Pengamen itu bukanlah orang
sembarangan. Jangan mau dibohongi wajah gamangnya. Tampangnya yang usang
dilumat mesin waktu juga tak dapat
dipercaya.
“Siapa yang mau memanggang diri
dalam sengatan mentari musim kering ini?” begitu kami selalu berkeluh tentang
tikaman sinar matahari selama musim panas ini. Bukan main panasnya sampai-sampai tanah di
seputaran kota Bagiou menganga lebar. Rerumputan berubah warna menjadi kuning
pucat. Daun-daun pohon pinus jatuh berguguran, meranggas bak ditelanjangi.
Namun suatu pagi, pelupuk mata kami
terusik ketika melihat dia. Di lorong sempit tapi padat dengan pejalan kaki yang
memakai payung yang terlihat seperti deretan jamur lantaran jumlahnya yang tak
kalah sewaktu musim hujan, ia duduk seperti biasa. Matanya masih terlihat teduh
meski buta. Rambutnya kuning pucatnya menjulur melintasi jidatnya. Kerut merutnya mengelupas saat senyum
tipisnya mengembang setiap mendengar langkah kaki yang melintas di depannya.
“Andaikan tidak buta, ia pastilah
pemuda yang tampan dulunya.” kata temanku saat kali pertama kami melihatnya pada
bulan November tahun lalu. Hidungnya mancung, pipinya ramping dengan rahang
perkasa yang menandakan ia seolah masih gagah menantang segala bentuk keuzuran. Kala
itu, di tengah musim dingin yang membuat bibirku pecah-pecah, ia duduk di
tempat yang sama. Ia menyanyikan lagu dan menghibur orang-orang yang memadati
lorong itu.
Orang-orang yang lewat di situ
biasanya selalu akan meliriknya sejenak. Ketikanya kalengnya bunyi, tanda bahwa
ada yang memasukkan uang logam, ia lantas mengucapkan, “terima kasih!”. Tapi
adanya kalanya tanpa ada bunyi sekalipun, tatkala orang-orang memasukkan uang kertas, ia tetap mengucapkan terima kasih.
“Darimana ia tahu.” ujarku bingung.
“Indera penciumannya tajam.” jelas
temanku.” ia bisa merasakan bau orang yang mendekatinya.”
Selama enam bulan, aku dan
teman-teman selalu melewati tempat itu tiap pagi. Dari situlah aku menyadari
kalau pengamen yang buta itu punya ketulusan yang sulit dibandingkan dengan
pengamen lain di belahan dunia mana pun.
Dia, tentu saja, tak pernah menghitung
berapa orang yang melewati di depannya dan mengenali mereka. Konon lorong
sempit yang diapit dua pagar berjaring besi itu dibangun atas dasar konflik dua
sekolah menengah yang bertetanggaan itu. Kedua sekolah itu dikelola oleh dua biara
religius. Sekolah menengah yang dulunya satu, kini dibedakan dengan adanya
lorong itu. Jalan setapak dengan lantai kasar itu juga satu-satunya jalan singkat
menghubungkan sebuah jalan protokol dan beberapa kampus besar di kota itu. Ada
juga rumah sakit di ujung jalan tersebut.
Bisa dibayangkan siapa yang
melintasi tempat itu setiap hari. Siswa dari bangku sekolah dasar hingga
mahasiswa dengan keragaman gaya seturut usia. Dari yang berwajah lugu,kering,
dan kuyu hingga yang berparas cantik dan cakep, dari yang berbadan kurus
kerempeng hingga yang sintal, padat berisi, dari yang berpakaian ketat dan
tertutup, hingga yang mengenakan rok
mini dan berbaju berbelahan dada lebar. Ada dokter, dosen, ibu rumah tangga yang mengantar
anaknya. Pokoknya banyak.
Tapi dia jauh dari praktek diskriminatif. Menyunggingkan
senyum yang sama untuk tiap orang. Melantungkan lagu-lagu indah tanpa
membeda-bedakan. Alis matanya yang menari naik turun dengan lamban, tidak
dibuat untuk seseorang atau hanya beberapa orang saja. Bahkan saat tak ada
orang yang melintas pun setelah lewat pagi hari hingga menjelang tengah hari,
ia tetap bernyanyi, memetik melodi-melodi bergaung sendu.
Memang beberapa hari awal kami
sempat tak menggubrisnya. Entah karena aku sudah mati rasa karena terbiasa
memandangi pengamen atau pengemis yang tampil lebih menyedihkan darinya. Lebih
sedih jika, misalnya suatu hari di bus memandangi seorang ibu berbadan tipis
yang menutupi sebagian wajah keringnya dengan selendang lusuh menengadahkan
tangannya sambil menggendong bayi mungil. Ibu itu lebih menjerat simpatiku
daripada pengamen yang tak terkesan gelisah, marah, mengeluh itu.
Entah juga karena punya persepsi buruk
tentang pengamen dan pengemis dari pengalamanku sebelumnya. Pernah sekali aku
tengah main playstation di sebuah rental. Di sampingku ada seorang anak kecil.
Sedang bermain juga. Sesekali ia tersenyum kepadaku. Lalu ketika perut menagih
janji untuk tepat waktu, aku mampir di warung terdekat. Tengah asyik
menghabiskan porsi termurah di warung itu, tiba-tiba aku mendengar seorang
pengamen bernyanyi diiringi tepukan tangannya yang bersuara lemah. Kutoleh ke
arah datangnya suara. Hampir saja kumuntahkan nasi yang sedang kukunyah. Anak
itu lagi. Kali ini dengan rona muka yang sengaja dibuat sayu, muka memelas,
bola matanya yang mempunyai kekuatan gravitasi untuk menarik rasa iba. Beberapa
orang di situ pun takluk, merogoh saku dan memberinya sedekah. Namun ia tampak
terkejut saat melihatku. Aku hanya tersenyum.
Betapa terkejutnya aku ketika kembali
ke rental untuk bermain lagi, kutemui ia sedang asyiknya bermain sambil makan
ice cream.
“Senang ya bisa main PS sambil makan
ice cream.” sindirku kepadanya.
“Iya dong om.” Nadanya suara ringan
seakan mengejekku.
Sejak itu hati semakin membeku dari
rasa iba. Apalagi saat menjumpai pengamen di bus-bus kota. Bersuara bak kaleng
jatuh di lantai, tapi mengandalkan penampilan ala preman, wajah sangar, nada
suara dibuat mengancam, bola mata yang mengintimidasi. Tak ada norma kesopanan
sama sekali. Rasanya muak.
Tapi ia tampak berbeda setelah
sekian minggu. Mengubur pikiranku yang terlanjur buruk tentang para pengamen karena
kesetiaannya.
“Jam berapa dia ke sini?” tanyaku penasaran
kepada seorang teman suatu pagi. Kali itu kami berangkat pagi hari sekali.
Jalanan masih lengang. Kutelusuri lorong itu. Sepi. Tapi ia sudah ada di sana.
Kesetiaan itu adalah pembeda. Kumulai iba. Berusaha memberi dari apa yang
kupunya. Barangkali kesetiaan itu juga yang membuat kalengnya selalu penuh
dengan uang yang diberikan orang-orang.
*****
“Tidakkah ia merasa panas?” ujarku
seorang teman bersimpati saat melihat dia tengah menuaikan tugasnya di bawah
sinar matahari yang makin terik.
“Barangkali ia sudah terbiasa?”
timpalku saat melihat wajahnya tetap ramah, tidak marah, tidak juga gelisah. Ia
tampak menikmati setiap lagu yang dinyanyikannya.
Kami melewatinya sambil melirik
sejenak dan menajamkan pendengaran untuk menikmati petikan gitarnya. Hari itu
ia mengenakan sepatu bot hitam kusam, kaus pendek ketat, dengan celana lewis
biru dengan warna yang memudar.
Ketika kami berjalan pelan menuju
kampus besar yang gerbangnya berada persis di ujung gang sempit itu, tiba-tiba
saja seorang teman mengatakan, “siapa sih pengamen itu?” Sebuah pertanyaan yang
muncul setelah sekian lama kami melewati tempat itu.
Sejenak aku diam termenung. Rasanya kepala
disesaki segudang pertanyaan. Kenapa aku tak pernah mencari tahu tentang
dirinya? Siapa namanya? Dimana ia tinggal? Siapa yang mengantarnya ke tempat
itu tiap pagi dan menjemputnya tak kalah senja melumat terik di siang bolong?
“Bagaimana kalau esok kita ngobrol
sama dia?”
Temanku hanya menganggukkan kepala
yang dibalut dengan senyum simpul.
*****
Sudah sejak awal pagi, kami sudah
berangkat ke kampus. Ingin singgah sebentar di tempatnya. Ingin bercakap-cakap
dengannya setelah hampir enam bulan di tempat itu. Masih sepi sekali suasana
pagi itu.
“Dia tidak ada di sana?”
“Masa!”
Kami mengecek lagi. Ia memang tak
ada.
“Barangkali ia telat. Kita tunggu.”
Maklum pagi itu kami memang
berangkat lebih awal, bahkan mungkin terlalu awal. Di mana-mana,ketika menunggu
rasanya jarum jam berlangkah lemah. Lama sekali. Dan Satu per satu orang mulai terlihat
orang melintas di lorong itu. Mereka melirik kami. Wajah mereka menyiratkan
adanya keanehan yang mereka saksikan pagi itu. Entah karena kami berdiri di
sana atau karena tak adanya pengamen pagi itu.
Pagi hari hampir berlalu. Ia tak
kunjung terlihat. Sinar matahari kian menikam bak tusukan jarum. Bahkan
memantul keras dari lantai itu yang membuat mata perih. Orang-orang mulai
berdatangan. Kami tetap setia menunggu, walaupun menundungi wajah dengan tas.
“Kenapa ia tidak ada?” Aku hanya
bisa mengangkat bahu saat merespon pertanyaan temanku. Semua orang yang melihat
kami memperlihatkan wajah keheranan. Ada yang aneh pagi itu.
“Kemana pengamennya?” tiba-tiba
seorang ibu yang membalut setengah mukanya dengan selendang biru bertanya.
“Tak tahu bu. Kami juga sedang menunggu
dia.” Ia seakan tak mau bercakap lama. Pergi dengan hanya meninggalkan senyuman
kilat.
Untuk
beberapa saat kami masih setia menunggu.
“Bagaimana
kalau esok saja?”
“Iya.
Barangkali ia sakit.”
Dugaan
kami salah. Esoknya ia tak tampak lagi. Hari-hari berikutnya sama. Ia tak ada.
Hilang entah kemana.
Lalu
suatu saat dengan nada kecewa, temanku berkata, “Kita terlambat menangkap
jejaknya!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar