Pages

Ads 468x60px

Rabu, 18 Juni 2014

Pilih dengan Hati Nurani



           Pilihan politik itu adalah persoalan hati nurani, bukan kepentingan.  Pilihan politik atas dasar hati nurani akan menenun cita-cita bersama. Sebaliknya pilihan politik atas dasar kepentingan akan berakhir dengan kehancuran.

Saya memahami pentingnya politik berhati nurani itu setelah membaca perjuangan umat Kristen di Timur Tengah dan rakyat Mesir pada umumnya selama gejolak revolusi kekuasaan di Arab, Syria, dan Mesir sebagaimana yang diberitakan dalam Majalah Time edisi 21 April 2014 yang berjudul “Unholy Choices”. Kiranya ini penting bagi pertimbangan politik kita pada pemilu presiden nanti.


            Kaum Kristen di Timur Tengah merupakan kelompok minoritas. Dalam banyak hal, mereka mendapat perlakuan yang tidak adil. Kesempatan kerja amat terbatas, keleluasaan menjalankan ibadat diwarnai intimidasi, dan kebebasan politik dalam ruang publik pun ditandai dengan praktik-praktik diskriminatif.

            Tak heran satu-satunya cara bagi kelompok minoritas untuk keluar dari situasi ini adalah melakukan transaksi kepentingan dengan pihak yang berkuasa. Membayar pajak yang tinggi kepada kelompok penguasa  asalkan kepentingan mereka dijamin. Strategi politik seperti ini menjadi lumrah bagi kaum Kristen di Timur Tengah.

Bersanding dengan penguasa seperti Saddam Hussein di Irak, Hosni Mubarak di Mesir, dan Bashar Assad di Syria membuat hidup mereka aman. Sebaliknya orang-orang kuat itu pun memperhatikan mereka demi kepentingan tertentu. Mobarak, misalnya melindungi kelompok minoritas ini demi mendapat legitimasi dari negara-negara Barat.

Akan tetapi, pecahnya perang dan revolusi di Timur Tengah mengubah dinamika politik secara drastis. Suasana politik menjadi brutal dan kejam. Umat Kristiani menjadi sasaran utama dari kelompok mayoritas Islam. Mereka dibunuh. Gereja dibakar dan diporak-porandakan. Menjalakan ibadat menjadi tidak leluasa. Semua itu dilihat sebagai ungkapan kemarahan dari mereka yang ditindas selama ini. Bertahun-tahun lamanya hak-hak mereka diabaikan sebagai mayoritas, sementara kelompok minoritas mendapat privilese dari kompromi politik.

Di Syria perlakuan kejam terhadap kelompok minoritas itu juga diperparah karena pimpinan kelompok Kristen menghimbau umatnya untuk tidak terlibat dalam usaha penggulingan rezim Assad oleh kelompok Suni sebagai kelompok mayoritas. Akibatnya, ketika posisi Assad yang berasal dari kelompok muslim minoritas itu mulai goyah, umat Kristen turut menjadi sasaran utama.

 Keadaan politik demikian memaksa mereka untuk meninggalkan Timur Tengah. Selama masa perang, banyak yang berpindah.  Jumlah umat Kristiani merosot tajam. Dulunya umat Kristen berjumlah 20 persen dari seluruh warga di Timur Tengah. Sekarang umat Kristiani hanya tersisa 5 persen. Tentu angka itu bisa menjadi lebih kecil jika keadaan tidak berangsur membaik.

            Banyak yang menyayangkan kekejaman dan mengutuk tindakan tidak berperikemanusiaan itu. Bukankah agama mengajarkan kebaikan, bukan untuk saling membunuh? Apakah  tindakan kekejaman itu merepsentasikan sikap beragama?

            Pernyataan Bassel, seorang Jesuit di Syria membuka mata umat Kristiani di Timur Tengah dan semua kaum beragama pada umumnya. Ia yang salah satu mengabaikan perintah pimpinan gereja dengan mendukung kelompok Sunni untuk menjatuhkan rezim Assad justru menghimbau umat Kristen mengoreksi setiap pilihan politiknya.

“Jika Orang-orang Kristiani sudah mendukung revolusi sejak pertama, berdiri seperti Yesus dalam solidaritas dengan semua yang ditindas oleh rezim, saya tidak bayangkan kami dalam situasi ini sekarang.” ucapnya

Pernyataan ini kemudian dibenarkan dan ditegaskan oleh banyak orang. Dukungan politik atas dasar kepentingan bertahan hanya beberapa saat saja. Theresa Moussa, seorang kolumnis mengatakan,  dukungan terhadap orang kuat pun tetap membuat umat kristiani tetap lemah. Menurutnya, umat Kristiani harusnya berhenti mencari dukungan dan mengemis kebaikan dari rezim berkuasa. Sedangkan Sammir seorang Kristiani dari Syria mengatakan, seharusnya kelompok umat Kristiani selalu mendukung kaum tertindas, memperjuangkan hak-hak kaum orang-orang Syria, dan membela orang-orang miskin.

Peristiwa itu  telah membuahkan pelajaran penting bagi umat Kristen di Timur Tengah.  Berpolitik seharusnya menuntut mereka untuk berpikir tentang kepentingan bersama di atas segala-galanya daripada kepentingan kelompok.

Tidak hanya di kalangan minoritas Kristen, refleksi yang serupa terjadi di kalangan umat Muslim di Mesir menyusuli tumbangnya Presiden terpilih secara demokrasi, Mohamed  Morsi, seorang mantan pimpinan tertinggi kelompok Persaudaraan Muslim.

Banyak orang yang bertanya atas peristiwa itu: Kenapa Morsi bisa ditumbangkan? Bukankah dia seharusnya mendapat banyak dukungan dari negara yang mayoritas Islam itu? Jawabannya sederhana. Walaupun dari pihak yang sesungguhnya berpotensi didukung kelompok mayoritas, sekali kepentingan bersama diabaikan, kekuasaan itu tidak akan bertahan lama.

Melihat kenyataan ini saya semakin paham bahwa kepentingan bersama dan perjuangan nilai-nilai kemanusiaan sebagai warga negara merupakan faktor penting dalam pertimbangan politik kita. Oleh karena itu, kepentingan bersama sebagai warga negara itu harus diutamakan dan diprioritaskan. Bukan kepentingan pribadi atau kelompok. Itulah dorongan dasar pertimbangan hati nurani.

Pernyataan  Anis Baswedan dalam situs anisbaswedan.com telah menegaskan betapa pentingnya kita harus berpikir tentang kepentingan dan hak-hak sebagai warga negara daripada berpikir tentang kepentingan mayoritas dan minoritas.

Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga Negara, melindungi setiap anak bangsa!” tulisnya.

Nah, ketika akhir-akhir ini kita melihat betapa gelanggang politik di negeri ini justru menjadi pusat pertarungan kepentingan masing-masing pribadi dan kelompok. Akibat berbicara kepentingan masing-masing dapat kita saksikan bahwa orang beragama pun kelihatan  seperti binatang ber-Tuhan daripada makluk berakhlak. Orang yang berpendidikan mengidap kesesatan berpikir dan malah semaki agresif.

Padahal politik yang berbasis hati nurani memperlihatkan suatu sikap solidaritas  terhadap kepentingan bersama. Orientasi sikap politis berpihak kepada hak-hak orang yang tertindas, kaum miskin, dan kelompok-kelompok yang tersingkirkan dan terabaikan hak-hak dasarnya.

Jaminan kesucian politik berhati nurani tersebut hanya tercapai jika dan hanya jika kita mendahulukan kejujuran dalam mempresentasikan rekam jejak kandidat yang ada. Informasi tidak banyak dipelintir. Rekam jejak tidak dipoles-poles. Karena  politik berhati nurani mensyaratkan  informasi yang akurat sedemikian sehingga suatu pertimbangan rasional dalam mengambil keputusan yang cakap dimungkinkan.

Kita semua diharapkan tidak coba mempropandakan kebenaran palsu atas dasar kepentingan. Tidak menyepelehkan isu-isu yang melukai sesama sebagai warga negara atau mengabaikan hak sesama warga untuk memperoleh berita yang benar ketika kita adalah juragan informasi.

            Mempermainkan politik yang pada dasarnya membawa kemasyalatan bagi banyak untuk kepentingan pribadi atau golongan ibarat api dalam sekam. “Unholy Choices” hanya akan memberikan kenyamanan sementara waktu. Tidak untuk waktu yang lama.

Jadi, pertimbangankanlah berdasarkan hati nurani.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text