Masih
pagi sekali ketika aku telah terjaga. Seakan tak ada mimpi yang tersangkut
dalam ingatan. Semuanya lenyap saat mata mulai terbuka. Segera kumenghampiri
jendela kamar, menikmati pesona halaman belakang. Masih senyap nan sepi. Embun
seakan masih mencumbui bunga-bunga dan rerumputan. Benar-benar hening.
Kutoleh
pada cermin, di salah satu sudut kamar dekat jendela. Kumis kembali lebat.
Janggut semakin panjang. Bola mataku masih sama. Hitam pekat. Tak ada pertanda
berubah menjadi biru. Rambut kribo lagi.
Pipi tetap melempem. Dulunya ada lesung pipi. Sekarang hilang. Hidung?
Lumayan membuatku diam sejenak. Tentang hidung, sejarahnya lumayan panjang.
“Hey
apa yang kamu tahu tentang wajah ini?”
Aku
tersentak kaget. Seolah ada yang aneh pagi ini. Bayanganku dalam cermin
bertanya kepadaku. Pertanyaan aneh, tepatnya bodoh, pikirku. Tapi aku tiba-tiba
ingin mau meladeni bayanganku sendiri.
“Ya
setahu saya, wajah itu hanya ada satu di dunia. Hanya kamu yang memilikinya.
Tuhan menciptakannya hanya untuk kamu.” jelasku sambil menunjuk ke arah cermin
itu. Aku benar-benar bertindak bodoh pagi
ini. Berbicara pada bayanganku sendiri.
Sejenak
kumengernyitkan dahi ketika menyadarinya. “Ah jelek sekali.” spontan kuprotes ketika
melihat bayangku dalam cermin. Tiba-tiba sebuah senyuman melenyapkan semua kerutan
dahi itu.
“Nah
begitu baru manis.”
Dalam
cermin itu, kedua bibirnya mengembang lebar, gigi putihnya tampak serasi,
otot-otot pipinya membentuk lekukan-lekukan simetris.
******
“
Ya, jawaban kamu memang betul. Tapi terlalu abstrak. Janganlah terburu-buru
menyebut Tuhan. Jadi kamu belum menjawab pertanyaanku.” kata bayanganku lagi.
Aku menjaga keheningan sejenak. Menatapnya sambil berpikir apa yang
dimaksudnya.
“hmph..aku
mengerti maksudmu sekarang.” aku berkata dengan percaya diri. “ kita abaikan
soal ganteng dan jelek. Itu relatif. Wajah kamu itu perpaduan antara wajah bapa
mama. Iya kan?”
Dia
mengangguk, tersenyum pertanda jawaban itu diterima.
“Mata
mirip bapakmu.” Aku mulai mereka-reka sambil menunjuk mata bayangku di cermin.
Ya, aku teringat, entah kenapa, sejak SMP ada yang bilang aku selalu ngantuk,
padahal aku jelas-jelas tidak sedang ngantuk. Begitu juga SMA dan saat kuliah. “Mukamu
ngantuk setiap saat.” protes seorang guru sewaktu SMA. Sejak itu dinobatkan
muka “raden” (Ranga dendut). Padahal aku ingin sekali dibilang bermata
keranjang. Tapi sekarang kuingat. Bapak juga punya mata yang sama. Selalu kelihatan
ngantuk dan tak bersemangat.
Bermain drama, kelas dua SMP |
“kalau
alis mata dan kulit memang mirip mama.” Mama memang memiliki kulit putih dengan
kedua alis mata yang ujung dalamnya seolah bersambung satu sama lain. Begitu
pun denganku.
“Wajah
oval mirip bapak lagi. Sedangkan hidung...” Aku tidak bisa melanjutkan
penjelasanku. Ini memang sulit. Waktu
kecil ada sedikit perdebatan dalam batin yang tak pernah diklarifikasi secara
betul. Mama pernah menerangkan begini, “hidung kamu mirip nenek Nginggus.” Nenek
ngginggus adalah ibu dari bapak. “Kalau selesai mandi, hidungnya harus rajin
dipijat biar lebih cepat mancung. Itu caranya.” Semenjak itu, sebelum berangkat
ke sekolah kala SD, di depan cermin aku harus memijat-mijat hidungku, sambil menidurkan
rambutku ke samping kiri atau kanan. Benar-benar rapi. Namun suatu hari, aku
mengunjungi saudara sulung dari mama.
