1.
Pengantar
Hal itu menunjukkan bahwa fakta-fakta keagamaan masih perlu diperhatikan secara serius ketika menginterpretasi perkembangan tradisi dan modernitas. Membahas isu-isu penting dalam kehidupan sosial pada abad ini tidak bisa tidak menempatkan agama di dalamnya. Dengan kata lain, agama menjadi prasyarat penting menggumuli persoalan sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada zaman sekarang.
Akan tetapi, cara menginterprestasi agama, tradisi, dan modernitas pada abad ini tidak lari jauh dari perspektif globalisasi. Globalisasi tidak lain adalah ciri khas abad modern ini. Globalisasi memperlihatkan wajah dunia yang mampat. Dunia tidak lagi luas, tetapi semakin sempit dan menjadi “satu” (single place).
Dalam konteks globalisasi itulah, tulisan ini akan membahas relasi antara agama, kekuasaan, dan hukum dalam dunia modern. Untuk itu, yang menjadi masalah pokok tulisan ini adalah: bagaimanakah relasi antara agama, kekuasaan, dan hukum dalam dunia modern? Terkesan begitu kuat bahwa ketiga faktor tersebut harus selalu terjalin dalam sebuah relasi permanen demi kepentingan perkembangan dunia yang lebih sehat. Kealpaan suatu unsur dapat berdampak negatif terhadap globalisasi yang menjadi tanda dari abad modern.
2. Globalisasi sebagai Konteks
Globalisasi adalah panggung utama bagi pentas drama kehidupan dunia modern. Apapun yang terjadi pada abad ini tidak terceraikan dari pengaruh globalisasi yang tercermin dalam sistem komunikasi dan teknologi yang semakin canggih. Kecanggihan media teknologi modern seperti TV, Internet, dan alat komunikasi yang lain mempermudah orang-orang melintasi dunia. Berita dan informasi menyebar begitu cepat tanpa terhambat oleh ruang dan waktu.
Arus informasi yang mengalir begitu cepat perlahan-lahan menggiring dunia kepada kesadaran tunggal sebagai satu kesatuan. Ada berbagai perbedaan pandangan diintegrasikan ke dalam bentuk kesepahaman universal. Ronald Robertson menggambarkan dunia modern sebagai kompresi (pemampatan) dunia dan intensifikasi kesadaran dunia sebagai satu kesatuan. Hal ini tidak lain menunjukkan ciri globalisasi yang menganggap dunia sebagai “satu tempat”(single place). Hal itulah yang memudahkan orang untuk melintasi “dunia” (bring people around the world)[2].
Akan tetapi globalisasi tidak terlepas dari satu masalah pokok, yakni: Apakah globalisasi dapat membentuk integrasi yang harmonis dan menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik? Di situlah globalisasi menghadirkan problematis dalam kehidupan sosial dan politik. Dengan demikian, globalisasi juga menyalurkan tegangan dalam perkembangan kehidupan agama, kekuasaan, dan hukum.
3. Problematika globalisasi
Globalisasi kerap berwajah ganda. Artinya, di satu sisi dapat menghadirkan implikasi-implikasi positif bagi kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Di sisi lain, menyeret berbagai persoalan ke dalam ranah sosial, politik, agama, dan ekonomi. Yang kerap terjadi dalam dunia modern adalah kontradiksi antara dua realitas tersebut. Terutama disadari pula bahwa sulit untuk membendung globalisasi karena media teknologi modern yang semakin canggih.
Dorongan utama dari globalisasi adalah pengintegrasian yang ditopang oleh dua kekuatan utama, yakni sistem komunikasi dan teknologi. Di bidang budaya, usaha pengintergrasian ini justru merenggangkan ikatan-ikatan otoritas lokal guna membentuk budaya universal. Norma-norma dan hukum lokal merenggang begitu saja tanpa ada kekuatan untuk mempertahankan otoritasnya. Di sinilah globalisasi dipandang sebagai kekuatan yang mengekpansi kekuatan otoritas lokal. Karena itu, dapat saja terjadi bahwa keunikan dari nilai-nilai dan norma-norma lokal ditelantarkan begitu saja demi integrasi budaya universal[3].
Globalisasi di bidang ekonomi tampak dalam kerja sama ekonomi yang beralih dari kerja sama lokal dan regional menjadi kerja-sama ekonomi lintas negara, benua, dan dunia secara menyeluruh. Kegiatan ekonomi yang sederhana berkembang menjadi semakin kompleks dan rumit. Era tradisional terkenal dengan model transaksi “face to face”, yakni memproduk, membeli, dan menjual di dalam komunitas sendiri. Sedangkan pada masyarakat Barat modern (abad ke-20) kegiatan transaksi berlangsung dalam ruang yang luas dan manajemen ekonomi yang terspesialisasi. Hal itu tampak nyata dalam kehadiran perusahaan-perusahaan transnasional[4].
Model sistem ekonomi di era globalisasi tersebut tidak cukup menguntungkan bagi negara-negara di dunia ketiga. Pada umumnya negara-negara dunia ketiga adalah bekas jajahan negara-negara Barat sehingga dalam banyak hal masih mengadaptasi ssstem ekonomi dari negara-negara Barat. Bahkan boleh dibilang, kekuatan ekonomi negara berkembang amat tergantung kepada negara-negara maju, misalnya meminjam dana untuk pembangunan dan mengimpor teknologi. Atas dasar itu, sangat sulit bagi negara-negara dunia ketiga untuk membentuk kehidupan ekonomi yang mandiri dan bebas[5].
Selain itu, kedudukan negara-negara dunia ketiga dalam sistem ekonomi era globalisasi adalah penyedia faktor-faktor produksi, berupa sumber daya alam dan tenaga kerja dan tempat pemasaran hasil produksi. Ekses bagi negara dunia ketiga adalah penentuan harga tergantung kepada negara-negara maju, kerusakan lingkungan, dan pembebanan pajak yang ringan kepada investor asing[6].
Dalam bidang politik, semakin mencolok usaha untuk mengkompresikan dunia. Contohnya adalah negara-negara yang termasuk dalam keanggotaan EURO. Organisasi ini berusaha menangani masalah politik dan hukum secara bersama dengan tunduk pada hukum bersama. Selain itu, berusaha mengembangkan kesatuan sistem ekonomi demi pertumbuhan kesejahteraan. Kehidupan politik supranational tersebut tidak lepas pengaruhnya dari berkembangnya struktur ekonomi supranational.
Jelas bahwa globalisasi mendatangkan problematika dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya. Globalisasi tidak menjamin bahwa hidup manusia semakin lebih baik. Justru yang terjadi adalah bahwa unsur-unsur struktur politik supranational mengalami kegoncangan. Dalam arti, berhadapan dengan pertimbangan norma-norma moral, legitimasi, dan landasan HAM sering terjadi perbedaan konsep mengenai, apa yang disebut sebagai individu, kebebasan, hukum-hukum dasar, dan hak-hak dasar manusia. Hal ini kemudian memberatkan terjadinya consensus moral karena masing-masing negara mempunyai pandangan masing-masing mengenai arti kehidupan dan legitimasi norma moral sosial[7]. Di sinilah kehadiran agama menjadi amat signifikan karena berhubungan dengan objek kajiannya, yakni member paham dasar mengenai makna kehidupan, penderitaan, kejahatan, atau kematian, dan harapan akan masa depan yang lebih baik[8].
Robertson berpendapat bahwa globalisasi menyebabkan semakin luas reaksi dalam bidang kehidupan agama dan politik. Globalisasi merelatifkan otentisitas bidang-bidang tersebut. Terjadi negosiasi dan rekonstruksi lagi dalam hal prinsip-prinsip dasar dari bidang-bidang agama dan politik. Dahulunya agama selalu dikaitkan dengan tempat-tempat atau wilayah tertentu, terutama menyangkut konstruksi historis, bahasa teks, sistem penyembahan, dan komponen-komponen budaya. Sekarang, kehadiran globalisasi telah mencairkan distingsi-distingsi tersebut. Ikatan-ikatan wilayah dan etnik direnggangkan. Masalah ini menyebabkan semakin susah untuk menentukan otoritas dan legitimasi. Ini adalah masalah kekuasaan karena sistem dasar kepercayaan agama sangat mempengaruhi keterlibatan sistem politik[9].
Sejauh ini kita dapat melihat dengan jelas bahwa rekonstruksi dan negosiasi pandangan terhadap posisi agama dalam masyarakat menyebabkan perubahan dalam soal legitimasi kekuasaan. Ada indikasi yang jelas bahwa antara agama dan kekuasaan terjadi hubungan yang erat. Mengenai hubungan itu, dapat diperlihatkan dengan lebih jelas dalam pokok-pokok berikut ini, terutama mengenai perkembangan agama di Eropa dan Amerika.
4. Isu-Isu Agama, Kekuasaan, dan Legitimasi di Eropa
Gambaran Eropa yang diperlihatkan pada dunia modern sekarang adalah adanya pemisahan yang jelas hal-hal religius-suci dan profane (sekular). Antara institusi politik dan institusi religius diberi batas-batas yang jelas. Fakta ini lahir dari proses yang panjang dan merupakan hasil produk kekuasaan dan kontes legitimasi otoritas[10].
Dalam sejarah Eropa, kenyataan sekarang didahului fakta bahwa wilayah tertentu dihubungkan dengan orang yang beridentitas religius tertentu. Misalnya, Lutheran dikaitkan dengan Swedia; Katolik dikaitkan dengan Irlandia; Anglikan dikaitkan dengan Inggris. Semenjak dibentuknya negara-bangsa, gaya gereja dihapus, meskipun pengaruhnya masih kental dalam politik public, hukum, dan institusional arragemeents. Agama masih berpengaruh besar dalam kehidupan publik seperti yang terlihat jelas dalam kesedihan publik atas kematian Puteri Diana.
Pada perkembangan berikutnya, identitas religius dan indentitas nasional secara sosiopolitis dapat dikonstruksikan dan dihubungkan. Contohnya adalah Gereja-Nasional Britania dan masyarakat sipil agama di Perancis. Sedangkan pada akhir abad ke-20, terjadi perubahan besar. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi yang coba merelatifkan polaritas yang terbentuk sebelumnya. Identitas agama dan identitas bangsa dikonstruksikan lagi berhadapan dengan fakta bahwa terjadi imigrasi besar-besaran di Eropa. Banyak orang dari benuaAsia dan Afrika berduyun-duyun ke Eropa[11].
Kehadiran imigran di Eropa yang membawa identitasnya masing-masing menyebabkan munculnya aturan-aturan baru di Eropa. Dan masalah utama yang dihadapi adalah ketegangan gereja-negara berhadapan dengan isu-isu problematic menyangkut legitimisi otoritas dalam konteks perbedaan yang semakin mencolok. Suatu kondisi yang terjadi akibat adanya globalisasi. Maka yang menjadi pertanyaan besarnya adalah; apakah gereja-negara masih relevan menjadi sumber legitimisi otoritas berhadapan dengan pluralitas kehidupan masyarakat (budaya, agama, bahasa, dan lain-lain). Untuk itu, apa yang disebut sebagai “perang reformasi” pada zaman modern tidak lain adalah suatu bentuk usaha untuk menunjukkan loyalitas terhadap negara sekaligus kepada tujuan-tujuan religius[12].
5. Ketegangan Gereja-Negara di Amerika
Agama di Amerika berperan penting dalam mengartikulasikan suatu identitas nasional dan membentuk karakter moral. Akan tetapi, peran agama tersebut semakin probematis karena adanya globalisasi. Ketegangan gereja-negara di Amerika menyinggung dua hal pokok, yakni legal yang membidangi persoalan “agama” dan politik yang membidangi perannya dalam kehidupan public dan sikap mental agama penduduk Amerika[13].
a. Ikatan keagamaan dan hukum
Ada dua mandat penting yang mempengaruhi relasi negara-agama di Amerika. Pertama adalah suatu konstitusi yang melarang pembentukan negara agama. Kedua adalah konstitusi perlindungan kebebasan beragama. Keduanya menjadi norma yang sangat sentral yang menyebabkan berbagai ketegangan-ketegangan gereja negara di Amerika Serikat[14].
Setelah perang dunia II, dua faktor sosial yang menyebabkan relasi negara-agama semakin problematis. Pertama adalah kehadiran agama Katolik dan agama-agama lain yang mempertanyakan kembali klaim-klaim Protestanisme di Amerika. Yang kedua adalah supremasi hukum direvisi karena adanya sejumlah besar kelompok keagamaan yang baru dan tumbuhnya gerakan sosial-religius yang mempengaruhi proses pengadilan perkara dan legislasi. Sementara itu, di sisi lain masih terlihat jelas usaha dari agama Ortodox untuk menguasai dan mengontrol hukum[15].
Masalah berat yang dihadapi oleh hukum Amerika berhadapan dengan fakta-fakta tersebut adalah menyangkut prinsip kebebasan beragama. Masih sangat membingungkan keputusan-keputusan hukum ketika berhadapan dengan praktik-praktik yang valid dari agama namun berbeda satu sama lain. Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya adalah: apakah hukum memperbolehkan korban binatang Santeria, ritual rastafari yang mengisap ganja?. Solusi yang paling tepat untuk permasalahan semacam ini adalah bahwa hukum harus meredefinisikan agama. Dengan demikian, jelas bahwa di Amerika hukum berperan penting dalam mendefinisikan agama berhadapan dengan pluralitas agama[16].
Selain itu, implikasi dari prinsip kebebasan beragama adalah negara harus melindungi orang-orang yang menyimpang dari gerakan-gerakan keagamaan. Sebagai contoh unification church dan children of God yang disamakan dengan agama, tetap diberi perlindungan. Kemudian, agama tidak melulu soal spiritualitas, tetapi merambah dalam gerakan-gerakan sosial seperti membangun rumah sakit, sekolah, investasi : real estate, TV, radio, film, dan asuransi. Dalam karya itu pula, konstitusi kebebasan beragama diberlakukan pula[17].
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara agama dan negara di Amerika yang dahulunya dikenal dengan gereja-negara menjadi kabur. Negara dituntut sedemikian sehingga mampu mengayomi sumua kelompok-kelompok religius dalam negara. Sebab mereka semua juga menaati semua tuntutan negara dalam hal perpajakan, regulasi tenaga kerja, investigasi keimigrasian, lisensi, dan akreditasi.
b. Agama dan politik
Dalam dunia modern di Amerika terjadi penguatan dan pemusatan kekuasaan pada negara. Perkembangan yang baru tersebut menyebabkan adanya konflik. Di satu pihak adalah kelompok-kelompok agama, sedangkan di lain pihak adalah persuasi politik. Konflik itu terutama menyangkut pendidikan seks, hak-hak bagi kaum gay, dan euthanasia[18].
Kelompok keagamaan berpendapat bahwa masalah-masalah moral seperti itu bukanlah tugas negara. Akan tetapi, yang terjadi adalah demi kepentingan persuasi politik, consensus moral pun didominasi oleh negara. Tetapi jelas bahwa pengaruh agama tidaklah remeh sebab dapat mempengaruhi politik dan kekuatan yang menentukan dalam pengaruh kebudayaan lewat simbol-simbol yang kerap dipergunakan dalam wacana politik. Sebenarnya negara modern dengan spesifik-legislatif dan membludaknya berbagai aturan dapat mengurangi penentuan nasib masyarakat dan memenuhi kebutuhan dasarnya. Tetapi masyarakat sipil tetap mempercayai negara sebagai pengayom kehidupan mereka[19].
6. Kekuasaaan dan Hukum
dalam konteks Global
Aspek-aspek kekuasaan dan hukum adalah hal yang penting untuk memahami agama dalam hubungannya dengan ranah-ranah kehidupan yang lain, baik pada tataran individu, sosial, maupun global. Kekuasaan memiliki suatu wilayah makna yang dapat diterapkan kepada agama dalam dunia modern; untuk memahami agama, dan kekuatan meramalkan secara intensional berbagai kejadian-kejadian[20].
Dalam konteks global, kekuasaan dan hukum menegaskan persoalan legitimasi. Legitimasi membutuhkan justifikasi kekuasaan dan memegang kekuasaan. Dengan demikian, legitimasi menunjukkan nilai-nilai, kepercayaan, dan ideology. Sebab menjalankan kekuasaan legitimasi bukan hanya menyangkut hal-hal yang berkenan dengan teknik-prosedur atau operasi rasional dari proses yang tepat, melainkan simbol yang kaya makna[21].
Kerja sama yang erat antara politik dan agama dalam konteks global terutama menyangkut hak-hak asasi manusia, keadilan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Juga terkait norma-norma moral dan norma transnasional(transkultural). Di sini, agama hadir sebagai sosok kritis terhadap regim kekuasaan dalam menjalankan kekuasaannya. Selain itu, menurut Robertson, agama merupakan kendaraan untuk mengekspresikan ketidakpuasan terhadap situasi ekonomi global dan menyediakan berbagai alternatif. Hal ini sangat penting mengingat kekuatan ekonomi yang tidak sama antara bangsa-bangsa[22].
Selain itu, hukum dalam konteks global kerapkali berakar pada perkembangan intersosial religius. Artinya hukum-hukum tersebut bersumber dari cara lain dalam membaca agama. Misalnya adalah lahirnya nasionalisme, teologi pembebasan, dan lain-lain[23].
Sampai di sini, dapatlah kita menyimpulkan bahwa terjadi hubungan interdependensi antara kekuasaan, hukum dan agama. Agama menjadi alat kritis terhadap kekuasaan dan memberi arti pada simbol-simbol kekuasaan. Sementara kekuasaan dapat menjadi instrument untuk memahami agama dan meramalkan berbagai kejadian.
7. Kesimpulan
Dunia modern ditandai dengan globalisasi. Ciri nyata dari globalisasi adalah pemisahan yang tegas antara institusi politik (kekuasaan dan hukum) dan institusi agama. Dunia modern menempatkan sentralitas negara dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Hal ini cukup kontras dengan keadaan decade sebelum akhir abad ke-20 di mana konsep gereja-negara masih sangat kuat di Eropa dan Amerika.
Meskipun posisi negara semakin menguat, agama tetap menjadi kekuatan yang signifikan dalam kehidupan sosial-politik. Alasan yang paling dasarnya adalah bahwa agama adalah salah satu faktor legitimasi kekuasaan dalam dunia politik. Kegoncangan agama dapat menyusutkan legitimasi kekuasaan itu sendiri sebab simbol-simbol kekuasaan kebanyakan lahir dan mendapat makna dari agama, terutama di Eropa dan Amerika.
Selain itu, hukum-hukum global seringkali berakar dari cara membaca lain terhadap perkembangan intersosial agama. Agama juga menjadi alat kritis terhadap kekuasaan terutama menyangkut masalah moral dan ketidakadilan, Di sinilah kita melihat urgensi agama terhadap kekuasaan dan hukum negara modern. Sebaliknya, makna-makna kekuasaan dapat diterapkan ke dalam lingkungan agama untuk memahami agama secara lebih jelas.
Dengan demikian, amat penting untuk menjalin relasi yang seimbang antara ketiga unsure pokok tersebut. Tanpa hadir agama sebagai alat kritik, maka ketimpangan sosial dan pelangggaran terhadap norma moral dapat semakin meluas. Tanpa hadirnya kekuasaan yang dilegitimasi, maka toleransi antara kelompok-kelompok keagamaan akan semakin buram. Ketiganya harus selalu hadir.
[1] Meredith B. McGuire, Religion: The Social Context ( Illinois:
Waveland press, inc., 2002) hlm. 313-314
[2] McGuire, hlm. 314
[3] McGuire, hlm. 314
[4] McGuire, hlm. 315
[5] McGuire, hlm. 315
[6] McGuire, hlm 315
[7] McGuire, hlm. 316
[8]William Outhwaite. ed, Pemikiran
Sosial Modern, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2008)hlm. 731
[9] McGuire, hlm. 316
[10] McGuire, hlm. 317
[11] McGuire, hlm. 317
[12] McGuire, hlm. 317
[13] McGuire, hlm. 318
[14] MCGuire, hlm. 318
[15] McGuire, hlm. 318
[16] McGuire, hlm. 318-319
[17] McGuire, hlm. 319
[18] McGuire, hlm. 320
[19] McGuire, hlm. 321
[20] McGuire, hlm. 321
[21] McGuire, hlm. 321
[22] McGuire, hlm. 322
[23] McGuire, hlm. 323
Tidak ada komentar:
Posting Komentar