Di bawah terang sinar bulan yang
redup, untuk kesekian kalinya kami berkumpul. Menyanyikan beberapa lagu sambil
membakar rokok sekadar menghangatkan suasana
adalah ritual yang biasa kami lakukan saat berkumpul. Semilir angin
malam itu yang berhembus begitu lembut nan dingin tak kami hiraukan saat
percakapan semakin mendalam.
Begitulah rutinitas hampir setiap
malam yang saya lakukan selama liburan. Pasalnya, mulai pukul 21.00 malam
keadaan mulai sepi. Tak ada terang lampu yang terang benderang. Mesin listrik
masing-masing rumah mulai dipadamkan. Tiap-tiap rumah hanya diterangi lampu
minyak. Di saat seperti itu, beberapa anak muda tidak mau lekas tidur. Kami
berkumpul di jalan dan mulai bercakap-cakap serta bernyanyi di bawah sinar
bulan yang pucat.
Adanya listrik merupakan suatu
pemandangan baru di kampung kami. Beberapa tahun terakhir warga di kampung
memang terkesan berlomba-lomba membeli mesin
listrik sendiri. Gejala ini sebenarnya dapat dipahami mengingat sudah
sekian lama mereka menanti pasokan listrik PLN, namun belum kunjung terkabul.
Ada perasaan dianaktirikan sebagai anak
bangsa. Sebab jika dilihat dari jaraknya dengan kota kecamatan, kampung kami
terbilang cukup dekat yakni hanya sekitar 4-7 km. Sedangkan beberepa kampung
seperti kajong atau Loce, misalnya, yang berjarak hingga puluhan kilometer
mendapat aliran listrik.
Seringkali alasan yang dihembuskan
bahwa kebanyakan warga di kampung kami terdiri dari orang-orang yang berekonomi
lemah. Sebenarnya saya sendiri tak memahami alasan seperti itu hingga sekarang.
Negara kelihatannya absen dalam menghadirkan kesejahteraan kepada warga
negaranya. Justru adanya listrik membuka peluang-peluang baru yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sekarang misalnya saja, beberapa
orang berani membeli mesin listrik secara kredit. Tujuannya tidak hanya untuk
menerangi rumah tetapi membuka usaha seperti bengkel, mebel, dan lain
sebagainya. Keberanian itu ternyata membawa hasil. Secara ekonomi terlihat
perubahan drastis dan positif, namun belum merata. Jelas bahwa logika yang
dibangun berbanding terbalik.
Keadaan ini terbilang jauh lebih
baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Beberapa tahun silam, ketika gelap mulai
menjemput, rumah-rumah hanya diterangi lampu minyak. Malam terasa begitu sepi,
tak ada sarana hiburan yang dapat dinikmati seperti nonton serial film di TV
atau menonton berita. Pada zaman itu,
saya coba menikmati belajar dengan lampu minyak. Resikonya, keesokkan harinya
selalu bermasalah dengan hidung. Lubang hidung terasa sesak dan berwarna gelap
akibat diasapi selama belajar.
Saya sendiri sangat menikmati
rutinitas kami tiap malam selama liburan itu. Dan memang tak ada pilihan lain.
Untuk menelpon dengan teman-teman yang jauh sangatlah tidak mungkin. Secara
geografis kampung kami dikelilingi beberapa bukit kecil. Meskipun jaraknya
cukup dekat dengan kota kecamatan dimana ada sebuah tower sinyal, tapi kampung kami
tetap tak kebagian sinyal.
Pada malam itu, saya terhenyak
mendengar cerita seorang teman. Namanya Mansen. Ia adalah teman baik saya
semenjak kecil. Setelah putus dari sekolahnya pada sekolah menengah atas, ia
tinggal di kampung. Bekerja serabutan
dan tidak menentu. Lalu pernah merantau ke Surabaya, namun pada akhirnya
pulang kembali ke kampung.
Lalu ketika perjudian kupon putih
lagi ramai di kampung, ia ikut berperan di dalamnya. Ia menjadi seorang agen
putih. Namun suatu ketika ia ditangkap oleh polisi intel, lalu dijebloskan ke
dalam penjara selama setahun. Pengalaman dalam penjara banyak memberikan
pelajaran penting baginya. Ia bertekad membangun kembali serpihan-serpihan
kehidupannya yang berantakkan.
Kini ia bekerja sebagai tukang batu.
Paginya berangkat ke sungai Wae Pesi yang terletak dekat kampung kami. Ia
mengumpulkan batu, lalu dimuat ke dalam truck yang membawanya ke beberapa
proyek jalan raya dan jembatan. Mereka mendapat upah dari per truck batu yang
berhasil mereka muat tiap hari. Sore harinya barulah mereka pulang.
Sayangnya meskipun perubahan itu
perlu namun tidak semudah membalikkan telapak tangan baginya. Setelah menerima
upah di akhir pekan, antara 400-500 ribu, ia kerap bingung dan tergoda untuk
terlibat dalam perjudian kembali. Ia lantas bermain kartu dan billiard. Ide
untuk menabung apalagi untuk investasi usaha rupanya terlalu di awang-awang
bagi seorang yang hanya menamatkan sekolah menengah atas seperti dia. “Saya
tidak bisa menabung.” akunya dengan nada putus asa.
Bukan hanya dia mengalami persoalan
seperti itu. Gusti, salah seorang teman pada malam itu juga mencurahkan isi
hatinya. Seminggu sebelumnya ia sudah menghabiskan uang hampir satu juta yang diperoleh dari hasil judi untuk minum.
Padahal istrinya tengah hamil dan sangat membutuhkan uang. Tapi ia seperti
hilang kendali ketika mendapat uang itu.
“Saya menyesal tapi saya sepertinya
tidak bisa menahan diri saya. Kejadian begini berulang terus. Meski saya sudah
menyesal berkali-kali, saya juga melakukannya berkali-kali.” katanya dengan
nada kecewa.
Hati saya memang cukup teriris
dengan kisah-kisah memilukan hati selama di kampung. Perjudian semakin marak.
Cerita selingkuh bertebaran seakan bukan rahasia lagi. Belum lagi persoalan
rumah tangga yang karut marut, pernikahan usia dini, seks bebas dan angka putus
sekolah yang kian marak. Cerita tentang Mansen dan Gusti hanyalah sebagian
kecil dari kisah miris di kampung.
Kurangnya sarana hiburan dan sarana
informasi seakan melanggengkan perjudian, minuman beralkhol, dan seks bebas
sebagai pilihan sarana rekreatif. Di beberapa tempat lain barangkali pengaruh
perkembangan teknologi yang semakin canggih telah membawa pengaruh buruk. Lain
ceritanya di kampung kami yang melihat teknologi seperti surga yang didambakan.
Kehadiran listrik seolah-olah dapat meredam produk sistem itu.
Ambros, seorang tetangga yang
mempunyai mesin listrik sendiri, telah memiliki beberapa buah mobil truck, dan
usaha peternakan mengaku dulunya ia sering berjudi. Semenjak ada televisi, ia
lebih suka menonton televisi daripada pergi bermain judi. Tak salahlah ia
mati-matian berencana melakukan demontrasi supaya listrik masuk di kampung kami.
“Kita harus mengadakan demo. “ katanya.
Betapa sulitnya bagi saya berhadapan
dengan realitas demikian selama kurang lebih dua bulan. Di satu pihak saya
tidak menghendaki bahwa ilmu filsafat dan teologi yang saya geluti hanya
tinggal di menara gading, tanpa meneteskan remah-remahnya dalam kehidupan
konkret. Namun di lain pihak kemungkinan untuk terlibat secara aktif sangatlah
kecil harapannya. Membangun suatu perubahan tidaklah mudah. Ada banyak hal yang
dipertaruhkan, entah waktu, tenaga, pikiran, dan lain sebagainya.
Namun paling tidak ada hal yang
perlu saya pelajari dari pengalaman selama libur itu. Jika melihat konstitusi
CICM, bahwa kita diutus untuk mewartakan injil kepada orang-orang yang termarginalkan, maka saya
melihat diri saya sebagai seseorang yang berangkat dari situasi yang
termarginalkan dan hendak diutus pula daerah yang termarginalkan. Tentu
pertanyaan yang paling relevan adalah apa yang mesti saya persiapakan sejak
sekarang ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar