Pages

Ads 468x60px

Selasa, 06 Mei 2014

Wajah dalam Cermin

Masih pagi sekali ketika aku telah terjaga. Seakan tak ada mimpi yang tersangkut dalam ingatan. Semuanya lenyap saat mata mulai terbuka. Segera kumenghampiri jendela kamar, menikmati pesona halaman belakang. Masih senyap nan sepi. Embun seakan masih mencumbui bunga-bunga dan rerumputan. Benar-benar hening.

Kutoleh pada cermin, di salah satu sudut kamar dekat jendela. Kumis kembali lebat. Janggut semakin panjang. Bola mataku masih sama. Hitam pekat. Tak ada pertanda berubah menjadi biru. Rambut kribo lagi.  Pipi tetap melempem. Dulunya ada lesung pipi. Sekarang hilang. Hidung? Lumayan membuatku diam sejenak. Tentang hidung, sejarahnya lumayan panjang.
“Hey apa yang kamu tahu tentang wajah ini?”


Aku tersentak kaget. Seolah ada yang aneh pagi ini. Bayanganku dalam cermin bertanya kepadaku. Pertanyaan aneh, tepatnya bodoh, pikirku. Tapi aku tiba-tiba ingin mau meladeni bayanganku sendiri.
“Ya setahu saya, wajah itu hanya ada satu di dunia. Hanya kamu yang memilikinya. Tuhan menciptakannya hanya untuk kamu.” jelasku sambil menunjuk ke arah cermin itu. Aku  benar-benar bertindak bodoh pagi ini. Berbicara pada bayanganku sendiri.
Sejenak kumengernyitkan dahi ketika menyadarinya.  “Ah jelek sekali.” spontan kuprotes ketika melihat bayangku dalam cermin. Tiba-tiba sebuah senyuman melenyapkan semua kerutan dahi itu.
“Nah begitu baru manis.” 
Dalam cermin itu, kedua bibirnya mengembang lebar, gigi putihnya tampak serasi, otot-otot pipinya membentuk lekukan-lekukan simetris.

******

“ Ya, jawaban kamu memang betul. Tapi terlalu abstrak. Janganlah terburu-buru menyebut Tuhan. Jadi kamu belum menjawab pertanyaanku.” kata bayanganku lagi. Aku menjaga keheningan sejenak. Menatapnya sambil berpikir apa yang dimaksudnya.
“hmph..aku mengerti maksudmu sekarang.” aku berkata dengan percaya diri. “ kita abaikan soal ganteng dan jelek. Itu relatif. Wajah kamu itu perpaduan antara wajah bapa mama. Iya kan?”
Dia mengangguk, tersenyum pertanda jawaban itu diterima.
“Mata mirip bapakmu.” Aku mulai mereka-reka sambil menunjuk mata bayangku di cermin. Ya, aku teringat, entah kenapa, sejak SMP ada yang bilang aku selalu ngantuk, padahal aku jelas-jelas tidak sedang ngantuk. Begitu juga SMA dan saat kuliah. “Mukamu ngantuk setiap saat.” protes seorang guru sewaktu SMA. Sejak itu dinobatkan muka “raden” (Ranga dendut). Padahal aku ingin sekali dibilang bermata keranjang. Tapi sekarang kuingat. Bapak juga punya mata yang sama. Selalu kelihatan ngantuk dan tak bersemangat.  
Bermain drama, kelas dua SMP

“kalau alis mata dan kulit memang mirip mama.” Mama memang memiliki kulit putih dengan kedua alis mata yang ujung dalamnya seolah bersambung satu sama lain. Begitu pun denganku.
“Wajah oval mirip bapak lagi. Sedangkan hidung...” Aku tidak bisa melanjutkan penjelasanku. Ini memang sulit.  Waktu kecil ada sedikit perdebatan dalam batin yang tak pernah diklarifikasi secara betul. Mama pernah menerangkan begini, “hidung kamu mirip nenek Nginggus.” Nenek ngginggus adalah ibu dari bapak. “Kalau selesai mandi, hidungnya harus rajin dipijat biar lebih cepat mancung. Itu caranya.” Semenjak itu, sebelum berangkat ke sekolah kala SD, di depan cermin aku harus memijat-mijat hidungku, sambil menidurkan rambutku ke samping kiri atau kanan. Benar-benar rapi. Namun suatu hari, aku mengunjungi saudara sulung  dari mama. Ketika melihatku, dia berkomentar, “mama kamu waktu kecil, hidungnya seperti kamu.“ Sejak itu aku bingung mempercayai yang mana.
Untunglah aku percaya bahwa perbedaan bahagia dan sedih itu tipis sekali. Waktu SD hidungku sempat dikeroyok olokan, namun begitu masuk seminari, perlahan-lahan berubah. “Saya sudah firasat, hidung kamu pasti akan mancung.” Para tetangga mulai berkomentar. “Aduh, tambah ganteng. Hidung semakin mancung. Apa kan kataku dulu?” imbuh yang lain.
“Yah Saya kewalahan. Saya tak tahu hidungmu berasal dari mana.” jawabku kepada bayangan itu.
“Hanya itu?”
“Rambutmu juga. Aku tak tahu kenapa begitu panjang, kriting, dan bergelombang seperti trsunami.”
Dia tertawa mendengar jawabanku yang jujur.
Lahir bulan Mei, sudah sepatutnya dekat dengan bunda Maria

*****
            Bunyi air yang keluar dari westafel dari kamar sebelah  menyela percakapan kami berdua. Aku sadar, sudah lama bercermin. Temanku sudah bangun. Kutatap keluar jendela sejenak. Angin pagi yang bertiup lembut mulai menceraikan kemesraan bunga-bunga di halaman belakang.
            “Wajah saya memang unik dan sudah berubah. Beda waktu kecil. Tapi kamu tahu, keunikan wajah saya itu dari mana?” bayangan itu mengumpanku  dengan pertanyaan lain lagi. Aku ingin mengabaikannya. Tapi rasanya ada perasaan tak terpuaskan jika tak segera menjawabnya.
            “hahah sepertinya kamu mengajak saya berfilsafat tentang wajah.” Kataku dengan sedikit geram atas pertanyaannya.
            “Bukan berfilsafat. Tapi manusia itu makhluk yang menyejarah. Itu yang membedakannya dengan binatang. Jadi sekurang-kurangnya kamu tahu tentang sejarah terbentuknya wajah ini.” terangnya membuatku merasa tercabik-cabik. Aku terdiam sejenak dan berpikir keras untuk menjawabnya.
            “Kamu tak usah menjawab, bahwa muka saya ini berubah karena memang saya adalah makluk hidup yang bertumbuh dan berkembang. Anak SD bisa menjawab itu. Tapi untuk seumuran kamu, kamu perlu jawab, mengapa kulitmu makin cerah, tidak menjadi hitam legam, mengapa pipimu tidak tembem, tapi malah menyusut, mengapa rambutmu panjang  dan tidak pendek atau botak.” terangnya lagi seolah ingin membantuku dalam menjawab pertanyaannya.
            Mulutku terasa dikunci. Tak dapat berkata apa-apa. Aku hanya bisa menatap bayangan itu, sementara pikiranku menjauh ke masa silam. Membayangkan wajahku dalam melewati masa demi masa. Wajah lugu dengan pipi tembem ini semasa SD pernah berhadapan dengan pilihan yang kemudian menentukan sepak terjang hidupku kemudian, pikirku. Dulu aku ingin masuk SMP Immaculata. Tapi sebelum itu aku ingin testing seminari. Hal itu membuat aku menyisihkan waktu bermain untuk belajar. Dan akhirnya lulus.
             Kehidupan di seminari banyak lika-likunya semenjak berada di sana hari selasa, 23 Juli 2002 lalu.  Menikmati sayur kacang hijau tiap hari, membuat wajahku berjerawat terutama kelas dua dan tiga SMP, juga membuatku bertambah tinggi. Saat itu tak ada keinginan untuk dikeluarkan, maka belajar lebih giat dan berlatih untuk lebih tekun. Pasokan gizi yang kurang sementara energi yang dikeluarkan lebih banyak, membuat ukuran badan mulai menipis. Pipi semakin menyusut. Tapi wajahku saat itu selalu tersenyum lebih murah. Tentu karena mata selalu menyaksikan teman-teman yang lucu, nakal, dan unik.
Dikerjain keluarga di Jakarta, ultah ke-24

            Ketika hampir tamat SMA, ada dilema besar yang dialami oleh wajahku yang masih labil dan mulai makin sering mengernyitkan dahi. Tanda tanya tentang masa depan yang tepat bermunculan. Kala itu aku sudah melamar biara Fransiskan. Tiba-tiba aku ubah. Aku membatalkannya. Ingin kuliah biasa bersama teman-teman yang kebanyakan tak ingin melanjutkan panggilannya. Namun kemudian, tiba-tiba berubah lagi. Begitu cair memang. Aku kemudian melamar CICM.
            Lalu wajah yang terkurung dalam suasana kehidupan homogen di seminari dan dalam tembok-tembok kokoh di tengah kebun kelapa, kakao, dan jagung itu, terpaksa membuka mata lebar-lebar saat menyaksikan heterogenitas kehidupan kota, ketika akhir Agustus 2008, kapal Tilong Kabila melabuhkanku di kota Makassar. Gedung pencakar langit di kota itu membuatku terlihat seperti rusa masuk kampung.
Setahun di sana amat berarti. Wajahku menjadi kian bervariasi dalam berekspresi. Tak hanya tersenyum. Tak hanya masam. Tak hanya berkerut. Tak hanya sedih. Singkatnya, gado-gado karena mulai berdialog dengan budaya lain,semakin dekat dengan pergulatan suka-duka kehidupan para mahasiswa yang tinggal di sekitar biara dalam rumah kontrakan dan kamar kos-kosan, dan gaya hidup orang-orang kota.
Dan lima tahun silam, aku berpindah ke Jakarta. Tak hanya bervariasi dalam berekspresi, wajahku semakin mendalami dan menghayati tiap ekspresi saat menyaksikan pengemis berlimpah ruah di jalanan, pengamen, pekerja yang memadati angkutan umum tiap hari, dan keragaman budaya yang semakin tinggi. Wajahku semakin serius saat menghadapi buku-buku filsafat dan teologi yang harus dibaca berulang-ulang bahkan bahkan keasyikan sampai larut malam. Terkadang tugas  baru diselesaikan hingga lonceng bangun pagi terdengar. Ya,terlebih saat-saat ingin lulus dari STF Driyarkara.
Saat itu, badan semakin menipis, pipi makin menyusut, dan kulit makin cerah dengan cuaca Jakarta yang mengangkat spot-spot hitam pada kulit wajah. Gaya hidup juga tak ketinggalan. Nongkrong bersama teman-teman pada malam minggu, berselancar di dunia maya, rambut dibiarkan panjang, dan lidah dibiasakan mengucapkan “loe, gw, “ dsbnya.
            Kehidupan kota mempunyai daya tarik tersendiri dan tawaran yang berlimpah. Saat itulah wajahku ini semakin mengerut saat memikirkan apa yang terbaik bagiku. Senyum tak sealami dulu ketika umur belasan tahun. Tertawa dan senyuman kadang hasil settingan. Saat berkumpul dengan teman, tertawa dan tersenyum hanya sekadar agar mereka melihatku menikmati suasana percakapan itu, namun saat kembali ke kamar wajah kembali serius memikirkan pilihan kehidupan. Itulah wajah yang berada dalam tarikan-tarikan pilihan. Tak selalu berekpresi alami. Penuh intrik. Wajahku yang berada di kota Jakarta itu memperlihatkan kumis yang panjang, rambut kribo, dan janggut tebal.
Hanya bisa bermain di antara pohon pinus hahah

Lalu keputusanku untuk lanjut di CICM memindahkan wajahku yang terbiasa menyaksikan hiruk-pikuk kehidupan ibu kota Jakarta ke kota Baguio, Filipina. Tinggal di Maryhurst, sebuah seminari CICM membuat raut wajahku berbeda. Wajahku mulai menyaksikan kehidupan negara lain, adat kebiasaannya yang kadang mirip, dan kadang bertolak belakang.
Dan saat bercermin, wajahku berada di sebuah kamar di seminari Maryhurst, sebuah seminari yang terletak agak jauh dari kota, dikelilingi hutan pinus, berjumlah lima lantai dan didiami hanya tujuh orang—kebetulan anak seminarinya sedang libur, dengan pagar yang tinggi-tinggi, lengkap dengan  security guard. Bisa dibayangkan wajahku yang terbiasa dengan keributan Jakarta dan sekarang masuk dalam kesunyian dan keheningan yang dalam berekspresi bagaimana.

********
Setelah sekian lama aku berdialog dengan diriku, aku menatap bayanganku dalam cermin lebih dekat.  Aku melihat dia tersenyum. Kelopak matanya kelihatan berat setelah bangun pagi.
“Aku tahu tentang asal-usul wajahmu.” kataku kepadanya dengan suara yang berat.
“Apa?”
“Wajahku berasal dari pemahamanku. Wajahku tergantung dari keputusanku.” jawabku singkat.
“Maksud kamu?” kata bayang itu sambil tersenyum. Bola matanya menyiratkan bahwa itulah jawaban yang ia harapkan. Tapi ia sedang bersandiwara untuk mengujiku.
“Wajahmu itu adalah hasil keputusan. Wajah manusia pada umumnya adalah hasil dari keputusan-keputusan yang dia ambil tiap hari.Dan setiap keputusan yang kita ambil selalu didahului pemahaman. Ya, pemahaman tentang kehidupan yang kamu tahu akan mempengaruhi keputusan yang kamu ambil, dan pada akhirnya mempengaruhi bagaimana wajahmu.” jelasku kepadanya layaknya seorang guru yang sedang menceramahi murid dalam kelas.
“Kamu pandai bermain hal-hal yang abstrak. Aku belum bisa tersenyum mendengarnya.” tanggapnya lagi mengumpanku untuk menjelas lebih lanjut.
“Oke. Kamu bayangkan begini. Kalau dulu kamu memilih tidak sekolah dan menjadi seorang petani, barangkali kulit wajahmu kelihatan lebih gelap, bukan? Atau kalau kamu memilih keluar dari seminari, sekarang barangkali ketika pagi-pagi kamu bercermin, muncul wajah seorang yang lain dalam cermin yang melengkapi kesendirianmu dalam kamar.”
“hahaha perjelaskan maksudmu.”
“Ya, siapa tahu kamu sudah beristri dan istrimu menganggu kamu saat bercermin sendirian. Bukankah teman-teman seumuranmu sudah ada yang beristri ?”
Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala. Lalu katanya lagi, “Jadi menurut kamu, mukaku tergantung dari keputusan-keputusan yang diambil dan tergantung dari pemahamanku tentang hidup?”
“Iya. Begitu.”
“Jadi apapun yang kuputuskan hari ini dan seterusnya akan mempengaruhi bagaimana bentuk mukaku di masa depan?”
“Iya. Benar.” Aku mengangguk.
“Bagaimana mukamu di masa depan?”
Aku terdiam.
“Nah begini saja. Dibuat lebih sederhana. “ katanya lagi. “Apa pemahamanmu tentang hidup sehingga menghasilkan wajah seperti itu?” Aku melihat bayangan dalam cermin itu menunjukkan jarinya kepadaku. Ini pertanyaan yang tak kuduga.
Aku tak langsung menjawabnya. Kutengok keluar jendela. Sinar matahari telah menguapkan butiran-butiran embun yang menyelimuti rerumputan tadi pagi. Daun-daun bergetar tak karuan seolah berekpresi senang saat hembusan angin musim panas lebih kencang bertiup.
“Afii......” teriak seorang di luar kamarku yang mengagetkanku. Disusul dengan ketukan pintu beberapa kali. Aku meninggalkan cermin itu dan segera membuka pintu. Ada beberapa teman di luar pintu menanti.
“Selamat ultah Bro....” ujar mereka. Kami bersalaman dan berangkulan.
“Kenapa wajahmu bingung? Orang ulang tahun harusnya senang. Jangan bingung.”
“Oh tidak apa-apa.” jawabku. Aku segera menyapu kebingunganku dengan senyuman. Kami bercerita sebentar. Namun kepalaku masih disesaki pertanyaan bayangan dalam cermin itu, apa pemahamanku tentang hidup dan bagaimana wajahku kemudian.
Foto dalam kamar di Jakarta....







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text