Pages

Ads 468x60px

Senin, 12 Mei 2014

Kuburan

Kami tiba saat senja. Disambut kesunyian yang mencekam. Beruntung  semilir tiupan angin sore yang mengibas dedaunan pohon-pohon besar di sekitar tempat itu memperdengarkan simponi alam yang menghibur. Dedaunan itu pun mulai menari lembut selepas tertunduk lesuh seharian disengat mentari musim kemarau.

          “Sepertinya jarang orang ke sini?”  Suaraku sengaja dibikin lembut seakan tak ingin menganggu kesunyian tempat itu. Ayah tak mendengarkan keluhku. Dia sibuk mencabut rerumputan liar di sekitar pusara-pusara itu. Parangnya sesekali dengan gagah menceraikan semak-semak yang berkelindan satu sama lain. Lelaki yang rambutnya sudah memutih itu seakan masih bertenaga saat mengenggam parang dan mengayunkannya berkali-kali.



          Aku mulai menjawab sendiri pertanyaan itu. Kukira pantas kalau jarang yang datang. Kuburan ini letaknya jauh dari kampung, dekat hutan. Adat di kampung memang begitu. Kuburan harus terpisah dari kampung. Lalu, hanya beberapa kubur yang terbuat dari semen. Sisanya tanah. Dan wajar saja rerumputan dan tumbuhan liar mudah tumbuh di atas kuburan. Menyeramkan.

          “Ini kuburan Marsel Jemagut”  Ia mulai bicara sambil menunjuk sebuah kubur. Tak ada salib di sana. Hanya gundukan tanah yang berada dalam topangan batu tersusun sebagai penunjuk bahwa itu adalah kubur.

          “Siapa dia?”

          Ayah tak bisa menyembunyikan wajah heran walaupun secepat kilat ia mengumbar senyum.

          “Kakek saya.” jawabnya singkat. Aku menepuk jidat. Leluhurku sendiri. Tapi ayah sendiri tak mengetahui dia. Ketika ayah lahir, kakeknya itu sudah meninggal. Dulu ketika dia kecil, ayahnya menunjukkan kuburan itu. Ketika aku masih kecil, ayah hanya menceritakan tentang ayahnya yakni kakekku. Sedangkan kakeknya tak pernah diceritakan.

          “Di sekitar sini, semuanya keluarga kita. Di sana, adik dari kakek kamu. Ini kubur nenek  saya.” jelas ayah sambil menunjuk semua kubur-kubur itu satu per satu yang terletak di samping kubur kakek dan nenek.  Tak ada lagi penanda di situ. Salib hanya ada di kuburan kakek dan nenek walaupun tulisan namanya sudah mulai luntur.

          “Tolong nyalakan lilin di sana sebelum kita berdoa.”


2

Ayah memperhatikanku saat menyalakan lilin. Ya, di usianya sekarang, kelopak matanya kian menggantung. Kulit pipinya mengendur. Kernyitan dahi makin berlapis-lapis.

“Ah sial!” ujarku setelah berkali-kali lilin yang dinyalakan mati tertiup angin. “Kita langsung berdoa saja. Tanpa harus nyala lilin.”

“Tak baik kalau berdoa tanpa nyala lilin dan apalagi kalau mati selagi berdoa. Kita harus menunggu dengan sabar sampai cahaya lilin cukup tenang dan stabil, baru mulai berdoa.” ucapannya kedengaran amat konservatif.

“Sama saja. Angin akan mematikannya kembali.” jawabku dengan gusar.

“Tidak. Semakin malam tempat ini akan semakin tenang.”

Ia lalu berjalan menjauhiku. Kulihat dia mencari tempat yang nyaman untuk duduk, menunggu ketenangan sore itu. Aku menyusulinya. Kami berdua duduk bersampingan di atas sebuah batang kayu besar yang terbaring di salah satu sudut kuburan itu.


3

Kegelapan memangsa tempat itu lebih cepat. Rimbunan dedaunan pohon-pohon sepelukan orang dewasa di situ seakan tak merelakan berkas-berkas cahaya mentari sore  memanasi tubuh kaku yang terbaring di sana.

“Kuburan siapa itu?” Aku mulai membuka percakapan saat bola mata ayah sedang menyelidiki sekeliling tempat itu.

“Yang mana?”

“Di sana. ” Kutunjuk sebuah kuburan yang terbuat dari semen. Ada salib. Lumayan berjarak untuk langsung membaca nama yang tertera di salib. Tanaman liar juga sudah mulai menodai pemandangan kuburan yang terkesan berkelas di antara kubur-kubur yang ada.

“Rofina Jedina. Kuburannya yang paling baru di sini. Dia meninggal dua tahun lalu.”

“Dua tahun lalu?” tanya saya heran. “Kuburannya seakan tak pernah dikunjungi.”

“Iya. Dia orang baik. Usianya sudah 90 tahun  saat meninggal. Dulu ia dikenal dukun beranak. Banyak proses persalinan yang ia bantu. Makanya ketika dia meninggal, kami mengumpulkan uang untuk membeli semen dan pasir. Bentuk ucapan terima kasih kepada dia.”

“Ternyata orang berjasa sekali. Tapi sangat disayangkan kuburnya tak terawat. Mungkin karena letak kampung ini jauh dari kampung.” Aku berusaha memahami keadaan itu.

“Nanti kita bersihkan!” kata ayah seraya mengedipkan matanya. “Tapi bukan karena letaknya di sini, makanya tak dikunjungi.”

“Lalu kenapa?”

“Begitulah kalau orang meninggal. Empat puluh hari pertama, kuburannya masih terlihat lelehan lilin yang membeku, berseliweran di atas kuburan. Setahun pertama, sudah mulai berkurang. Dua tahun berikutnya, semakin berkurang. Lalu sesekali kalau diingat, orang akan berdoa dan mengingatnya. Dan pada akhirnya, setelah generasinya lenyap, dia akan dilupakan sama sekali. Semua kita akan alami tahapan yang sama.”

Aku terdiam sejenak merenung penjelasan ayah.

“Ayo kita mulai berdoa.”ujarnya sambil berjalan ke arah kuburan leluhur kami. Kami menyalakan lilin. Mulai berdoa. Berkas-berkas cahaya dari lilin-lilin itu semakin lama semakin terang saat kegelapan semakin pekat.

Kulihat wajahnya tampak khusyuk berdoa dan amat tenang. Sementara aku tak bisa berdoa. Ketakutan mulai mencekamku. Bukan saja ketakutan akan tempat yang menyeramkan itu, tapi juga ada keterserakan kehampaan yang terbaring di sana. Di antara kuburan-kuburan itu.

4

Sore itu tak bisa kulupa. Pasalnya itulah percakapan yang cukup intens dengan ayah sebelum keesokan harinya aku harus kembali ke tempat perantauanku. Jadwal cutiku telah usai. Sepanjang perjalanan kembali dari liburan itu, pikiranku disesaki oleh tugas-tugas di kantor.

Juga kurenung-renung  tentang kehidupanku di Jakarta. Bangun harus pagi-pagi dan pulang menjelang tengah malam. Di awal bulan menerima gaji, berpikir seirit mungkin agar bisa mengkredit rumah, dan menyekolahkan anak-anak. Lalu berpikir tentang masa tua. Sebisa mungkin dapat menjalani usia tua dalam kemampanan.

Lalu kalau aku meninggal? Aku tiba-tiba bertanya berpikir tentang kematianku. Hanya satu jawabannya. Aku dikuburkan. Aku akan didoakan. Setahun pertama, begitu banyak orang yang masih mengingatku dalam doa mereka. Tentu anak-anakku, teman-teman, dan keluarga besarku. Tahun kedua, semakin berkurang. Dan tahun-tahun selanjutnya tibalah pada fase yang sama, yakni dihapus dari ingatan zaman bak debu yang dikebas oleh tiupan angin, menghilang entah kemana.

Ya, hidup memang kehampaan, gumanku. Saat itu aku hendak memaki diriku. Rasanya apapun yang kulakukan di bawah kolong langit ini hanyalah kesia-siaan belaka.


5

Belum genap setahun kembali dari liburan, aku jatuh sakit. Botol infus sudah beberapa kali diganti selama seminggu dalam masa perawatan di rumah sakit. Keluarga datang menjenguk. Teman-teman silih berganti tiap saat. Mereka menghiburku dan berdoa agar aku lekas sembuh.

Pada saat itulah datanglah berita yang menyedihkan dalam hidupku. Ayah menghembus nafas terakhir pada suatu malam. Diceritakan oleh keluarga, ketika itu, ia  baru pulang dari hutan, lalu mandi dan istirahat sekaligus meminta untuk dibangunkan kalau jam makan malam. Ketika dibangunkan, ia ternyata telah merenggangkan nyawa.

Berita itu membuatku batinku terkoyak. Amat perih rasanya di dada saat orang kucintai harus pergi saat kondisiku tidak memungkinkan untuk menghadiri acara penguburannya.

Dalam kondisiku yang lemah,  kubayangkan ayah dikuburkan dekat leluhurnya. Dan benakku terisi gambaran-gambaran mengerikan tentang perkuburan itu. Empat puluh hari pertama, keluarga masih menjenguk dan mendoakannya di sana. Namun suasana kuburan itu menakutkan mereka untuk senantiasa mengingatnya dan mengunjunginya. Dan seterusnya akan mengikuti fase yang sama untuk semua kehidupan manusia.

Saat kondisiku pulih, aku kembali sibuk dengan pekerjaanku. Setiap malam aku mengingatnya dalam doaku. Besar harapanku, jadwal cutiku segera tiba, biar aku kembali ke kampung, berdoa, sekaligus membersihkan kuburannya.

Tibalah giliran cuti. Aku pulang. Ini saat yang tepat untuk meluapkan nada-nada kesedihan yang masih tersesat dalam rongga-rongga dada. Nada-nada kesedihan itu selalu bergema di kala aku sendirian yang membuat hatiku piluh.


6


Segera pada sore hari pada hari tiba di kampung, aku pergi ke perkuburan itu. Senter, lilin, dan parang sudah kupersiapkan. Mentari sore yang cukup ramah seakan tak ingin menambah kerunyaman suasana hatiku.

Ketika hendak tiba dekat perkuburan itu, aku tak dapat menahan haru. Air mata jatuh berlinang, mengucur deras membasahi pipi, dan kenangan masa kecil bersamanya meremukkan batinku yang membuat aku serasa tak kuat lagi berjalan melewati jalan setapak itu.

Namun, aku lekas diam sejenak, menghentikan langkahku. Ada yang suara aneh dari arah perkuburan. Ada orang bercakap-cakap. Kucoba terus berlangkah dan melupakan kesedihanku sejenak.

Aku hampir terperanjat saat memasuki kawasan perkuburan itu. Rapi dan bersih. Tak ada lagi semak belukar. Rerumputan liar juga tak tampak. Sementara beberapa orang di sana kelihatan sibuk memagari kawasan perkuburan itu.

Mataku langsung mencari kuburan yang baru di antara kuburan para leluhur. Aku melihat sebuah kuburan semen di sana. Lelehan lilin yang membeku tampak jelas dari kejauhan, berseliweran di atas kuburnya.

“Hey kapan pulang?” seorang warga kampung langsung menegurku sebelum aku menghampiri kuburan ayah.

“Saya baru saja tiba tadi siang.” Ia tersenyum dan berteriak memanggil yang lain. Mereka semua untuk datang menyalamiku.

“Semuanya di sini sudah berubah.” kata salah seorang dengan wajah sumringah. Dia rupanya membaca raut wajah keherananku. “Entah dimulai kapan, sebelum meninggal ayahmu selalu datang ke sini sendirian. Dia mulai membersihkan kubur-kubur di sini dan senantiasa membakar lilin hampir semua kuburan yang ada di sini.”

Aku tak tahan menahan air mata. Mereka diam sejenak.

“Ya semenjak dia meninggal, kami sadar akan kebaikan yang ia rintis sudah seharusnya diteruskan dan diabadikan. Makanya sejak itu, kami selalu datang berdoa di sini dan merawat kuburan-kuburan ini.”

Lalu aku dipersilakan ke kubur ayahku. Bunga-bunga bercorak kuning keemasan ditanam membentuk bingkai yang mengeliling kuburannya. Di atasnya masih terlihat tumpuhan lelehan lilin yang membukit dan menindih satu sama lain. Meski belum gelap betul sebagaimana beberapa tahun silam, sore itu tampak tenang. Aku pun mulai membakar lilin.

Sebelum aku mulai berdoa, aku tertegun dengan tulisan yang diukir dalam semen di bagian kepala kuburan itu.  “HANYA CINTA DAN KEBAIKANLAH YANG ABADI.” Aku lalu berlutut dan berdoa.

Baguio, 12 Mei 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text