Kamis, 29 November 2012. Tepatnya pukul 21.00 WIB. Jakarta masih
gaduh dengan kemacetan saat sebelumnya hujan mengguyur hampir dua jam
lamanya. Setelah lolos dari kemacetan cukup panjang, kami (Roi, Juan,
dan saya) tiba di rumah Sakit Medistra. Suasana koridor tampak tenang.
Kami berjalan menuju kamar 320 di lantai III. Di situlah Padre Anis
sedang dirawat.
Dari pintu masuk, tampaknya Ia sedang menarik
nafas pelan dan sangat dalam, namun dihembuskannya cepat-cepat, bagai
pernafasan orang yang telah berlari kencang di arena lomba. Badannya
basah kuyup. Keringatnya bercucuran di saat AC terasa dingin menusuk.
Saking dinginnya, aku harus keluar-masuk ruangan itu sekadar mencari
hawa yang cukup hangat. Badannya bergetaran. Raut mukanya tampak
kebingungan. Saat itulah ia kelihatan tua, kurus, dan lelah.
“Suster berapa suhunya badannya?”tanyaku ketika seorang perawat mengeluarkan thermometer dari ketiaknya.
“40!” jawab suster dengan tenang dan ramah.
Suster lalu memberikan obat penurun panas. Setengah jam kemudian, ia
memanggil saya dan ayahnya. Kebetulan malam itu saya dijadwalkan
"menemani" pater di rumah sakit. “Tolong kipas?” ujarnya sambil membuka
baju kaus berwarna kuning—di bagian depannya bertuliskan “Brasil”,
Negara Misi yang amat dicintainya.
Kami berdua lantas mengambil koran Kompas. Mulai
mengipas tubuhnya selama hampir satu setengah jam. Namun keringat tetap
bercucuran. Hati mulai terusik, ada apa gerangan berkeringat dalam AC
sedingin ini? Semua itu adalah pertanyaan (dalam) hati. Sambil mengipas
sesekali kami mengelap muka, leher dan perutnya dengan tisu.
***
“Cukup sudah No!”, pintanya dengan nada merendah. “Kamu pasti sudah cape!”
Saat itu suhu badannya menurun. Di situlah
kami berdua mulai bercerita. Banyak pertanyaan dikemukakan. Semuanya
menyangkut situasi rumah. “No, satu semester ini saya sakit-sakitan.
Belum bisa mendampingi kalian sepenuhnya.” ujarnya. Angkatan demi
angkatan ditanyai kabar. Ia berbicara lugas. Tidak terbayangkan itulah
percakapan terakhir kali dengannya. Kala itu, aku hanya berpikir mungkin
dia lagi membutuhkan teman untuk bercerita.
Kala itu aku juga yakin ajal tidak akan menjumpainya, walaupun ia sempat meragukan kondisinya sendiri.
“No, mungkin saya nanti meninggal!” katanya serius. Saya langsung tersenyum tidak percaya.
“Tidak mungkin Pater!” jawabku singkat disertai
tertawa kecil. Saya memang tidak yakin. Lalu saya menjelaskan kepadanya,
kalau saya bisa merasakan aura orang yang mau meninggal. Ya, sebenarnya
saya hanya percaya diri saja punya kemampuan seperti itu. Tapi di sisi
lain, itu untuk menghiburnya.
Waktu itu saya yakin dia akan sembuh. Saya percaya
pada “hukum terbalik”. Misalnya, kalau saya ditakut-takuti bahwa ada
setan di tengah jalan yang hendak saya lewati , yang kerap terjadi
cerita spt itu tidak ada. Atau kalau saya cemas berlebihan terhadap
ujian, yang terjadi ujian tidak sesulit yang dibayangkan. Kala itu,
ketika dia mengatakan hal itu, saya hanya berpikir, dia akan mendapatkan
hal yang sebaliknya. Dia bakalan sembuh.
Malam itu kami bercerita banyak hal. Dia memang tidak
bisa tidur. Namun sekali lagi, tak terbayangkan itulah saat-saat
terakhir bersama dia.
***
Dingin yang menusuk tidak tertahan lagi. Saya keluar ruangan sejenak. Seorang suster lekas mendekati saya.
“Tolong ya!, bapaknya dibujuk makan?” pinta seorang perawat.
Entah berapa lama dia tidak makan, saya tidak tahu
persis. Ketika ditanya kapan makan terakhir kalinya, dia tidak mengingat
waktu secara persis. Namun yang dia ingat, dia pernah makan dengan
sangat lahap setelah didoakan P. Ignas.
Malam itu kami coba membujuknya. Hampir pukul 00.00
WIB, dia baru bisa melahap semangkuk bubur dengan susah payah. Cara dia
menyantap bubur malam itu seolah-olah terpahat indah dalam ingatan
saya. Setelah itu dia pun berusaha untuk tidur.
***
Pagi hari pada keesokkan harinya. Pagi-pagi saya dan
ayahnya sudah dibangunkan. Tepat pukul 05.00 WIB saya menyaksikan jarum
suntik beberapa kali sudah membuat dia menjerit kesakitan. Wajahnya
murung. Ia kelihatan lelah sekali.
Namun kemudian pagi itu suasana cukup ringan dan
santai. Dia mandi. Kemudian semangkuk bubur sumsum kembali dilahap
habisnya pagi itu. Dia menyuruh saya minum kopi. Sedangkan dia sendiri
membaca sebuah koran, khususnya berita tentang Diego. Kami tidak terlalu
banyak bercakap-cakap pagi itu.
Lagi lima belas menit pukul 10.00 WIB.
“Pater, saya pulang dulu. Semoga cepat sembuh!” aku
menyalaminya. Ia diam. Ternyata itulah sentuhan terakhir. Dan itulah
hari terakhir dan kesaksian terakhir saya melihat dia ber-“laga” dalam
kehidupan ini.
19 Desember 2012: Cerita ini ditulis untuk mengenang Pater Anis Laga, CICM, seorang imam yang rendah hati yang telah hidup bersama saya selama 3 tahun di Skolastikat Pondok Bambu, Jakarta TImur.
Membeli Cinta
-
Di sebuah daerah tinggalah seorang saudagar yang kaya raya. Dia mempunyai
seorang hamba yang sangat lugu. Begitu lugunya, hingga orang memanggilnya
“si bo...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar