Pilihan politik itu adalah persoalan hati nurani, bukan kepentingan. Pilihan politik atas dasar hati nurani akan
menenun cita-cita bersama. Sebaliknya pilihan politik atas dasar kepentingan
akan berakhir dengan kehancuran.
Saya memahami pentingnya politik berhati nurani itu setelah membaca perjuangan umat Kristen di Timur
Tengah dan rakyat Mesir pada umumnya selama gejolak revolusi kekuasaan di Arab,
Syria, dan Mesir sebagaimana yang diberitakan dalam Majalah Time edisi 21 April
2014 yang berjudul “Unholy Choices”. Kiranya ini penting bagi pertimbangan politik kita pada pemilu presiden nanti.
Kaum Kristen di Timur Tengah
merupakan kelompok minoritas. Dalam banyak hal, mereka mendapat perlakuan yang
tidak adil. Kesempatan kerja amat terbatas, keleluasaan menjalankan ibadat diwarnai
intimidasi, dan kebebasan politik dalam ruang publik pun ditandai dengan
praktik-praktik diskriminatif.
Tak heran satu-satunya cara bagi
kelompok minoritas untuk keluar dari situasi ini adalah melakukan transaksi kepentingan
dengan pihak yang berkuasa. Membayar pajak yang tinggi kepada kelompok penguasa
asalkan kepentingan mereka dijamin. Strategi
politik seperti ini menjadi lumrah bagi kaum Kristen di Timur Tengah.
Bersanding dengan penguasa seperti Saddam Hussein di Irak, Hosni Mubarak di
Mesir, dan Bashar Assad di Syria membuat hidup mereka aman. Sebaliknya
orang-orang kuat itu pun memperhatikan mereka demi kepentingan tertentu.
Mobarak, misalnya melindungi kelompok minoritas ini demi mendapat legitimasi
dari negara-negara Barat.
Akan tetapi, pecahnya perang dan revolusi di Timur Tengah mengubah dinamika
politik secara drastis. Suasana politik menjadi brutal dan kejam. Umat
Kristiani menjadi sasaran utama dari kelompok mayoritas Islam. Mereka dibunuh.
Gereja dibakar dan diporak-porandakan. Menjalakan ibadat menjadi tidak leluasa.
Semua itu dilihat sebagai ungkapan kemarahan dari mereka yang ditindas selama
ini. Bertahun-tahun lamanya hak-hak mereka diabaikan sebagai mayoritas,
sementara kelompok minoritas mendapat privilese dari kompromi politik.
Di Syria perlakuan kejam terhadap kelompok minoritas itu juga diperparah
karena pimpinan kelompok Kristen menghimbau umatnya untuk tidak terlibat dalam usaha
penggulingan rezim Assad oleh kelompok Suni sebagai kelompok mayoritas. Akibatnya, ketika posisi Assad yang berasal
dari kelompok muslim minoritas itu mulai goyah, umat Kristen turut menjadi sasaran utama.
Keadaan politik demikian memaksa
mereka untuk meninggalkan Timur Tengah. Selama masa perang, banyak yang
berpindah. Jumlah umat Kristiani merosot
tajam. Dulunya umat Kristen berjumlah 20 persen dari seluruh warga di Timur
Tengah. Sekarang umat Kristiani hanya tersisa 5 persen. Tentu angka itu bisa
menjadi lebih kecil jika keadaan tidak berangsur membaik.
Banyak yang menyayangkan kekejaman
dan mengutuk tindakan tidak berperikemanusiaan itu. Bukankah agama mengajarkan
kebaikan, bukan untuk saling membunuh? Apakah tindakan kekejaman itu merepsentasikan sikap
beragama?
Pernyataan Bassel, seorang Jesuit di
Syria membuka mata umat Kristiani di Timur Tengah dan semua kaum beragama pada
umumnya. Ia yang salah satu mengabaikan perintah pimpinan gereja dengan
mendukung kelompok Sunni untuk menjatuhkan rezim Assad justru menghimbau umat
Kristen mengoreksi setiap pilihan politiknya.
“Jika Orang-orang Kristiani sudah mendukung revolusi sejak pertama, berdiri
seperti Yesus dalam solidaritas dengan semua yang ditindas oleh rezim, saya
tidak bayangkan kami dalam situasi ini sekarang.” ucapnya
Pernyataan ini kemudian dibenarkan dan ditegaskan oleh banyak orang.
Dukungan politik atas dasar kepentingan bertahan hanya beberapa saat saja. Theresa
Moussa, seorang kolumnis mengatakan,
dukungan terhadap orang kuat pun tetap membuat umat kristiani tetap
lemah. Menurutnya, umat Kristiani harusnya berhenti mencari dukungan dan
mengemis kebaikan dari rezim berkuasa. Sedangkan Sammir seorang Kristiani dari
Syria mengatakan, seharusnya kelompok umat Kristiani selalu mendukung kaum
tertindas, memperjuangkan hak-hak kaum orang-orang Syria, dan membela
orang-orang miskin.
Peristiwa itu telah membuahkan
pelajaran penting bagi umat Kristen di Timur Tengah. Berpolitik seharusnya menuntut mereka untuk
berpikir tentang kepentingan bersama di atas segala-galanya daripada
kepentingan kelompok.
Tidak hanya di kalangan minoritas Kristen, refleksi yang serupa terjadi di
kalangan umat Muslim di Mesir menyusuli tumbangnya Presiden terpilih secara
demokrasi, Mohamed Morsi, seorang mantan
pimpinan tertinggi kelompok Persaudaraan Muslim.
Banyak orang yang bertanya atas peristiwa itu: Kenapa Morsi bisa
ditumbangkan? Bukankah dia seharusnya mendapat banyak dukungan dari negara yang
mayoritas Islam itu? Jawabannya sederhana. Walaupun dari pihak yang sesungguhnya
berpotensi didukung kelompok
mayoritas, sekali kepentingan bersama diabaikan, kekuasaan itu tidak akan
bertahan lama.
Melihat kenyataan ini saya semakin paham bahwa kepentingan bersama dan
perjuangan nilai-nilai kemanusiaan sebagai warga negara merupakan faktor penting dalam pertimbangan politik kita.
Oleh karena itu, kepentingan bersama sebagai warga negara itu harus diutamakan dan diprioritaskan. Bukan
kepentingan pribadi atau kelompok. Itulah dorongan dasar pertimbangan hati
nurani.
Pernyataan Anis Baswedan
dalam situs anisbaswedan.com telah
menegaskan betapa pentingnya kita harus berpikir tentang kepentingan dan
hak-hak sebagai warga negara daripada berpikir tentang kepentingan mayoritas
dan minoritas.
“Republik
ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi
mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga Negara,
melindungi setiap anak bangsa!” tulisnya.
Nah, ketika akhir-akhir ini kita melihat betapa gelanggang politik di
negeri ini justru menjadi pusat pertarungan kepentingan masing-masing
pribadi dan kelompok. Akibat
berbicara kepentingan masing-masing dapat kita saksikan bahwa orang beragama pun
kelihatan seperti binatang ber-Tuhan
daripada makluk berakhlak. Orang yang berpendidikan mengidap kesesatan berpikir
dan malah semaki agresif.
Padahal politik yang berbasis hati nurani memperlihatkan suatu sikap solidaritas terhadap kepentingan bersama. Orientasi sikap
politis berpihak kepada hak-hak orang yang tertindas, kaum miskin, dan kelompok-kelompok
yang tersingkirkan dan terabaikan hak-hak dasarnya.
Jaminan kesucian
politik berhati nurani tersebut hanya tercapai jika dan hanya jika kita mendahulukan kejujuran dalam
mempresentasikan rekam jejak kandidat yang ada. Informasi tidak banyak
dipelintir. Rekam jejak tidak dipoles-poles. Karena politik berhati nurani mensyaratkan informasi yang
akurat sedemikian sehingga suatu pertimbangan
rasional dalam mengambil keputusan yang cakap dimungkinkan.
Kita semua diharapkan tidak coba mempropandakan kebenaran palsu atas dasar
kepentingan. Tidak menyepelehkan isu-isu yang melukai sesama sebagai warga
negara atau mengabaikan hak sesama warga untuk memperoleh berita yang benar ketika kita adalah juragan informasi.
Mempermainkan politik yang pada
dasarnya membawa kemasyalatan bagi banyak untuk kepentingan pribadi atau
golongan ibarat api dalam sekam. “Unholy Choices” hanya akan memberikan
kenyamanan sementara waktu. Tidak untuk waktu yang lama.
Jadi, pertimbangankanlah berdasarkan
hati nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar