Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Towe Songke

Pukul 00.00 WIB, tepatnya di sebuah kamar kos di daerah Rawa Sari, Jakarta. Alunan musik blues masih terdengar lembut. Sebuah kipas angin masih giat bekerja menghembuskan angin ke segala arah.

“Kolang e Yesus!” teriak Vianny. Matanya masih melek. Ia melototi monitor laptop. Tidak lama berselang, HP-nya berdering. Lantunan lagu “naca momang” sontak menghentikan alunan musik Blues yang didengarnya dari hp. Ia membuang begitu saja stick playstation ke tempat tidur.

“Hallo enu!” sapanya dengan suara bas berat disertai dengan suara dengungan seperti orang yang sedang mengantuk.



“Sudah tidur?”

“Ngantuk e. Enu belum tidur?”

“Belum.sudah kerja tugas tadi?”

“Aduh esok pagi saja. Kebetulan ngantuk sekali tadi. Enu, kenapa belum tidur?”

“Masih pikir rok songke buat acara tarian e. Saya tidak punya. Padahal dua minggu lagi acaranya.”

“Tidak usah dipikirkan. Saya ada towe songke yang tidak pernah saya pakai. Nanti dijahitkan jadi kau punya rok saja.”

“Betul k Na?”

“Iya.”

“Nana lanjut tidur sudah kalau begitu. Love u so much!”

Love u too”.

***
Ia kembali mengambil stick playstation. Alunan musik Blues kembali terdengar mengiringinya selama bermain PS. Gerakan jemarinya amat lincah menekan beberapa tombol pada stick itu. Sesekali ia menghentakkan kakinya di lantai. Umpatan pun kerap terdengar. Juga nama pemain Chelsea disebutnya berkali-kali. “Shot Torres! Terobos Matta!  Clear Terry”. Chelsea selalu menjadi klub andalannya selama bermain PS.

Lagi asyik bermain, Hp kembali berdering. Panggilan pertama tidak dijawabnya. Lagi-lagi HP kembali berdering. Panggilan berulang-ulang tanda ada yang tak beres baginya. Apalagi kalau itu terjadi  tengah malam.

“Hallo, Papa! Neka rabo reme konsen kerja tugas bo.” ucapnya dengan nada ringan.

“ Ole do keta tugas meu ta. Asa sehat-sehat ko?

“Iyo papa. Co’o tara toe di toko hi papa?”

“Reme raha agu mama e. Tolong koe bapa hau ta?”

Mendengar itu, kotak ingatannya kembali dibuka. Pertengkaran kedua orangtuanya adalah hal biasa dan sering. Mamanya selalu marah-marah saat ayahnya dengan wajah lugu pulang dini hari. Tersenyum tersipu-sipu dan tidak menjawab satu  kata pun adalah ciri khas ayahnya kalau sedang dimarahi. Ternyata itu adalah senjata penakluk. Sebab setelah marah-marah, ibunya yang kerap menyebut diri sebagai “molas Pau” pasti langsung merasa iba dengan suaminya itu.  Malah ibunya lagi yang sering meminta maaf.

Ia ingat kejadian suatu malam ketika ia masih SD. Ayahnya mengendap-endap keluar dari kamar. Mengenakan towe songke, kepalanya dibaluti topi ninja. Langkahnya sangat hati-hati. Saat itu ia belum tidur.

“Papa ngo nia?” sapanya dengan suara setengah berbisik. Ayahnya tersentak kaget. Jari telunjuknya disalibkannya di depan bibir. Ia paham.

“Ngo maen judi bapa e. Neka toi one mama e.”

Ia hanya tersenyum melihat ayahnya. Saat dipergok begitu, ayahnya bertingkah seperti anak kecil. Namun semenjak hari itu, ia selalu mendapat “jatah” dari ayah. Setiap pulang malam bermain judi, ayahnya selalu memberinya uang.

Namun berlakulah pepatah  ini pada ayahnya:  sepandai-pandainya tupai melompat, tetapi akan jatuh juga. Secerdik-cerdik ayahnya menipu, ibunya tetap mengetahuinya. Beberapa kali ibunya mendapati ayahnya pulang pagi hari. Ibunya marah.

“Nadus, toe keta emo hau maen judi? Teing hang le kartu dau  anak soo tong!” tegur ibu dengan suara membentak. Ayah hanya diam seribu bahasa. Jika ia menyaksikan pertengkaran itu, ayahnya hanya memainkan matanya kepadanya. Pertanda, sebentar lagi ibunya pasti menyesal dengan kata-katanya dan merasa iba. Dan memang betul, ibu lantas meminta maaf.Rupanya ayahnya tahu, bahwa untuk memadamkan api diperlukan air. Mau-mau isterinya dia tahu benar.

***

“Papa, mama tidak biasa marah lama dengan bapa to?” jawabnya sambil tertawa.

“Toe ye, nana. Kayaknya mama serius kali ini e.Toe mangkong ngo maen judi aku liha ge, tapi mangkong ngo selingkuh. Ancam cerai sekarang e.”

“Selingkuh hi bapa?”

 “Mangkong nggitu le ende dau e. Padahal toe manga selingkuh bapa ta. Hanya masalah kesalahpahaman saja. One wie bapa ngo maen kartu pake towe songke. Bapa kalah banyak nana. Akhirnya teing kaut laku towe hitu agu ema d’ Rikhard, ganti seng utang agu hia e. Tapi pas kole bao gula, rei le ende dau towe songke hitu. Nggoo taen, aku kole selingkuh. Pasti hemong one kamar ino wai bana towe hitu.”

“Jelaskan nggitu kaut agu mama lite ga”

“Percuma ge. Ogon senget penjelasan daku ga. Manga kin na’a towe songke dau ko?”

“Kudu coo bapa?”

“Kirim kole cee lau ta!”

Ia mulai bingung dengan permintaan ayahnya. Tapi ia coba mencari-cari jalan agar ayahnya tidak meminta towe songke itu lagi. “Papa poli jahit jadi rok laku towe songke hitu ga. Kebetulan teman kemarin lagi butuh untuk pentas di kampus. Dia suka pake rok motif songke.”

“Kebetulan sekali eme nggitu ga. Kirim lau rok hitu ge daripada cerai turung tua ami ta. ”

“Iyo, bapa. Nanti saya kirim.” jawabnya dengan nada kesal. Lalu pembicaraan via telpon berakhir.

***
Ia tidak lanjut bermain PS lagi. Ia merebahkan badannya di atas kasur. Matanya menerawang plafon. Sesekali ia menarik nafas panjang. Kedua tangannya terentang horisontal. Sementara kedua kakinya ditengkuk.
Ia belum berniat tidur. Pikirannya masih galau. Tadi ia sudah berjanji memberikan towe songke kepada pacarnya. Namun,  ayahnya datang membawa pertimbangan. Towe Songke ini mau diberikan kepada siapa? Kini itulah pertanyaannya dalam hati.

Berpacaran dengan Dina baru tiga bulan. Gadis bermata manja itu selalu menyengat pikirannya hampir tiap malam. Namun ia mengingat tiga bulan sebelumnya. Usaha meraih simpati di hati Dina tidaklah mudah. Dina adalah wanita pujaan para lelaki. Di matanya, Dina bukan tipe wanita yang “kekurangan” laki-laki. Pesonanya luar biasa. Di kala berkumpul dengan teman-teman, Dina selalu menjadi topik utama. Senyumnya, cara jalannya, suaranya  selalu dibicarakan oleh teman-temannya. Di saat seperti itu, ia berkeinginan kuat menjadi penjaga hati Dina.

Ternyata keinginan itu terkabul. Mula-mula dari tegur sapa biasa. Dilanjutkan tukaran nomor hp, disusul gombal “kecil-kecilan” tiap pagi dan mengirimkan pesan-pesan lucu dan bermakna sebelum tidur malam. Hati Dina yang dikenal dingin mulai luluh. Akhirnya, tepat 22 Desember 2012 keduanya menjalin hubungan pacaran.

“Dina, kamu tahu ga’ kenapa Desember 2012 kemarin tidak jadi kiamat” tulisnya dalam pesan singkat kepada Dina setelah genap sebulan keduanya pacaran dua bulan lalu.

“Tidak. Kenapa memangnya?” balas Dina.

“Karena malamnya aku berdoa. Tuhan, jangan biarkan pacaran kami hanya berusia sehari. Kita kan jadian tanggal 22, sedangkan kiamat diramalkan tanggal 23.” Dina tertawa berderai panjang setelah membaca pesan itu. “ I love u,beb! wkwkwkwkwk” balas Dina.

Meski telah menaklukan hati Dina, dia tahu,  Dina adalah tipe wanita berpendirian tegas. Sudah berkali-kali didengarnya cerita, bagaimana Dina memutuskan begitu saja laki-laki yang menjadi pacarnya apabila mereka menipu dirinya. Ia takut, kalau towe songke itu tidak diberikan kepada Dina bisa membuat nasibnya seperti para mantan pacarnya Dina.

“Ah, dia sudah terlalu sayang dengan saya.” katanya kepada dirinya sendiri. Dia coba menenangkan pikirannya. Dia adalah penganut filosofi, bahwa perempuan kalau sudah sayang, akan berubah menjadi seorang pemaaf. Baginya, tidak mungkin Dina “meninggalkan” dia begitu saja sebagaimana para mantan pacarnya sebelum-sebelumnya.

Kelopak matanya kian berat. Ketua lututnya dikendor menjadi lurus. Tidak lama kemudian, terdengar suara ngorok yang mengelegar di kamar yang dicat biru seluruh dindingnya, saling bersahut-sahutan dengan musik Blues dari hp yang lupa dimatikannya.

***
Seminggu kemudian, ia sedang menikmati secangkir kopi di sebuah warung pojok dekat kampus. Diisapnya sebatang rokok. Kepulan asap dibuatnya berbentuk bulat, saling berurutan dari yang kecil hingga yang berukuran besar. Teman-teman mengamatinya, coba meniru hal yang tampaknya sederhana itu namun ternyata tidaklah mudah. Ia bagaikan seorang yang sedang mengadakan sirkus.
Handphonenya berdering.”Sorry, aku terima telpon dulu” katanya kepada teman-teman. Lalu ia mengambil hp di saku celana.


“Hallo Papa!”

“Terima kasih ge. Rencana bapa sukses!” kata ayahnya dengan nada berapi-api. Lalu ayahnya mulai bercerita, bagaimana ibunya amat berbunga-bunga saat menerima rok towe songke itu pada hari ultahnya kemarin.

“Kemarin, Bapa bilang  ke mama, selama ini towe songke itu bapa bawa diam-diam ke penjahit. Untuk surprise buat mama di ultah kali ini”

“Mama bilang apa?”

“Mama hanya tersenyum sebagaimana biasanya. Oia, Bapa sudah transfer uang untuk bulan ini. Ada lebih dari biasanya” kata ayahnya sambil mengakhiri pembicaraan via telpon siang itu.

***
 Belum lima menit bermain-main lagi  dengan kepulan asap rokok, hp kembali berdering. “Panggilan dari Dina, bro”. Semua teman-temannya tertawa. Ia tersenyum dan setengah bergaya bak  seorang pangeran, ia berjalan beberapa langkah menjauhi teman-temannya.

“Hallo beb!” suaranya begitu jelas terdengar. Ia sengaja. Semua teman-temannya tertawa.

“Nana, bagaimana sudah dengan rok towe songke? Sebentar sore kami latihan lengkap dengan busana tarian” suara Dina terdengar lembut dengan nada  yang agak manja.

“Aduh enu, ....”
 Tiba-tiba telpon terputus. Raut mukanya berubah. Dia coba menelpon Dina. Beberapa kali gagal. Nomor selalu dinyatakan sibuk. ****


27 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text