Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Serpihan Kisah Padre Anis Laga

          Kamis, 29 November 2012. Tepatnya pukul 21.00 WIB. Jakarta masih gaduh dengan kemacetan saat sebelumnya hujan mengguyur hampir dua jam lamanya. Setelah lolos dari kemacetan cukup panjang, kami (Roi, Juan, dan saya) tiba  di rumah Sakit Medistra. Suasana koridor tampak tenang. Kami berjalan menuju kamar 320 di lantai III. Di situlah Padre Anis sedang dirawat.



         Dari pintu masuk, tampaknya Ia sedang menarik nafas pelan dan sangat dalam, namun dihembuskannya cepat-cepat, bagai pernafasan  orang yang telah berlari kencang di arena lomba. Badannya basah kuyup. Keringatnya bercucuran di saat AC terasa dingin menusuk. Saking dinginnya, aku harus keluar-masuk ruangan itu sekadar mencari hawa yang cukup hangat. Badannya bergetaran. Raut mukanya tampak kebingungan. Saat itulah ia kelihatan tua, kurus, dan lelah.

            “Suster berapa suhunya badannya?”tanyaku ketika seorang perawat mengeluarkan thermometer dari ketiaknya.

            “40!” jawab suster dengan tenang dan ramah. Suster lalu memberikan obat penurun panas. Setengah jam kemudian, ia memanggil saya dan ayahnya. Kebetulan malam itu saya dijadwalkan "menemani" pater di rumah sakit.  “Tolong kipas?” ujarnya sambil membuka baju kaus berwarna kuning—di bagian depannya bertuliskan  “Brasil”,  Negara Misi yang amat dicintainya.

Kami berdua lantas mengambil koran Kompas. Mulai mengipas tubuhnya selama hampir satu setengah jam. Namun keringat tetap bercucuran. Hati mulai terusik, ada apa gerangan berkeringat dalam AC sedingin ini? Semua itu adalah pertanyaan (dalam) hati. Sambil mengipas sesekali kami mengelap muka, leher dan perutnya  dengan tisu.

                ***

                “Cukup sudah No!”, pintanya dengan nada merendah. “Kamu pasti sudah cape!”
               
  Saat itu suhu badannya menurun. Di situlah kami berdua mulai bercerita. Banyak pertanyaan dikemukakan. Semuanya menyangkut situasi rumah. “No, satu semester ini saya sakit-sakitan. Belum bisa mendampingi kalian sepenuhnya.” ujarnya. Angkatan demi angkatan ditanyai kabar. Ia berbicara lugas. Tidak terbayangkan itulah percakapan terakhir kali dengannya. Kala itu, aku hanya berpikir mungkin dia lagi membutuhkan teman untuk bercerita.

  Kala itu aku juga yakin ajal tidak akan menjumpainya, walaupun ia sempat meragukan kondisinya sendiri.

                “No, mungkin saya nanti meninggal!” katanya serius. Saya langsung tersenyum tidak percaya.

                “Tidak mungkin Pater!” jawabku singkat disertai tertawa kecil. Saya memang tidak yakin. Lalu saya menjelaskan kepadanya, kalau saya bisa merasakan aura orang yang mau meninggal. Ya, sebenarnya saya hanya percaya diri saja punya kemampuan seperti itu. Tapi di sisi lain, itu untuk menghiburnya.

                Waktu itu saya yakin dia akan sembuh. Saya percaya pada “hukum terbalik”. Misalnya, kalau saya ditakut-takuti bahwa ada setan di tengah jalan yang hendak saya lewati , yang kerap terjadi cerita spt itu tidak ada. Atau kalau saya cemas berlebihan terhadap ujian, yang terjadi ujian tidak sesulit yang dibayangkan. Kala itu, ketika dia mengatakan hal itu, saya hanya berpikir, dia akan mendapatkan hal yang sebaliknya. Dia bakalan sembuh.

                Malam itu kami bercerita banyak hal. Dia memang tidak bisa tidur. Namun sekali lagi, tak terbayangkan itulah saat-saat  terakhir bersama dia.

***
                Dingin yang menusuk tidak tertahan lagi. Saya keluar ruangan sejenak. Seorang suster lekas mendekati saya.

                “Tolong ya!, bapaknya dibujuk makan?” pinta seorang perawat.

                Entah berapa lama dia tidak makan, saya tidak tahu persis. Ketika ditanya kapan makan terakhir kalinya, dia tidak mengingat waktu secara persis. Namun yang dia ingat, dia pernah makan dengan sangat lahap setelah didoakan P. Ignas.

                Malam itu kami coba membujuknya. Hampir pukul 00.00 WIB, dia  baru bisa melahap semangkuk bubur dengan susah payah. Cara dia menyantap bubur malam itu seolah-olah terpahat indah dalam ingatan saya. Setelah itu dia pun berusaha untuk tidur.

***
                Pagi hari pada keesokkan harinya. Pagi-pagi saya dan ayahnya sudah dibangunkan. Tepat pukul 05.00 WIB saya menyaksikan jarum suntik beberapa kali sudah  membuat dia menjerit kesakitan. Wajahnya murung. Ia kelihatan lelah sekali.

                Namun kemudian pagi itu suasana cukup ringan dan santai. Dia mandi. Kemudian semangkuk bubur sumsum kembali dilahap habisnya pagi itu. Dia menyuruh saya minum kopi. Sedangkan dia sendiri membaca sebuah koran, khususnya berita tentang Diego. Kami tidak terlalu banyak bercakap-cakap pagi itu.
                Lagi lima belas menit pukul 10.00 WIB.
                “Pater, saya pulang dulu. Semoga cepat sembuh!” aku menyalaminya.   Ia diam. Ternyata itulah sentuhan terakhir. Dan itulah hari terakhir dan kesaksian terakhir saya melihat dia ber-“laga” dalam kehidupan ini.

19 Desember 2012: Cerita ini ditulis untuk mengenang Pater Anis Laga, CICM, seorang imam yang rendah hati yang telah hidup bersama saya selama 3 tahun di Skolastikat Pondok Bambu, Jakarta TImur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text