Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 07 Juni 2014

Rumah Kenangan

Di penghujung senja hari terakhir tahun lalu, aku tiba di rumah itu. Badanku basah kuyup lantaran hujan menombaki sore itu tanpa henti. Aku berhenti sejenak depan pintu. Kukibas rambut ikalku agar kering.


            Rumah itu tak begitu berbeda jauh dari foto yang kulihat beberapa tahun silam. “Ini foto rumahku.” tunjuk Purba pada sebuah foto dengan senyum takzim. Oh iya, aku menyebut rumah itu sebagai rumah kenangan. Sebab rumah itu membuatku terkenang sahabat lamaku Purba yang kata-katanya dan pemikirannya sudah bercampur dalam darahku dan membekap dalam pikiranku. Purba kukenal sudah belasan tahun silam. Tampaknya memang menakutkan saat awal bertatapan. Ia tinggi dan berbadan kekar, rahangnya tampak gagah, suaranya kental dan tegas dengan potongan rambut plontos. Namun tidak demikian saat ia mengembangkan senyum. Pancaran kelembutannya menyelimuti kita dengan kenyamanan. Lalu kami berdua pun akrab. Saban hari kukenal dia sebagai orang yang cerdas dan berjiwa pemimpin. Ia mampu menyemangati teman-teman dalam satu kelompok agar berpartisipasi aktif dalam diskusi. Punya kharisma dalam kehidupan berorganisasi. Aku pun sedikit iri hati dengan dia karena tidak perlu waktu lama untuk bersepakat bahwa ia memiliki semua perlengkapan yang dibutuhkan untuk menaklukan perempuan di kampus kami. Sayangnya ia tak terlalu peduli urusan cinta.

            Rumah itu tampak gelap. Cahaya cukup redup. Meskipun demikian, rasa penasaran tetap menghinggapku. Tak terhitung banyaknya, aku mendengar cerita tentang rumah itu. Namun baru kali ini punya kesempatan untuk melihatnya secara langsung.

            “Kamarku ada persis berada di samping kiri ruang tamu. Aku selalu bersembunyi di balik pintu saat ibu membuka pintu mencariku untuk menemaninya ke pasar.” kenang Purba tentang masa kecilnya. Aku hampir bisa menggambarkan semua bagian dalam rumah itu dalam imajinasiku. “Ruang makan kami berada dalam seruangan dengan ruang tamu. Hanya dipisahkan oleh sebuah lemari besar. Setiap kali tamu datang, aku selalu mendengar percakapan bapak dan ibu dengan tamu. Dan setiap pembicaraan selalu menyelipkan namaku. Aku selalu protes setiap kali tamu pulang.” ceritanya pada suatu sore saat kami menyerumput kopi di warung yang terletak di pojok kampus.

            “Terus, apa jawab bapak kamu?” tanyaku sambil menyalakan sebatang rokok saat itu.

            “Jawaban yang kemudian kudengar berulangkali.”

            “Apa?”

            “Purba, Bapak tak punya apa-apa.” Ia menirukan ucapan ayahnya. “ Bapak tak punya tanah warisan. Keluarga di kampung mungkin sudah melupakan bapak karena sudah lama tak pulang. Uang pesiunan bapak pun tak cukup untuk membeli tanah yang baru atau mengembangkan usaha. Satu-satunya harta bapak dan ibu adalah kamu. Jadi hanya kamu yang bisa diceritakan.”

            Tiap kali menjelaskan begitu, ia makin paham kenapa bapak dan ibunya selalu menuntut banyak darinya. Kadang ia tak suka. Namun ia memahami pemikiran orang tuanya. Orangtuanya menginginkan dia sukses. Oleh karena itu, sejak SD, ayahnya menanamkan sikap disiplin kepadanya. Setiap malam harus belajar hingga 2 jam di bawah bimbingan. ia juga dibelikan banyak buku. Lalu sebulan sekali mereka akan bertanya tentang isi buku-buku tersebut. Bermain bersama teman-temannya pun dibatasi. Sebelum jam enam sore, ia sudah harus di rumah.

“Kalau kamu  sudah punya penghasilan sendiri, kamu cukup bangun tambahan bangunan di halaman belakang dengan sebuah baranda di lantai duanya. Di situlah bapak dan ibu akan menghabiskan masa tua. Duduk dan mengenang masa lalu dan bermain dengan cucu-cucu.” cerita itu membuatku tahu bahwa ada halaman kosong di belakang rumah kecil itu. Ingin rasanya aku sebentar ke sana dan melihatnya.

            Purba memang merasa tidak mudah melewatkan hidupnya. Ada suatu pergolakan yang hebat dalam dirinya. Antara tuntutan orang tuanya dan mimpi-mimpi pribadinya. Kurasakan dilema itu dari bola matanya yang bergetar pada percakapan kami di suatu senja. Walaupun nada suaranya terkesan ia mau menutup-nutupi suasana hatinya. Kala itu ia makin terkenal di kampus dan ditawari banyak sekali pekerjaan oleh beberapa LSM. Ia berkata, “Ron, aku punya impian bisa mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi di luar negeri. Sekolah setinggi-tingginya selama aku bisa. Tapi itu tidak mungkin.” Aku langsung paham. Terlalu mudah bagi dia untuk mendapatkan beasiswa dengan banyaknya kenalan yang ia punya saat itu. Hanya saja aku tahu apa yang menjadi alasan keberatan hatinya. Ia tak mau meninggalkan kedua orang tuanya.

            “Tapi aku harus menjadi orang sukses. Walaupun aku sebenarnya ingin hidup sederhana sebagaimana kedua orang tua.” imbuhnya kemudian.

            “Kenapa?”

            “Ini demi gengsi bapak dan ibu.”

            Aku tersadar. Teringat ceritanya yang lain pada suatu ketika. Kupandang sekeliling, rumah-rumah tetangga.  Tepat di sebelah kanan rumah itu, sebuah rumah berlantai dua berdiri megah. Itu satu-satunya rumah paling mewah di kompleks itu. Di lantai duanya tampak lampunya bercahaya temaram dengan dinding kaca tebal yang transparan. Untung saja ditutupi gorden-gorden berwarna hijau sehingga tak diketahui langsung aktivitas di dalam ruangan itu. Taman pun tampak indah dibalut berkas-berkas cahaya yang terpantul dari dua lampu tanam. Sebuah garasi panjang terletak di samping pintu masuk rumah. Sedangkan sebuah mobil masih parkir di luar area garasi tertutup itu. Bisa dipastikan,ada beberapa mobil di sana sehingga memerlukan tambahan tempat untuk parkir di luar garasi.

            “Gengsi?” ujarku heran saat itu.

            “Iya. Setiap kali menasehatiku, bapak dan ibu pasti membandingkan dengan tetangga kami.” Lalu ia menceritakan tentang kelima anak tetangganya yang menjadi orang-orang sukses. Dua orang anak perempuannya menjadi dokter. Sementara tiga anak lelakinya; seorang pengacara, seorang polisi, dan pengajar di salah satu universitas terkenal.

“Kamu lihat dong mereka berlima. Disiplin dan taat pada apa yang dikatakan Pak Tejo. Bapak malu kalau sampai gagal hanya mengurus satu orang.” kata-kata ayahnya itu seolah tabuhan genderang perang dalam hatinya. Ia semakin giat belajar sembari bermimpi bisa membuat kedua orang tuanya bahagia sebagaimana anak-anak tetangganya itu.

“Pokoknya suatu saat aku harus bisa menyaksikan senyum mengembang dari kedua bibir mereka.” ucapnya yang meskipun sudah berkali-kali namun menjadi penting bagiku karena menandai berakhirnya komunikasi kami belasan tahun silam itu.

*****

Kupencet bel rumah itu perlahan. Ada rasa cemas. Barangkali kedatanganku membangkitkan masa silam yang kelam yang sudah tak mau diungkit lagi. Tengah pikiranku berkecamuk, pintu terbuka. Seorang ibu tua melihatku dengan tatapan menyelidiki. Dari kepala hingga kaki. Ini pasti ibunya, ujarku dalam hati. Hidungnya yang mancung sama persis dengan Purba, dengan ukuran dahi yang begitu lebar. Bola matanya bulat dan alis yang hampir menyambut satu sama lain.

“Aku Roni. Temannya Purba.” ujarku dengan senyum tipis yang menutupi kegugupanku.

“Silakan masuk!”

Ketika memasuki ruang tamu berukuran 4 x 5 meter itu, mataku tak henti-hentinya  menatap setiap detail dalam ruangan itu. Kulihat beberapa sofa tampak usang ditelan waktu ditata berbentuk setengah lingkaran. Ada sebuah meja kayu di tengahnya yang dilapisi taplak plastik. Hanya sebuah pot bunga dan asbak rokok yang menempati meja itu. Sementara di pojok ruangan itu, yang berbatasan dengan sebuah ruang di sebelahnya, terdapat tumpukkan koran. Berlapis-lapis.

“Kamu duduk sebentar.”

Ibu itu kemudian berjalan ke ruang belakang. Kudengar suara mereka bercakap-cakap dari balik sebuah lemari besar di ruangan tamu itu. Aku tak mempedulikannya karena perhatianku tersita oleh lemari itu. Dalam lemari kaca itu, beberapa piala diletakkan berderet-deret. Sangat banyak jumlahnya. Sudah kupastikan semua itu milik Purba. Dan di dinding ruang tamu itu pun, hampir dipadati bingkai-bingkai foto Purba. Hampir di semua foto ia tersenyum, memamerkan deretan giginya yang putih dan rata.

“Nak, kamu ngobrol-ngobrol di belakang sama bapak.”

Segera aku bangkit dari tempat duduk dan berjalan menyusuli ibu itu ke belakang. Saat kubuka tirai yang membatasi dua ruangan itu, kuhampir tersentak kaget ketika bola mata lelaki tua itu sudah menyorotiku dengan tatapan tajam. Tak ada bias senyum yang mengembang dari wajahnya. Jidatnya dipenuhi kerutan. Pipinya ramping dengan rahang tampak perkasa. Dadanya tampak membusung seolah-olah masih gagah menantang keuzuran. Aku hanya bisa membalas tatapannya seolah-olah tak ingin dimangsa oleh daya penaklukan tatapannya itu. Kemudian aku berjabat tangan dengannya.

Meskipun belum sepatah kata pun yang ia ucapkan, bahasa tubuhnya seolah mengajakku untuk mengikutinya ketika ia bangkit dari tempat duduknya dan membuka pintu di salah satu sisi ruangan itu. Kutebak itu pintu untuk menuju ke halaman belakang.

“Kita ngobrol di belakang.” Ia baru mulai bicara dengan suara kental.

Aku pun mengikutinya. Di halaman belakang ini, cahaya tampak lebih terang benderang daripada dalam rumah. Namun mataku langsung tertuju pada kuburan di sana. Kulihat bongkahan lilin yang membeku dan berlapis-lapis telah mengisi semua ruang kosong di atas kuburan itu. Begitu padat. Dan masih ada sebuah lilin yang masih menyala.

“Ini kuburan Purba.” kata lelaki tua itu.

Wajahku tak dapat menyembunyikan rasa heran mendengarnya. “Bukannya ia belum ditemukan sampai sekarang?” tanyaku perlahan sudah tak bisa menahan rasa penasaran. Seingatku, Purba masuk dalam daftar yang tak ditemukan dan hilang semenjak situasi politik memanas pada tahun 1998 itu.

“Iya. Ini kuburan kosong. Lilin-lilin ini dinyalakan kami berdua setiap hari, semenjak ia hilang.” jelas lelaki tua itu yang sambut isak tangis dari istrinya itu.

Aku pun tak dapat menahan rasa haru, menangis tersedu-sedu dalam rumah kenangan itu. Mengingat seorang sahabat lama yang hilang entah dimana sekaligus disergap rasa bersalah.

Taytay, Rizal, 7 Juni 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text