Pages

Ads 468x60px

Senin, 14 Oktober 2013

Belajar Bermisi dari Kampung Halaman

            

          Di bawah terang sinar bulan yang redup, untuk kesekian kalinya kami berkumpul. Menyanyikan beberapa lagu sambil membakar rokok sekadar menghangatkan suasana  adalah ritual yang biasa kami lakukan saat berkumpul. Semilir angin malam itu yang berhembus begitu lembut nan dingin tak kami hiraukan saat percakapan semakin mendalam.

            Begitulah rutinitas hampir setiap malam yang saya lakukan selama liburan. Pasalnya, mulai pukul 21.00 malam keadaan mulai sepi. Tak ada terang lampu yang terang benderang. Mesin listrik masing-masing rumah mulai dipadamkan. Tiap-tiap rumah hanya diterangi lampu minyak. Di saat seperti itu, beberapa anak muda tidak mau lekas tidur. Kami berkumpul di jalan dan mulai bercakap-cakap serta bernyanyi di bawah sinar bulan yang pucat.


            Adanya listrik merupakan suatu pemandangan baru di kampung kami. Beberapa tahun terakhir warga di kampung memang terkesan berlomba-lomba membeli mesin  listrik sendiri. Gejala ini sebenarnya dapat dipahami mengingat sudah sekian lama mereka menanti pasokan listrik PLN, namun belum kunjung terkabul.

 Ada perasaan dianaktirikan sebagai anak bangsa. Sebab jika dilihat dari jaraknya dengan kota kecamatan, kampung kami terbilang cukup dekat yakni hanya sekitar 4-7 km. Sedangkan beberepa kampung seperti kajong atau Loce, misalnya, yang berjarak hingga puluhan kilometer mendapat aliran listrik. 

            Seringkali alasan yang dihembuskan bahwa kebanyakan warga di kampung kami terdiri dari orang-orang yang berekonomi lemah. Sebenarnya saya sendiri tak memahami alasan seperti itu hingga sekarang. Negara kelihatannya absen dalam menghadirkan kesejahteraan kepada warga negaranya. Justru adanya listrik membuka peluang-peluang baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

            Sekarang misalnya saja, beberapa orang berani membeli mesin listrik secara kredit. Tujuannya tidak hanya untuk menerangi rumah tetapi membuka usaha seperti bengkel, mebel, dan lain sebagainya. Keberanian itu ternyata membawa hasil. Secara ekonomi terlihat perubahan drastis dan positif, namun belum merata. Jelas bahwa logika yang dibangun berbanding terbalik.

            Keadaan ini terbilang jauh lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Beberapa tahun silam, ketika gelap mulai menjemput, rumah-rumah hanya diterangi lampu minyak. Malam terasa begitu sepi, tak ada sarana hiburan yang dapat dinikmati seperti nonton serial film di TV atau menonton berita.  Pada zaman itu, saya coba menikmati belajar dengan lampu minyak. Resikonya, keesokkan harinya selalu bermasalah dengan hidung. Lubang hidung terasa sesak dan berwarna gelap akibat diasapi selama belajar.

            Saya sendiri sangat menikmati rutinitas kami tiap malam selama liburan itu. Dan memang tak ada pilihan lain. Untuk menelpon dengan teman-teman yang jauh sangatlah tidak mungkin. Secara geografis kampung kami dikelilingi beberapa bukit kecil. Meskipun jaraknya cukup dekat dengan kota kecamatan dimana  ada sebuah tower sinyal, tapi kampung kami tetap tak kebagian sinyal.

            Pada malam itu, saya terhenyak mendengar cerita seorang teman. Namanya Mansen. Ia adalah teman baik saya semenjak kecil. Setelah putus dari sekolahnya pada sekolah menengah atas, ia tinggal di kampung. Bekerja serabutan  dan tidak menentu. Lalu pernah merantau ke Surabaya, namun pada akhirnya pulang kembali ke kampung. 

            Lalu ketika perjudian kupon putih lagi ramai di kampung, ia ikut berperan di dalamnya. Ia menjadi seorang agen putih. Namun suatu ketika ia ditangkap oleh polisi intel, lalu dijebloskan ke dalam penjara selama setahun. Pengalaman dalam penjara banyak memberikan pelajaran penting baginya. Ia bertekad membangun kembali serpihan-serpihan kehidupannya yang berantakkan.

            Kini ia bekerja sebagai tukang batu. Paginya berangkat ke sungai Wae Pesi yang terletak dekat kampung kami. Ia mengumpulkan batu, lalu dimuat ke dalam truck yang membawanya ke beberapa proyek jalan raya dan jembatan. Mereka mendapat upah dari per truck batu yang berhasil mereka muat tiap hari. Sore harinya barulah mereka pulang.

            Sayangnya meskipun perubahan itu perlu namun tidak semudah membalikkan telapak tangan baginya. Setelah menerima upah di akhir pekan, antara 400-500 ribu, ia kerap bingung dan tergoda untuk terlibat dalam perjudian kembali. Ia lantas bermain kartu dan billiard. Ide untuk menabung apalagi untuk investasi usaha rupanya terlalu di awang-awang bagi seorang yang hanya menamatkan sekolah menengah atas seperti dia. “Saya tidak bisa menabung.” akunya dengan nada putus asa. 

            Bukan hanya dia mengalami persoalan seperti itu. Gusti, salah seorang teman pada malam itu juga mencurahkan isi hatinya. Seminggu sebelumnya ia sudah menghabiskan uang hampir satu juta  yang diperoleh dari hasil judi untuk minum. Padahal istrinya tengah hamil dan sangat membutuhkan uang. Tapi ia seperti hilang kendali ketika mendapat uang itu. 

            “Saya menyesal tapi saya sepertinya tidak bisa menahan diri saya. Kejadian begini berulang terus. Meski saya sudah menyesal berkali-kali, saya juga melakukannya berkali-kali.” katanya dengan nada kecewa.

            Hati saya memang cukup teriris dengan kisah-kisah memilukan hati selama di kampung. Perjudian semakin marak. Cerita selingkuh bertebaran seakan bukan rahasia lagi. Belum lagi persoalan rumah tangga yang karut marut, pernikahan usia dini, seks bebas dan angka putus sekolah yang kian marak. Cerita tentang Mansen dan Gusti hanyalah sebagian kecil dari kisah miris di kampung.

            Kurangnya sarana hiburan dan sarana informasi seakan melanggengkan perjudian, minuman beralkhol, dan seks bebas sebagai pilihan sarana rekreatif. Di beberapa tempat lain barangkali pengaruh perkembangan teknologi yang semakin canggih telah membawa pengaruh buruk. Lain ceritanya di kampung kami yang melihat teknologi seperti surga yang didambakan. Kehadiran listrik seolah-olah dapat meredam produk sistem itu.

            Ambros, seorang tetangga yang mempunyai mesin listrik sendiri, telah memiliki beberapa buah mobil truck, dan usaha peternakan mengaku dulunya ia sering berjudi. Semenjak ada televisi, ia lebih suka menonton televisi daripada pergi bermain judi. Tak salahlah ia mati-matian berencana melakukan demontrasi supaya listrik masuk di kampung kami. “Kita harus mengadakan demo. “ katanya. 

            Betapa sulitnya bagi saya berhadapan dengan realitas demikian selama kurang lebih dua bulan. Di satu pihak saya tidak menghendaki bahwa ilmu filsafat dan teologi yang saya geluti hanya tinggal di menara gading, tanpa meneteskan remah-remahnya dalam kehidupan konkret. Namun di lain pihak kemungkinan untuk terlibat secara aktif sangatlah kecil harapannya. Membangun suatu perubahan tidaklah mudah. Ada banyak hal yang dipertaruhkan, entah waktu, tenaga, pikiran, dan lain sebagainya.

            Namun paling tidak ada hal yang perlu saya pelajari dari pengalaman selama libur itu. Jika melihat konstitusi CICM, bahwa kita diutus untuk mewartakan injil kepada  orang-orang yang termarginalkan, maka saya melihat diri saya sebagai seseorang yang berangkat dari situasi yang termarginalkan dan hendak diutus pula daerah yang termarginalkan. Tentu pertanyaan yang paling relevan adalah apa yang mesti saya persiapakan sejak sekarang ini?
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text