Pukul 00.00 WIB, tepatnya di sebuah kamar kos di daerah Rawa Sari, Jakarta. Alunan musik blues masih terdengar lembut. Sebuah kipas angin masih giat bekerja menghembuskan angin ke segala arah.
“Kolang
e Yesus!” teriak Vianny. Matanya masih melek. Ia melototi monitor
laptop. Tidak lama berselang, HP-nya berdering. Lantunan lagu “naca
momang” sontak menghentikan alunan musik Blues yang didengarnya dari hp. Ia membuang begitu saja stick playstation ke tempat tidur.
“Hallo enu!” sapanya dengan suara bas berat disertai dengan suara dengungan seperti orang yang sedang mengantuk.
“Sudah tidur?”
“Ngantuk e. Enu belum tidur?”
“Belum.sudah kerja tugas tadi?”
“Aduh esok pagi saja. Kebetulan ngantuk sekali tadi. Enu, kenapa belum tidur?”
“Masih pikir rok songke buat acara tarian e. Saya tidak punya. Padahal dua minggu lagi acaranya.”
“Tidak usah dipikirkan. Saya ada towe songke yang tidak pernah saya pakai. Nanti dijahitkan jadi kau punya rok saja.”
“Betul k Na?”
“Iya.”
“Nana lanjut tidur sudah kalau begitu. Love u so much!”
“Love u too”.
***
Ia kembali mengambil stick
playstation. Alunan musik Blues kembali terdengar mengiringinya selama
bermain PS. Gerakan jemarinya amat lincah menekan beberapa tombol pada
stick itu. Sesekali ia menghentakkan kakinya di lantai. Umpatan pun
kerap terdengar. Juga nama pemain Chelsea disebutnya berkali-kali. “Shot
Torres! Terobos Matta! Clear Terry”. Chelsea selalu menjadi klub
andalannya selama bermain PS.
Lagi asyik bermain, Hp
kembali berdering. Panggilan pertama tidak dijawabnya. Lagi-lagi HP
kembali berdering. Panggilan berulang-ulang tanda ada yang tak beres
baginya. Apalagi kalau itu terjadi tengah malam.
“Hallo, Papa! Neka rabo reme konsen kerja tugas bo.” ucapnya dengan nada ringan.
“ Ole do keta tugas meu ta. Asa sehat-sehat ko?
“Iyo papa. Co’o tara toe di toko hi papa?”
“Reme raha agu mama e. Tolong koe bapa hau ta?”
Mendengar
itu, kotak ingatannya kembali dibuka. Pertengkaran kedua orangtuanya
adalah hal biasa dan sering. Mamanya selalu marah-marah saat ayahnya
dengan wajah lugu pulang dini hari. Tersenyum tersipu-sipu dan tidak
menjawab satu kata pun adalah ciri khas ayahnya kalau sedang dimarahi.
Ternyata itu adalah senjata penakluk. Sebab setelah marah-marah, ibunya
yang kerap menyebut diri sebagai “molas Pau” pasti langsung merasa iba dengan suaminya itu. Malah ibunya lagi yang sering meminta maaf.
Ia ingat kejadian suatu malam ketika ia masih SD. Ayahnya mengendap-endap keluar dari kamar. Mengenakan towe songke, kepalanya dibaluti topi ninja. Langkahnya sangat hati-hati. Saat itu ia belum tidur.
“Papa
ngo nia?” sapanya dengan suara setengah berbisik. Ayahnya tersentak
kaget. Jari telunjuknya disalibkannya di depan bibir. Ia paham.
“Ngo maen judi bapa e. Neka toi one mama e.”
Ia
hanya tersenyum melihat ayahnya. Saat dipergok begitu, ayahnya
bertingkah seperti anak kecil. Namun semenjak hari itu, ia selalu
mendapat “jatah” dari ayah. Setiap pulang malam bermain judi, ayahnya
selalu memberinya uang.
Namun berlakulah pepatah ini pada
ayahnya: sepandai-pandainya tupai melompat, tetapi akan jatuh juga.
Secerdik-cerdik ayahnya menipu, ibunya tetap mengetahuinya. Beberapa
kali ibunya mendapati ayahnya pulang pagi hari. Ibunya marah.
“Nadus,
toe keta emo hau maen judi? Teing hang le kartu dau anak soo tong!”
tegur ibu dengan suara membentak. Ayah hanya diam seribu bahasa. Jika ia
menyaksikan pertengkaran itu, ayahnya hanya memainkan matanya
kepadanya. Pertanda, sebentar lagi ibunya pasti menyesal dengan
kata-katanya dan merasa iba. Dan memang betul, ibu lantas meminta
maaf.Rupanya ayahnya tahu, bahwa untuk memadamkan api diperlukan air.
Mau-mau isterinya dia tahu benar.
***
“Papa, mama tidak biasa marah lama dengan bapa to?” jawabnya sambil tertawa.
“Toe
ye, nana. Kayaknya mama serius kali ini e.Toe mangkong ngo maen judi
aku liha ge, tapi mangkong ngo selingkuh. Ancam cerai sekarang e.”
“Selingkuh hi bapa?”
“Mangkong
nggitu le ende dau e. Padahal toe manga selingkuh bapa ta. Hanya
masalah kesalahpahaman saja. One wie bapa ngo maen kartu pake towe songke. Bapa kalah banyak nana. Akhirnya teing kaut laku towe hitu agu ema d’ Rikhard, ganti seng utang agu hia e. Tapi pas kole bao gula, rei le ende dau towe songke hitu. Nggoo taen, aku kole selingkuh. Pasti hemong one kamar ino wai bana towe hitu.”
“Jelaskan nggitu kaut agu mama lite ga”
“Percuma ge. Ogon senget penjelasan daku ga. Manga kin na’a towe songke dau ko?”
“Kudu coo bapa?”
“Kirim kole cee lau ta!”
Ia
mulai bingung dengan permintaan ayahnya. Tapi ia coba mencari-cari
jalan agar ayahnya tidak meminta towe songke itu lagi. “Papa poli jahit
jadi rok laku towe songke hitu ga. Kebetulan teman kemarin lagi butuh
untuk pentas di kampus. Dia suka pake rok motif songke.”
“Kebetulan sekali eme nggitu ga. Kirim lau rok hitu ge daripada cerai turung tua ami ta. ”
“Iyo, bapa. Nanti saya kirim.” jawabnya dengan nada kesal. Lalu pembicaraan via telpon berakhir.
***
Ia
tidak lanjut bermain PS lagi. Ia merebahkan badannya di atas kasur.
Matanya menerawang plafon. Sesekali ia menarik nafas panjang. Kedua
tangannya terentang horisontal. Sementara kedua kakinya ditengkuk.
Ia belum berniat tidur. Pikirannya masih galau. Tadi ia sudah berjanji memberikan towe songke kepada pacarnya. Namun, ayahnya datang membawa pertimbangan. Towe Songke ini mau diberikan kepada siapa? Kini itulah pertanyaannya dalam hati.
Berpacaran
dengan Dina baru tiga bulan. Gadis bermata manja itu selalu menyengat
pikirannya hampir tiap malam. Namun ia mengingat tiga bulan sebelumnya.
Usaha meraih simpati di hati Dina tidaklah mudah. Dina adalah wanita
pujaan para lelaki. Di matanya, Dina bukan tipe wanita yang “kekurangan”
laki-laki. Pesonanya luar biasa. Di kala berkumpul dengan teman-teman,
Dina selalu menjadi topik utama. Senyumnya, cara jalannya, suaranya
selalu dibicarakan oleh teman-temannya. Di saat seperti itu, ia
berkeinginan kuat menjadi penjaga hati Dina.
Ternyata
keinginan itu terkabul. Mula-mula dari tegur sapa biasa. Dilanjutkan
tukaran nomor hp, disusul gombal “kecil-kecilan” tiap pagi dan
mengirimkan pesan-pesan lucu dan bermakna sebelum tidur malam. Hati Dina
yang dikenal dingin mulai luluh. Akhirnya, tepat 22 Desember 2012
keduanya menjalin hubungan pacaran.
“Dina, kamu tahu ga’
kenapa Desember 2012 kemarin tidak jadi kiamat” tulisnya dalam pesan
singkat kepada Dina setelah genap sebulan keduanya pacaran dua bulan
lalu.
“Tidak. Kenapa memangnya?” balas Dina.
“Karena
malamnya aku berdoa. Tuhan, jangan biarkan pacaran kami hanya berusia
sehari. Kita kan jadian tanggal 22, sedangkan kiamat diramalkan tanggal
23.” Dina tertawa berderai panjang setelah membaca pesan itu. “ I love u,beb! wkwkwkwkwk” balas Dina.
Meski
telah menaklukan hati Dina, dia tahu, Dina adalah tipe wanita
berpendirian tegas. Sudah berkali-kali didengarnya cerita, bagaimana
Dina memutuskan begitu saja laki-laki yang menjadi pacarnya apabila
mereka menipu dirinya. Ia takut, kalau towe songke itu tidak diberikan kepada Dina bisa membuat nasibnya seperti para mantan pacarnya Dina.
“Ah,
dia sudah terlalu sayang dengan saya.” katanya kepada dirinya sendiri.
Dia coba menenangkan pikirannya. Dia adalah penganut filosofi, bahwa
perempuan kalau sudah sayang, akan berubah menjadi seorang pemaaf.
Baginya, tidak mungkin Dina “meninggalkan” dia begitu saja sebagaimana
para mantan pacarnya sebelum-sebelumnya.
Kelopak matanya
kian berat. Ketua lututnya dikendor menjadi lurus. Tidak lama kemudian,
terdengar suara ngorok yang mengelegar di kamar yang dicat biru seluruh
dindingnya, saling bersahut-sahutan dengan musik Blues dari hp yang lupa
dimatikannya.
***
Seminggu kemudian, ia sedang
menikmati secangkir kopi di sebuah warung pojok dekat kampus. Diisapnya
sebatang rokok. Kepulan asap dibuatnya berbentuk bulat, saling berurutan
dari yang kecil hingga yang berukuran besar. Teman-teman mengamatinya,
coba meniru hal yang tampaknya sederhana itu namun ternyata tidaklah
mudah. Ia bagaikan seorang yang sedang mengadakan sirkus.
Handphonenya berdering.”Sorry, aku terima telpon dulu” katanya kepada teman-teman. Lalu ia mengambil hp di saku celana.
“Hallo Papa!”
“Terima
kasih ge. Rencana bapa sukses!” kata ayahnya dengan nada berapi-api.
Lalu ayahnya mulai bercerita, bagaimana ibunya amat berbunga-bunga saat
menerima rok towe songke itu pada hari ultahnya kemarin.
“Kemarin, Bapa bilang ke mama, selama ini towe songke itu bapa bawa diam-diam ke penjahit. Untuk surprise buat mama di ultah kali ini”
“Mama bilang apa?”
“Mama
hanya tersenyum sebagaimana biasanya. Oia, Bapa sudah transfer uang
untuk bulan ini. Ada lebih dari biasanya” kata ayahnya sambil mengakhiri
pembicaraan via telpon siang itu.
***
Belum lima
menit bermain-main lagi dengan kepulan asap rokok, hp kembali
berdering. “Panggilan dari Dina, bro”. Semua teman-temannya tertawa. Ia
tersenyum dan setengah bergaya bak seorang pangeran, ia berjalan
beberapa langkah menjauhi teman-temannya.
“Hallo beb!” suaranya begitu jelas terdengar. Ia sengaja. Semua teman-temannya tertawa.
“Nana, bagaimana sudah dengan rok towe songke? Sebentar sore kami latihan lengkap dengan busana tarian” suara Dina terdengar lembut dengan nada yang agak manja.
“Aduh enu, ....”
Tiba-tiba
telpon terputus. Raut mukanya berubah. Dia coba menelpon Dina. Beberapa
kali gagal. Nomor selalu dinyatakan sibuk. ****
27 Maret 2013
Membeli Cinta
-
Di sebuah daerah tinggalah seorang saudagar yang kaya raya. Dia mempunyai
seorang hamba yang sangat lugu. Begitu lugunya, hingga orang memanggilnya
“si bo...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar