Pages

Ads 468x60px

Minggu, 27 Juli 2014

Rumah Sakit

Di rumah sakit itu, saya mengerti tentang kerinduan seorang ayah.  

Ketika saya masuk di kamar itu, dia masih duduk tenang. Walaupun rambutnya hampir seluruhnya sudah beruban, kelihatan kering dan berjarak, ia duduk dengan tulang belakang yang tegak lurus seolah masih kuat, menggenggam koran dengan eratnya, dan  berpangku kaki. 



“Ia masih tidur?” sapaku lembut. Ia menoleh ke arahku sambil meletakkan koran perlahan di atas tempat tidur. Seolah menyelidiki, matanya melebar dengan kerutan dahi yang semakin bertambah tampak sedang berpikir keras untuk mengingat sesuatu. Lalu seketika ia tersenyum dan melupakan pertanyaanku.

“Silakan duduk.” Ia mengambil sebuah kursi, meletakkan persis berhadapan dengannya. Aku duduk sembari memperhatikannya. Matanya kian tenggelam ke dalam. Katung matanya tampak lebih hitam seolah memar. Pipinya kian ramping.  Kumis dan janggutnya yang tipis seolah tak terurus dengan baik. Panjang dan kering. 

“Sudah dua hari belakangan, badannya semakin menyusut. Ia juga tampak emosional dari biasanya. Cepat marah dan seringkali mengomel.” terangnya dengan sedikit berbisik seolah perlu dirahasiakan sambil menghindari bertatapan mata dengan saya. Ia memijat-mijat kaki anaknya yang masih ditutupi selimut tipis. Anaknya itu hanya terbujur kaku di atas tempat tidur seolah tak menyadarinya. Bernafasnya agak sulit. Menarik serentak dan pendek. Mengembusnya cepat-cepat, termengah-mengah. Tulang pipinya menonjol. Wajahnya berminyak dengan rambut yang tertidur dan basah karena keringat.

“Kamu mau minum kopi?” tawarnya. Saya baru saja mau menoleh ke arahnya, ia sudah berjalan ke lemari kecil,dekat tempat tidur. Mengambil kopi sachet dan gelas. Ia  berhenti saat mau menuangkan air dari termos ketika mendengar keluhan anaknya. Dia membuka mata perlahan dan meski masih setengah terbuka, ia sudah mengenaliku. Bibir  keringnya menyunggingkan senyum.

“Panas...!”  ujarnya dengan suara yang pecah dan seolah datang dari tenggorokan. Saya mendengar dengan tak begitu jelas. Sebaliknya orang tua itu segera mengambil koran, melipatnya hingga cukup tebal, lalu mulai mengipas perlahan-lahan di wajah anaknya. Ia mengambil tisu, mulai mengelap butir-butir keringat yang mulai menumpuk pada dahi, di bawah hidung, dan di lehernya. Saya mengambil alih untuk menuangkan air panas ke dalam gelas kopi dan menyiapkan segelas lagi.

“Kamu bisa bantu om?” Dia menyodorkan koran. Lalu dia berlangkah terburu-buru keluar dari pintu ruangan itu. Saya lanjut mengipasnya seraya menatapnya dengan ekor mata. Ia memejamkan mata dan berusaha untuk jatuh dalam tidur lelap. Beberapa menit kemudian, orang tua itu datang kembali. Seorang perawat datang bersamanya. Ia mengukur suhu badannya.

“Empat puluh satu! “ ujar perawat itu dengan senyum kilat dari kedua bilah bibirnya yang tipis yang seolah mengatakan semuanya baik-baik saja. Orang tua itu pun tampak dingin dan berjalan mengambil gelas kopinya dan menyerumputinya sejenak. Sedangkan saya berusaha menyembunyikan rasa kaget walaupun sempat mendesis karena menghelakan nafas panjang. 

“Bapa kamu sudah umur berapa?” tanyanya sambil menyodorkan segelas kopi, mengajakku minum.

“Enam puluh. Persisnya, tahun depan sudah enam puluh tahun.”

“Doa banyak buat orang tua biar umur panjang dan selalu sehat.” ia mulai menasehatiku. “Betapa senangnya orang tua kalau melihat anaknya sudah berhasil mencapai cita-citanya. Kalau tanggung jawab kami sebagai orangtua sudah selesai, kami ingin meninggal dengan tenang. Dan saya senang anak saya seorang imam. Ada dia yang mendoakan saya agar masuk surga hehehe..”

Aku mengalihkannya. “Bagaimana Pater sewaktu kecil?” 

Dia menaruh kembali gelasnya di atas meja dan sebuah senyum lamban melintas pada wajahnya.

“Dia dulu nakal dan kepala keras. Sering bertengkar dengan teman-temannya. Sering dimarahi mamanya. Hanya saya yang lumayan memanjakan dia karena dia sangat rajin. Suka berkebun dan tanam banyak jenis buah-buahan. Baru sekarang kami nikmati di rumah. Mangga, pepaya, pisang, nenas.  Sering juga memancing di sungai tapi selalu tak beruntung. Pulang dengan ember kosong. “ Dia diam sejenak dan menarik nafas panjang. 

“Ketika dia masuk seminari, kami berdua, mamanya,  merasa sedih. Benar-benar merasa kehilangan. Apalagi sewaktu ke Filipina untuk melanjutkan pendidikan dan setelah ditahbiskan bertugas di Brazil. Semakin jarang bertemu dan kontak hanya terjadi sesekali. Saat-saat itulah kami merasa, memang dia tidak semata-mata menjadi milik kami, tapi milik umat yang berada di tempat tugasnya.” 

“Untung sekarang dia ditugaskan di Indonesia. Sudah bisa dekat dengan keluarga lagi.” saya memotongnya.

Dia tertawa kecil. “Itulah makanya. Kemarin ketika dia sakit dan minta untuk ditemani di rumah sakit, kami berdua, saya dan mamanya sangat antusias. Kami punya kesempatan untuk dekat dengan dia lagi sebelum dia pulang ke Brazil. Ingin bernostalgia tentang kenangan sewaktu dia masih kecil.”

“Memang dia mau kembali lagi ke Brazil?”

“Iya. katanya begitu. Brazil adalah negara misinya.” Dia berhenti sejenak. “Dari kemarin mamanya telpon, minta saya pulang. Sehingga gilirannya untuk jaga di rumah sakit..hehe...”

Saya ikutan tertawa. Lalu percakapan kami terhenti ketika ia terbangun. Lagi-lagi dengan suaranya yang tak begitu terdengar jelas, ia seolah meminta perhatian kami. Saya hanya duduk laksana patung karena tak tahu harus berbuat apa. Kecuali ayahnya yang segera keluar dari ruangan. Beberapa menit kemudian, datang kembali dengan semangkuk bubur hangat.Ia mulai menyuapinya perlahan-lahan. Saya mengambil kembali koran yang terlipat tadi dan mengipasnya perlahan-lahan. Setelah minum obat dia kembali tertidur.

“Dia sakit apa?” saya kembali membuka percakapan.

Ayahnya hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Tapi beberapa minggu ke depan dia akan sembuh.”

Lalu kami lanjut bercakap-cakap.  Mulai dari soal politik, ekonomi, bola kaki, bahkan ia juga ingin berbicara tentang artis-artis sinetron yang kebanyakan saya tidak tahu. 

Ketika hari sudah menjelang sore, saya pamit. Meninggalkan rumah sakit yang terletak di salah satu kawasan elit di jakarta tersebut, saya naik metromini. Waktunya kurang tepat. Jam macet. Tapi saya masih tetap tenang karena mengingat kembali percakapan kami yang indah hari itu.

Beberapa minggu kemudian, kondisinya tidak mengalami perubahan dan bahkan bertambah parah. Lalu ia meminta dipulangkan ke rumah. Disaksikan oleh kedua orang tuanya, ia meninggal dengan tenang.

Mendengar berita menyedihkan itu, saya menghela nafas panjang. Saya menyadari bahwa seorang ayah barangkali tidak pernah ingin ia yang mendoakan keselamatan bagi jiwa anaknya, kecuali ingin didoakan.

Namun Tuhan selalu bertindak di luar rencana manusia.


Rumah Sakit Medistra, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text