Depan Gereja Katedral Baguio city, Filipina. |
Saya misalnya sangat merindukan dapat mengerjakan segala sesuatu secara terjadwal. Dapat membuat skripsi sesuai rencana. Setiap malam belajar dan mengerjakan tugas secara teratur. Bangun dan tidur tepat waktu. Olahraga secara secukupnya.
Sayangnya, soal disiplin, sekali lagi, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kalau sudah “nongkrong” di dunia maya, saya kadang lupa kalau sudah saatnya belajar. Jika di depan si kulit bundar, saya kerap tidak lagi mempedulikan tugas yang menumpuk. Lebih mengerikan, ketika esoknya mengumpulkan tugas, semalaman saya bisa tidak tidur.
Pada suatu titik refleksi, saya sebenarnya menyadari itu, bahkan frustasi dengan semuanya itu. Bagaimana pun juga saya adalah manusia biasa yang ingin sukses, tentu juga ingin disiplin. Daripada semakin frustrasi, misalnya mendapat hasil ujian yang buruk, saya cepat membela diri, “ ini saja kemampuanku!” Saya benar-benar tidak mempunyai kemampuan di bidang ini!”.
Dalam hati kecilku sering timbul pertanyaan. Apakah memang kemampuanku begitu saja? Betulkah saya tidak dapat disiplin? Yang paling sering meresahkan, ketika suara dari hatiku selalu berkata, “sebenarnya kamu bisa memperoleh hasil yang baik asalkan kamu belajar teratur dan mempersiapkan dengan matang”.
***
Saya sendiri berpikir bahwa kita sebagai manusia tidak mungkin tidak bisa berdisiplin, tidak mungkin kita sama sekali tidak tepat waktu. Toh, menjadi disiplin bukanlah kemampuan lahiriah. Orang yang disiplin bukan dari sononya begitu. Semuanya karena proses.
Saya teringat dengan pengalaman kakak saya. Sewaktu SMP dia dikenal siswa sering terlambat di sekolah. Maklum ia sering bangun terlambat. Sampai suatu hari, seorang gurunya mengancam, “jika esok kamu terlambat lagi, kamu dikeluarkan dari sekolah”. Keesokan harinya ia pun bangun lebih cepat. Dia juga yang paling pertama datang ke sekolah.
Saya jadi paham, kita tidak mungkin tidak dapat disiplin. Ternyata di bawah suatu otoritas seseorang bisa takluk, bisa berubah. Hal serupa saya alami. Ketika berjanji untuk bertemu di Gramedia pukul 09.00 pagi esok hari dengan seorang teman, saya takut terlambat dan lebih-lebih perasaan tidak enak jika dibilang, “loh, janjinya kan jam sembilan?”. Karena itu, saya hadir tepat waktu bahkan lebih awal.
Mengapa demikian? Saya kira, ketika berjanji dengan orang lain, kebebasan Anda terhadap diri Anda semakin ber-“kurang”. Anda takut, apa kata orang lain jika Anda terlambat. Anda takut pada resiko yang Anda tanggung ketika Anda terlambat mengumpulkan tugas. Anda takut dipecat jika terlambat masuk ke kantor. Jadi, Anda kemungkinan besar dapat berdisiplin ketika ada otoritas atau orang lain yang turut mengontrol Anda. Sekaligus membuktikan bahwa Anda sebenarnya dapat disiplin asalkan ada tekanan dari otoritas atau orang lain kepada Anda.
***
Berbeda jika Anda berniat untuk disiplin (diri) tanpa kontrol atau campur tangan orang lain. Misalnya, suatu ketika saya berniat bangun pukul 06.00 esok harinya. Saya pasangkan weker. Sayangnya ketika esoknya bunyi weker, saya malah mematikannya kembali, lalu kembali tidur. Saya merasa saya bebas terhadap diri saya. Persis, di sinilah pekerjaan sulit untuk disiplin diri sebab Anda berhadapan dengan kebebasan Anda yang penuh. Anda dapat sesuka hati membatalkan atau menunda suatu rencana atau jadwal.
Lantas, apakah memang kita tidak dapat membangun disiplin diri? Apakah untuk dapat menjadi disiplin kita membutuhkan orang lain atau otoritas tertentu?
Ketika memikirkan pertanyaan tersebut, saya menyadari betapa sulitnya jika semuanya membutuhkan orang lain (individu konkret) sebagai pengontrol atau penekan kebebasan penuh saya. Sebab hidup kita tidak selamanya selalu bersama orang lain. Kadang kita menyendiri di kos atau kamar. Ingin menyusun jadwal belajar sendiri.
Soalnya adalah: Apakah orang lain wujudnya harus selalu berupa individu konkret? Saya memiliki keyakinan berbeda. Orang lain tidak harus selalu berwujud manusia konkret, seperti Marsel, Andi, Sony, yang ada di luar “sana”. Orang lain dapat diwujudkan secara imajiner, yang ada di “dalam”. Maksud saya sejauh ini, ketika Anda ingin berdisiplin, ciptakanlah “orang lain imajiner” dalam pikiran Anda, yang dapat mengontrol dan menekan Anda, membangun otoritas yang lain dalam diri Anda.
***
Siapakah “orang lain imajiner” itu? Apakah dia mempunyai otoritas untuk menekan kita untuk menepati semua jadwal dan rencana kita? Saya menyadari bahwa Allah adalah “orang lain imajiner” itu. Mungkin Anda bertanya-tanya, bagaimanakah itu caranya? Barangkali Anda belum percaya, tetapi cobalah untuk melakukannya.
Sewaktu bangun pagi, Anda berdoa. Anda sampaikan dan berjanjilah kepada Allah, apa yang Anda ingin lakukan sepanjang hari itu, sedetil-detilnya. Malam sebelum tidur, Anda juga harus berdoa. Evaluasilah. Anda akan menemukan, seberapa jauh Anda dapat menepati “janji” dengan Allah. Evaluasi terus menerus tentu akan membawa Anda pada kebiasaan yang positif.
Allah mempunyai otoritas atas diri kita. Jika Anda tidak menepati janji kepada Allah, Anda akan jatuh pada perasaan bersalah, barangkali juga merasa berdosa. Perasaan bersalah atau berdosa itulah, yang menjadi jalan untuk mengurangi kebebasan Anda terhadap diri Anda.
Akhirnya saya sampai pada kesimpulan ini: Jika Anda mau sukses, berharaplah kepada ALLAH, berdoalah selalu kepada-Nya, siang dan malam.
9 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar