Dibesarkan di kampung
punya kenangan tersendiri. Apalagi di kampung yang tidak ada listrik. Gelap.
Tak ada TV. Doraemon tidak kami tahu waktu kecil. Power Rangers apalagi. Dulu
sempat ada nonton Wiro Sableng, disiarkan Minggu Pagi. Tapi hanya ketika ada
perusahaan tambang. Setelah mereka pergi, tidak ada lagi. Itupun harus naik
gunung. Letak basekamp mereka agak jauh dari kampung.
Kalau main catur, siap dua lawan satu. Selalu yang berdua dalam gambar kalah. |
Waktu kecil kami punya
banyak musim. Saat ujian di SD, kami agak sulit menjawab pertanyaan ini: “Di
Indonesia ada berapa musim?” Dahi sudah pasti mengernyit. Syukur-syukur kalau
tebakan benar. Soalnya kata musim membuat kami juga berpikir tentang musim
kelereng, wayang, musim karet, musim
hongkiong, musim welu, musim mobil, musim mancing, musim rengka, musim kuda
kayu, dan musim tikus.
Ya, permainan-permainan
ini membuat saya merasa tidak kalah serunya melewati masa kecil tanpa melihat
doraemon superajaib, atau power rangers dengan kelincahannya melancarkan cahaya
berkilauan, atau sekarang sudah populer dengan Playstasion, dsbnya.
****
Musim karet tiba.
Satu-satunya yang diinginkankan anak-anak kalau berbelanja di Reo adalah karet
gelang. Saat kecil, Reo dianggap kota yang besar. Kalau dulu mama ke kota Reo, selalu berpesan,
“jangan lupa beli karet.” Sambil tersenyum yang mengancam. Sekali tak dibeli,
menangis sampai langit seperti terkoyak dan bumi berguncang.
tampil beda dengan memakai riben! |
Dan trik menangis yang
kelihatan dramatis itu ada. Saya masih ingat kuat. Keluar dari rumah, cari
tanah yang berdebu, lalu mulai menangis sambil mendayun-dayun kaki, kadang
berguling-guling di tanah untuk mengotori diri. Pakaian menjadi kotor dan
dilihat orang-orang. Pasti mama atau papa datang. Mereka mulai membujuk.
”Nak tidak enak dilihat
orang. Esok pasti tidak dilupa lagi.” dalam hati sudah mulai tersenyum. Tapi
tidak mungkin berhenti serentak menangis. Ada tahapan akhir,menangis sesegukan:
tanpa air mata, hanya suara seperti orang yang sesak nafas.
Jadi mama merasa
seperti trauma. Kalau dipesan begitu, cepat-cepat dicatat di kertas kecil
sebagai reminder. Lebih baik lupa beli sayur daripada karet. Itulah musim
karet.
****
Sayangnya nasib saya
cukup sial di musim karet. Main Ki selalu kalah dari teman-teman. Maen pongo
juga kalah. Main pantul di dinding paling buruk. Pernah sekali, semua semua
karet yang dibeli oleh mama habis karena kalah main pantul di dinding.
Jalan pulang ke rumah
seperti orang yang mabuk berat. Masuk rumah ekstra hati-hati, takut kena
marah. Eh ketahuan.
“Mana karet?”
Ada triknya. Pura-pura
tundukkan kelapa, sandarkan kepala di dinding, wajah masam seolah-olah penuh
penyesalan, dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mama tahu, pasti sudah
kalah.
“Mandi sana!”
Seketika juga meluncur
ke kamar dengan hati senang.
Ada satu permainan yang
selalu membuat saya menang. Menyembunyikan karet dalam gundukan pasir. Cara
bermainnya mudah, sembunyikan karet dalam pasir, menyuruh lawan mengambil
sebatang kayu, lalu menusuk-nusuk dalam pasir, dan karet yang tersangkut dalam kayu, itulah yang
diambil. Saya tahu cara menyembunyikan yang tepat. Setelah giliran lawan yang
biasanya hanya mendapatkan sedikit, giliran saya menusuk dengan kayu. Inilah
keahlian saya.
Tapi sayangnya, baru
dua atau tiga kali menang, teman-teman
sudah protes.
“Main lain. Kau menang
terus daritadi.” (dialek daerah)
“Oe...saya baru
menang.”
“Pokoknya main lain,
kalau tidak kami tidak mau main.”
Tidak ada alasan lain,
terpaksa harus mengikuti kemauan mereka.
Tidak ada teman bermain lagi. Padahal bermain adalah identitas anak
kecil. Kalau sudah mulai dengn permainan lain, siaplah karet gelang saya lenyap. Kalah dan
selalu kalah.
****
Minta dibelikan terus-menerus dengan mama, agak takut dan malu. Tiap hari tanpa bermain karet, rasanya
mustahil. Tiap sore suara anak-anak
sebaya saya selalu terdengar dari arah lapangan kampung. Mereka ramai bermain
karet. Dan tiap sore pun saya ke sana.
Ahli dalam bermain karet |
Untunglah ada kakak
saya. Berbeda dengan saya, nasibnya jauh lebih beruntung. Tiap sore pulang ke
rumah badanya selalu dililit dengan karet yang sudah dianyam. Panjang sekali.
Mendapatkan karet dari
dia adalah usaha yang gampang-gampang sulit. Setelah jam makan malam, saya
biasanya mengambil lampu minyak, tempatkan dekat dinding rumah. Dan mulai
bermain karet sendiri, menembakkan karet ke dinding rumah, lalu terpantul, dan
jatuh ke lantai. Kalau karet gelangnya menindih karet gelang yang lain, itulah
tanda kemenangan dalam permainan jenis ini.
Ini hanya iklan. Ketika
dia lewat atau lihat, dia selalu yang ajak duluan, “main karet yuk.” Tak tahan
godaan untuk bermain. Saya senang. Maksud tercapai. Lalu mulailah bermain.
Bermain dalam suasana agak gelap sedikit memang perlu banyak trik. Dan saya
sudah mempersiapkannya.
Kalau jumlah karet
sudah mulai banyak di lantai, dan belum ditindih oleh satu karet pun, munculah
pikiran gila. Menembak dan siap memungut karet-karet itu walaupun karet yang
saya tembak belum menindih karet di atas lantai.
“Belum kena tuh!”
protesnya dengan teriak.
“Sudah!” Saya balik berteriak sambil pura-pura tidak
menggubris dan terus memungut karet-karet. Dia pun segera datang mendekat.
Saling berebutan memungut karet, dan tentu saja saya yang lebih beruntung.
Ketika dia coba merebut dari saya, ada triknya lagi.
“Mama...dia mau ambil
lagi karet yang saya menang!” teriak untuk mengundang simpati dari mama.
“Belum menang. Dia
tipu.” Dia balas melapor. Datanglah mama.
“Jangan begitu. Mengalah dengan adik.”
Kalau sudah begitu,
saya cepat-cepat lari dalam kamar. Sementara
dia diceramahi sebentar. Saya berpura-pura tidur duluan. Dia datang. Kebetulan
kami berdua sekamar dan setempat tidur.
“Ihhh pura-pura tidur
lagi. Saya cukup main dengan kau.” ujarnya berbisik. Dia tampak marah. Saya
iba. Lalu bangun, kembalikan sedikit karet.
Namun hari-hari
selanjutnya, saya semakin mengalami kesulitan. Dia semakin hati-hati. Tiap kali giliran
saya menembak, dia selalu memperhatikan secara serius. Jangan-jangan saya menipunya
lagi dan siap memungut. Mulailah saya kalah dan kalah.
Setiap kali saya kalah,
dia menertawai saya dan sengaja mengejek. Dianyamnya karet-karet itu di depan
saya, sambil menghitung dan tertawa.
“Mau bantu anyam
karet?” tawarnya.
“Iya.” jawab saya cepat.
Soalnya tiap kali membantunya untuk menganyam karet-karet, saya selalu mendapat jatah, sekitar lima
sampai sepuluh karet. Setelah itu saya mengajaknya bermain lagi, dia meladeni.
Dan kalah lagi.
****
Tetap ada cara lain
untuk mendapatkan karet. Setiap kali tidur, dia selalu menyimpan karet-karetnya
di bawah bantal. Kalau dia sudah nyenyak, saat itulah saya bangun. Mulai
menarik pelan-pelan dan mengambil beberapa.
Keesokan harinya.
“Saya merasa karet saya
berkurang.” keluhnya pagi-pagi. Kalau sudah begitu harus cepat-cepat
meninggalkan dia dan pura-pura tidak menggubris.
“Pasti kau ambil karet
saya semalam?” ujarnya.
“Jangan main tuduh
sembarang.” Wajah saya serius. Dia
menatap tajam, lama. Dan biasanya saya lekas tertawa kalau sedang berbohong.
Dia hanya menunggu apakah saya tertawa atau tidak. Kalau tertawa pertanda saya
sudah berbohong. Satu-satunya cara, setelah menjawab, cepat menghindar dan
menjauhi tatapannya.
Malamnya selanjutnya
dia punya trik lagi. Dia selalu membiarkan saya tidur duluan. Jika saya sudah
tidur, dia menyembunyikan karetnya di tempat rahasia. Dan memang benar, ketika
saya bangun dan mengecek dibawah bantalnya, tidak ada karet.
Masih kelihatan imut hahha |
Esoknya dia bangun dan
mulai mengolok.
“Hahaha...pondik,
semalam tidak berhasil.”
Saya hanya bisa
tertawa. Dan saya tahu cara selanjutnya. Pura-pura tidur duluan dan mengorok.
Ternyata mata saya tetap terbuka, mengintip dia dalam gelapnya kamar kami yang
tak diterangi listrik itu. Saya memperhatikan dia menyembunyikan karetnya dalam
lemari.
bertambah umur, mulai berpisah! |
Keesokan paginya ketika
dia sudah mulai berteriak-teriak karena karetnya sudah berkurang, saya sudah
berseragam dan siap ke sekolah. Maklum saya selalu bangun lebih cepat tiap
pagi.Suara teriak itu seperti lonceng supaya saya segera ke sekolah.
Adu trik adalah
hari-hari kami melewati tiap malam tanpa hiburan TV. Paling-paling hanya
mendengar berita duka tiap malam yang disiarkan lewat Radio lokal atau berita
panggilan dari kantor Dinas untuk para kepala sekolah. Tapi selebihnya, lebih
asyik bermain trik-trikan seperti itu.
Akhirnya dia punya cara
yang jitu. Saya kesulitan lagi. Tiap malam dia menghitung semua karetnya. Cukup
lama dia hitung karena jumlah karetnya yang sangat banyak. Panjangnya
kadang-kadang bisa mencapai lima sampai sepuluh meter.
Sulitnya
adalah bangun pagi-pagi dia harus menghitung lagi.
“Hitung
karet terus saja. Ini sudah mau jam sekolah.” Mama selalu mengomelnya tiap
pagi. Saya hanya bisa tertawa.
“Tunggu
kau sebentar kalau sampai kurang.” ancamnya kepada saya. Dia berhenti menghitung
dan mengamankan semua karetnya dalam lemari. Segera ia menyiapkan dirinya ke
sekolah.
Kesulitan
harus menghitung lagi dan lagi, membuat ia merasa lelah sendiri.
“Saya
tiap hari berikan kau 10 karet asalkan jangan .......” katanya mulai bernegosiasi
pada malam sebelum tidur.
“hahaha
boleh.” saya tahu, dia sudah mulai lelah menghitung karet-karetnya.
Ternyata
betul, sejak bangun pagi, tanpa diminta, dia sudah menyerahkan karet ke saya.
Itu semacam jajan tiap hari sebelum ke sekolah dari seorang kakak. Begitulah
tiap hari sampai musim karet berlalu.
Datanglah musim hongkiong! (bersambung)
Baguio city, 19 April 2014
Inilah perbedaan kenakalan remaja dengan kenakalan anak" |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar