1.
Pengantar:
Monoteisme Islam
Paham
paling ultim dalam pandangan Islam adalah monoteisme. Hal ini berarti agama
Islam hanya mengakui adanya satu Allah[1]. Atas dasar itu orang yang beragama Islam
ialah pribadi yang tulus yang berserah kepada Allah yang satu. Pengakuan terhadap pewahyuan
Allah yang tunggal tersebut dikatakan demikian: “Kami percaya kepada Allah yang
menyatakan diri-Nya kepada kami, kepada Abraham, Ishmael, Ishak, Yakub dan
suku-suku, serta kepada Musa, Yesus dan para nabi yang datang dari Allah. Kami
tidak membeda-bedakan mereka dan kami berserah kepada-Nya.” Teks ini merupakan
instruksi Muhammad dan komunitasnya untuk mengakui pesan-pesan Allah yang
disampaikan oleh para nabi terdahulu tanpa membeda-bedakannya, sebab apa yang
disampaikan oleh para nabi tersebut berasal dari sumber yang sama yakni Allah.
Berkenan
dengan paham monoteisme tersebut, ada beberapa istilah penting dalam agama
Islam yang penting dipahami terlebih dahulu, yakni hanif , Islam dan muslim.
Hanif[2] dalam pandangan Islam berarti iman yang murni
dan radikal tentang monoteis. Sebagai contoh seorang hanif adalah Abraham. Ia adalah individu yang memiliki kualitas
spiritual dan moral yang tinggi sehingga memungkinkannya untuk memiliki relasi
yang intim dengan Allah. Atas dasar itu, ia kemudian disebut sebagai sahabat
Allah.
Dalam
hanif definisi kuncinya adalah pribadi yang berserah
diri kepada Allah. Kata “berserah diri” itu dalam bahasa Arab diterjemahkan
dengan istilah muslim. Sedangkan
istilah Islam diartikan sebagai
bentuk sikap taat untuk selalu berada di “jalan yang lurus”. Contoh yang
memperlihatkan sikap taat tersebut secara gamblang terdapat dalam pribadi
seorang Abraham.
Berkaitan
dengan monoteisme Islam tersebut kedudukan Qur’an sebagai Kitab Suci agama
Islam dipandang sebagai suatu narasi besar yang menceritakan sejarah
perkembangan paham monoteisme tersebut. Agama Islam mempercayai adanya
pewahyuan Allah yang berlangsung terus menerus dalam sejarah umat manusia. Atas
dasar itu, pertanyaan terhadap kedudukan Qur’an tersebut adalah bagaimana Qur’an
menggambarkan perkembangan monoteisme tersebut.
2.
Focus Question
Untuk
merespon pertanyaan tersebut, Qur’an memosisikan pribadi Abraham sebagai prototipe
monoteisme Islam. Dalam Islam, Abraham
dipandang sebagai salah satu nabi yang menerima wahyu spesial demi kehidupan
manusia. Dengan kata lain, Abraham adalah penyambung lidah Allah. Selanjutnya tugas
ini diteruskan secara turun temurun sedemikian sehingga kita mengenal ungkapan:
Allah Abraham, Allah Ishmael, Allah
Ishak, Allah Yakub, Allah Musa, Allah Yesus, dan Allah Muhammad. Qur’an
juga memandang Abraham sebagai seseorang yang memiliki kualitas kepribadian
tertentu yang pantas dilebihkan. Pasalnya ia memiliki kepercayaan yang teguh
kepada Allah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Qur’an Abraham
pertama-tama bukanlah seorang Yahudi atau seorang Kristiani melainkan ia adalah
pribadi yang tulus yang taat kepada Allah.
Melihat
bahwa peran Abraham bagi perkembangan monoteisme Islam begitu sentral, kelompok
kami tergairah untuk menyelidiki lebih dalam mengenai pribadi Abraham. Atas
dasar itu, pertanyaan induk yang menuntun kami adalah bagaimana Abraham menjadi
prototipe monoteisme Islam dalam Qur’an. Dikatakan dengan istilah pertanyaan
induk karena kami mengakui terdapat sejumlah pertanyaan yang terbiak dari
pertanyaan tersebut. Salah satu contoh
diantaranya adalah bagaimana perbandingan antara pandangan Qur’an dan Kitab Suci
Ibrani mengenai iman Abraham. Pertanyaan ini dapat melengkapi jawaban dari
pertanyaan pokok yang kami rumuskan.
Atas
dasar itu, dalam tulisan ini kami menguraikan jawaban atas pertanyaan pokok
tersebut dalam sistematika berikut. Pertama, kami merumuskan reportase Qur’an
mengenai Abraham. Pada pokok ini yang lebih ditonjolkan adalah perbedaan maksud
teologis dalam menggambarkan Abraham dari Qur’an dan kitab Kejadian. Kedua,
perbandingan perikop kunci perbedaan gagasan teologis antara Qur’an dan Kitab
kejadian. Perbedaan pokok itu ditilik dari sudut isi atau pesan Allah dan
tanggapan manusia terhadap sabda Allah. Ketiga, kami merumuskan fakta-fakta
yang menyertai sebutan iman monoteistik dari Abraham. Keempat berbicara tentang
kesinambungan pewahyuan.
3. Reportase Qur’an
mengenai Abraham
Catatan
awal yang penting adalah bahwa Qur’an tidak menggambarkan secara detail
kronologis kehidupan Abraham. Hal tersebut tidak boleh dipandang sebagai sisi
lemah dari Qur’an jika dibandingkan dengan Kitab Kejadian yang lebih melukiskan
secara detail kronologis kehidupan Abraham. Akan tetapi kekhasan narasi Qur’an
seperti itu dilandasi oleh berbagai macam pertimbangan teologis.
Qur’an
dalam menarasikan Abraham lebih memilih untuk menceritakan kepribadian Abraham
ketimbang konteks historisnya. Kepribadian Abraham terutama dibidik sebagai
ikon atau model untuk orang-orang beriman. Atas dasar itu, Qur’an lebih
membunga-bungai iman Abraham daripada konteks historisnya. Kalaupun dirincikan
konteks historisnya, tidak pertama-tama diartikan sebagai pokok dari kisah
tersebut, melainkan sebagai penyokong terhadap gagasan utama, yakni gambaran
tentang iman Abraham.
Agenda
utama dalam Qur’an yakni membunga-bungai iman Abraham menyebabkan terjadinya
ketidakparalelan cerita pada bagian-bagian tertentu antara Qur’an dan kitab kejadian
mengenai Abraham. Jika dipadatkan, perbedaan itu menyangkut dua hal utama.
Pertama adalah mengenai isi atau pesan Ilahi yang terkandung dalam Kitab Suci
dari agama-agama tersebut (Divine
Message). Kedua adalah tanggapan manusia terhadap pesan Allah tersebut ( The Human Response). Hal kedua ini
merujuk kepada pribadi Abraham dan orang-orang yang dekat dengannya seperti
Istrinya dan Lot. Atas dasar itu, sejauh ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan
dasar teologis antara Qur’an dan Kitab Kejadian menyebabkan perbedaan cerita
mengenai Abraham, baik menyangkut isi dan pesan Ilahi maupun tanggapan terhadap
Sabda Allah.
4. Kisah Qur’an dan kisah
Kitab suci Ibrani/ Kristen
4.1
Isi atau Pesan Allah
Isi
Kitab Suci baik Qur’an maupun Kitab Kejadian merupakan kabar gembira (Good News). Akan tetapi, terdapat sebuah
perbedaan yang fundamental mengenai pengertian kabar gembira tersebut.
Perbedaan tersebut bertolak dari perbedaan sudut pandang teologis masing-masing
kitab suci tersebut. Untuk memahami perbedaan tersebut dalam dijelaskan dalam
tampilan perbandingan perikop berikut ini.
Kisah
dalam Kitab Kej. 18-19 dapat dipahami dengan mencermati kisah-kisah dalam
perikop lain. Hal ini disebabkan bahwa keseluruhan Kitab Kejadian merupakan
suatu konstruksi yang total mengenai perjanjian Allah kepada Abraham. Dengan
demikian, ada hubungan yang erat dan saling meneguhkan antara perikop dalam
kitab Kejadian. Kejadian 18-19 menyajikan sebuah narasi lanjutan mengenai
ikatan perjanjian antara Allah dan Abraham. Ikatan perjanjian[3]
itu terungkap dalam Kejadian 17:7 yang menjelaskan bahwa Allah adalah Allah
bagi Abraham dan segenap keturunannya. Janji akan keturunan semakin diperjelas
dalam Kejadian 18-19 ketika janji itu disampaikan kembali oleh ketiga orang
yang mendatangi Abraham. Demikianlah bahwa kabar gembira dalam Kitab Kejadian
tersebut digambarkan sebagai suatu perjanjian antara Allah dan Abraham tentang
keturunan Abraham di mana terjadi suatu relasi yang intim antara Abraham dan
keturunannya di satu pihak dan Allah di pihak lain. Keturunan Abraham yang
dimaksud di sini adalah keturunan yang ditarik dari garis keturunan Ishak.
Dengan sendirinya, pandangan tersebut mengeksekusi keberadaan Ismael dari perjanjian itu. Padahal Ismael adalah
salah satu anak Abraham dari hasil perkawinannya dengan Hagar, budak Sarah.
Sebaliknya,
Qur’an tidak mengaitkan kabar gembira tersebut dengan perjanjian. Dengan kata
lain, dalam kelahiran anak Abraham yakni Ishak tidak dipandang dari perspektif
perjanjian. Dengan sendirinya pula, gagasan kitab kejadian tentang bangsa
terpilih tidak terdapat dalam Qur’an. Qur’an malah lebih menekankan hasrat
manusiawi yang ingin membangun suatu keintiman dengan keilahian daripada
mengambarkan sepak terjang Allah yang begitu mencolok sebagaimana dalam kitab
Kejadian.
Dalam
kitab kejadian kesangsian Sarah terhadap janji Allah memerlukan pembuktian dari
pihak Allah. Allah seolah-olah tidak dapat memaksakan Sarah untuk percaya
begitu saja. Janji itu akan semakin terang dan jelas jika dilegitimasi oleh
kejadian nyata. Sedangkan dalam Qur’an, janji keturunan itu dipahami sebagai good news (Kabar Gembira) yang memuat
perintah Allah. Allah digambarkan sebagai pribadi yang mempunyai otoritas yang
mutlak dan penuh kuasa sehingga menuntut sikap taat dari pihak manusia terhadap
segala perintah-Nya.
Selain itu, negosiasi
antara manusia dan Allah tidak terjadi dalam Qur’an sebagaimana dalam Kej.
18:16-23. Di situ Abraham terlibat dalam suatu dialog tawar menawar dengan
Allah tentang rencana kehancuran Sodom dan Gomora. Yang paling unik dari
perikop ini ialah bahwa pembaca seolah-olah diberi hak istimewa untuk mengetahui buah pikiran
Allah. Rencana Allah untuk menghancurkan Sodom dan Gemora tersebut seolah-olah harus
diinformasikan kepada Abraham karena memiliki pertalian khusus dengan konsep
perjanjian dan bangsa terpilih. Kenyataan tersebut dikontraskan dalam Qur’an
(vv. 17-19) yang melihat peristiwa kehancuran tersebut sebagai konsekuensi dari
dosa-dosa Sodom dan Gemora. Selain itu, dalam Qur’an tidak digambarkan adanya
keragu-raguan di pihak Allah dan Abraham hanya dipandang sebagai orang yang
menerima kehendak Allah.
Secara
ringkas dapat dikatakan demikian. Bahwa pesan dan isi sabda Allah dalam kitab
suci Yahudi dan Qur’an sangat berbeda dalam nada dan maksud teologisnya. Kitab
Kejadian mempertaruhkan aspek perjanjian di dalam relasi antara Abraham dan
Allah. Sebaliknya Qur’an menggambarkan bahwa Allah mempunyai kekuasaan mutlak
dan otoritas yang paling tinggi serta menggambarkan sikap manusia yang selalu
taat kepada kehendak Allah. Wajar apabila dalam Qur’an diterangkan secara
tegas: Barangsiapa yang menaati dan mengikuti kehendak Allah akan diganjar
dengan kabar gembira, sedangkan yang tidak taat dan menolak akan mengalami penderitaan hukuman.
4.2 Tanggapan Manusia (The Human Response)
Perbedaan antara
Kitab Suci Yahudi/ Kristen dan Qur’an juga tampak dalam tanggapan manusia
terhadap sabda Allah. Dalam Kej. 18:22-23, para utusan Allah di satu pihak
berperan sangat sentral pelaksanaan kehendak Allah, di lain pihak diekpresikan
sebagai orang yang berlawanan dengan kehendak Allah. Hal ini tampak ketika mereka berangkat ke Sodom, sedangkan
Abraham dan Allah berlangsung diaolog tawar menawar mengenai nasib yang menimpa
Sodom dan gemora. Selain itu, dalam perikop tersebut Dialog itu memperlihatkan
tidak terbatasnya kasih Tuhan dan kualitas sikap Abraham yang sanggup membangun
relasi yang eksklusif dengan Allah. Bahkan dikatakan bahwa Allah adalah pribadi
yang “patuh” terhadap permintaan Abraham.
Berbeda dengan
gambaran Kitab Kejadian, Qur’an menggambarkan Abraham sebagai karakter dari
pribadi yang taat kepada kehendak Allah. Dengan kata lain, tidak ada perlawanan
dari pihak Abraham terhadap kehendak Allah, selain daripada bersikap taat saja.
Abraham tidak memiliki otoritas untuk menimbang kembali putusan hukuman Allah
terhadap Sodom dan Gemora. Selain itu, dalam Qur’an ada penilaian buruk tentang
Abraham. Akan tetapi, penilaian itu seakan-akan ditutupi oleh karakter atau
sifatnya yang patuh dan penuh penyesalan kepada Allah.
Dari perbandingan
tersebut, kita dapat memahami pandangan teologis Qur’an mengenai Abraham. Qur’an pertama-tama dipandang sebagai perintah
Allah (Command of God). Dominasi
motif tersebut menandai keseluruhan Qur’an. Di sini aspek yang paling
ditekankan adalah otoritas keilahian. Dengan demikian, dialog antara Allah dan
manusia tidak terjadi. Manusia menjadi pihak yang selalu menaati kehendak
Allah. Sehubungan dengan itu, Abraham dalam Qur’an dilukiskan sebagai orang
yang taat kepada kehendak Allah. Selanjutnya, ketaatan Abraham inilah yang
kemudian menjadi model bagi orang-orang beragama Islam (Ideal believer).
5.
Abraham
: Prototipe Monoteisme Islam
Kisah dalam Qur’an memiliki kesamaan dengan
kitab kejadian khususnya yang berkaitan dengan tema, karakter, dan alur
kerangka yang umum. Di samping itu keduanya memiliki keunikan dan penekanan
yang berbeda berdasarkan maksud teologis penulisannya. Pada pihak Qur’an amat
menekankan otoritas keilahian dan ketaatan Abraham. Namun, yang masih menjadi
pertanyaannya adalah manakah bukti-bukti sikap monoteisme Abraham di dalam Qur’an.
Gambaran Abraham
sebagai seorang monoteis murni tidak dilukiskan dalam Kitab Kejadian. Sebaliknya
Qur’an menggambarkan Abraham sebagai satu-satunya pengikut Allah yang benar. Ia
adalah Nabi dalam Islam yang mencoba memperingati iman orang sezamannya dan
mengajak mereka ke jalan yang benar. Abraham memberikan petunjuk untuk berbalik
dari politeisme kepada monoteisme dan kepada suatu sistem penyembahan yang
sepantasnya. Dengan demikian, Abraham menjadi orang pertama yang mengajarkan
dan mempraktekkan kehidupan iman Islam. Semuanya ini secara tidak langsung
ingin melegitimasi kehidupan Muhammad yang menolak paganisme dan penyembahan
berhala.
Iman yang besar
ditunjukkan oleh Abraham kepada Allah sebagai sosok yang memberikan pengertian
kepada hidupnya itu. Abraham memiliki dasar yang kuat untuk menjalin relasi
intim dan dialogal dengan Allah. Pada zaman Abraham, ada banyak sekali
bangsa-bangsa kafir yang menyembah dewa-dewa (Politeisme). Kelompok itu
meyakini bahwa dewa-dewa merekalah yang memberikan keselamatan yang
menenteramkan. Sedangkan Abraham menanggapi imannya akan Allah yang tunggal
dengan mendirikan tempat untuk berbakti kepada Allahnya. Tempat itu kemudian
disebut dengan Ka’ba. Ka’ba yang dibangun oleh Abraham bersama anaknya Ismael, merupakan
tempat untuk beribadat kepada Allah. Ka’ba pun diyakini sebagai tempat kediaman
Allah sendiri yang meraja di bumi. Pada era sesudahnya Ka’ba pun dijadikan
tempat yang suci oleh Muhamad dan pengikutnya sebagai peninggalan Abraham. Sampai
saat ini Ka’ba tetap dijadikan tempat yang sangat sakral bagi penghormatan
kepada Allah dan menjadi tempat penuh kepercayaan bagi umat muslim di seluruh
dunia.
Selain
itu, iman monoteis Abraham terungkap dalam Qur’an 19:41-50. Di situ Abraham
mengkritik orang sezamannya, bahkan Abraham menolak kebiasaan ayahnya yang
selalu menyembah berhala. Abraham meminta ayahnya untuk meninggalkan
penyembahan yang salah dan memeluk iman yang benar. Hal ini juga menggambarkan suatu
relasi intim antara dua orang. Lebih jauh dari itu, digambarkan juga tentang
konsekuensi dari kesesatan, pengorbanan Abraham, ancaman ayahnya, dan
rekonsiliasi hubungan antara ayah dan anak. Semua kisah ini disesuaikan dengan
situasi Muhammad dalam karya Kenabiannya. Dengan demikian kisah Abraham dengan
Ayahnya menjadi inspirasi bagi Muhammad.
Muhammad
sebagai nabi akan mengalami hal yang sama seperti Abraham. Orang-orang akan
menolaknya dan tidak percaya kepadanya. Ia juga akan seperti Abraham karena
Allah bersama dengannya untuk membawa mereka kepada jalan penyembahan yang
benar. Ia memperkenalkan iman yang monoteistik. Dalam arti, semua orang dapat
menyembah Allah di mana saja. Tidak dibatasi dalam ruang waktu dan tempat
tertentu saja. Kisah penolakan Abraham dan kepergian serta perpindahan Abraham
dari suatu tempat ke tempat lain memberikan gambaran bahwa ia harus selalu
mengikuti jalan yang benar walaupun harus berpindah dari satu tempat ke tempat
yang lain. Perpindahannya ini pun menggambarkan bahwa Allah tidak terbatas pada
orang atau tempat tertentu saja tetapi untuk semua orang. Tradisi Abraham
menggambarkan iman akan Allah yang monoteistik dan dapat disembah di mana dan
kapan saja.
Jelaslah
bahwa dalam Qur’an kehidupan keseharian Abraham memperlihatkan imannya yang
monoteistik. Sikap penyembahan Abraham terhadap Allah melegitimasikan iman
monoteistik Nabi Muhammad. Dengan demikian, penganut agama Islam melihat
Abraham sebagai tolak ukur keberimanan kepada Allah yang tunggal.
6. Kesinambungan Pewahyuan
Abraham
adalah orang beriman karena telah menerima pewahyuan Allah, bahkan percaya
kepada kehendak Allah. Akan tetapi, bagaimanakah kesinambungan monoteisme
Abraham tersebut? Menjawabi pertanyaan,
ada perbedaan yang tegas antara Qur’an dan kitab kejadian. Terlebih khusus
menyangkut Kejadian 22 dengan Qur’an 37: 100-112.
Kejadian
22 menggambarkan secara mendetail peristiwa pengujian iman Abraham. Iman
Abraham diuji dengan mempersembahkan anaknya, Ishak kepada Allah. Pengujian
iman Abraham tersebut dideskripsikan secara dramatis dengan menggambarkan
berbagai peristiwa demi peristiwa. Jika ditarik dalam konteks yang lebih luas,
pengujian iman Abraham tersebut tidak terlepas dari motif perjanjian dalam
kitab Kejadian. Dengan demikian, Ishak memang menjadi figur yang penting tetapi
hanya untuk menempati latar belakang dari perjanjian antara Allah dan Abraham.
Sedangkan yang menjadi inti dalam kitab kejadian adalah pengujian iman Abraham
oleh Allah.
Dari
perspektif tersebut, jelas bahwa kesinambungan monoteisme Abraham kepada Ishak
tidak mendapat penegasan yang jelas. Seolah-olah hanya iman Abraham yang
ditonjolkan. Itulah yang menjadi sasaran kritikan Qur’an terhadap pandangan
monoteisme Abraham dalam kitab Kejadian.
Dalam
Qur’an 37: 100-112, motif utama teks tersebut adalah pengujian iman Abraham.
Akan tetapi, pengujian ini merupakan pengujian bersyarat. Dikatakan pengujian
bersyarat karena iman Abraham masih tergantung kepada iman Ishak. Dalam Qur’an
pengorbanan Ishak bukan berkaitan dengan perjanjian antara Allah dan Abraham,
melainkan pengujian iman Abraham yang
bersyarat. Dengan demikian, pemilihan Ishak sebagai korban kepada Allah
merupakan anak yang terpilih dari suatu kemungkinan. Dalam arti, Ismael juga
sebenarnya mendapat kesempatan seperti Ishak. Akan tetapi dia tidak terpilih.
Namun jauh di atas hal tersebut, yang paling pokok adalah kesediaan Abraham
untuk melakukan hal tersebut.
Dalam
Qur’an dinarasikan bahwa Abraham menanyakan opini anaknya tentang mimpinya
untuk mempersembahkan anaknya kepada Allah. Ishak, sang anak langsung
mengiyakan tawaran dari Abraham mengingat hal itu merupakan perintah Allah.
Keiklasan Ishak untuk menanggung penderitaan atas dasar perintah Allah tersebut
menggambarkan imannya Allah. Pada akhirnya iman Ishak tersebut membantu untuk
menegaskan iman ayahnya Abraham. Dengan kata lain, iman Abraham dipertegas atau
tergantung kepada iman anaknya. Inilah yang memperlihatkan aspek kesinambungan
iman monoteistik Abraham kepada keturunan selanjutnya.
Selain
itu, dalam Qur’an memang tidak dijelaskan, sejak kapan Abraham mempunyai mimpi
tersebut. Hal ini tentu berbeda kejadian 22 yang menggambarkan secara jelas
datangnya kehendak Allah tersebut. Tetapi jika dianalisis dari narasi tersebut,
ada s atu indikasi pokok yang termuat di dalamnya. Pertanyaan dari Abraham
kepada Ishak mengasumsikan bahwa Ishak telah mencapai kematangan berpikir,
mental, dan fisik. Dengan mencapai kematangan berpikir, Ishak mampu menentukan
nasib bagi dirinya. Kematangan berpikir ini dalam bahasa Arab terkenal dengan
istilah sa’ya. Kata ini sebenarnya
mempunyai makna yang kompleks. Di antaranya
menandakan kemampuan untuk terlibat dalam sebuah pekerjaan dan aktivitas
yang melibatkan energi, kehendak bebas, dan keaktifan atau kesibukan. Tetapi di
sini dimaknai sebagai kemampuan untuk mengevaluasi diri. Fakta ini
memperlihatkan bahwa Qur’an lebih menekankan peran iman putera Abraham yang
bertumpu pada kekuatan rasionalitasnya. Dia memikirkan dirinya sebagai orang
yang taat kepada kehendak Allah.
Dengan
demikian, kesinambungan pewahyuan yang diterima oleh Abraham mendapat
penjelasan yang meyakinkan dalam Qur’an. Iman monoteis Abraham diteruskan
kepada keturunan berikutnya. Hal ini menonjolkan adanya aspek tanggung jawab
dari orangtua terhadap pertumbuhan iman anaknya. Tidak mengherankan apabila
Abraham dan Ishak menjadi model untuk orang-orang beriman.
7. Penutup: Gelar Abraham
dalam Quran
Rumusan
jawaban atas pertanyaan, bagaimanakah Abraham menjadi prototipe monoteisme
Islam mengandung dua hal pokok berikut. Pertama, Abraham dalam sejarah
kehidupannya yang terungkap dalam Qur’an menggambarkan bahwa sikapnya yang
setia dan taat kepada Allah. Ia menghindari penyembahan terhadap dewa-dewa
bahkan berusaha menyingkirkannya. Ia mendirikan tempat ibadat bagi Tuhan.
Kedua,
Abraham menunjukkan aspek tanggung jawab moralnya terhadap kesinambungan iman
kepada Allah. Peneguhan imannya terhadap Allah tergantung kepada iman anaknya.
Oleh karena itu, ia sedemikian rupa bertindak untuk mendidik iman anaknya agar
dapat menegaskan sekaligus meneruskan iman monoteistiknya. Dalam Qur’an
dijelaskan bahwa Ishak mampu menanggapi secara arif kehendak Allah dengan
bersikap taat sebagaimana Abraham, ayahnya.
Menjadi
ikon bagi orang-orang beriman monoteistik menyebabkan Abraham tidak lagi
dipandang sebagai milik bangsa Israel saja. Ia ditempatkan dalam konteks
universal yakni panutan bagi orang-orang beriman. Selain itu Qur’an
menggambarkan Allah sebagai Allah untuk semua bangsa. Atas dasar itu, setiap
individu diharapkan mengekspresikan imannya akan Allah melalui ketaatan
tindakan dan penghormatan.
Selanjutnya, Islam
mengakui bahwa semua orang dilahirkan muslim “tunduk” pada kehendak ilahi. Sikap
ini sangatlah wajar berhadapan dengan supremasi keilahian yang amat berkuasa. Gambaran
kepatuhan Abraham terhadap Allah yang Mahakuasa diekspresikan secara baik dalam
Qur’an. Sikap pasif seorang Abraham dinilai sebagai kepatuhan terhadap kehendak
Allah. Abraham adalah seorang “muslim” sejati yang dengan rendah hati
menyerahkan dirinya pada kehendak ilahi. Bagi seseorang yang memeluk agama
islam dan mengikuti jalan yang benar harus memiliki tiga sifat yang juga sama
dimiliki Abraham yaitu dingin, lemah-lembut, dan sikap penuh penyesalan.
Dalam Qur’an
Abraham digambarkan sebagai nabi yang dikirim kepada sekelompok orang untuk
mengubah cara hidup mereka. Yang hendak ditekankan adalah bahwa semua orang
dianggap sama di hadapan Allah dan harus tunduk serta taat kepada Allah. Kisah
dalam Qur’an dimaksudkan untuk menekankan cara beriman bagi anggota komunitas Islam.
Melalui Abraham
dan Lot perubahan cara beriman juga dialami istri mereka. Sara menanggapi dengan
gembira dan rendah hati terhadap berkat yang mengejutkan dalam hidupnya. Sara
tidak meragukan kuasa Tuhan. Di sisi
lain, istri lot menjadi contoh orang yang meragukan otoritas ilahi. Dia tidak
patuh dan terbuka akan kehendak Allah. Hidupnya juga menjadi model bagi orang
muslim yang mengalami penderitaan. Penderitaan merupakan bagian dari eksistensi manusia
sehingga dituntut untuk menerima penderitaan
dalam hidup sebagai bagian dari kehendak ilahi.
[1] Bdk. Syahadat Islam
[2] Hanif berasal dari akar kata Arab hanafa yang berarti mendaki atau
cenderung (to incline). Di luar
Al-‘Quran hanif diartikan sebagai
“mengarah ke tempat yang benar” (to
incline toward a right state or tendency).
[3] Bandingkan dengan Kitab Kej. 15. Di situ terungkap ketiga janji
Allah kepada Abraham, yakni keturunan, tanah, dan berkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar