Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 07 Juni 2014

Pengamen yang Hilang


Pengamen itu bukanlah orang sembarangan. Jangan mau dibohongi wajah gamangnya. Tampangnya yang usang dilumat mesin waktu  juga tak dapat dipercaya.

“Siapa yang mau memanggang diri dalam sengatan mentari musim kering ini?” begitu kami selalu berkeluh tentang tikaman sinar matahari selama musim panas ini. Bukan main panasnya sampai-sampai tanah di seputaran kota Bagiou menganga lebar. Rerumputan berubah warna menjadi kuning pucat. Daun-daun pohon pinus jatuh berguguran, meranggas bak ditelanjangi.


Namun suatu pagi, pelupuk mata kami terusik ketika melihat dia. Di lorong sempit tapi padat dengan pejalan kaki yang memakai payung yang terlihat seperti deretan jamur lantaran jumlahnya yang tak kalah sewaktu musim hujan, ia duduk seperti biasa. Matanya masih terlihat teduh meski buta. Rambutnya kuning pucatnya menjulur melintasi jidatnya.  Kerut merutnya mengelupas saat senyum tipisnya mengembang setiap mendengar langkah kaki yang melintas di depannya.

“Andaikan tidak buta, ia pastilah pemuda yang tampan dulunya.” kata temanku saat kali pertama kami melihatnya pada bulan November tahun lalu. Hidungnya mancung, pipinya ramping dengan rahang perkasa yang menandakan ia seolah masih  gagah menantang segala bentuk keuzuran. Kala itu, di tengah musim dingin yang membuat bibirku pecah-pecah, ia duduk di tempat yang sama. Ia menyanyikan lagu dan menghibur orang-orang yang memadati lorong itu.

Orang-orang yang lewat di situ biasanya selalu akan meliriknya sejenak. Ketikanya kalengnya bunyi, tanda bahwa ada yang memasukkan uang logam, ia lantas mengucapkan, “terima kasih!”. Tapi adanya kalanya tanpa ada bunyi sekalipun, tatkala orang-orang memasukkan uang  kertas, ia tetap mengucapkan terima kasih.

“Darimana ia tahu.” ujarku bingung.

“Indera penciumannya tajam.” jelas temanku.” ia bisa merasakan bau orang yang mendekatinya.”

Selama enam bulan, aku dan teman-teman selalu melewati tempat itu tiap pagi. Dari situlah aku menyadari kalau pengamen yang buta itu punya ketulusan yang sulit dibandingkan dengan pengamen lain di belahan dunia mana pun.

Dia, tentu saja, tak pernah menghitung berapa orang yang melewati di depannya dan mengenali mereka. Konon lorong sempit yang diapit dua pagar berjaring besi itu dibangun atas dasar konflik dua sekolah menengah yang bertetanggaan itu. Kedua sekolah itu dikelola oleh dua biara religius. Sekolah menengah yang dulunya satu, kini dibedakan dengan adanya lorong itu. Jalan setapak dengan lantai kasar itu juga satu-satunya jalan singkat menghubungkan sebuah jalan protokol dan beberapa kampus besar di kota itu. Ada juga rumah sakit di ujung jalan tersebut.

Bisa dibayangkan siapa yang melintasi tempat itu setiap hari. Siswa dari bangku sekolah dasar hingga mahasiswa dengan keragaman gaya seturut usia. Dari yang berwajah lugu,kering, dan kuyu hingga yang berparas cantik dan cakep, dari yang berbadan kurus kerempeng hingga yang sintal, padat berisi, dari yang berpakaian ketat dan tertutup, hingga yang  mengenakan rok mini dan berbaju berbelahan dada lebar. Ada  dokter, dosen, ibu rumah tangga yang mengantar anaknya. Pokoknya banyak.

 Tapi dia jauh dari praktek diskriminatif. Menyunggingkan senyum yang sama untuk tiap orang. Melantungkan lagu-lagu indah tanpa membeda-bedakan. Alis matanya yang menari naik turun dengan lamban, tidak dibuat untuk seseorang atau hanya beberapa orang saja. Bahkan saat tak ada orang yang melintas pun setelah lewat pagi hari hingga menjelang tengah hari, ia tetap bernyanyi, memetik melodi-melodi bergaung sendu.

Memang beberapa hari awal kami sempat tak menggubrisnya. Entah karena aku sudah mati rasa karena terbiasa memandangi pengamen atau pengemis yang tampil lebih menyedihkan darinya. Lebih sedih jika, misalnya suatu hari di bus memandangi seorang ibu berbadan tipis yang menutupi sebagian wajah keringnya dengan selendang lusuh menengadahkan tangannya sambil menggendong bayi mungil. Ibu itu lebih menjerat simpatiku daripada pengamen yang tak terkesan gelisah, marah, mengeluh itu.

Entah juga karena punya persepsi buruk tentang pengamen dan pengemis dari pengalamanku sebelumnya. Pernah sekali aku tengah main playstation di sebuah rental. Di sampingku ada seorang anak kecil. Sedang bermain juga. Sesekali ia tersenyum kepadaku. Lalu ketika perut menagih janji untuk tepat waktu, aku mampir di warung terdekat. Tengah asyik menghabiskan porsi termurah di warung itu, tiba-tiba aku mendengar seorang pengamen bernyanyi diiringi tepukan tangannya yang bersuara lemah. Kutoleh ke arah datangnya suara. Hampir saja kumuntahkan nasi yang sedang kukunyah. Anak itu lagi. Kali ini dengan rona muka yang sengaja dibuat sayu, muka memelas, bola matanya yang mempunyai kekuatan gravitasi untuk menarik rasa iba. Beberapa orang di situ pun takluk, merogoh saku dan memberinya sedekah. Namun ia tampak terkejut saat melihatku. Aku hanya tersenyum.

Betapa terkejutnya aku ketika kembali ke rental untuk bermain lagi, kutemui ia sedang asyiknya bermain sambil makan ice cream.

“Senang ya bisa main PS sambil makan ice cream.” sindirku kepadanya.

“Iya dong om.” Nadanya suara ringan seakan mengejekku.

Sejak itu hati semakin membeku dari rasa iba. Apalagi saat menjumpai pengamen di bus-bus kota. Bersuara bak kaleng jatuh di lantai, tapi mengandalkan penampilan ala preman, wajah sangar, nada suara dibuat mengancam, bola mata yang mengintimidasi. Tak ada norma kesopanan sama sekali. Rasanya muak.

Tapi ia tampak berbeda setelah sekian minggu. Mengubur pikiranku yang terlanjur buruk tentang para pengamen karena kesetiaannya.

“Jam berapa dia ke sini?” tanyaku penasaran kepada seorang teman suatu pagi. Kali itu kami berangkat pagi hari sekali. Jalanan masih lengang. Kutelusuri lorong itu. Sepi. Tapi ia sudah ada di sana. Kesetiaan itu adalah pembeda. Kumulai iba. Berusaha memberi dari apa yang kupunya. Barangkali kesetiaan itu juga yang membuat kalengnya selalu penuh dengan uang yang diberikan orang-orang.

*****

“Tidakkah ia merasa panas?” ujarku seorang teman bersimpati saat melihat dia tengah menuaikan tugasnya di bawah sinar matahari yang makin terik.

“Barangkali ia sudah terbiasa?” timpalku saat melihat wajahnya tetap ramah, tidak marah, tidak juga gelisah. Ia tampak menikmati setiap lagu yang dinyanyikannya.

Kami melewatinya sambil melirik sejenak dan menajamkan pendengaran untuk menikmati petikan gitarnya. Hari itu ia mengenakan sepatu bot hitam kusam, kaus pendek ketat, dengan celana lewis biru dengan warna yang memudar.

Ketika kami berjalan pelan menuju kampus besar yang gerbangnya berada persis di ujung gang sempit itu, tiba-tiba saja seorang teman mengatakan, “siapa sih pengamen itu?” Sebuah pertanyaan yang muncul setelah sekian lama kami melewati tempat itu.

 Sejenak aku diam termenung. Rasanya kepala disesaki segudang pertanyaan. Kenapa aku tak pernah mencari tahu tentang dirinya? Siapa namanya? Dimana ia tinggal? Siapa yang mengantarnya ke tempat itu tiap pagi dan menjemputnya tak kalah senja melumat terik di siang bolong?

“Bagaimana kalau esok kita ngobrol sama dia?”

Temanku hanya menganggukkan kepala yang dibalut dengan senyum simpul.

*****

Sudah sejak awal pagi, kami sudah berangkat ke kampus. Ingin singgah sebentar di tempatnya. Ingin bercakap-cakap dengannya setelah hampir enam bulan di tempat itu. Masih sepi sekali suasana pagi itu.

“Dia tidak ada di sana?”

“Masa!”

Kami mengecek lagi. Ia memang tak ada.

“Barangkali ia telat. Kita tunggu.”

Maklum pagi itu kami memang berangkat lebih awal, bahkan mungkin terlalu awal. Di mana-mana,ketika menunggu rasanya jarum jam berlangkah lemah. Lama sekali. Dan Satu per satu orang mulai terlihat orang melintas di lorong itu. Mereka melirik kami. Wajah mereka menyiratkan adanya keanehan yang mereka saksikan pagi itu. Entah karena kami berdiri di sana atau karena tak adanya pengamen pagi itu.

Pagi hari hampir berlalu. Ia tak kunjung terlihat. Sinar matahari kian menikam bak tusukan jarum. Bahkan memantul keras dari lantai itu yang membuat mata perih. Orang-orang mulai berdatangan. Kami tetap setia menunggu, walaupun menundungi wajah dengan tas.

“Kenapa ia tidak ada?” Aku hanya bisa mengangkat bahu saat merespon pertanyaan temanku. Semua orang yang melihat kami memperlihatkan wajah keheranan. Ada yang aneh pagi itu.

“Kemana pengamennya?” tiba-tiba seorang ibu yang membalut setengah mukanya dengan selendang biru bertanya.

“Tak tahu bu. Kami juga sedang menunggu dia.” Ia seakan tak mau bercakap lama. Pergi dengan hanya meninggalkan senyuman kilat.

            Untuk beberapa saat kami masih setia menunggu.

            “Bagaimana kalau esok saja?”

            “Iya. Barangkali ia sakit.”

            Dugaan kami salah. Esoknya ia tak tampak lagi. Hari-hari berikutnya sama. Ia tak ada. Hilang entah kemana.

            Lalu suatu saat dengan nada kecewa, temanku berkata, “Kita terlambat menangkap jejaknya!”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text