Ketika melihatku, dia berkomentar, “mama kamu waktu kecil, hidungnya seperti
kamu.“ Sejak itu aku bingung mempercayai yang mana.
Untunglah
aku percaya bahwa perbedaan bahagia dan sedih itu tipis sekali. Waktu SD
hidungku sempat dikeroyok olokan, namun begitu masuk seminari, perlahan-lahan
berubah. “Saya sudah firasat, hidung kamu pasti akan mancung.” Para tetangga
mulai berkomentar. “Aduh, tambah ganteng. Hidung semakin mancung. Apa kan
kataku dulu?” imbuh yang lain.
“Yah
Saya kewalahan. Saya tak tahu hidungmu berasal dari mana.” jawabku kepada
bayangan itu.
“Hanya
itu?”
“Rambutmu
juga. Aku tak tahu kenapa begitu panjang, kriting, dan bergelombang seperti
trsunami.”
Dia
tertawa mendengar jawabanku yang jujur.
Lahir bulan Mei, sudah sepatutnya dekat dengan bunda Maria |
*****
Bunyi air yang keluar dari westafel dari kamar sebelah menyela percakapan kami berdua. Aku sadar, sudah
lama bercermin. Temanku sudah bangun. Kutatap keluar jendela sejenak. Angin
pagi yang bertiup lembut mulai menceraikan kemesraan bunga-bunga di halaman belakang.
“Wajah saya memang unik dan sudah berubah. Beda waktu
kecil. Tapi kamu tahu, keunikan wajah saya itu dari mana?” bayangan itu
mengumpanku dengan pertanyaan lain lagi.
Aku ingin mengabaikannya. Tapi rasanya ada perasaan tak terpuaskan jika tak segera
menjawabnya.
“hahah sepertinya kamu mengajak saya berfilsafat tentang
wajah.” Kataku dengan sedikit geram atas pertanyaannya.
“Bukan berfilsafat. Tapi manusia itu makhluk yang
menyejarah. Itu yang membedakannya dengan binatang. Jadi sekurang-kurangnya
kamu tahu tentang sejarah terbentuknya wajah ini.” terangnya membuatku merasa
tercabik-cabik. Aku terdiam sejenak dan berpikir keras untuk menjawabnya.
“Kamu tak usah menjawab, bahwa muka saya ini berubah
karena memang saya adalah makluk hidup yang bertumbuh dan berkembang. Anak SD
bisa menjawab itu. Tapi untuk seumuran kamu, kamu perlu jawab, mengapa kulitmu
makin cerah, tidak menjadi hitam legam, mengapa pipimu tidak tembem, tapi malah
menyusut, mengapa rambutmu panjang dan
tidak pendek atau botak.” terangnya lagi seolah ingin membantuku dalam menjawab
pertanyaannya.
Mulutku terasa dikunci. Tak dapat berkata apa-apa. Aku
hanya bisa menatap bayangan itu, sementara pikiranku menjauh ke masa silam. Membayangkan
wajahku dalam melewati masa demi masa. Wajah lugu dengan pipi tembem ini semasa
SD pernah berhadapan dengan pilihan yang kemudian menentukan sepak terjang
hidupku kemudian, pikirku. Dulu aku ingin masuk SMP Immaculata. Tapi sebelum
itu aku ingin testing seminari. Hal itu membuat aku menyisihkan waktu bermain
untuk belajar. Dan akhirnya lulus.
Kehidupan di
seminari banyak lika-likunya semenjak berada di sana hari selasa, 23 Juli 2002
lalu. Menikmati sayur kacang hijau tiap
hari, membuat wajahku berjerawat terutama kelas dua dan tiga SMP, juga
membuatku bertambah tinggi. Saat itu tak ada keinginan untuk dikeluarkan, maka
belajar lebih giat dan berlatih untuk lebih tekun. Pasokan gizi yang kurang
sementara energi yang dikeluarkan lebih banyak, membuat ukuran badan mulai
menipis. Pipi semakin menyusut. Tapi wajahku saat itu selalu tersenyum lebih
murah. Tentu karena mata selalu menyaksikan teman-teman yang lucu, nakal, dan
unik.
Dikerjain keluarga di Jakarta, ultah ke-24 |
Ketika hampir tamat SMA, ada dilema besar yang dialami
oleh wajahku yang masih labil dan mulai makin sering mengernyitkan dahi. Tanda
tanya tentang masa depan yang tepat bermunculan. Kala itu aku sudah melamar
biara Fransiskan. Tiba-tiba aku ubah. Aku membatalkannya. Ingin kuliah biasa
bersama teman-teman yang kebanyakan tak ingin melanjutkan panggilannya. Namun
kemudian, tiba-tiba berubah lagi. Begitu cair memang. Aku kemudian melamar
CICM.
Lalu wajah yang terkurung dalam suasana kehidupan homogen
di seminari dan dalam tembok-tembok kokoh di tengah kebun kelapa, kakao, dan
jagung itu, terpaksa membuka mata lebar-lebar saat menyaksikan heterogenitas
kehidupan kota, ketika akhir Agustus 2008, kapal Tilong Kabila melabuhkanku di
kota Makassar. Gedung pencakar langit di kota itu membuatku terlihat seperti
rusa masuk kampung.
Setahun
di sana amat berarti. Wajahku menjadi kian bervariasi dalam berekspresi. Tak
hanya tersenyum. Tak hanya masam. Tak hanya berkerut. Tak hanya sedih.
Singkatnya, gado-gado karena mulai berdialog dengan budaya lain,semakin dekat
dengan pergulatan suka-duka kehidupan para mahasiswa yang tinggal di sekitar
biara dalam rumah kontrakan dan kamar kos-kosan, dan gaya hidup orang-orang
kota.
Dan
lima tahun silam, aku berpindah ke Jakarta. Tak hanya bervariasi dalam
berekspresi, wajahku semakin mendalami dan menghayati tiap ekspresi saat
menyaksikan pengemis berlimpah ruah di jalanan, pengamen, pekerja yang memadati
angkutan umum tiap hari, dan keragaman budaya yang semakin tinggi. Wajahku
semakin serius saat menghadapi buku-buku filsafat dan teologi yang harus dibaca
berulang-ulang bahkan bahkan keasyikan sampai larut malam. Terkadang tugas baru diselesaikan hingga lonceng bangun pagi
terdengar. Ya,terlebih saat-saat ingin lulus dari STF Driyarkara.
Saat
itu, badan semakin menipis, pipi makin menyusut, dan kulit makin cerah dengan
cuaca Jakarta yang mengangkat spot-spot hitam pada kulit wajah. Gaya hidup juga
tak ketinggalan. Nongkrong bersama teman-teman pada malam minggu, berselancar
di dunia maya, rambut dibiarkan panjang, dan lidah dibiasakan mengucapkan “loe,
gw, “ dsbnya.
Kehidupan kota mempunyai daya tarik tersendiri dan
tawaran yang berlimpah. Saat itulah wajahku ini semakin mengerut saat
memikirkan apa yang terbaik bagiku. Senyum tak sealami dulu ketika umur belasan
tahun. Tertawa dan senyuman kadang hasil settingan. Saat berkumpul dengan
teman, tertawa dan tersenyum hanya sekadar agar mereka melihatku menikmati
suasana percakapan itu, namun saat kembali ke kamar wajah kembali serius
memikirkan pilihan kehidupan. Itulah wajah yang berada dalam tarikan-tarikan
pilihan. Tak selalu berekpresi alami. Penuh intrik. Wajahku yang berada di kota
Jakarta itu memperlihatkan kumis yang panjang, rambut kribo, dan janggut tebal.
Hanya bisa bermain di antara pohon pinus hahah |
Lalu
keputusanku untuk lanjut di CICM memindahkan wajahku yang terbiasa menyaksikan
hiruk-pikuk kehidupan ibu kota Jakarta ke kota Baguio, Filipina. Tinggal di
Maryhurst, sebuah seminari CICM membuat raut wajahku berbeda. Wajahku mulai
menyaksikan kehidupan negara lain, adat kebiasaannya yang kadang mirip, dan
kadang bertolak belakang.
Dan
saat bercermin, wajahku berada di sebuah kamar di seminari Maryhurst, sebuah
seminari yang terletak agak jauh dari kota, dikelilingi hutan pinus, berjumlah
lima lantai dan didiami hanya tujuh orang—kebetulan anak seminarinya sedang
libur, dengan pagar yang tinggi-tinggi, lengkap dengan security
guard. Bisa dibayangkan wajahku yang terbiasa dengan keributan Jakarta dan sekarang
masuk dalam kesunyian dan keheningan yang dalam berekspresi bagaimana.
********
Setelah
sekian lama aku berdialog dengan diriku, aku menatap bayanganku dalam cermin lebih
dekat. Aku melihat dia tersenyum.
Kelopak matanya kelihatan berat setelah bangun pagi.
“Aku
tahu tentang asal-usul wajahmu.” kataku kepadanya dengan suara yang berat.
“Apa?”
“Wajahku
berasal dari pemahamanku. Wajahku tergantung dari keputusanku.” jawabku
singkat.
“Maksud
kamu?” kata bayang itu sambil tersenyum. Bola matanya menyiratkan bahwa itulah
jawaban yang ia harapkan. Tapi ia sedang bersandiwara untuk mengujiku.
“Wajahmu
itu adalah hasil keputusan. Wajah manusia pada umumnya adalah hasil dari
keputusan-keputusan yang dia ambil tiap hari.Dan setiap keputusan yang kita
ambil selalu didahului pemahaman. Ya, pemahaman tentang kehidupan yang kamu
tahu akan mempengaruhi keputusan yang kamu ambil, dan pada akhirnya
mempengaruhi bagaimana wajahmu.” jelasku kepadanya layaknya seorang guru yang
sedang menceramahi murid dalam kelas.
“Kamu
pandai bermain hal-hal yang abstrak. Aku belum bisa tersenyum mendengarnya.”
tanggapnya lagi mengumpanku untuk menjelas lebih lanjut.
“Oke.
Kamu bayangkan begini. Kalau dulu kamu memilih tidak sekolah dan menjadi
seorang petani, barangkali kulit wajahmu kelihatan lebih gelap, bukan? Atau
kalau kamu memilih keluar dari seminari, sekarang barangkali ketika pagi-pagi
kamu bercermin, muncul wajah seorang yang lain dalam cermin yang melengkapi
kesendirianmu dalam kamar.”
“hahaha
perjelaskan maksudmu.”
“Ya,
siapa tahu kamu sudah beristri dan istrimu menganggu kamu saat bercermin
sendirian. Bukankah teman-teman seumuranmu sudah ada yang beristri ?”
Ia
hanya mengangguk-anggukkan kepala. Lalu katanya lagi, “Jadi menurut kamu,
mukaku tergantung dari keputusan-keputusan yang diambil dan tergantung dari
pemahamanku tentang hidup?”
“Iya.
Begitu.”
“Jadi
apapun yang kuputuskan hari ini dan seterusnya akan mempengaruhi bagaimana
bentuk mukaku di masa depan?”
“Iya.
Benar.” Aku mengangguk.
“Bagaimana
mukamu di masa depan?”
Aku
terdiam.
“Nah
begini saja. Dibuat lebih sederhana. “ katanya lagi. “Apa pemahamanmu tentang
hidup sehingga menghasilkan wajah seperti itu?” Aku melihat bayangan dalam
cermin itu menunjukkan jarinya kepadaku. Ini pertanyaan yang tak kuduga.
Aku
tak langsung menjawabnya. Kutengok keluar jendela. Sinar matahari telah
menguapkan butiran-butiran embun yang menyelimuti rerumputan tadi pagi.
Daun-daun bergetar tak karuan seolah berekpresi senang saat hembusan angin
musim panas lebih kencang bertiup.
“Afii......”
teriak seorang di luar kamarku yang mengagetkanku. Disusul dengan ketukan pintu
beberapa kali. Aku meninggalkan cermin itu dan segera membuka pintu. Ada
beberapa teman di luar pintu menanti.
“Selamat
ultah Bro....” ujar mereka. Kami bersalaman dan berangkulan.
“Kenapa
wajahmu bingung? Orang ulang tahun harusnya senang. Jangan bingung.”
“Oh
tidak apa-apa.” jawabku. Aku segera menyapu kebingunganku dengan senyuman. Kami
bercerita sebentar. Namun kepalaku masih disesaki pertanyaan bayangan dalam
cermin itu, apa pemahamanku tentang hidup dan bagaimana wajahku kemudian.
Foto dalam kamar di Jakarta.... |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar