Ada seorang yang begitu
spesial dalam hatiku. Aku sangat membanggakannya dan mengaguminya sejak lama.
Hari ini aku ingin menelponnya. Sayangnya itu tidak mungkin. Lalu aku ingin
meluapkan isi hatiku di sini tentangnya.
Bapak Aleks dengan teman-temannya di ruang tamu. |
Sekali lagi, sayangnya
tempat dia duduk dan rumah dimana ia bernaung saat ini dikelilingi bukit-bukit.
Tak ada sinyal hand phone memancar ke sana. Saat ini, bukit-bukit itu jelas
menjadi sasaran kemarahanku.
****
Aku mencintainya karena
dialah yang membuatku paham tentang diriku dan pilihan hidupku.
Setelah menamatkan diri
dari seminari menengah, suatu ketika aku pernah duduk berdua dengannya di ruang
tamu itu. Ia duduk di kursi sofa hijau itu.
“Jangan pernah
mendorongku untuk memilih menjadi imam.“ ujarku saat itu kepadanya.
“Tidak ada yang
memaksamu jadi imam. Aku hanya ingin kamu bahagia” katanya dengan mimik yang
serius. Wajah lonjongnya memperlihatkan ketulusan ucapannya.
Mendengar jawabannya,
aku memamerkan senyuman yang terkesan dibuat-buat saat itu. Aku menjadi malu
dengan diriku. Tak kusangka hal yang kutakuti, malah dijawab dengan santai.
Selama ini aku pikir, dia amat berharap aku menjadi seorang imam. Aku terlanjur
kasar dengannya, padahal dia tidak pernah memaksaku.
Tentu kesimpulannya
mudah. Saat aku berniat melanjutkan panggilan di seminari tinggi, itu
semata-mata karena keputusan bebasku. Tak ada yang memaksa sama sekali.
****
Setelah hampir tiga
tahun tinggal di biara, pada suatu senja aku teringat dengannya. Sebuah
pertanyaan membuatku teringat padanya.
“Jika suatu saat kamu menjadi seorang misionaris, apa yang kamu
lakukan?” kata seorang pastor yang sudah berusia lanjut. Aku mengernyitkan
dahi. Jawabannya tak semudah ketika ditanyakan pada saat aku masih SD dulu.
Tidak segera kujawab saat itu.
Aku berjalan di sebuah
kolam yang terletak di tengah bangunan biara itu. Kupandangi ikan di situ,
namun pikiranku melayang jauh. Aku coba mengingat-ingat cerita-cerita para
misionaris yang pernah aku dengar.
Tentang karya, hobby, dan kegiatan mereka di tanah misi menyesaki
kepalaku.
Sejak itu bagiku tidak
gampang menjadi seorang misionaris. Aku lalu ingat padanya. Dialah yang
berharap aku harus bahagia. Terang
bagiku, bahwa aku harus pahami dulu apa arti bahagia, barulah aku memutuskan
apakah aku menjadi seorang misionaris atau tidak.
Pertanyaan itulah yang
membawaku pada permenungan beberapa hari. Hatiku mulai terusik untuk juga
bertanya, apakah dia bahagia dalam hidupnya?
****
Pengalaman bersamanya
mulai berlabuh dalam benakku. Ketika usiaku masih lima tahun kami pernah
tinggal bersama di sebuah rumah yang sudah tua. Besi kuda-kuda rumah itu sudah
mulai karatan. Kayu papan yang dijadikan dinding rumah itu mulai keropos
dimakan rayap. Lantai semennya mulai pecah sana-sini. Benar-benar tak layak
dihuni.
Namun di rumah itulah
kami berdua melewati waktu bersama selama sepekan. Jaraknya dekat dengan gedung
sekolah dasar, sedangkan dengan kampung di situ lumayan jauh, sekitar 2 km. Sepulang ibadat hari Minggu, barulah kami berdua
pulang ke rumah, tempat saat ini dia berada. Sebab kami memiliki rumah tinggal
di kampung lain, sementara tugasnya di kampung itu.
Kampung tempat dia
bertugas ini terletak di atas pegunungan. Dulu tak ada jalan raya ke sana,
kecuali jalan setapak yang melewati hutan lebat. Tanjakan berat selalu
menghantuiku pada masa itu. Biasanya pada hari senin pagi kami menempuh
dua-tiga jam jalan kaki baru sampai di kampung itu.
Kala itu dia sudah
menjalani tugas sebagai seorang guru SD di sana selama dua puluhan tahun.
Sebenarnya bukan saja sebagai guru. Tugasnya rangkap. Dia ditunjuk sebagai
dewan stasi juga. Faktor pendidikan masyarakat yang belum mumpuni membuat dia
dipercayakan untuk itu. Baginya sudah biasa untuk memimpin ibadat kematian.
Pastor jarang ke tempat itu karena wilayahnya lumayan jauh dan keterbatasan
jumlah imam di paroki.
Pada suatu malam, sebagaimana
pada malam-malam sebelumnya, dalam kamar yang hanya diterangi sebuah lampu
minyak, kami berdua mulai bercerita. Dia selalu membawakanku cerita daerah yang
membuatku tertidur. Entah kenapa malam itu aku belum dapat tidur.
“ Kenapa ayah mau
ditugaskan di sini?” Aku sengaja membuatnya bercerita lebih banyak.
“Ayah tidak pernah
ingin kita tinggal di sini. Ini karena tugas. Tapi ayah mencintai tugas ini.”
Kalimatnya menggantung saat itu. Saat ini barulah aku mulai paham.
“Ayah tidak berencana
pindah dari sini?”
“Belum.”
“Kita sudah membuka
kebun di sini. Orang-orang di sini juga begitu ramah. Apalagi di sini tenaga
gurunya masih kurang. ” Ia melanjutkan penjelasannya. Ya memang di sana,
gurunya masih sangat kurang. Pernah pada suatu ketika, hanya ayah saya yang
menjadi guru untuk beberapa kelas. Banyak guru muda yang datang, tapi kemudian
segera minta pindah tugas ke tempat lain.
Ada banyak faktor yang
membuat guru-guru itu pindah. Umumnya karena lokasinya sulit dijangkau. Tapi
pada suatu ketika beberapa guru meminta diri untuk pindah lantaran kasus
kematian yang beruntun di kampung itu. Hampir tiap pekan ada yang meninggal.
Digosipkan bahwa ada di antara warga kampung yang memiliki ilmu hitam. Dan
banyak yang kemudian minta pindah ke tempat lain.
Kesetiaannya berada di
antara orang-orang di sana selama bertahun-tahun membuatku bertanya, bukankah
dia merasa bahagia tinggal di sana?
****
Hari ini aku
mengingatnya dan sangat merindukannya. Ya, karena hari ini dia genap berusia
enam puluh tahun. Dia harus pensiun dari tugasnya.
Sayangnya aku tak dapat
memberikan selamat kepadanya pada hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar