Pages

Ads 468x60px

Senin, 14 Oktober 2013

Untukmu

Ada seorang yang begitu spesial dalam hatiku. Aku sangat membanggakannya dan mengaguminya sejak lama. Hari ini aku ingin menelponnya. Sayangnya itu tidak mungkin. Lalu aku ingin meluapkan isi hatiku di sini tentangnya.

Bapak Aleks dengan teman-temannya di ruang tamu.
Mengapa tidak mungkin? Barangkali itu pertanyaan dalam hati kalian. Akan kujelaskan demikian. Dia tinggal terlalu jauh dariku. Saat ini, aku berfirasat, dia sedang duduk di kursi sofa berwarna hijau di ruang tamu. Di sekitarnya pasti ada seseorang atau beberapa orang. Mereka sedang bercakap dan bercerita. Tertawa tak lagi diragukan ada saat ini di antara mereka. Soalnya, dia seorang humoris yang aku kenal. 


Sekali lagi, sayangnya tempat dia duduk dan rumah dimana ia bernaung saat ini dikelilingi bukit-bukit. Tak ada sinyal hand phone memancar ke sana. Saat ini, bukit-bukit itu jelas menjadi sasaran kemarahanku.


****

Aku mencintainya karena dialah yang membuatku paham tentang diriku dan pilihan hidupku.

Setelah menamatkan diri dari seminari menengah, suatu ketika aku pernah duduk berdua dengannya di ruang tamu itu. Ia duduk di kursi sofa hijau itu.

“Jangan pernah mendorongku untuk memilih menjadi imam.“ ujarku saat itu kepadanya. 

“Tidak ada yang memaksamu jadi imam. Aku hanya ingin kamu bahagia” katanya dengan mimik yang serius. Wajah lonjongnya memperlihatkan ketulusan ucapannya.

Mendengar jawabannya, aku memamerkan senyuman yang terkesan dibuat-buat saat itu. Aku menjadi malu dengan diriku. Tak kusangka hal yang kutakuti, malah dijawab dengan santai. Selama ini aku pikir, dia amat berharap aku menjadi seorang imam. Aku terlanjur kasar dengannya, padahal dia tidak pernah memaksaku. 

Tentu kesimpulannya mudah. Saat aku berniat melanjutkan panggilan di seminari tinggi, itu semata-mata karena keputusan bebasku. Tak ada yang memaksa sama sekali.

****

Setelah hampir tiga tahun tinggal di biara, pada suatu senja aku teringat dengannya. Sebuah pertanyaan membuatku teringat padanya.  “Jika suatu saat kamu menjadi seorang misionaris, apa yang kamu lakukan?” kata seorang pastor yang sudah berusia lanjut. Aku mengernyitkan dahi. Jawabannya tak semudah ketika ditanyakan pada saat aku masih SD dulu. Tidak segera kujawab saat itu.

Aku berjalan di sebuah kolam yang terletak di tengah bangunan biara itu. Kupandangi ikan di situ, namun pikiranku melayang jauh. Aku coba mengingat-ingat cerita-cerita para misionaris yang pernah aku dengar.  Tentang karya, hobby, dan kegiatan mereka di tanah misi menyesaki kepalaku.

Sejak itu bagiku tidak gampang menjadi seorang misionaris. Aku lalu ingat padanya. Dialah yang berharap aku harus bahagia.  Terang bagiku, bahwa aku harus pahami dulu apa arti bahagia, barulah aku memutuskan apakah aku menjadi seorang misionaris atau tidak.

Pertanyaan itulah yang membawaku pada permenungan beberapa hari. Hatiku mulai terusik untuk juga bertanya, apakah dia bahagia dalam hidupnya?

****

Pengalaman bersamanya mulai berlabuh dalam benakku. Ketika usiaku masih lima tahun kami pernah tinggal bersama di sebuah rumah yang sudah tua. Besi kuda-kuda rumah itu sudah mulai karatan. Kayu papan yang dijadikan dinding rumah itu mulai keropos dimakan rayap. Lantai semennya mulai pecah sana-sini. Benar-benar tak layak dihuni.

Namun di rumah itulah kami berdua melewati waktu bersama selama sepekan. Jaraknya dekat dengan gedung sekolah dasar, sedangkan dengan kampung di situ lumayan jauh, sekitar 2 km. Sepulang  ibadat hari Minggu, barulah kami berdua pulang ke rumah, tempat saat ini dia berada. Sebab kami memiliki rumah tinggal di kampung lain, sementara tugasnya di kampung itu.

Kampung tempat dia bertugas ini terletak di atas pegunungan. Dulu tak ada jalan raya ke sana, kecuali jalan setapak yang melewati hutan lebat. Tanjakan berat selalu menghantuiku pada masa itu. Biasanya pada hari senin pagi kami menempuh dua-tiga jam jalan kaki baru sampai di kampung itu. 

Kala itu dia sudah menjalani tugas sebagai seorang guru SD di sana selama dua puluhan tahun. Sebenarnya bukan saja sebagai guru. Tugasnya rangkap. Dia ditunjuk sebagai dewan stasi juga. Faktor pendidikan masyarakat yang belum mumpuni membuat dia dipercayakan untuk itu. Baginya sudah biasa untuk memimpin ibadat kematian. Pastor jarang ke tempat itu karena wilayahnya lumayan jauh dan keterbatasan jumlah imam di paroki.

Pada suatu malam, sebagaimana pada malam-malam sebelumnya, dalam kamar yang hanya diterangi sebuah lampu minyak, kami berdua mulai bercerita. Dia selalu membawakanku cerita daerah yang membuatku tertidur. Entah kenapa malam itu aku belum dapat tidur.

“ Kenapa ayah mau ditugaskan di sini?” Aku sengaja membuatnya bercerita lebih banyak.

“Ayah tidak pernah ingin kita tinggal di sini. Ini karena tugas. Tapi ayah mencintai tugas ini.” Kalimatnya menggantung saat itu. Saat ini barulah  aku mulai paham.

“Ayah tidak berencana pindah dari sini?”

“Belum.”

“Kita sudah membuka kebun di sini. Orang-orang di sini juga begitu ramah. Apalagi di sini tenaga gurunya masih kurang. ” Ia melanjutkan penjelasannya. Ya memang di sana, gurunya masih sangat kurang. Pernah pada suatu ketika, hanya ayah saya yang menjadi guru untuk beberapa kelas. Banyak guru muda yang datang, tapi kemudian segera minta pindah tugas ke tempat lain. 

Ada banyak faktor yang membuat guru-guru itu pindah. Umumnya karena lokasinya sulit dijangkau. Tapi pada suatu ketika beberapa guru meminta diri untuk pindah lantaran kasus kematian yang beruntun di kampung itu. Hampir tiap pekan ada yang meninggal. Digosipkan bahwa ada di antara warga kampung yang memiliki ilmu hitam. Dan banyak yang kemudian minta pindah ke tempat lain.


Kesetiaannya berada di antara orang-orang di sana selama bertahun-tahun membuatku bertanya, bukankah dia merasa bahagia tinggal di sana?

****

Hari ini aku mengingatnya dan sangat merindukannya. Ya, karena hari ini dia genap berusia enam puluh tahun. Dia harus pensiun dari tugasnya. 

Sayangnya aku tak dapat memberikan selamat kepadanya pada hari ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text