Tidak seperti hari biasanya, sekarang tepung kopi yang ditaruh dalam
toples kaca ini hanya menjadi barang tontonan. Banyaknya tidak seberapa
lagi. Tinggal seruas ujung jari telunjuk tingginya dari pantat toples
kaca. Dan kali ini,demi menyisakan harapan, aku enggan menghabisinya
walau kantuk menyerang dengan hebatnya.
“Barangkali ini kiriman yang terakhir dari kami” begitu suara ayah terdengar berat dari ujung telpon beberapa hari yang lalu.
“Kenapa?”
tanyaku yang masih tercekat kebingungan. Ia segera mengalihkan topik
pembicaraan. Aku gagal mendesakknya tatkala telpon segera berakhir.
Setelah
tiap awal bulan selama empat tahun terakhir, itu kali pertama ayah
berujar demikian. Biasanya di awal bulan, dua plastik besar kopi yang
terbungkus dalam kertas Koran diantar pak Pos ke alamat tempat
tinggalku. Di depan kos di sebuah gang sempit di sebuah sudut kota
Jakarta, tersenyum lebar seraya memberikan kepadaku, Pak pos sering
berkata, “Dik, aroma kopinya sangat tajam.” Beberapa kali, hampir saja
aku secepat kilat membuka bungkusan itu dan berbagi dengannya agar ia
menikmati kopi kiriman ayah, tetapi dengan tangkas pula ia menangkap
gelagatku. “Sudahlah dik. Kalau aku kebagian, nanti tak cukup buatmu
untuk sebulan.” katanya menolak.
Barangkali Pak pos tahu
bahwa kopi kiriman itu bukanlah kopi biasa dan itu satu-satunya kopi
yang aku dapat minum. Walau tak dikemas semenarik kopi-kopi instant di
warung-warung, kopi itu punya rasa yang khas. Nikmatnya tak pernah bisa
dibandingkan. Bagi para penikmat kopi di belahan manapun di dunia ini
mungkin akan kebingungan ketika mengetahui bahwa kopi itu tak perlu
dicampur dengan gula dan susu supaya disebut three in one, atau
dicampur dengan apapun supaya bisa disebut terasa mocca dan cappuccino.
Kopi dari rumah justru lebih nikmat jika tak dicampur gula atau apapun.
Hanya kopi yang dimasukkan ke dalam air yang dimasak.
Tiap
bangun pagi, setelah mandi dan menyiapkan buku untuk kuliah, ada yang
masih kurang kalau belum menyeruput kopi. Setelah ritual wajib itu,
langkah kaki menjadi lebih bersemangat ke kampus. Efeknya hingga di
kelas. Di kala teman-teman harus tertunduk lunglai karena ngantuk,
tengkukku masih tegar dan tegap. Lalu seringkali dosen selalu
memperhatikanku lantaran kalaupun ia tahu aku tak sepintar yang lain, ia
pun ingin didengar dengan penuh hasrat. Hanya aku yang bisa berbuat
demikian.
Tentu saja alasannya bukan semata-mata karena
pengaruh kandungan caffeine yang terlampau kuat. Toh, teman-teman juga
selalu meminum kopi tiap paginya sebelum berangkat kuliah. Entah kenapa,
tiap kali merasa ngantuk, aku teringat pada ayah yang tiap hari
memanjat kopi di kebun, mama yang mulai menjemurnya di halaman depan
rumah, dan adik-adik yang selalu membawa ke tempat penggilingan. Lalu
mereka menaruhnya di dalam plastik dan bersusah payah menunggu kendaraan
di pagi-pagi buta demi mengantarnya ke kota dimana kantor pos berada.
Bahkan,
uang bulanan boleh menjadi lebih atau kurang, tetapi kopi tetap dengan
kuantitas yang sama tiap bulan. Selalu ada dua bungkusan besar.
“Pa, kenapa uang saku bulan ini bertambah?” tanyaku dengan perasaan senang.
“Kebetulan
kopi kali ini berbuah lebih banyak.” Saya tertawa kecil. Dia
melanjutkan, “apakah kopi kiriman bulan ini sudah diterima?”
“Sudah”
Lalu
kalau uang bulanan berkurang, aku tak perlu mempersoalkannya, asalkan
kiriman kopi selalu ada. Tanpa ditanyapun, aku tahu kalau buah kopi
dalam bulan-bulan tertentu tak terlalu rimbun dan banyak. Ada kalanya
menjadi sedikit sehingga keluarga kami yang menjadikan kopi sebagai
tulang punggung ekonomi harus lebih banyak bersabar saja. Namun dengan
adanya kopi di kamar kos, hari-hari merasa terbantu. Meneguk segelas
kopi rasanya hampir serupa telah mengunyah tiga atau empat senduk nasi.
Jika merasa kenyang, makan sekali sehari saja sudah bisa bertahan. Dulu
ketika di rumah, aku juga melihat hal serupa terjadi pada ayah. Tiap
pagi ia hanya minum kopi dan membawa satu cerek ke kebun, lalu bekerja
di bawah terik yang sangat menyengat kulit. Ketika haus, ia pun menegak
sepuasnya.
****
Semenjak
ayah berniat tak lagi mengirimkan kopi, perasaanku semakin berkecamuk.
Seribu satu kemungkinan terpikirkan ketika ayah hanya diam tak
menguraikan alasannya.
Aku menjadi takut bahwa aku bisa
saja tak begitu lagi berkonsentrasi di dalam kelas. Sebagaimana
teman-teman yang selalu menunduk dan tertidur, begitulah aku jadinya,
pikirku. Begadang untuk mengerjakan tugas kalau tak ditemani kopi
rasanya tak semangat. Tugas-tugas yang menumpuk bisa
ditelantarkan.Kalaupun uang bulanan semakin ditambah dengan tak
dikirimnya kopi, tak pernah mengurangi rasa penasaranku. Keresahan
semakin memuncak. Bukan perkara uang tentunya. Uang bisa didapat
darimana saja, entah dengan meminjam dari tetangga atau kredit di bank,
tetapi kopi yang selalu kuminum hanya berasal dari kebun.
“Pa, aku tidak bisa belajar tanpa minum kopi dari rumah?” kataku.
“Itu
hanya soal kebiasaan nak. Coba mulai membiasakan lidahmu dengan rasa
kopi-kopi di sana. Bukankah di sana ada banyak jenis kopi dan rasa yang
berbeda?”
Aku mengalah dan tak memaksa. Yang jelas, aku
kian patah semangat. Banyak tugas yang sudah menumpuk tak dikerjakan.
Beberapa kali aku lebih memilih absen daripada menghadiri kuliah. Jika
ada teman yang mengajakku jalan-jalan untuk bermain game atau sekadar nongkrong, aku lebih mudah mengiyakannya.
Untung
saja aku tak menyudahi semua tepung kopi di toples. Sehingga ketika aku
hampir benar-benar putus asa, aku menatapnya dengan penuh hasrat dan
keinginan menggebu-gebu bahwa suatu saat pak Pos akan datang lagi. Ada
harapan yang tersisa yakni semua akan kembali seperti semula.
****
Hari-hari selanjutnya, percakapan aku dan ayah berlangsung datar.
Sebanyak dan seluas apapun topik pembicaraan, ada satu hukum yang begitu
saja kami berdua taati yakni tak boleh membicarakan kopi lagi. Aku tak
bisa lagi menyentil dan menyampaikan lagi rinduku pada aroma kopi. Pun
ayah enggan membicarakan tentang kebun kopinya. Yang diceritakannya
tentang sekolahku yang harus tuntas biar aku bisa segera menyokong
adik-adikku.
Walaupun hatiku bertambah
gelisah, apalagi sudah beberapa kali aku membaca dalam surat kabar
tentang konflik pertanahan di kampungku, aku tetap saja enggan untuk
bertanya kepadanya. Di atas tanah yang hampir sebagian besar penduduk di
kampung telah tanami kopi dan telah dipanen selama bertahun-tahun
diklaim sebagai wilayah hutan lindung. Beberapa kali nomor undang-undang
menghiasi halaman surat kabar demi menyalahkan semua tindakan
orang-orang kampung.
Suatu pagi yang cerah,
ketika ponsel bergetar dan tertera nama ayah sebagai penelpon, terlintas
keinginan untuk menanyakan tentang perkara itu.
“Ini dengan mama” jawab mama spontan tatkala aku kira ayah yang menelpon.
“Ayah dimana?”
“kamu segera pulang ke rumah. Ayah lagi sakit keras.” jelas mama singkat dan tampak tergesa-gesa.
Dari
informasi itulah, aku segera pulang ke rumah. Dan bukan ayah yang
sedang tergolek lemah di atas tempat tidur dan siap diantar ke rumah
sakit yang kutemukan, tetapi ayah yang sudah diselimuti kain kafan.
Bekas luka-luka tertembus peluru di beberapa bagian tubuhnya tampak
jelas setelah mayatnya dimandikan. Ia tertembak polisi saat hendak
menyerang para petugas yang hendak memotong semua pohon kopi milik kami.
Rahmat
-
Dua malaikat sedang melakukan perjalanan. Ketika malam tiba, mereka
berhenti dan bermaksud menginap di sebuah rumah milik keluarga kaya. Keluarga
itu s...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar