Pages

Ads 468x60px

Jumat, 14 Maret 2014

Siapakah Abraham dalam Pandangan Quran?

1.        Pengantar: Monoteisme Islam
Paham paling ultim dalam pandangan Islam adalah monoteisme. Hal ini berarti agama Islam hanya mengakui adanya satu Allah[1].  Atas dasar itu orang yang beragama Islam ialah pribadi yang tulus yang berserah kepada  Allah yang satu. Pengakuan terhadap pewahyuan Allah yang tunggal tersebut dikatakan demikian: “Kami percaya kepada Allah yang menyatakan diri-Nya kepada kami, kepada Abraham, Ishmael, Ishak, Yakub dan suku-suku, serta kepada Musa, Yesus dan para nabi yang datang dari Allah. Kami tidak membeda-bedakan mereka dan kami berserah kepada-Nya.” Teks ini merupakan instruksi Muhammad dan komunitasnya untuk mengakui pesan-pesan Allah yang disampaikan oleh para nabi terdahulu tanpa membeda-bedakannya, sebab apa yang disampaikan oleh para nabi tersebut berasal dari sumber yang sama yakni Allah.


Berkenan dengan paham monoteisme tersebut, ada beberapa istilah penting dalam agama Islam yang penting dipahami terlebih dahulu, yakni hanif , Islam dan muslim. Hanif[2]  dalam pandangan Islam berarti iman yang murni dan radikal tentang monoteis. Sebagai contoh seorang hanif adalah Abraham. Ia adalah individu yang memiliki kualitas spiritual dan moral yang tinggi sehingga memungkinkannya untuk memiliki relasi yang intim dengan Allah. Atas dasar itu, ia kemudian disebut sebagai sahabat Allah.

Dalam hanif  definisi kuncinya adalah pribadi yang berserah diri kepada Allah. Kata “berserah diri” itu dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan istilah muslim. Sedangkan istilah Islam diartikan sebagai bentuk sikap taat untuk selalu berada di “jalan yang lurus”. Contoh yang memperlihatkan sikap taat tersebut secara gamblang terdapat dalam pribadi seorang Abraham.

Berkaitan dengan monoteisme Islam tersebut kedudukan Qur’an sebagai Kitab Suci agama Islam dipandang sebagai suatu narasi besar yang menceritakan sejarah perkembangan paham monoteisme tersebut. Agama Islam mempercayai adanya pewahyuan Allah yang berlangsung terus menerus dalam sejarah umat manusia. Atas dasar itu, pertanyaan terhadap kedudukan Qur’an tersebut adalah bagaimana Qur’an menggambarkan perkembangan monoteisme tersebut.

2.        Focus Question

Untuk merespon pertanyaan tersebut, Qur’an memosisikan pribadi Abraham sebagai prototipe monoteisme Islam.  Dalam Islam, Abraham dipandang sebagai salah satu nabi yang menerima wahyu spesial demi kehidupan manusia. Dengan kata lain, Abraham adalah penyambung lidah Allah. Selanjutnya tugas ini diteruskan secara turun temurun sedemikian sehingga kita mengenal ungkapan: Allah Abraham, Allah Ishmael, Allah  Ishak, Allah Yakub, Allah Musa, Allah Yesus, dan Allah Muhammad. Qur’an juga memandang Abraham sebagai seseorang yang memiliki kualitas kepribadian tertentu yang pantas dilebihkan. Pasalnya ia memiliki kepercayaan yang teguh kepada Allah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Qur’an Abraham pertama-tama bukanlah seorang Yahudi atau seorang Kristiani melainkan ia adalah pribadi yang tulus yang taat kepada Allah.  

Melihat bahwa peran Abraham bagi perkembangan monoteisme Islam begitu sentral, kelompok kami tergairah untuk menyelidiki lebih dalam mengenai pribadi Abraham. Atas dasar itu, pertanyaan induk yang menuntun kami adalah bagaimana Abraham menjadi prototipe monoteisme Islam dalam Qur’an. Dikatakan dengan istilah pertanyaan induk karena kami mengakui terdapat sejumlah pertanyaan yang terbiak dari pertanyaan tersebut.  Salah satu contoh diantaranya adalah bagaimana perbandingan antara pandangan Qur’an dan Kitab Suci Ibrani mengenai iman Abraham. Pertanyaan ini dapat melengkapi jawaban dari pertanyaan pokok yang kami rumuskan.

Atas dasar itu, dalam tulisan ini kami menguraikan jawaban atas pertanyaan pokok tersebut dalam sistematika berikut. Pertama, kami merumuskan reportase Qur’an mengenai Abraham. Pada pokok ini yang lebih ditonjolkan adalah perbedaan maksud teologis dalam menggambarkan Abraham dari Qur’an dan kitab Kejadian. Kedua, perbandingan perikop kunci perbedaan gagasan teologis antara Qur’an dan Kitab kejadian. Perbedaan pokok itu ditilik dari sudut isi atau pesan Allah dan tanggapan manusia terhadap sabda Allah. Ketiga, kami merumuskan fakta-fakta yang menyertai sebutan iman monoteistik dari Abraham. Keempat berbicara tentang kesinambungan pewahyuan.

3.    Reportase Qur’an mengenai Abraham

Catatan awal yang penting adalah bahwa Qur’an tidak menggambarkan secara detail kronologis kehidupan Abraham. Hal tersebut tidak boleh dipandang sebagai sisi lemah dari Qur’an jika dibandingkan dengan Kitab Kejadian yang lebih melukiskan secara detail kronologis kehidupan Abraham. Akan tetapi kekhasan narasi Qur’an seperti itu dilandasi oleh berbagai macam pertimbangan teologis.

Qur’an dalam menarasikan Abraham lebih memilih untuk menceritakan kepribadian Abraham ketimbang konteks historisnya. Kepribadian Abraham terutama dibidik sebagai ikon atau model untuk orang-orang beriman. Atas dasar itu, Qur’an lebih membunga-bungai iman Abraham daripada konteks historisnya. Kalaupun dirincikan konteks historisnya, tidak pertama-tama diartikan sebagai pokok dari kisah tersebut, melainkan sebagai penyokong terhadap gagasan utama, yakni gambaran tentang iman Abraham.

Agenda utama dalam Qur’an yakni membunga-bungai iman Abraham menyebabkan terjadinya ketidakparalelan cerita pada bagian-bagian tertentu antara Qur’an dan kitab kejadian mengenai Abraham. Jika dipadatkan, perbedaan itu menyangkut dua hal utama. Pertama adalah mengenai isi atau pesan Ilahi yang terkandung dalam Kitab Suci dari agama-agama tersebut (Divine Message). Kedua adalah tanggapan manusia terhadap pesan Allah tersebut ( The Human Response). Hal kedua ini merujuk kepada pribadi Abraham dan orang-orang yang dekat dengannya seperti Istrinya dan Lot. Atas dasar itu, sejauh ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan dasar teologis antara Qur’an dan Kitab Kejadian menyebabkan perbedaan cerita mengenai Abraham, baik menyangkut isi dan pesan Ilahi maupun tanggapan terhadap Sabda Allah.

4.    Kisah Qur’an dan kisah Kitab suci Ibrani/ Kristen
4.1  Isi atau Pesan Allah

            Isi Kitab Suci baik Qur’an maupun Kitab Kejadian merupakan kabar gembira (Good News). Akan tetapi, terdapat sebuah perbedaan yang fundamental mengenai pengertian kabar gembira tersebut. Perbedaan tersebut bertolak dari perbedaan sudut pandang teologis masing-masing kitab suci tersebut. Untuk memahami perbedaan tersebut dalam dijelaskan dalam tampilan perbandingan perikop berikut ini.

            Kisah dalam Kitab Kej. 18-19 dapat dipahami dengan mencermati kisah-kisah dalam perikop lain. Hal ini disebabkan bahwa keseluruhan Kitab Kejadian merupakan suatu konstruksi yang total mengenai perjanjian Allah kepada Abraham. Dengan demikian, ada hubungan yang erat dan saling meneguhkan antara perikop dalam kitab Kejadian. Kejadian 18-19 menyajikan sebuah narasi lanjutan mengenai ikatan perjanjian antara Allah dan Abraham. Ikatan perjanjian[3] itu terungkap dalam Kejadian 17:7 yang menjelaskan bahwa Allah adalah Allah bagi Abraham dan segenap keturunannya. Janji akan keturunan semakin diperjelas dalam Kejadian 18-19 ketika janji itu disampaikan kembali oleh ketiga orang yang mendatangi Abraham. Demikianlah bahwa kabar gembira dalam Kitab Kejadian tersebut digambarkan sebagai suatu perjanjian antara Allah dan Abraham tentang keturunan Abraham di mana terjadi suatu relasi yang intim antara Abraham dan keturunannya di satu pihak dan Allah di pihak lain. Keturunan Abraham yang dimaksud di sini adalah keturunan yang ditarik dari garis keturunan Ishak. Dengan sendirinya, pandangan tersebut mengeksekusi keberadaan Ismael  dari perjanjian itu. Padahal Ismael adalah salah satu anak Abraham dari hasil perkawinannya dengan Hagar, budak Sarah.

            Sebaliknya, Qur’an tidak mengaitkan kabar gembira tersebut dengan perjanjian. Dengan kata lain, dalam kelahiran anak Abraham yakni Ishak tidak dipandang dari perspektif perjanjian. Dengan sendirinya pula, gagasan kitab kejadian tentang bangsa terpilih tidak terdapat dalam Qur’an. Qur’an malah lebih menekankan hasrat manusiawi yang ingin membangun suatu keintiman dengan keilahian daripada mengambarkan sepak terjang Allah yang begitu mencolok sebagaimana dalam kitab Kejadian.

            Dalam kitab kejadian kesangsian Sarah terhadap janji Allah memerlukan pembuktian dari pihak Allah. Allah seolah-olah tidak dapat memaksakan Sarah untuk percaya begitu saja. Janji itu akan semakin terang dan jelas jika dilegitimasi oleh kejadian nyata. Sedangkan dalam Qur’an, janji keturunan itu dipahami sebagai good news (Kabar Gembira) yang memuat perintah Allah. Allah digambarkan sebagai pribadi yang mempunyai otoritas yang mutlak dan penuh kuasa sehingga menuntut sikap taat dari pihak manusia terhadap segala perintah-Nya.

Selain itu, negosiasi antara manusia dan Allah tidak terjadi dalam Qur’an sebagaimana dalam Kej. 18:16-23. Di situ Abraham terlibat dalam suatu dialog tawar menawar dengan Allah tentang rencana kehancuran Sodom dan Gomora. Yang paling unik dari perikop ini ialah bahwa pembaca seolah-olah diberi  hak istimewa untuk mengetahui buah pikiran Allah. Rencana Allah untuk menghancurkan Sodom dan Gemora tersebut seolah-olah harus diinformasikan kepada Abraham karena memiliki pertalian khusus dengan konsep perjanjian dan bangsa terpilih. Kenyataan tersebut dikontraskan dalam Qur’an (vv. 17-19) yang melihat peristiwa kehancuran tersebut sebagai konsekuensi dari dosa-dosa Sodom dan Gemora. Selain itu, dalam Qur’an tidak digambarkan adanya keragu-raguan di pihak Allah dan Abraham hanya dipandang sebagai orang yang menerima kehendak Allah.

            Secara ringkas dapat dikatakan demikian. Bahwa pesan dan isi sabda Allah dalam kitab suci Yahudi dan Qur’an sangat berbeda dalam nada dan maksud teologisnya. Kitab Kejadian mempertaruhkan aspek perjanjian di dalam relasi antara Abraham dan Allah. Sebaliknya Qur’an menggambarkan bahwa Allah mempunyai kekuasaan mutlak dan otoritas yang paling tinggi serta menggambarkan sikap manusia yang selalu taat kepada kehendak Allah. Wajar apabila dalam Qur’an diterangkan secara tegas: Barangsiapa yang menaati dan mengikuti kehendak Allah akan diganjar dengan kabar gembira, sedangkan yang tidak taat dan menolak  akan mengalami penderitaan hukuman.

4.2    Tanggapan Manusia (The Human Response)

Perbedaan antara Kitab Suci Yahudi/ Kristen dan Qur’an juga tampak dalam tanggapan manusia terhadap sabda Allah. Dalam Kej. 18:22-23, para utusan Allah di satu pihak berperan sangat sentral pelaksanaan kehendak Allah, di lain pihak diekpresikan sebagai orang yang berlawanan dengan kehendak Allah. Hal ini tampak ketika mereka berangkat ke Sodom, sedangkan Abraham dan Allah berlangsung diaolog tawar menawar mengenai nasib yang menimpa Sodom dan gemora. Selain itu, dalam perikop tersebut Dialog itu memperlihatkan tidak terbatasnya kasih Tuhan dan kualitas sikap Abraham yang sanggup membangun relasi yang eksklusif dengan Allah. Bahkan dikatakan bahwa Allah adalah pribadi yang “patuh” terhadap permintaan Abraham.

Berbeda dengan gambaran Kitab Kejadian, Qur’an menggambarkan Abraham sebagai karakter dari pribadi yang taat kepada kehendak Allah. Dengan kata lain, tidak ada perlawanan dari pihak Abraham terhadap kehendak Allah, selain daripada bersikap taat saja. Abraham tidak memiliki otoritas untuk menimbang kembali putusan hukuman Allah terhadap Sodom dan Gemora. Selain itu, dalam Qur’an ada penilaian buruk tentang Abraham. Akan tetapi, penilaian itu seakan-akan ditutupi oleh karakter atau sifatnya yang patuh dan penuh penyesalan kepada Allah.

Dari perbandingan tersebut, kita dapat memahami pandangan teologis Qur’an mengenai Abraham.  Qur’an pertama-tama dipandang sebagai perintah Allah (Command of God). Dominasi motif tersebut menandai keseluruhan Qur’an. Di sini aspek yang paling ditekankan adalah otoritas keilahian. Dengan demikian, dialog antara Allah dan manusia tidak terjadi. Manusia menjadi pihak yang selalu menaati kehendak Allah. Sehubungan dengan itu, Abraham dalam Qur’an dilukiskan sebagai orang yang taat kepada kehendak Allah. Selanjutnya, ketaatan Abraham inilah yang kemudian menjadi model bagi orang-orang beragama Islam (Ideal believer).

5.        Abraham : Prototipe Monoteisme Islam

  Kisah dalam Qur’an memiliki kesamaan dengan kitab kejadian khususnya yang berkaitan dengan tema, karakter, dan alur kerangka yang umum. Di samping itu keduanya memiliki keunikan dan penekanan yang berbeda berdasarkan maksud teologis penulisannya. Pada pihak Qur’an amat menekankan otoritas keilahian dan ketaatan Abraham. Namun, yang masih menjadi pertanyaannya adalah manakah bukti-bukti sikap monoteisme Abraham di dalam Qur’an.

Gambaran Abraham sebagai seorang monoteis murni tidak dilukiskan dalam Kitab Kejadian. Sebaliknya Qur’an menggambarkan Abraham sebagai satu-satunya pengikut Allah yang benar. Ia adalah Nabi dalam Islam yang mencoba memperingati iman orang sezamannya dan mengajak mereka ke jalan yang benar. Abraham memberikan petunjuk untuk berbalik dari politeisme kepada monoteisme dan kepada suatu sistem penyembahan yang sepantasnya. Dengan demikian, Abraham menjadi orang pertama yang mengajarkan dan mempraktekkan kehidupan iman Islam. Semuanya ini secara tidak langsung ingin melegitimasi kehidupan Muhammad yang menolak paganisme dan penyembahan berhala. 

Iman yang besar ditunjukkan oleh Abraham kepada Allah sebagai sosok yang memberikan pengertian kepada hidupnya itu. Abraham memiliki dasar yang kuat untuk menjalin relasi intim dan dialogal dengan Allah. Pada zaman Abraham, ada banyak sekali bangsa-bangsa kafir yang menyembah dewa-dewa (Politeisme). Kelompok itu meyakini bahwa dewa-dewa merekalah yang memberikan keselamatan yang menenteramkan. Sedangkan Abraham menanggapi imannya akan Allah yang tunggal dengan mendirikan tempat untuk berbakti kepada Allahnya. Tempat itu kemudian disebut dengan Ka’ba. Ka’ba yang dibangun oleh Abraham bersama anaknya Ismael, merupakan tempat untuk beribadat kepada Allah. Ka’ba pun diyakini sebagai tempat kediaman Allah sendiri yang meraja di bumi. Pada era sesudahnya Ka’ba pun dijadikan tempat yang suci oleh Muhamad dan pengikutnya sebagai peninggalan Abraham. Sampai saat ini Ka’ba tetap dijadikan tempat yang sangat sakral bagi penghormatan kepada Allah dan menjadi tempat penuh kepercayaan bagi umat muslim di seluruh dunia.

            Selain itu, iman monoteis Abraham terungkap dalam Qur’an 19:41-50. Di situ Abraham mengkritik orang sezamannya, bahkan Abraham menolak kebiasaan ayahnya yang selalu menyembah berhala. Abraham meminta ayahnya untuk meninggalkan penyembahan yang salah dan memeluk iman yang benar. Hal ini juga menggambarkan suatu relasi intim antara dua orang. Lebih jauh dari itu, digambarkan juga tentang konsekuensi dari kesesatan, pengorbanan Abraham, ancaman ayahnya, dan rekonsiliasi hubungan antara ayah dan anak. Semua kisah ini disesuaikan dengan situasi Muhammad dalam karya Kenabiannya. Dengan demikian kisah Abraham dengan Ayahnya menjadi inspirasi bagi Muhammad.

            Muhammad sebagai nabi akan mengalami hal yang sama seperti Abraham. Orang-orang akan menolaknya dan tidak percaya kepadanya. Ia juga akan seperti Abraham karena Allah bersama dengannya untuk membawa mereka kepada jalan penyembahan yang benar. Ia memperkenalkan iman yang monoteistik. Dalam arti, semua orang dapat menyembah Allah di mana saja. Tidak dibatasi dalam ruang waktu dan tempat tertentu saja. Kisah penolakan Abraham dan kepergian serta perpindahan Abraham dari suatu tempat ke tempat lain memberikan gambaran bahwa ia harus selalu mengikuti jalan yang benar walaupun harus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Perpindahannya ini pun menggambarkan bahwa Allah tidak terbatas pada orang atau tempat tertentu saja tetapi untuk semua orang. Tradisi Abraham menggambarkan iman akan Allah yang monoteistik dan dapat disembah di mana dan kapan saja. 

            Jelaslah bahwa dalam Qur’an kehidupan keseharian Abraham memperlihatkan imannya yang monoteistik. Sikap penyembahan Abraham terhadap Allah melegitimasikan iman monoteistik Nabi Muhammad. Dengan demikian, penganut agama Islam melihat Abraham sebagai tolak ukur keberimanan kepada Allah yang tunggal.

6.    Kesinambungan Pewahyuan

Abraham adalah orang beriman karena telah menerima pewahyuan Allah, bahkan percaya kepada kehendak Allah. Akan tetapi, bagaimanakah kesinambungan monoteisme Abraham tersebut? Menjawabi  pertanyaan, ada perbedaan yang tegas antara Qur’an dan kitab kejadian. Terlebih khusus menyangkut Kejadian 22 dengan Qur’an 37: 100-112.

Kejadian 22 menggambarkan secara mendetail peristiwa pengujian iman Abraham. Iman Abraham diuji dengan mempersembahkan anaknya, Ishak kepada Allah. Pengujian iman Abraham tersebut dideskripsikan secara dramatis dengan menggambarkan berbagai peristiwa demi peristiwa. Jika ditarik dalam konteks yang lebih luas, pengujian iman Abraham tersebut tidak terlepas dari motif perjanjian dalam kitab Kejadian. Dengan demikian, Ishak memang menjadi figur yang penting tetapi hanya untuk menempati latar belakang dari perjanjian antara Allah dan Abraham. Sedangkan yang menjadi inti dalam kitab kejadian adalah pengujian iman Abraham oleh Allah.

Dari perspektif tersebut, jelas bahwa kesinambungan monoteisme Abraham kepada Ishak tidak mendapat penegasan yang jelas. Seolah-olah hanya iman Abraham yang ditonjolkan. Itulah yang menjadi sasaran kritikan Qur’an terhadap pandangan monoteisme Abraham dalam kitab Kejadian.

Dalam Qur’an 37: 100-112, motif utama teks tersebut adalah pengujian iman Abraham. Akan tetapi, pengujian ini merupakan pengujian bersyarat. Dikatakan pengujian bersyarat karena iman Abraham masih tergantung kepada iman Ishak. Dalam Qur’an pengorbanan Ishak bukan berkaitan dengan perjanjian antara Allah dan Abraham, melainkan  pengujian iman Abraham yang bersyarat. Dengan demikian, pemilihan Ishak sebagai korban kepada Allah merupakan anak yang terpilih dari suatu kemungkinan. Dalam arti, Ismael juga sebenarnya mendapat kesempatan seperti Ishak. Akan tetapi dia tidak terpilih. Namun jauh di atas hal tersebut, yang paling pokok adalah kesediaan Abraham untuk melakukan hal tersebut.

Dalam Qur’an dinarasikan bahwa Abraham menanyakan opini anaknya tentang mimpinya untuk mempersembahkan anaknya kepada Allah. Ishak, sang anak langsung mengiyakan tawaran dari Abraham mengingat hal itu merupakan perintah Allah. Keiklasan Ishak untuk menanggung penderitaan atas dasar perintah Allah tersebut menggambarkan imannya Allah. Pada akhirnya iman Ishak tersebut membantu untuk menegaskan iman ayahnya Abraham. Dengan kata lain, iman Abraham dipertegas atau tergantung kepada iman anaknya. Inilah yang memperlihatkan aspek kesinambungan iman monoteistik Abraham kepada keturunan selanjutnya.

Selain itu, dalam Qur’an memang tidak dijelaskan, sejak kapan Abraham mempunyai mimpi tersebut. Hal ini tentu berbeda kejadian 22 yang menggambarkan secara jelas datangnya kehendak Allah tersebut. Tetapi jika dianalisis dari narasi tersebut, ada s atu indikasi pokok yang termuat di dalamnya. Pertanyaan dari Abraham kepada Ishak mengasumsikan bahwa Ishak telah mencapai kematangan berpikir, mental, dan fisik. Dengan mencapai kematangan berpikir, Ishak mampu menentukan nasib bagi dirinya. Kematangan berpikir ini dalam bahasa Arab terkenal dengan istilah sa’ya. Kata ini sebenarnya mempunyai makna yang kompleks. Di antaranya  menandakan kemampuan untuk terlibat dalam sebuah pekerjaan dan aktivitas yang melibatkan energi, kehendak bebas, dan keaktifan atau kesibukan. Tetapi di sini dimaknai sebagai kemampuan untuk mengevaluasi diri. Fakta ini memperlihatkan bahwa Qur’an lebih menekankan peran iman putera Abraham yang bertumpu pada kekuatan rasionalitasnya. Dia memikirkan dirinya sebagai orang yang taat kepada kehendak Allah.

Dengan demikian, kesinambungan pewahyuan yang diterima oleh Abraham mendapat penjelasan yang meyakinkan dalam Qur’an. Iman monoteis Abraham diteruskan kepada keturunan berikutnya. Hal ini menonjolkan adanya aspek tanggung jawab dari orangtua terhadap pertumbuhan iman anaknya. Tidak mengherankan apabila Abraham dan Ishak menjadi model untuk orang-orang beriman.

7.    Penutup: Gelar Abraham dalam Quran

Rumusan jawaban atas pertanyaan, bagaimanakah Abraham menjadi prototipe monoteisme Islam mengandung dua hal pokok berikut. Pertama, Abraham dalam sejarah kehidupannya yang terungkap dalam Qur’an menggambarkan bahwa sikapnya yang setia dan taat kepada Allah. Ia menghindari penyembahan terhadap dewa-dewa bahkan berusaha menyingkirkannya. Ia mendirikan tempat ibadat bagi Tuhan.

Kedua, Abraham menunjukkan aspek tanggung jawab moralnya terhadap kesinambungan iman kepada Allah. Peneguhan imannya terhadap Allah tergantung kepada iman anaknya. Oleh karena itu, ia sedemikian rupa bertindak untuk mendidik iman anaknya agar dapat menegaskan sekaligus meneruskan iman monoteistiknya. Dalam Qur’an dijelaskan bahwa Ishak mampu menanggapi secara arif kehendak Allah dengan bersikap taat sebagaimana Abraham, ayahnya.

            Menjadi ikon bagi orang-orang beriman monoteistik menyebabkan Abraham tidak lagi dipandang sebagai milik bangsa Israel saja. Ia ditempatkan dalam konteks universal yakni panutan bagi orang-orang beriman. Selain itu Qur’an menggambarkan Allah sebagai Allah untuk semua bangsa. Atas dasar itu, setiap individu diharapkan mengekspresikan imannya akan Allah melalui ketaatan tindakan dan penghormatan. 

Selanjutnya, Islam mengakui bahwa semua orang dilahirkan muslim “tunduk” pada kehendak ilahi. Sikap ini sangatlah wajar berhadapan dengan supremasi keilahian yang amat berkuasa. Gambaran kepatuhan Abraham terhadap Allah yang Mahakuasa diekspresikan secara baik dalam Qur’an. Sikap pasif seorang Abraham dinilai sebagai kepatuhan terhadap kehendak Allah. Abraham adalah seorang “muslim” sejati yang dengan rendah hati menyerahkan dirinya pada kehendak ilahi. Bagi seseorang yang memeluk agama islam dan mengikuti jalan yang benar harus memiliki tiga sifat yang juga sama dimiliki Abraham yaitu dingin, lemah-lembut, dan sikap penuh penyesalan.

Dalam Qur’an Abraham digambarkan sebagai nabi yang dikirim kepada sekelompok orang untuk mengubah cara hidup mereka. Yang hendak ditekankan adalah bahwa semua orang dianggap sama di hadapan Allah dan harus tunduk serta taat kepada Allah. Kisah dalam Qur’an dimaksudkan untuk menekankan cara beriman  bagi anggota komunitas Islam.

Melalui Abraham dan Lot perubahan cara beriman juga dialami istri mereka. Sara menanggapi dengan gembira dan rendah hati terhadap berkat yang mengejutkan dalam hidupnya. Sara tidak meragukan kuasa Tuhan.  Di sisi lain, istri lot menjadi contoh orang yang meragukan otoritas ilahi. Dia tidak patuh dan terbuka akan kehendak Allah. Hidupnya juga menjadi model bagi orang muslim yang mengalami penderitaan. Penderitaan  merupakan bagian dari eksistensi manusia sehingga  dituntut untuk menerima penderitaan dalam hidup sebagai bagian dari kehendak ilahi. 
           

             



























































































































































































































[1] Bdk. Syahadat Islam
[2] Hanif  berasal dari akar kata Arab hanafa yang berarti mendaki atau cenderung (to incline). Di luar Al-‘Quran hanif diartikan sebagai “mengarah ke tempat yang benar” (to incline toward a right state or tendency).
[3] Bandingkan dengan Kitab Kej. 15. Di situ terungkap ketiga janji Allah kepada Abraham, yakni keturunan, tanah, dan berkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text