Pages

Ads 468x60px

Rabu, 23 Juli 2014

Hari Pertama

Rasanya ada yang mulai berubah pada hari selasa, 23 Juli 2002. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Masih gelap dan sepi. Tengah memeluk kedua lututku di bawah selimut tebal di kota Ruteng, aku mulai mengingatnya.

Pagi ini memang tidak seperti biasanya. Biasanya, aku tidur dengan selimut hanya menutupi sebagian badan. Kedua kaki digeletak lurus dan dibuka lebar. Tangan direntangkan sesuka hati. Baru bangun saat ia mendatangi kamar tiap pagi. Tanpa sedikitpun mau kutanggapi lagi celotehannya, masih dengan mata yang setengah terbuka, aku biasanya langsung melihat keluar dari jendela kamar yang gordennya sudah dibukakan olehnya. Memastikan apakah cahaya pagi sudah mengenai puncak gunung yang tampak dari kamarku. Jika sudah, aku menyingkirkan selimut secepatnya. Terburu-buru ke kamar mandi. Sebab pertanda lagi lima menit pukul 07.15, jam masuk SD yang letaknya hanya sepelempar batu dari rumah.



“Mama tidak ikut antar?” tanya Yohan setibanya kami di rumahnya di Ruteng dua hari lalu. Aku menggelengkan kepala tapi tak menatap dia pada saat memasuki pintu depan di rumahnya. Tak selamban senyumannya, bola matanya bergerak cepat memperhatikan wajahku. Ia seolah ingin memastikan apakah semuanya baik-baik saja. Untunglah ayahku mengalihkannya. “Dia tak kuat perjalanan jauh. Kisol terlalu jauh.” ujar ayah sambil mengolek matanya yang berair. Yohan yang sudah memasuki tahun ke-empat di seminari, lantas tertawa terkekeh. Aku turut tertawa hanya sekilas, lalu sibuk memasukkan tas-tasku ke dalam kamar.

Dua hari belakangan ini aku harus berjuang keras. Yohan mulai menceritakan tentang kehidupan di seminari. Apa yang perlu dilakukan dan apa yang tidak boleh. Bertanya, tertawa, penasaran, anggukan kecil, caraku menunjukkan rasa antusias. Namun sesadar mungkin aku sebetulnya sedang menyembunyikan perasaan terdalamku bahwa aku tak lagi begitu semangat. 

Ingat mama, semakin menguat. Dua hari lalu, saat aku naik ke dalam bus, ia berada di beranda rumah. Seiring bergeraknya bus, ia melambaikan tangan perlahan. Rasanya amat berat, Ia tersenyum, lalu lekas mengalihkan pandangan, dan sebelum lenyap dari pandangan kuperhatikan wajahnya yang memerah. Semenjak itu aku jadi tak tenang. Kutaruh kepalaku di atas lengan kiri yang terlipat dan bersandar pada kerangka jendela bus. Aku ingat dia walaupun seolah tengah memperhatikan pemandangan sepanjang perjalanan. Air mata segera mendesak di sekitar kelopak mata. Kujatuhkan dengan bijak, satu per satu, agar tak ketahuan oleh ayahku yang duduk di sebelahku. 

Rasa sesal mulai menghampiriku. Kukenang kesalahan-kesalahan yang tak pernah kuakui. Sebulan lalu, misalnya. Sepulang sekolah, aku sangat lapar. Namun saat itu tak ada seorang pun di rumah. Kulihat hanya sayur dan nasi di atas meja. Pikiranku langsung ke belakang di dapur. Di sana, ada sebuah tenda bambu setinggiku, beberapa sangkar ayam diletakkan di atasnya. Kuperiksa satu per satu. Beberapa butir telur kuambil dari sana. Digoreng dan dengan beberapa teman yang kuundang kami makan dengan lahapnya. Sorenya ketika bangun dari istirahat siang, kudengar dari kamar, ia mengomel-ngomel dari arah kamar makan. Kutajamkan pendengaran. Rupanya telur- telur itu mau dicampurkan tepung untuk membuat kue. Ada doa bersama di rumah kami malam itu. Tiap malam minggu, ada doa rosario bergilir di komunitas kami. Aku bangkit dari kamar, menjauh dari rumah, bermain dengan teman-teman. Menjelang malam aku kembali ke rumah, dengan wajah manis seolah tak tahu apa-apa. Kulihat ia juga tampak tenang dan masih sibuk membuat kue, seolah tak mempermasalahkan lagi. Aku tak tahu entah darimana ia mendapatkan telur-telur untuk menggantikan yang hilang itu.

“Awal-awal memang sulit...” ucap Yohan kemarin dengan kalimat yang tiba-tiba terpotong seolah tertahan di tenggorokannya. Kecuali kedua bola matanya kian dilebarkan dengan maksimal dan alis yang digerakkan naik turun seolah semuanya sudah tersampaikan melalui bahasa tubuh itu. Aku sontak kaget dan segera menyunggingkan senyum lebar. Kusadar ia menangkap kegalauanku dari bola mata yang tak bergerak, dahi yang sesekali mengerut, dan tatapan hampa.  

****

Enam jam kemudian.

Kami tiba di Kisol. Di dalam sebuah gerbang yang terletak bersebelahan dengan lapangan sepak bola terdapat beberapa mobil yang sedang parkir. Mobil yang kami tumpangi bergerak ke sana, melewati sebuah jalan lurus yang memisahkan gedung berantai yang panjang dan lapangan sepak bola. Bangunan itu unik dan kelihatan perkasa. Pilar-pilarnya menonjol. Sekitar semeter dari lantai dasar, susunan batu yang telah dipahat tampak rapi. Warna temboknya seragam. kream. Atap singnya dicat warna coklat. Tampak terang di sebagian tempat. Sudah pecah-pecah dan usang di bagian lain.  Aku belum berniat mencari tahu tentang gedung itu, kecuali hanya memperhatikannya.

Di dalam gerbang itu mobil berhenti. Banyak orang sudah di sana. Kami turun. Beberapa orang sudah sibuk menimbang beras. Dua orang pria berbadan pendek dan lengan kekar siap siaga di sekitar timbangan. Satunya sibuk mencatat di atas pada sebuah buku yang dikerumuni banyak orang. Satunya sibuk menaikan dan menurunkan beras-beras itu dari timbangan. Itu dapur. Keduanya karyawan.

Tengah menunggu giliran menimbang beras, rasa penasaran mulai menggodaku. Bagaimanakah kira-kira bentuk bagian dalam gedung-gedung kokoh itu? Aku melirik ke ayahku, yohan dan beberapa teman yang sekendaraan. Mereka tengah mengatur tas-tas. Yohan sedang mengoles perutnya dengan minyak setelah muntah sepanjang perjalanan dari Ruteng. Sedangkan ayah sedang memperhatikan pohon ketapang yang berdaun ribun, batangnya sebesar pelukan orang dewasa, dan  dahan-dahannya yang menjulur ke segala arah laksana mencakar langit. 

Aku segera menghilang dari mereka dan menuju sebuah pintu yang kuduga  menuju dapur. Pintu masuk itu terdiri dari dua daun pintu. Namun hanya salah satunya yang terbuka. Warna catnya sudah memudar.  Seharusnya coklat muda, namun  yang terlihat sudah hitam dan kotor. Plesteran semennya mulai pecah sana-sini. Begitu juga lantai semennya.  Meski jendelanya adalah kaca transparan, tapi tak layak disebut begitu. Jendelanya tampak kabur karena debu yang tebal.

Dalam ruangan itu aku mula-mula terkejut. Sangat luas. Beberapa dandang raksasa sebesar drum sedang disulut dengan nyala api dari kayu-kayu yang dibelah. Tiga meja besar terletak berjauhan dipadati potongan daging segar dan sayur-sayuran. Empat buah kompor minyak disejajarkan di atas sebuah bangku panjang. Dan beberapa wanita sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Sejenak mereka tidak menyadari kehadiranku. Kuperhatikan mereka dalam kekagumanku. Ini dapur terbesar yang pernah kulihat. Ingat rumah juga. Di rumah aku biasa melihat mama memasak. Acapkali mengintip kalau ada lauk atau tidak yang dimasaknya. Tiba-tiba salah seorang menoleh kepadaku. Badannya bulat, berdahi lebar. Dagunya lancip dengan tulang pipi yang menonjol. Di bawah hidung panjangnya, bibir bawah tebalnya seolah menggantung. Sedikit menakutkan dari cara ia melototiku. Aku melemparkan senyuman ke arahnya. “Jangan masuk ke sini!” teriaknya dengan suara seraknya yang seolah muncul dari tenggorokkan. Aku kaget disambut secara kasar. Yang lain serempak menoleh kepadaku. Rasanya malu, seolah darah mengumpul dan menyesaki wajahku.

“Ini ruangan bukan untuk siswa.”  Masih dengan suara seraknya ia seakan tak sabar melihatku yang masih berdiri laksana patung depannya. 

“Vero, mungkin dia siswa baru.” sela seseorang di antara mereka. ia tak begitu tinggi. Badannya ramping. Matanya yang bulat dengan pipi kembung seperti gelembung permen karet yang ditiup. Senyum lebarnya mencairkan suasana. 

Aku mengangguk. Sambil melangkah mundur ke arah pintu agar terekam baik dalam ingatanku, sekali lagi aku menatap Vero. Meski Namanya sama dengan mama, namun caranya memperlakukanku membuatku merindukan sosok Vero yang di rumah, penuh kelembutan dan kesabaran. Tatkala kutatap matanya, ia masih menatapku dengan bola matanya berdaya gravitasi yang seolah menarik semua keberanian dalam diriku.

*****

Saat yang dinanti adalah setelah semua urusan diberes. Lemari sudah diatur. Dilapisi dengan koran. Pakaian disusun rapi. Tempat tidur peer sudah dilapisi tikar dan ditaruh bantal. Lalu selimut yang sudah dilipat rapi kuposisikan di tengah-tengah. 

“Kamu tunggu depan kapel. Kami pergi bertemu frater dulu. Nanti kami menyusul ke depan.” bisik ayah pelan dan hampir tak terdengar. Yohan seolah tak mendengarnya ketika ia pura-pura melihat orang-orang yang lalu-lalang sepanjang koridor. Masih kulihat ia melirik dengan ekor matanya. Aku hanya mengangguk lugu. Dan berlari ke depan kapel.

Aku duduk di salah satu anak tangga depan kapel seminari. Tengah menunggu, aku memperhatikan deretan mobil yang parkir di sana, orang-orang yang berjalan kesana-kemari di sekitar tempat itu yang semakin lama, semakin berkurang. Deretan pohon kelapa yang berdiri sejajar dan tegak lurus sepanjang di kedua sisi jalan lurus yang menghubungkan kapel dengan pintu gerbang utama. Juga kuperhatikan bayangan pohon pinus dan menara kapel yang semakin memanjang dan melebar di atas jalan itu seiring matahari tenggelam lebih rendah. Dalam desahan panjang, aku berharap hari itu matahari  bertahan lebih lama di langit. 

“Sebentar kalau pulang harus hati-hati!” Aku tersentak dengan percakapan dari belakangku. Ketika kutoleh, seorang ibu yang bertubuh pendek berdiri sebelah menyebelah dengan pria yang berambut uban dan bekas janggut tebalnya yang masih kentara sehabis dicukur.

“Kalau dia lagi asyik bermain dengan temannya,  kita pulang pelan-pelan.” lanjut ibu itu seraya menopang dagunya dan  terdengar desis helaan nafas panjangnya. Sedangkan pria itu hanya diam saja. Aku penasaran. Manakah putera mereka. 

“Afi, kamu lulus?” Seseorang mengejutkanku. Lebih pendek dariku, namun ia membuatku sedikit segan dengan rambut hitamnya berminyak tebal dibelah samping. Berdahi lebar, pipi yang menggantung dan kembung, serta hidungnya pesek membuat wajahnya kelihatan rata. Mulut lebarnya seolah selalu berair. Ketika tersenyum hampir semua giginya tampak. Dia teman sewaktu testing masuk seminari.  Aku melonjak senang. Sekarang ada teman. Kami bersalaman.

“Kamu dua sudah saling kenal?” sambar ibu itu. 

“Iya mama. Kami teman sewaktu ujian masuk.” jawabnya antusias. Seolah tak ingin menggubris ibunya lebih lanjut, ia menanyaiku, “Sudah lihat bagian dalam kapel?” Aku menggelengkan kepala. Ia menarik tanganku, seolah ia ingin memberikan kejutan besar.

Lalu kami masuk kapel. Kapel yang indah itu membuatku berdecak kagum. Beberapa kali kupandang langit-langit kapel yang tersusun dari kayu coklat yang tersusun rapi. Pilar-pilar tabung tampak indah dengan desain cincin yang melingkarinya. Lalu dia mulai menjelaskan kepadaku tentang bagian-bagian dalam kapel; Tempat duduk siswa baru, tempat ajuda, tempat pengakuan dosa, balkon, jalan menuju menara, dll. Aku mulai bertanya-tanya hal-hal lain yang membuat dia ketagihan berbicara. 

Setelah hampir tiga puluh menit dalam kapel, kami keluar. Aku berjalan di depannya. Saat kubuka pintu dan mempersilakan dia keluar duluan, ia terperanjat kaget. Sontak berlari meninggalkanku dengan langkahnya yang pendek namun cepat. Dari depan pintu kapel itu, ia melihat mobil kedua orang tuanya sudah berada di gerbang depan.  Aku kira ia menangis saat itu. Aku segera berlari menyusulinya. Namun pada saat itulah aku sadar bahwa dari tadi aku sedang menunggu ayah depan kapel.

Segera aku berbalik arah dan berlari menuju dapur, tempat parkir mobil yang kami tumpangi . Firasatku menjadi buruk. Ternyata dugaanku benar. Di sana, sudah tak kutemukan lagi mobil itu. Ayahku sudah pergi.

Lalu dengan langkah sedikit lunglai aku menuju kamar tidur. Di sana aku merebahkan badan. Ingin rasanya tertidur namun sulit, kecuali bayang-bayang rumah menyesakki kepala pada hari pertama itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text