I. Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Gereja katolik bersaksi adalah ciri khas karya misi gereja katolik dewasa ini terutama melalui lembaga pendidikan, kesehatan, dan karya sosial karitatif. Patut catat bahwa memang sejak abad ke-16 Gereja Katolik sudah berkiprah dalam karya misioner di bidang pendidikan, kesehatan, dan karya sosial karitatif. Namun ciri corak yang ditampilkan karya misioner gereja sekarang ini sedikit-banyaknya mulai berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Kalau dulu, gereja menggencarkan karya misi untuk menjaring sebanyak mungkin orang dibaptis menjadi orang-orang katolik. Sekarang, gereja lebih banyak memberikan kesaksian tentang iman, harapan, dan cinta kasih Kristiani melalui lembaga pendidikan, kesehatan, dan karya sosiaf karitatif. Dengan begitu, jiwa dan mental kristiani seperti kebenaran, keadilan, kejujuran, dan perikemanusiaan mendalam dalam diri setiap orang.
Menarik bahwa karya-karya misioner tersebut semacam papan luncur yang menyebabkan orang-orang ber-AGAMA katolik begitu cepat menyebar di seantero nusantara. Hal tersebut sangat kontradiksi dengan kenyataan bahwa orang-orang yang ber-IMAN, ber-PENGHARAPAN, dan ber-CINTA KASIH Kristiani sangat sedikit. Fakta demikian mengantar kami untuk mendalami proses, pergulatan dan menganalisi motivasi-motivasi yang ada di dalam karya-karya misioner tersebut yang sedang berjalan di tengah dunia.
1.2 Pokok Permasalahan
Dalam makalah ini, masalah yang akan kami bahas adalah mengapa Gereja Katolik Indonesia memberikan konsern kepada ketiga lembaga tersebut dalam memberikan kesaksian tentang iman kristiani di Indonesia. Untuk menjawab persoalan tersebut, kami akan memberikan pemaparan mengenai garis besar sejarah karya misioner di Indonesia. Berikutnya, kami akan memaparkan pembaharuan karya misioner, alasan-alasan munculnya pembaharuan karya misioner, pandangan tentang tentang karya misioner, dan pilar-pilar terpenting karya misioner. Kami juga akan memaparkan karya misioner tersebut dalam konteks zaman sekarang terutama tantangan-tantangannya. Pada bagian terakhir, kami mengajukan beberapa pokok gagasan berupa relevansi dan refleksi kritis menyangkut karya misioner gereja katolik.
II. Pembahasan
2.1 Karya Misioner: Abad ke-16 sampai menjelang akhirnya abad ke-20
Gagasan sentral yang memayungi karya misioner pada abad ke-16 di Nusantara adalah bahwa misi adalah perutusan suci untuk menobatkan orang-orang kafir. Sejauh manakah gagasan itu bertahan dalam perhelatan karya misi di Indonesia? Pertanyaan ini berkaitan dengan kenyataan bahwa di kemudian hari semangat misi di Indonesia sedikit banyaknya mulai membanting haluan dalam gagasan bermisi yang bertolak dari rangkaian refleksi kritis yang panjang dan tidak mudah.
Dalam semangat yang demikian, berlayarlah pewarta-pewarta ulung dan tangguh dari Spanyol dan Portugal ke wilayah nusantara di bagian timur. Hal ini terlihat nyata dengan kehadiran misionaris Portugis yakni Gonsalo Veloso yang semula di Halmahera utara (1534), kemudian mendapat sambutan hangat di banyak pulau Maluku. Tahun ini dirayakan sebagai kelahiran Gereja Katolik Indonesia. Kemudian, kedatangan Fransiskus Asisi (1506-1552) mengencangkan laju penginjilan di Indonesia. Seiring dengan perkembangan tersebut, para misionaris Yesuit di Maluku (Ternate, 1557) dan Dominikan di Nusa Tenggara membuka sekolah.
Semangat bermisi pada abad ke-16 sampai abad ke-19 tidak dihangatkan oleh strategi atau metodologi penginjilan yang tepat. Dikembangkan strategi membaptis raja dulu, rakyat dengan sendirinya taat kepada raja dan menyusul. Maka, kelihatan bahwa mental berdiplomasi dengan para raja menjadi kunci utama. Akan tetapi ketika jalur tersebut menemui jalan buntu, terpaksa meriam dan sejata bermain peran dalam penginjilan dan pewartaan iman katolik. Dengan kata lain, strategi bermisi pada era ini seolah-olah melegalkan segala cara demi selaras dengan semangat bermisi tersebut.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa segi metodologi misi yang demikian menjadi pangkal kesahajaan perkembangan gereja pada abad ke-16 sampai abad ke-19. Gereja masih menampilkan sikap fanatik yang sempit dan kekejaman atas nama agama demi kemilau gemerlap duniawi dari agama. Ajaran-ajaran Kristiani kurang berakar kuat di hati umat. Karena itu, mudah saja tercabut ketika para misionaris terdesak oleh VOC dan meninggalkan nusantara.
Di samping itu, kekerasan atas nama agama tersebut mewarisi trauma-trauma tertentu di kalangan non-Nasrani. Di kalangan kaum muslimin beredarlah apa yang disebut 3M oleh kaum Nasrani. 3M tersebut adalah merchant (pedagang), military (militer), dan missionaries(para padri misionaris) yang kemudian dijuluki sebagai tritunggal imperalisme dan kolonialisme zaman Fransiskus Saverius yang menyalakan trauma di kalangan non-Nasrani.
Pokok lain yang terungkap dalam gaya bermisi pada zaman ini adalah bahwa terdapat hubungan erat antara gejala religius keagamaan dengan gerakan politis. Ini merupakan suatu strategi untuk memperluas dan memperkokoh gereja gaya kolonial imperial. Akan tetapi, strategi tersebut hanya memerosotkan nama dan kredibilitas Gereja karena tidak selaras dengan program kehadiran dan kehidupan Yesus di dunia ini yang amat eksplisit memberi kesaksian tentang program hidup-Nya.
Kegersangan karya misioner tersebut yang bermuara pada kesahajaan iman kristiani di nusantara akhirnya terjawab dalam ciri corak strategi bermisi memasuki abad ke-19. Para misionaris Katolik Belanda memulai kembali karya misi di nusantara. Kesempatan ini merupakan buah dari kebijakan Raja Louis dari Belanda (1806-1810), seorang katolik memberikan fajar baru perkembangan Gereja Katolik di Indonesia. Ia menginstruksikan kepada Gubernur Jenderal kolonial Belanda Herman Willem Daendels untuk memberlakukan kebebasan beragama di Indonesia. Dalam banyak hal, strategi karya misioner Gereja Katolik mulai menghindar dari bahaya kolusi agama dengan kekuasaan politik. Meski demikian, Gereja tetap mengakui kekuasaan negara. Hanya saja, dalam segi ajaran agama, moral, kesusilaan, keadilan, kemanusiaan, dsb., Gereja Katolik harus merdeka dan berdaulat dalam sikap prinsipal yang tegas bahkan berkeras kepala, sekaligus ramah budiwan.
Rombongan para misionaris Belanda yang datang di nusantara pada abad ke-19 sudah menghayati kesadaran baru. Kesadaran baru tersebut menyatakan, bahwa karya misi gereja katolik harus berdaulat dalam hal iman dan moral yang semakin menjauhi soal-soal masyarakat, politik, ekonomi, gerakan pemerdekaan Indonesia, dan segala yang berbau duniawi. Selain itu, stategi Fransiskus Xaverius yang mencoba masuk ke kalangan istana setapak demi setapak mulai ditinggalkan. Karya misioner para misionaris mulai berpaling kepada rakyat biasa yang bekerja dengan tulus ikhlas, penuh pengorbanan diri, dan bersemangat injil.
Semaraknya semangat pembenahan terlihat dalam bertumbuh pesatnya karya misioner di bidang pendidikan, kesehatan, dan karya sosial karitatif yang menyentuh masyarakat kalangan bawah. Misalnya saja, Suster Ursulin (1856) mulai membuka Sekolah Katolik St. Maria tahun 1856 di Jakarta. Kemudian, karya misioner misioner dari Tarekat Yesuit (1859) dan Bruder S. Aloysius (1862) yang membangun sekolah di Surabaya.
Sentuhan-sentuhan karya misioner ini umumnya juga disertai dengan strategi yang jitu. Menjelang abad ke-20, Pater van Lith, SJ yang mengintegrasikan penginjilan dengan kebudayaan. Ia mulai menanamkan bibit-bibit pertama Gereja Katolik Pribumi di Jawa Tengah di kalangan rakyat, teristimewa pendidikan anak-anak, remaja, guru-guru muda, dan baru orang tua. Strategi seperti inilah yang menjadi cikal bakal “pertumbuhan yang spektakuler” umat katolik di Nusantara tahun 1808-1904. Apalagi kebanyakan karya misioner Gereja Katolik mendapat sokongan dana dari pemerintah Kolonial Belanda dalam kerangka “politik etis” Belanda.
Meskipun karya misioner tersebut sudah banyak membuahkan cerita kagum yang sangat monumental dalam pribadi Mgr. Soegijapranata, Kasimo, A.Adisoetjipto, Slamet Riyadi, dan Yos Sudarso, di era pasca-Kemerdekaan RI kembalilah visi klasik kolonial imperial St. Fransisikus Xaverius dalam bentuk-bentuk baru di keseluruhan dasar dan praksis sehari-hari Gereja di Indonesia. Semakin kuat terasa di era yang ditandai oleh modernisasi, industrialisasi, dan urbanisasi umat katolik kembali memeluk Darwinisme bugil, siapa-kuat-dia-dilayani. Karya-karya misioner Gereja Katolik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan karya sosial karitatif belum cukup memihak kepada kaum-kaum miskin. Tidak kalah mengerikan apabila lembaga-lembaga pendidikan, rumah sakit, dan karya sosial dijadikan sapi perahan untuk mengisi pundi-pundi hidup kaum berjubah.
Masalah yang lebih serius lagi adalah bahwa iman, harapan, dan cinta kasih kristiani yang ditebar kaum berjubah belum kelihatan benar-benar matang. Di sana-sini tak sedikit dari kalangan orang yang ber-AGAMA Katolik bahkan golongan berjubah sendiri terjerumus ke dalam pengaruh materialistis, hedonistis, dan konsumeristis. Yang terjadi pada giliran berikut ialah banyak umat ber-AGAMA Katolik terlibat dalam praktik KKN dan pengambilan keputusan-keputusan yang melawan semangat injili.
Lantas, sejauh manakah semangat meng-AGAMA-kan orang itu bergulir ketimbang meng-IMAN-kan orang kepada semangat Kristus. Patut diingat bahwa kita tidak boleh menyingkirkan begitu saja atau menutup mata berbagai usaha dari orang-orang yang berhati emas untuk terus mengusahakan pelayanan gereja yang bercita rasa kristiani pada masa mendatang. Semuanya itu membutuhkan perjuangan yang tidak ringan.
2.2 Pembaharuan Karya Misioner
Dari perkembangan karya misioner di Indonesia memperlihatkan dua kenyataan yang kontradiksi. Kenyataan pertama berciri corak dalam gaya penginjil agung, Fransiskus Xaverius yang mewakili kondisi Gereja Katolik pasca gereja perdana sampai dengan Konsili Vatikan II. Kurang lebih ekspresi misi yang diwartakan oleh St. Fransiskus dikatakan demikian. Pertama-tama strategi misi adalah berdiplomasi dengan para penguasa dan pemerintah. Kemudian, menggiring sebanyak mungkin orang untuk mengikat identitas nasrani.
Pada tempat yang lebih luas, ciri corak gereja yang ditampilkan pada zaman karya misioner St. Fransiskus ialah berbasis kepada biara-biara, bersifat hierarkis, serba menata dan ditata, dan inisiatif selalu berasal dari golongan hierarkis. Ciri corak gereja yang demikian sangat terasa pada era pasca-Gereja Purba sampai dengan Konsili Vatikan II. Oleh karena itu, karya misi masih dipandang sebagai tugas kaum biarawan dengan intensi membaptis sebanyak mungkin orang.
Setelah Konsili Vatikan II, sedikit demi sedikit karya misioner Gereja Katolik mulai membanting haluan baik dari segi metodologi maupun substansi. Yang diangkat ke permukaan, bukan lagi gereja hierarkis tetapi gereja jaringan. Gereja jaringan ini bhineka, namun terkoordinasi tunggal, yang saling berdialog, baik top down, dari atas ke bawah, maupun bottom up¸dari bawah ke atas. Dengan kata lain, suatu bentuk kinerja yang saling melengkapi dan mendewasakan; mandiri. Gereja zaman sekarang seolah-olah meneladani St. Theresia kecil yang melambangkan sisi iman yang tidak kelihatan di mata dunia, aspek gereja diaspora yang dina low profile bagaikan ragi, yang dilaksanakan di dalam dan oleh pengerjaan tugas-tugas kecil sehari-hari, namun dengan intensitas cinta kasih Kristiani yang amat dalam semurni anak kecil. Yang paling menonjol adalah bahwa orang sekecil apapun bahkan anak kecil bisa berkarya misi.
Kurang lebih penjelasan di atas disimpulkan demikian. Pertama adalah karya misi pada era sebelum Konsili Vatikan II sarat dengan kepentingan untuk mengokohkan institusional Gereja. Semakin banyak yang ber-AGAMA Katolik menjadi peristiwa yang sangat berkesan dan menggembirakan. Sekarang ini, karya misi melalui bidang pendidikan, kesehatan, dan karya sosial karitatif tidak terutama mengibarkan bendera AGAMA katolik tetapi lebih kepada kesaksian tentang IMAN, HARAPAN, dan CINTA KASIH Kristiani. Kedua, gereja era pra-Konsili memberi kesan yang sentral terhadap figur kaum berjubah dalam dinamika kehidupan menggereja. Di zaman postmodern, hal tersebut tidak relevan untuk dipertahankan. Keterlibatan seluruh umat Allah dalam memberikan kesaksian menduduki tempat yang sentral, siapapun dia. Tentu saja lembaga pendidikan, rumah sakit, karya sosial lain menjadi ranah yang tepat untuk memberikan kesaksian tentang iman, harapan, dan cinta kasih Kristiani.
Namun kita tetap waspada. Paham bahwa gereja zaman sekarang sudah membentuk suatu citra yang berwarna lain, tidak menjamin perkawinan gelap antara gereja dan kekuasaan politis lenyap sama sekali. Mungkin saja fakta sejarah yang demikian terulang.
2.3 Alasan-Alasan Munculnya Pembaaruan Karya Misioner
Ada sekurang-kurangnya empat alasan munculnya reformasi karya misioner yang dapat kami terangkan di sini. Sebenarnya alasan-alasan tersebut sangat kompleks dan tidak boleh disederhanakan pada suatu segi saja.
Alasan pertama yang mungkin adalah bangkitnya kesadaran baru di kalangan umat Katolik. Kesadaran baru tersebut tidak terlepas perkembangan dunia yang semakin mengedepankan semangat kebebasan, keadilan, kesejahteraan, perdamaian, dan sebagainya yang monumental pada revolusi Perancis.di masyarakat mana pun terjadi perubahan tata nilai kehidupan: banyak nilai lama ditinggalkan, menuju nilai baru yang diintegrasikan.
Di Indonesia menjelang abad ke-20, kesadaran itu dibuka ketika gereja katolik mulai memprakarsai karya misioner di bidang pendidikan, kesehatan, dan karya sosial karitatif yang menyentuh kalangan masyarakat akar rumput. Semangat nilai-nilai injili mulai menjiwai masyarakat melalui karya para misionaris. Dewasa ini, kesadaran itu diperlebar dengan meledaknya peristiwa-peristiwa yang mengharu biru seperti pembakaran gereja dan ancaman terselubung maupun terang-terangan oleh sebagian kecil oleh mayoritas Islam.
Yang dimaksud kesadaran baru di sini adalah orang-orang katolik mulai tergugah dan sadar bahwa sudah terlalu lama gereja katolik berselingkuh dengan kekuasaan politis. Akibatnya menimbulkan suatu sikap antipati dan curiga dari orang-orang non-nasrani. Misalnya saja pada era kolonial Belanda. Pembangunan sekolah-sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan gereja katolik yang cukup mendapatkan dukungan dari pemerintah kolonial. Sedangkan pergerakan Islam sebagai agama mayoritas disendatkan dalam banyak hal. Akhirnya kemunculan Muhammadiyah yang diprakarsai oleh K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) terkesan menyaingi laju kekatolikan di nusantara. Oleh karena itu, umat katolik mulai sadar bahwa penting untuk bersaksi dalam kehidupan sehari-hari dengan membuka hati dan pikiran bagi orang-orang non-Nasrani. Tidak segar lagi kalau kita hanya membicarakan kepentingan sendiri atau golongan sendiri. Di sekolah-sekolah Katolik mulai disegarkan prinsip kebhinekaan dalam sistem persekolahan guna melindungi cita-citanya dalam menghadapi pluralisme kultural.
Alasan kedua yang mungkin adalah ketidakpuasan dan kekacauan strategi karya misioner awal. Pada dasawarsa pertama abad ke-20 tercatat bahwa perkembangan umat katolik cukup signifikan. Begitupula dengan perkembangan karya misioner di bidang pendidikan, kesehatan, dan karya sosial karitatif. Mulai pula terlihat banyak kalangan umat Nasrani yang berkecimpung dalam tatanan politik, sosial, ekonomi, dan kenegaraan. Akan tetapi, borok hasrat KKN masih melilit erat dalam perilaku para petinggi di negara ini, termasuk orang yang ber-AGAMA Katolik. Sehingga acapkali dikatakan bahwa tertanamnya AGAMA yang menjadi semangat karya misioner awal belum sama sebangunnya dengan tertanamnya IMAN, HARAPAN, dan CINTA KASIH Kristiani.
Alasan ketiga yang mungkin adalah kelemahan kaum berjubah. Tidak dapat disangkal bahwa banyak karya misioner di bidang pendidikan, kesehatan, dan karya sosial karitatif masih diselenggarakan oleh kaum berjubah. Akan tetapi, ada sinyalemen yang memperlihatkan bahwa praktik Darwinisme bugil kembali mekar, siapa-yang-kuat-dia-dilayani. Sekolah-sekolah dan rumah sakit yang diselenggarakan kaum berjubah cenderung tidak berpihak kepada orang miskin dan tidak bercermin diri kepada semangat iman, harapan, dan cinta kasih kristiani. Selain itu, belum terlihat jelas sepak terjang kaum berjubah secara sistemik politis struktural. Yang disukai baru perbincangan teoritis-simbolis saja dalam khotbah, diskusi atau seminar, dsb.
Alasan keempat yang mungkin adalah keadaan Gereja (umat) yang sangat memprihatinkan. Di tengah zaman yang ditandai dengan modernisasi, industrialisasi, dan urbanisasi banyak umat Katolik yang memandatkan urusan pengetahuan dan pemahaman mengenai masalah-masalah teologi kepercayaan dan moral Kristiani serta sejarah Gereja kepada kaum berjubah. Ini adalah segi buruk dari gereja berbasis biara pada masa lalu sehingga gereja masih bersifat terpusat kepada kaum berjubah. Bahkan urusan sekolah-sekolah dan rumah sakit tetap dipercayakan kepada kaum berjubah sebagai administrator yang belum tentu profesional.
Dari keempat alasan tersebut, mungkin kita dapat menyederhanakan masalah utama yang ditekankan pada bagian awal oleh kelompok dalam rumusan berikut ini: bagaimana kita menggumuli persoalan-persoalan karya-karya misioner dalam semangat kristiani sampai ke akar-akarnya, dengan penuh konsekuensi dan radikalitas. Hal ini berarti kembali mendesak Gereja Katolik untuk bercermin ke spritualitas utama karya misioner dalam menanggapi tuntutan zaman yang berkembang.
2.4 Pandangan Tentang Karya Misioner
Suatu refleksi kritis dalam gereja dewasa ini adalah bahwa gereja ingin menghidupkan kembali arti hidup dalam iman, harapan, dan cinta kasih kristiani yang sesungguhnya. Manakah motivasi-motivasi yang mendorong untuk melakukan hal tersebut? Gereja Katolik konon sudah lama menjauhkan semangat asali injil sebagaimana yang ditampilkan oleh Yesus Kristus. Karena itu, dewasa ini ada suatu tuntutan transformasi di dalam memberikan kesaksian mengenai iman, harapan, dan cinta kasih kristiani.
Tentu saja pada zaman sekarang ini tersebar kerinduan akan religiusitas yang baru: jauh dari sikap kongkalingkong dengan pihak pemerintah, bersih dari segala kemunafikan. Pembaharuan yang dituntut dewasa ini memperlihatkan tiga semangat yang ditradisikan dari hidup jemaat Gereja Perdana. Pertama, keterlibatan dan solidaritas kepada orang miskin. Kisah Para Rasul bertutur,”dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing”( Kis 2:44-45). Pokok pikiran yang mendorong mereka pada masa itu ialah bahwa untuk apa punya harta yang tidak dibawa ke akhirat dan gagasan itu kemudian mendorong mereka untuk saling berbagi. Tidak persis sama dengan mereka namun yang mesti kita tradisikan bagi masa kini, yakni salah satu prinsip sikap hidup Kristiani sejati ialah solidaritas kepada mereka yang miskin, yang lemah, yang dina, menderita, diuber-uber, dst., dan berbuat nyata untuk menolong dan mengangkat mereka
Kedua, berkumpul satu hati merupakah hikmah yang amat penting dari Gereja Awal yang didiasporadis itu. Hikmah itu ialah kesaksian Kisah Para Rasul, “Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu”(Kis 2:44). Dalam konteks Indonesia, cara hidup Jemaat Perdana ini mengumandangkan suatu pesan bahwa umat Kristiani mesti selalu arif manunggal di dalam kebhinekaan. Umat harus tetap satu menghadapi soal yang esensi, hakiki, dan prinsip. Begitu juga dalam menghadapi banyak perkara, kita semua harus berhati besar. Ketiga, terpencar tetap bersatu. Suasana Gereja Dispora waktu itu kira-kira terungkap demikian,”Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah”( Kis 2:46). Di sini kita tidak melihat suatu gaya hidup Kristiani yang berpusat sentralistik pada gedung megah gereja atau katedral. Mereka bersantap bersama secara sederhana.
Dengan sangat seimbang Gereja Katolik melalui Dokumen Konsili Vatikan II dan melalui ensiklik-ensiklik seperti Rerum Novarum, Quadragesimo Anno, dan Populorum Progessio juga menurunkan sejumlah gagasan yang menggarisbawahi karya misioner dalam ciri corak kritiani pada saat ini. Jelas yang menjadi fokus perhatian kita disini adalah bagaimana pemahaman umat Kristiani dewasa ini tentang apa yang dilakukan oleh karya misioner katolik. Baiklah kita akan melihat muatan fokus tersebut, terutama bertolak dari refleksi kritis atas karya misioner pada masa lalu.
Pertama-tama, kita harus mempersiapkan mental dan visi pimpinan umat (imam dan awam) dulu agar mampu bersikap terbuka terhadap segala bentuk perubahan. Keterbukaan untuk berubah harus diseimbangi keyakinan bahwa tetap ada satu jantung jiwa atau identitas yang tidak berubah, yaitu fungsi kita sebagai hamba Allah Bapa dan Murid Yesus Kristus di dalam dunia dalam semangat dan visi Roh Kudus, dalam Persaudaraan Gereja Para Rasul yang Kudus, satu, dan Universal. Siap menyesuaikan tetapi aktif. Artinya tidak mengikuti secara pasif tetapi juga mesti disertai sikap kritis yang beriman.
Kedua adalah bahwa keterbukaan tersebut harus disertai sikap kerendahan hati. Sebab manusia yang rendah hati dapat tajam melihat mana yang benar, mana keliru, dan suka menerima kebenaran. Demikianlah hanya orang yang tidak sombong sanggup jujur menerima kenyataan dengan bening, sikap yang amat vital terutama bagi para pendamping umat. Kejujuran itulah yang mampu menumbuhkan kepercayaan, terutama bila masuk dalam perbincangan, musyawarah, dan saling berkomunikasi seumumnya
Selain itu juga, sebagai yang ketiga dan terakhir, sangat perlu ditanamkan tentang perlunya kearifan dugo prayoga (berbuat meskipun tidak diwajibkan atau disuruh, tidak berbuat walaupun tidak dilarang). Maka umat kristiani dituntut untuk memiliki integritas, keterampilan, dan kecakapan berkomunikasi
Dewasa ini ditandai dengan situasi yang serba dinamis, mobilitas tinggi atau kerap disebut sebagai kebudayaan nomad modern. Nomad terutama dalam artian fungsional (pekerjaan, tugas, dan mata pencarian), yang membuatnya jadi perantau, namun juga dalam artian psikologis ( tercerabut dari akar kultural tradisional, terlempar dalam budaya yang belum jelas). Oleh karena itu, kita memerlukan cara alternatif yang berubah-ubah dan memerlukan inovasi-inovasi. Sehingga para gembala, koordinator, dan komikator harus memiliki persediaan banyak akal. Jadi di sini jelas modal kearifan dugo-prayoga dituntut perlu dan mendesak sehingga banyak kesulitan praktis akan dapat diatasi dan dihindari dengan bijak
Melihat tuntutan semacam itu, Gereja Katolik memberikan pekerjaan rumah kepada karya misioner gereja katolik terutama di bidang pendidikan. Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) dianggap sebagai wadah yang cocok dan masih relevan untuk menyikapi persoalan pendidikan harmonis pribadi manusia yang menjadi tuntutan ciri corak gereja sekarang dan masa mendatang. Artinya yang diutamakan dalam LPK adalah pendidikan nilai-nilai kehidupan. Jelas dengan sendirinya bahwa dalam sistem pendidikan LPK yang dikembangkan tidak hanya kecerdasan intelektual saja, namun juga perlu diperhatikan pembinaan karakter dan kecerdasan emotional. Begitu pula disadari pentingnya pendidikan agama dan religiusitas agar dapat menajamkan kualitas kecerdasan spritualitas seperti nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebajikan, kebersamaan, kesetiakawanan sosial, persahabatan, dan saling menghargai yang harus diinternalisasikan kepada perserta didik. Singkat kata bahwa kita tidak hanya mengembangkan isi “kepala”, tetapi juga melapangkan sikap “hati”.
Akhirnya, karya misioner pada era abad ke-21 dan masa mendatang menjadi sesuatu yang berbeda dan khas. Tetapi ini hanya merupakan suatu tanggapan terhadap perkembangan zaman agar umat manusia masih terikat kepada iman, harapan, dan cinta kasih kristiani. Di sini pun kita diingatkan akan adagium yang mengatakan Ecclesia reformata sed per reformanda. Artinya Gereja yang dibarui tetapi selalu dibarui.
2.5 Inti Terpenting Karya Misioner Gereja
Yang menjadi inti dan kekhasan karya misioner Gereja Katolik sekaligus menjadi sumber keunggulan-keunggulannya terdiri atas tiga hal, yakni setia kepada pencerdasan kehidupan bangsa, setia terhadap ciri khas Katolik, dan setia kepada semangat luhur pendiri. Berikut ini dikemukakan penjabaran atas kekhasan karya misioner tersebut di atas.
Setia kepada pencerdasan kehidupan bangsa sangat jelas dalam dunia pendidikan katolik. Sekolah-sekolah katolik mempertahankan prinsip kebhinekaan dalam sistem persekolahan guna melindungi cita-citanya dalam menghadapi pluralisme kultural . Adapun cita-cita sekolah katolik di Indonesia adalah memanusiakan manusia secara utuh dengan mengupayakan kesejahteraan umum, mengembangkan bakat fisik, emosional, moral-intelektual-budaya secara harmonis, menumbuhkan sikap tanggung jawab dan kebebasan yang tepat, serta berperan serta dalam kehidupan secara aktif.
Dalam konteks Indonesia, sekolah-sekolah katolik dituntut untuk semakin menjabarkan program dan sistem yang jelas bagaimana partisipasinya dalam pembaharuan pendidikan kebangsaaan demi persatuan dan kesejahteraan kita bersama, diperlukan pendidikan kebangsaaan yang menyeluruh, yang menjangkau hal-hal di luar kurikulum pengajaran belaka. Usaha itu dapat dipadukan dengan suatu sistem pendidikan nilai yang menjabarkan nilai-nilai pancasila dalam rangkaian pengalaman dan penghayatan nilai manusiwi sebagai bangsa Indonesia.
Dalam bidang kesehatan, kesetiaan gereja katolik terhadap kesejahteraan bangsa tampak dalam program-program kerja PERDHAKI sebagai asosiasi dari unit-unit karya kesehatan Katolik di Indonesia . PERDHAKI seringkali turut aktif dalam menjalankan program-program kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Misalnya saja tahun 2002 PERDHAKI ikut berpartisipasi pada program pencegahan kebutaan dan gangguan penglihatan. Program ini sebenarnya dicanangkan oleh ibu Megawati, yang waktu itu sebagai Wakil Presiden RI. Program PERDHAKI yang lain adalah kesehatan ibu dan anak, penangulangan Tuberkolose, program, program kesehatan bagi masyarakat pedesaan, dan penanggulangan bencana alam .
Selanjutnya, karya-karya misioner Gereja Katolik Indonesia tersebut menampakkkan ciri kekristenannya. Kekristenan tersebut mengandung aneka dimensi: Dimensi iman menuntut, bahwa cara menarik mengajar agama mendapat tempat penting.-Dimensi misioner, yang tidak sama dengan kristenisasi: Berkat mutu sekolah katolik dan rumah sakit banyak orang pertama kali mulai mengenal dan menaruh perhatian pada agama Kristen.-Dimensi Sosial menekankan perlunya membina kesadaran dan kepekaan kepada sesama, khususnya kepada mereka yang lemah dan pada sebab-sebab ketidakadilan dalam masyarakat kita yang diwarnai oleh semangat kebebasan dan cinta kasih injili.-Dimensi budaya menuntut, bahwa adanya integrasi antara iman dan budaya dalam pelayanan tersebut. Dengan demikian, dimensi injil itulah yang membedakan karya misioner katolik dengan lembaga pendidikan dan kesehatan sekular lain. Karya misioner Katolik masih menjadi harapan masyarakat karena sekolah-sekolah dan rumah sakit katolik memberikan nilai-nilai Kristiani antara lain dalam wujud kedisiplin, kasih dan persaudaraan, kepedulian, dan solidaritas.
Pada gilirannya kemudian, karya-karya sosial tersebut merupakan wujud nyata karya gereja untuk mewariskan dan memancarkan semangat Yesus Kristus kepada manusia zaman sekarang. Yesus Kristus mewartakan Kabar Gembira tentang Kerajaan Allah yang membawa damai sejahtera yang sejati. Ia menyatakan cinta kasih-Nya kepada manusia, berkeliling untuk berbuat baik, mengajarkan orang banyak, dan menyembuhkan orang sakit. Ia memperhatikan manusia secara utuh. Sabda dan teladan Yesus Kristus tersebut seharusnya menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi gereja yang diutus untuk melanjutkan karyanya.
2.6 Tantangan-Tantangan Karya Misioner
Karya-karya misioner gereja katolik di Indonesia dalam perkembangannya pada masa kini selalu menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut jika tidak disikapi dengan arif dan cerdas akan membawa petaka bagi karya-karya gereja katolik di Indonesia. Sebaliknya, karya-karya gereja katolik tersebut juga berpotensi membangun manusia seutuhnya untuk kepentingan semua warga negara dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia, yaitu mengadakan pembangunan fisik (seperti pembangunan jalan, jembatan, kantor, pasar, gedung sekolah, gereja, mesjid, rumah sakit, dsb), juga pembangunan moral bangsa (seperti pendidikan agama, budi pekerti, pengajaran di sekolah, pengenalan dan pengamalan Pancasila, dsb).
Tantangan karya-karya misioner Gereja Katolik tersebut yang pertama-tama adalah menyangkut tantangan internal. Tantangan internal, antara lain menyangkut melemahnya spritualitas dan semangat pengabdian. Masalah tersebut tampil ketika pelayanan kesehatan katolik menganggap pasien sebagai custumer, client, atau objek perawatan. Padahal spritualitas kristiani mengajarkan bahwa siapa pun pasien yang datang, mesti kita sambut bagaikan Kristus. Kurangnya tenaga berkompeten merupakan masalah internal. Dalam lembaga kesehatan, hal ini menyebabkan ketergantungan kepada tenaga-tenaga profesional luar. Rumah sakit tidak mendapatkan staf purnawaktu dokter-dokter, apalagi dokter spesialis. Maka untuk mengurangi ketergantungan itu, rumahsakit Katolik menyekolahkan sendiri mahasiswa kedokteran. Tantangan internal yang lain adalah pengelolaan yang kurang memenuhi tuntutan profesionalitas dan kurangnya dana. Hal ini hampir terjadi di banyak lembaga karya sosial gereja katolik dewasa ini. Sebabnya bahwa semakin meningkat orang-orang yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan mendapat pendidikan katolik tetapi dan kebanyakan dari mereka berasal dari golongan bawah. Maka letak perkaranya bahwa dana untuk menyelenggarakan sekolah dan rumah sakit cukup tinggi (gedung, fasilitas, gaji, dan cadangan) sementara banyak orang tua murid dan pasien yang tak sanggup membayar.
Selain itu, karya-karya misioner gereja katolik Indonesia tersebut menghadapi tantangan yang datangnya dari luar lembaga (eksternal). Tantangan tersebut menyangkut maraknya pelbagai perundangan dan peraturan pemerintah. Sebagai salah satu contoh adalah kebijakan Departemen Kesehatan pada tahun 1988 untuk membuka unit-unit kesehatan yang baru. Akibat dari regulasi ini tumbuhlah yayasan dan pemilik modal yang mengelola aneka health center dan rumah sakit sebagai objek penanaman modal dan sumber pendapatan. Saat ini, banyak rumah sakit katolik berlomba-lomba merebut “pasar” dengan rumah sakit-rumah sakit tersebut. Contoh lain adalah UU Sisdiknas 2003 yang mewajibkan pelajaran agama lain daripada yang sesuai dengan ciri khas sekolah swasta. Dalam UU tersebut (pasal 1 butir 1) proses pembelajaran direduksi menjadi pengajaran dan cenderung mengikuti peraturan perundang-undangan begitu saja sehingga mengarah pada keseragaman, bukan keberagaman; pengaturan, bukan kebebasan kreatif; etatisme, bukan pemberdayaan rakyat; otoriter, bukan subsidiaritas; iman dan takwa, bukan kecerdasan.
Kemudian tantangan mengenai teknologi kesehatan yang baru, termasuk pengembangan sel punca dan aneka penyakit baru. Sementara banyak dokter dan praktisi teknologi kesehatan yang beragama Katolik dan terlibat dalam hal-hal seperti ini sering mengalami pertentangan hati nurani. Atas dasar itu, KWI menerbitkan pedoman Etis dan Pastoral Rumah Sakit Katolik tahun 1987 yang mengedepankan tanggung jawab iman dan moral perawat dan dokter katolik.
Tantangan eksternal berikutnya adalah munculnya banyak lembaga pendidikan dan kesehatan berorientasi pada keuntungan. Tampak bahwa “Industrialisasi” rumah sakit dan sekolah menjadi semakin marak yang dilakukan oleh para pemilik modal. Perebutan pasar dilakukan melalui penawaran aneka kemudahan sedemikian rupa sehingga menarik minat orang-orang kaya. Bagi lembaga pendidikan dan kesehatan katolik hal tersebut menyebabkan masalah sebab sejak lama, pelayanan gereja katolik telah menerapakan kebijakan subsidi silang. Dengan berkurangnya orang kaya yang meminati lembaga pendidikan dan kesehatan Katolik menimbul situasi yang kurang seimbang dan persaingan unfair dan tidak sehat.
Kesadaran masyarakat mengenai pendidikan dan kesehatan masih rendah. Konkretnya,tampak jelas dalam Lembaga kesehatan katolik di Indonesia yang berorientasi kepada tindakan pengobatan daripada tindakan pencegahan. Keseimbangan pelayanan kesehatan di kota dan di desa menyangkut kesehatan primer belum ada. Kesehatan primer tersebut pendidikan kesehatan, pelayanan kesejahteraan ibu dan anak, perbaikan sanitasi lingkungan, perbaikan gizi, pemberian kekebalan, pelayanan kesehatan sekolah. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan belum diusahakan semaksimal mungkin.
III Penutup
3.1 Relevansi
Salah satu prinsip sikap Kristiani sejati adalah solidaritas kepada mereka yang miskin, yang lemah, yang hina, menderita, diuber-uber, dsb. dan berbuat nyata untuk menolong dan mengangkat mereka. Siapakah yang disebut sebagai mereka yang “miskin” itu? Di zaman yang serba bebas dan modern ini semakin sulit dan rumit untuk menentukan identitas mereka yang “miskin” tersebut.
Di lingkungan perkotaan, hubungan antara suami-istri-anak-anak sebagai satu keluarga semakin tidak sekokoh keluarga-keluarga pada masa lalu. Dulu cita rasa keluarga katolik kental dengan nilai-nilai kristiani. Sangat jarang terjadi peristiwa perceraian, married by accident, dan aborsi sebagaimana sekarang ini. Tidak bisa dimungkiri bahwa macam-macamnya profesi, pendidikan, pengalaman hidup yang semakin heterogen turut menyumbangkan perbedaan pandangan, perasaan, penilaian, mana yang baik dan mana yang buruk, yang sejogjanya diperbuat atau yang jangan diperbuat meskipun dalam satu keluarga. Inilah pangkal masalah dewasa ini.
Karena itu, banyak orang tua Katolik di kota-kota besar tetap merindukan suatu keluarga yang diwarnai terang Kristus. Demi maksud tersebut, mereka masih percaya kepada karya misioner gereja Katolik khususnya bidang pendidikan untuk mengasah kepribadian anak-anak mereka sesuai dengan cita rasa kristiani. LPK masih terbilang menjaga keunggulan-keunggulannya. Pertama, hal tersebut terlihat dalam etos kerja yang tinggi dari LPK dalam penyelenggaraan, pengelolaan, dan pelaksanaan pendidikan. Kedua, mengedepankan pluralitas yang mengakui keberagaman dan perbedaan latar belakang dalam hal suku, bahasa, budaya, agama, ras, status sosial ekonomi. Ketiga, memiliki loyalitas iman yang ditandai dengan menciptakan lingkungan hidup bersama yang dijiwai oleh semangat kebebasan dan cinta kasih injili. Teranglah bahwa di tengah kesibukan profesi umat-umat katolik di kota, LPK menjadi sangat relevan untuk menjadi ragi bagi iman katolik.
Kemiskinan di perkotaan tampak dalam keterbatasan akses sumber ekonomi, sosial-politik, pendidikan, dan budaya. Banyak anak jalanan, terlantar, penderita berbagai penyakit, tunawisma, dan sebagainya. Hadirnya berbagai panti asuhan dan rumah sakit memberi harapan bagi mereka itu. Melalui lembaga karya misioner tersebut pemberdayaan terhadap mereka dilakukan. Contohnya adalah rumah singgah yang diselenggarakan biarawan Fransiskan, rumah Sakit Orang Kusta dan sebagainya.
Di pedesaan karya misioner gereja katolik masih sangat relevan. Kehidupan pedesaan yang ditandai kurangnya Sumber Daya Manusia ( SDM) akibat arus urbanisasi mendesak suatu perubahan dan nilai-nilai kehidupan yang relevan. Maka melalui karya misioner gereja katolik masalah semacam itu dapat di atasi. Melalui bidang pendidikan dibangun sekolah-sekolah kejuruan seperti sekolah pertanian untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas SDM di desa. PERDHAKI yang memiliki unit-unit kesehatan di desa-desa dapat meningkatkan sosialisasi kesehatan primer bagi masyarakat desa. Begitupun karya sosial karitatif lain misalnya ekopastoral yang diselenggarakan oleh Fransiskan di Pagal membantu dalam memperdayakan masyarakat setempat.
Akhirnya, karya misioner katolik di bidang pendidikan, kesehatan, dan karya sosial karitatif dapat selangkah demi selangkah mewujudkan gereja persekutuan umat Allah yang mengedepankan keterlibatan awam dalam kehidupan menggereja. Bukan lagi terpusat kepada hidup kaum berjubah. Selain itu, penampakan iman, harapan, dan cinta kasih kristiani sedapat mungkin dapat menjadi ragi keselamatan bagi seluruh umat manusia. Demikianlah bahwa pewartaan injil tidak akan lengkap jika tidak diperhatikan hubungan timbal balik yang terus menerus antara injil dan kehidupan konkret manusia, baik pribadi maupun sosial (Evangelii Nuntiandi 29).
3.2 Refleksi Kritis
Krisis dalam karya misioner Gereja Katolik yang disebabkan oleh sejumlah persoalan baik di kalangan iman maupun awam direfleksikan sangat mendalam oleh Romo Mangunwijaya dalam buku Gereja Diaspora. Di tengah gempuran urbanisasi, modernisasi, dan industrialisasi yang menggiring sebanyak mungkin orang menuju sikap hidup materialistis, hedonistis, dan konsumeristis dewasa ini, pandangan Romo Mangun mengenai Gereja Diaspora dapat menjadi titik pijak dalam mengekspansi nilai-nilai Kerajaan Allah di dunia ini.
Dalam menimbang kembali krisis tersebut, pokok penting yang harus kita akui adalah bahwa strategi karya misioner karya misioner Gereja Katolik acapkali didorong oleh motivasi-motivasi yang belum benar-benar murni mengenai iman, harapan, dan cinta kasih kristiani. Keadaan yang paling genting ketika gereja katolik acapkali berselingkuh dengan kepentingan penguasa. Bahkan sejarah mencatat, hal tersebut menjadi peristiwa yang timbul-tenggelam ziarah gereja di dunia. Mungkinkah karya misioner gereja Katolik zaman sekarang mampu menyebabkan orang-orang kristiani tetap berantusias ke semangat asli injili? Yang dimaksud dengan semangat asli ialah etos dan gairah Para Rasul serta jemaat Kristen Perdana yang menyejarah, sebagaimana yang ditampilkan penulis Kisah Para Rasul.
Pembaharuan karya misioner Gereja Katolik pada umumnya berbicara tentang gerakan yang bercorak bagaimana mengembangkan iman, harapan, dan cinta kasih kristiani. Tidak dapat disangkal bahwa orang yang menghayati iman, harapan, dan cinta kasih kristiani relatif lebih sedikit daripada orang yang ber-AGAMA Katolik. Maka pertanyaaan yang perlu dikemukakan adalah sanggupkah semua murid Kristus memikul salib untuk mengikuti iman, harapan, dan cinta kasih yang diajarkan oleh Yesus Kristus pada zaman ini.
DAFTAR PUSTAKA
Florisan, Yosep(penerjemah). Orang-Orang Katolik di Indonesia 1808-1942, jilid II(Karel Steenbrink). Maumere: Ledalero. 2006 .
Heuken, Adolf. Ensiklopedi Populer tentang Gereja Katolik di Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta Loca Caraka. 1989.
Heuken, Adolf. Ensiklopedi Gereja. Jakarta: Yayasan Cipta Loca Caraka. 1990.
Kristiyanto, Eddy. Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern.Yogyakarta: Kanisius. 2004.
KWI. Pedoman Etis dan Pastoral Rumah Sakit Katolik. Jakarta: KWI. 1988.
KWI. Lembaga Pendidikan Katolik:Media Pewartaan Kabar Gembira, Unggul dan Berpihak kepada yang Miskin. Jakarta: KWI. 2008.
KWI. Hasil Sidang Agung KWI dan Gereja Katolik Indonesia. Jakarta: Etem PRINT. 2003.
KWI. Hasil Sidang KWI dan Gereja Katolik Indonesia : Pedoman Gereja Katolik Indonesia. 1995.
KWI. Pesan-Pesan MAWI kepada Karya-Karya Kesehatan Katolik 1978. Jakarta: KWI. 1987.
Mangunwijaya.Y.B. Gereja Diaspora.Yogyakarta: Kanisius. 2003.
Nicolas, Adolfo. Tenaga Kesehatan Katolik Ditantang.Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta. 1990.
Http:// www. Muhamadiyah.or.id/sejarah-muhamadiyah.html, diunduh 12-11-2010
Dokumen-dokumen dan buku PERDHAKI
PERDHAKI, Direktori dan Rumah Sakit & BP/RB Unit Anggota PERDHAKI 2007
PERDHAKI, Rencana Strategis PERDHAKI 2005-2010
Rahmat
-
Dua malaikat sedang melakukan perjalanan. Ketika malam tiba, mereka
berhenti dan bermaksud menginap di sebuah rumah milik keluarga kaya. Keluarga
itu s...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar