Ibu yang berusia separuh baya itu datang dari arah dapur, berlangkah dengan amat hati-hati dalam ruang tamu yang agak gelap sore itu—tanpa diterangi lampu—yang membawa dua gelas kopi untuk kami berdua, saya dan rikard.
“Frater, sebentar malam akan ramai.” ujarnya sambil tersenyum ramah setelah menyilakan kami berdua untuk minum. Saya hampir tidak bisa menyembunyikan raut wajah heran. Ketika saya menoleh ke Rikard, ternyata dia sudah melihat ke arah saya, tersenyum lebar.
Keheranan saya saat itu cukup beralasan. Empat tahun belakangan, saya merayakan Natal di Jakarta. Suasananya menjelang Natal cukup terlihat. Pohon Natal hampir ditemui di seluruh Mal di Jakarta. Lagu Natal sesekali terdengar di radio. Pernak-pernik Natal mudah ditemui di pasar dan pertokoan. Dan pada perayaan malam Natal, gereja penuh dengan umat dengan dekorasi yang semarak.
Tidak demikian halnya ketika kami tiba di tempat ini, sebuah kampung yang meski ditempuh dalam waktu tiga jam dengan jeepney—nama jenis transportasi publik di Filipina—yang melewati jalan pengerasan dan melintasi perbukitan.
Saking jauhnya dari pusat Paroki di Jansen dan melelahkan karena melewati jalan pengerasan yang berlumpur, beberapa kali saya tertidur dan bangun. Tidur dan bangun lagi. Ketika bangun, saya beberapa kali bertanya, “masih jauh?”, beberapa penumpang hanya tersenyum. Saya pun memilih untuk tidur lagi.
Suasana sepanjang perjalanan amat sepi. Pohon sepelukan orang dewasa mengapit sepanjang jalan sempit itu. Rumah penduduk hanya terlihat setelah beberapa kilometer. Berjarak dan sunyi.
“Pak silakan turun di sini.” Salah seorang penumpang memberikan kami petunjuk. Tibalah kami di sebuah rumah tembok sederhana di sebuah pinggir jalan. Tak ada rumah lain yang berdekatan di situ. Hari sudah agak sore. Gelap dan sunyi.
Tendensi untuk membandingkan mulai bergejolak dalam pikiran saya saat itu. Teringat Natal di kampung halaman yang semarak dan berkumpul bersama keluarga dan teman. Hal yang paling menyedihkan saya adalah bahwa kali ini adalah pertama kalinya saya tidak mengikuti ekaristi pada malam Natal. Rasanya benar-benar ada yang kurang.
“Saya juga baru kali ini tidak mengikuti Misa Natal.” ujar Rikard mengamini apa yang saya alami saat itu. Di sana tidak mungkin diadakan perayaan Ekaristi. Paroki Jansen hanya ada seorang imam. Malam itu, dia akan merayakan Natal di dua tempat secara bergantian. Yang lain, wajar “ditelantarkan” dengan alasan keterbatasan demikian.
Meski awalnya mengherankan, apa yang dikatakan wanita tua itu sedikitnya menyulut rasa penasaran juga. Ia sebetulnya seorang katekis di sana. Penampilannya sederhana. Juga sikapnya yang ramah membuat kami tak canggung.
Masa depan Gereja?
Menjelang pukul 10.00 malam, kami berjalan kaki menuju sebuah bukit. Di sana ada sebuah kapel, tempat kami merayakan Natal. Kapelnya amat sederhana: berlantai tanah, berdinding kayu, dan ukurannya hanya mampu menampung kurang dari seratus orang dewasa.
Kekesalan karena sepanjang jalan amat gelap dan karena tak ada senter yang menerangi sehingga saya tiba-tiba menginjak tai kerbau, seolah hilang sekejab ketika kami tiba di kapel itu.
Sudah banyak orang yang memadati tempat itu. Anak-anak hampir memadati sebagian besar bagian dalam kapel. Beberapa wanita yang berusia lanjut, membalutkan kepalanya dengan kain adat, menabuh gong dan beberapa peralatan musik lokal. Laki-laki kebanyakan duduk di luar kapel, karena tak ada lagi tempat dalam ruang sempit itu.
“Mereka datang dari jauh. Rumahnya ada yang tinggal di balik bukit di sana” ujar ibu Katekis itu. Ia seolah-olah membaca pikiran saya. Soalnya, melihat begitu banyak orang di sana adalah mengejutkan ketika sepanjang jalan tadi tak begitu banyak rumah yang kami lihat.
“Kami juga biasa mengadakan ibadat rutin tiap hari Minggu dan mereka ini datang.” lanjutnya.
Beberapa pertanyaan mulai menggeliat dalam batin saya.Kenapa mereka bisa datang sejauh ini? Bukankah malam ini tidak ada imam yang merayakan Natal di sini?
Sepertinya saya membodohkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Tapi barangkali itu merupakan konsekuensi logis yang harus saya harus hadapi ketika beberapa tahun belakangan ini saya bergulat persoalan gereja sebagai institusi.
Suatu saat misalnya, saya pernah dibingungkan oleh pertanyaan seorang teman. “Kalau jumlah pastor semakin menurun tiap tahun, bagaimana masa depan Gereja?” katanya. Saya tidak bisa menjawabnya.
Bagi saya, apa yang ditanyakannya adalah wajar mengingat menurun drastisnya jumlah imam saat ini. Dalam website http://catholicmoraltruth.com/churchstatistics.htm dilaporkan angka penurunan jumlah imam di beberapa biara dari tahun 1965-2000. Jesuit mengalami penurunan hingga 40 persen, sementara seminarisnya berkurang hingga 89 persen. Jumlah iman Fransiskan menurun hingga 41 persen dan seminarinya berkurang hingga 97 persen. Jumlah imam dominikan berkurang hingga 40 persen, dan seminarisnya berkurang menjadi 93 persen.
Malam itu seolah-olah ada pertanda yang berbeda dari kegelisahan saya selama ini. Dalam banyak kesempatan, saya selalu berpikir menurunnya jumlah imam berbanding lurus dengan menurunnya partisipasi umat dalam Gereja dan kehidupan beriman.
Beriman
Cahaya lilin dan beberapa lampu minyak tak sanggup menerangi seluruh tempat itu. Ketika membaca injil, wanita tua mengambil senter. Tangan satunya memegang senter, sementara yang lain sibuk membolak-balikkan kertas Kitab suci yang lusuh itu.
Usai bacaan, secara berganti-gantian beberapa orang di antara mereka mensyeringkan pengalaman pribadinya. Tiap kali selesai syering selalu disambut meriah. Lalu beberapa di antara mereka menari dan menyanyi.
Apa yang dikatakan wanita tua itu ternyata benar adanya. Malam ini benar-benar sebuah pesta. Suasana begitu hidup, sederhana namun tak kalah semaraknya. Beberapa kali saya ikut menari bersama mereka.
Aksi anak-anak tak kalahnya dari orang dewasa. Mereka menari begitu lincah yang membuat kami tertawa terbahak-bahak. Rupanya tanpa imam yang memimpin misa, tak berarti kehangatan Natal berkurang, ujar saya dalam hati.
“Siapa yang merancang acara pada malam ini?” tanya saya kepada salah seorang anak di dekat saya. Ia menyebut nama ibu Katekis yang saat itu sedang duduk tenang di sebuah sudut ruangan.
“Dia yang membuat suasana di sini selalu hidup.” Katanya lagi. Karisma ibu itu memang tidak terlihat dari penampilannya yang sederhana dan badannya yang terlihat kurus. Namun ketika ia berbicara di depan mereka, kesan bahwa ia sangat dihargai, berinisiatif, dan mampu menggerakkan umat di sana, baik perempuan, laki-laki, maupun anak-anak ama terlihat.
Wanita tua itu mengingatkan saya dalam sejarah Gereja Indonesia. Kedatangan pertama para misionaris di Indonesia sudah membangun komunitas-komunitas kecil. Namun kemudian menelantarkannya karena masalah sosial politik. Umat awamlah yang berhasil menjaga dan mempertahankan komunitas kecil itu dalam waktu lama hingga misionaris kembali datang ke Indonesia.
Ternyata biarawan/wati, imam, dan Paus bukanlah penjamin satu-satunya untuk perkembangan iman umat Kristiani. Dokumen Lumen Gentium seperti mendapat penegasan yang nyata pada malam itu. Bahwa Roh kuduslah yang menyatukan Gereja (LG 4). Gereja bukan sekadar diartikan sebagai institusi. Gereja adalah juga karya Roh kudus. Dan roh kudus itu berkarya dalam diri setiap umat beriman dan dalam tiap kultur umat manusia. Keberlangsungannya bukan saja tergantung dari para kaum hierarki tetapi dari umat beriman sendiri.
Malam semakin larut, hampir pukul 02.00 dini hari, sementara mereka masih asyik menari bersama. Lalu kami berdua pamit pulang duluan karena sudah ngantuk.
Sebelum tidur malam itu, saya masih mendengar bunyi gong bersahut-sahutan dan nyanyian mereka dari atas bukit itu.
“Malam ini benar-benar luar biasa.” ujar saya kepada Rikard. Ia lagi-lagi tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar