitu!”
Aku tahu maksud ayah. Siapa lagi kalau bukan Abang Beben.Sudah beberapa kali, ayah mengeluhkan dia. Katanya, dia itu seorang provokator.Suka membawa ide-ide yang memecahbelahkan warga kampung. Entah benar atau tidaktuduhan ayah itu. Yang kutahu, Beben pernah merantau ke tanah Jawa ketika tamatSD. Ia pergi begitu saja dari rumah. Setelah bertahun-tahun kini ia kembalitinggal di kampung. Istrinya yang berasal dari Magelang itu dikenal seorangyang ulet. Dia membuka sebuah warung. Di halaman belakang rumah ditanaminyaberbagai macam sayur-mayur. Kemudian dijualnya. Sebuah kebiasaan baru yang dilakukandi kampung selama ini. Sedangkan Beben giat berternak. Berderet di belakangrumahnya, kadang ayam, kadang bebek, dan kadang babi. Barangkali iamengusahakan itu karena ia tidak diwariskan tanah sawah oleh keluarganya.
Mula-mula gaya hidup mereka menjadi buah bibir orangdi kampung. Tak terkecuali ayah dan ibu. Namun Beben dan istrinya begitu ramahdengan anak-anak. Perilaku mereka jauh dari apa yang sering digosipkan olehorang-orang. Walupun demikian, banyak orang, sadar atau tidak, mulai mencontohikeuletan mereka. Penduduk di kampung tidak saja menanami sawah dengan padi. Dikala telah memanen, orang biasanya menanam sayur-sayuran. Ayam dan babi punmulai dikandangkan. Suasana kampung pun sedikit lebih tertata.
Aku lalu meninggalkan ayah di ruang makan. Pikirankumasih kacau. Aku belum tahu, mengapa pesta komuni pertamaku dibatalkan. Sebaiknyaaku menemui abang Beben, gumamku sebelum tidur siang itu.
***
Malam datang menjemput. Hembusan angin malam yangdingin bertiup lembut menggetarkan bulu kudukku. Di bawah sinar rembulan yangpucat kulalui jalan setapak menuju warung abang Beben. Beruntunglah dia sedangduduk di sebuah kursi berwarna coklat di depan warungnya.
“Ayahmu sudah berbicara tentang pembatalan pestakomunimu, Safri?” sergapnya dengan pertanyaan ketika melihatku. Ternyata dialebih dahulu menanyaiku.
“Iya, bang. Tapi aku belum tahu alasannya.”
Diresponnya jawabanku dengan tertawa terbahak-bahak.“Ayahmu kayaknya tidak sepakat. Tetapi kita harus memulai sesuatu yang barulahdi kampung ini. Kita sudah sepakat dalam musyawarah kampung. Tidak akan adalagi pesta komuni. Pesta hanya untuk menghambur-hamburkan uang. Uang untuk biayapesta, kita pakai untuk membeli kado untukmu dan setiap anak yang akanmerayakan pesta komuni.” jelasnya.
“Kado apa Bang?”
“Sepasang kerbau dan sepasang babi.”
“Aku belum mengerti maksud Abang?”
“Kado itu nanti kamu pelihara. Anggap saja sepertitabungan untuk masuk SMP, SMA, dan kuliah. Nanti tidak ada alasan lagi, kitamiskin makanya tidak sekolah. Semua warga di kampung sudah sepakat dengan itu,kecuali ayah kamu kemarin. Tapi, dia bakalan paham maksud saya.”
Aku tertegun mendengar penjelasan abang Beben.Kemudian, aku bersalaman pamit pulang ke rumah. Dalam perjalanan, pikirankumenerawang jauh. Pikirku, dua tahun lagi, sepasang kerbau kira-kira mempunyaiseekor atau dua ekor anak. Kujual seekor untuk biaya masuk SMP. Sedangkansepasang babi itu, kira-kira sudah mempunyai sepuluh ekor anak dengan ukuranyang besar-besar. Nanti kujual, lalu kutabung uangnya. “Suatu saat aku pastimerantau dan kuliah di tanah Jawa” gumanku dalam hati.
Pagar pintu rumah sudah terlihat. Kulihat ayahberdiri di depan pintu masuk rumah. Kusapa dia. Sebuah senyuman dibalasnya.Mungkinkah senyuman itu pertanda ayahsudah paham? Kulihat ia menatap langit. Malam ini tidak ada bulan. Namunkelap-kelip bintang bertaburan di angkasa.
7 April 2013 pukul 12:28
bagusssss
BalasHapus