Kami tiba saat senja.
Disambut kesunyian yang mencekam. Beruntung
semilir tiupan angin sore yang mengibas dedaunan pohon-pohon besar di
sekitar tempat itu memperdengarkan simponi alam yang menghibur. Dedaunan itu
pun mulai menari lembut selepas tertunduk lesuh seharian disengat mentari musim
kemarau.
“Sepertinya jarang orang ke
sini?” Suaraku sengaja dibikin lembut
seakan tak ingin menganggu kesunyian tempat itu. Ayah tak mendengarkan keluhku.
Dia sibuk mencabut rerumputan liar di sekitar pusara-pusara itu. Parangnya
sesekali dengan gagah menceraikan semak-semak yang berkelindan satu sama lain.
Lelaki yang rambutnya sudah memutih itu seakan masih bertenaga saat mengenggam
parang dan mengayunkannya berkali-kali.
Aku mulai menjawab sendiri pertanyaan
itu. Kukira pantas kalau jarang yang datang. Kuburan ini letaknya jauh dari
kampung, dekat hutan. Adat di kampung memang begitu. Kuburan harus terpisah
dari kampung. Lalu, hanya beberapa kubur yang terbuat dari semen. Sisanya
tanah. Dan wajar saja rerumputan dan tumbuhan liar mudah tumbuh di atas kuburan.
Menyeramkan.
“Ini kuburan Marsel Jemagut” Ia mulai bicara sambil menunjuk sebuah kubur.
Tak ada salib di sana. Hanya gundukan tanah yang berada dalam topangan batu tersusun
sebagai penunjuk bahwa itu adalah kubur.
“Siapa dia?”
Ayah tak bisa menyembunyikan wajah
heran walaupun secepat kilat ia mengumbar senyum.
“Kakek saya.” jawabnya singkat. Aku
menepuk jidat. Leluhurku sendiri. Tapi ayah sendiri tak mengetahui dia. Ketika
ayah lahir, kakeknya itu sudah meninggal. Dulu ketika dia kecil, ayahnya
menunjukkan kuburan itu. Ketika aku masih kecil, ayah hanya menceritakan
tentang ayahnya yakni kakekku. Sedangkan kakeknya tak pernah diceritakan.
“Di sekitar sini, semuanya keluarga
kita. Di sana, adik dari kakek kamu. Ini kubur nenek saya.” jelas ayah sambil menunjuk semua
kubur-kubur itu satu per satu yang terletak di samping kubur kakek dan nenek. Tak ada lagi penanda di situ. Salib hanya ada
di kuburan kakek dan nenek walaupun tulisan namanya sudah mulai luntur.
“Tolong nyalakan lilin di sana sebelum
kita berdoa.”
2
Ayah memperhatikanku saat menyalakan lilin. Ya, di
usianya sekarang, kelopak matanya kian menggantung. Kulit pipinya mengendur.
Kernyitan dahi makin berlapis-lapis.
“Ah sial!” ujarku setelah berkali-kali lilin yang
dinyalakan mati tertiup angin. “Kita langsung berdoa saja. Tanpa harus nyala
lilin.”
“Tak baik kalau berdoa tanpa nyala lilin dan apalagi
kalau mati selagi berdoa. Kita harus menunggu dengan sabar sampai cahaya lilin
cukup tenang dan stabil, baru mulai berdoa.” ucapannya kedengaran amat
konservatif.
“Sama saja. Angin akan mematikannya kembali.” jawabku
dengan gusar.
“Tidak. Semakin malam tempat ini akan semakin tenang.”
Ia lalu berjalan menjauhiku. Kulihat dia mencari tempat
yang nyaman untuk duduk, menunggu ketenangan sore itu. Aku menyusulinya. Kami
berdua duduk bersampingan di atas sebuah batang kayu besar yang terbaring di
salah satu sudut kuburan itu.
3
Kegelapan memangsa tempat itu lebih cepat. Rimbunan dedaunan pohon-pohon
sepelukan orang dewasa di situ seakan tak merelakan berkas-berkas cahaya
mentari sore memanasi tubuh kaku yang
terbaring di sana.
“Kuburan siapa itu?” Aku mulai membuka percakapan saat
bola mata ayah sedang menyelidiki sekeliling tempat itu.
“Yang mana?”
“Di sana. ” Kutunjuk sebuah kuburan yang terbuat dari
semen. Ada salib. Lumayan berjarak untuk langsung membaca nama yang tertera di
salib. Tanaman liar juga sudah mulai menodai pemandangan kuburan yang terkesan
berkelas di antara kubur-kubur yang ada.
“Rofina Jedina. Kuburannya yang paling baru di sini. Dia
meninggal dua tahun lalu.”
“Dua tahun lalu?” tanya saya heran. “Kuburannya seakan
tak pernah dikunjungi.”
“Iya. Dia orang baik. Usianya sudah 90 tahun saat meninggal. Dulu ia dikenal dukun
beranak. Banyak proses persalinan yang ia bantu. Makanya ketika dia meninggal,
kami mengumpulkan uang untuk membeli semen dan pasir. Bentuk ucapan terima
kasih kepada dia.”
“Ternyata orang berjasa sekali. Tapi sangat disayangkan
kuburnya tak terawat. Mungkin karena letak kampung ini jauh dari kampung.” Aku
berusaha memahami keadaan itu.
“Nanti kita bersihkan!” kata ayah seraya mengedipkan
matanya. “Tapi bukan karena letaknya di sini, makanya tak dikunjungi.”
“Lalu kenapa?”
“Begitulah kalau orang meninggal. Empat puluh hari
pertama, kuburannya masih terlihat lelehan lilin yang membeku, berseliweran di
atas kuburan. Setahun pertama, sudah mulai berkurang. Dua tahun berikutnya, semakin
berkurang. Lalu sesekali kalau diingat, orang akan berdoa dan mengingatnya. Dan
pada akhirnya, setelah generasinya lenyap, dia akan dilupakan sama sekali.
Semua kita akan alami tahapan yang sama.”
Aku terdiam sejenak merenung penjelasan ayah.
“Ayo kita mulai berdoa.”ujarnya sambil berjalan ke arah
kuburan leluhur kami. Kami menyalakan lilin. Mulai berdoa. Berkas-berkas cahaya
dari lilin-lilin itu semakin lama semakin terang saat kegelapan semakin pekat.
Kulihat wajahnya tampak khusyuk berdoa dan amat tenang.
Sementara aku tak bisa berdoa. Ketakutan mulai mencekamku. Bukan saja ketakutan
akan tempat yang menyeramkan itu, tapi juga ada keterserakan kehampaan yang
terbaring di sana. Di antara kuburan-kuburan itu.
4
Sore itu tak bisa kulupa. Pasalnya itulah percakapan yang cukup intens
dengan ayah sebelum keesokan harinya aku harus kembali ke tempat perantauanku.
Jadwal cutiku telah usai. Sepanjang perjalanan kembali dari liburan itu,
pikiranku disesaki oleh tugas-tugas di kantor.
Juga kurenung-renung tentang
kehidupanku di Jakarta. Bangun harus pagi-pagi dan pulang menjelang tengah
malam. Di awal bulan menerima gaji, berpikir seirit mungkin agar bisa
mengkredit rumah, dan menyekolahkan anak-anak. Lalu berpikir tentang masa tua.
Sebisa mungkin dapat menjalani usia tua dalam kemampanan.
Lalu kalau aku meninggal? Aku tiba-tiba bertanya berpikir
tentang kematianku. Hanya satu jawabannya. Aku dikuburkan. Aku akan didoakan.
Setahun pertama, begitu banyak orang yang masih mengingatku dalam doa mereka.
Tentu anak-anakku, teman-teman, dan keluarga besarku. Tahun kedua, semakin
berkurang. Dan tahun-tahun selanjutnya tibalah pada fase yang sama, yakni
dihapus dari ingatan zaman bak debu yang dikebas oleh tiupan angin, menghilang
entah kemana.
Ya, hidup memang kehampaan, gumanku. Saat itu aku hendak
memaki diriku. Rasanya apapun yang kulakukan di bawah kolong langit ini
hanyalah kesia-siaan belaka.
5
Belum genap setahun kembali dari liburan, aku jatuh
sakit. Botol infus sudah beberapa kali diganti selama seminggu dalam masa
perawatan di rumah sakit. Keluarga datang menjenguk. Teman-teman silih berganti
tiap saat. Mereka menghiburku dan berdoa agar aku lekas sembuh.
Pada saat itulah datanglah berita yang menyedihkan dalam
hidupku. Ayah menghembus nafas terakhir pada suatu malam. Diceritakan oleh
keluarga, ketika itu, ia baru pulang
dari hutan, lalu mandi dan istirahat sekaligus meminta untuk dibangunkan kalau
jam makan malam. Ketika dibangunkan, ia ternyata telah merenggangkan nyawa.
Berita itu membuatku batinku terkoyak. Amat perih rasanya
di dada saat orang kucintai harus pergi saat kondisiku tidak memungkinkan untuk
menghadiri acara penguburannya.
Dalam kondisiku yang lemah, kubayangkan ayah dikuburkan dekat leluhurnya.
Dan benakku terisi gambaran-gambaran mengerikan tentang perkuburan itu. Empat
puluh hari pertama, keluarga masih menjenguk dan mendoakannya di sana. Namun
suasana kuburan itu menakutkan mereka untuk senantiasa mengingatnya dan
mengunjunginya. Dan seterusnya akan mengikuti fase yang sama untuk semua
kehidupan manusia.
Saat kondisiku pulih, aku kembali sibuk dengan
pekerjaanku. Setiap malam aku mengingatnya dalam doaku. Besar harapanku, jadwal
cutiku segera tiba, biar aku kembali ke kampung, berdoa, sekaligus membersihkan
kuburannya.
Tibalah giliran cuti. Aku pulang. Ini saat yang tepat
untuk meluapkan nada-nada kesedihan yang masih tersesat dalam rongga-rongga
dada. Nada-nada kesedihan itu selalu bergema di kala aku sendirian yang membuat
hatiku piluh.
6
Segera pada sore hari pada hari tiba di kampung, aku
pergi ke perkuburan itu. Senter, lilin, dan parang sudah kupersiapkan. Mentari
sore yang cukup ramah seakan tak ingin menambah kerunyaman suasana hatiku.
Ketika hendak tiba dekat perkuburan itu, aku tak dapat
menahan haru. Air mata jatuh berlinang, mengucur deras membasahi pipi, dan
kenangan masa kecil bersamanya meremukkan batinku yang membuat aku serasa tak
kuat lagi berjalan melewati jalan setapak itu.
Namun, aku lekas diam sejenak, menghentikan langkahku.
Ada yang suara aneh dari arah perkuburan. Ada orang bercakap-cakap. Kucoba
terus berlangkah dan melupakan kesedihanku sejenak.
Aku hampir terperanjat saat memasuki kawasan perkuburan
itu. Rapi dan bersih. Tak ada lagi semak belukar. Rerumputan liar juga tak
tampak. Sementara beberapa orang di sana kelihatan sibuk memagari kawasan
perkuburan itu.
Mataku langsung mencari kuburan yang baru di antara
kuburan para leluhur. Aku melihat sebuah kuburan semen di sana. Lelehan lilin
yang membeku tampak jelas dari kejauhan, berseliweran di atas kuburnya.
“Hey kapan pulang?” seorang warga kampung langsung
menegurku sebelum aku menghampiri kuburan ayah.
“Saya baru saja tiba tadi siang.” Ia tersenyum dan
berteriak memanggil yang lain. Mereka semua untuk datang menyalamiku.
“Semuanya di sini sudah berubah.” kata salah seorang
dengan wajah sumringah. Dia rupanya membaca raut wajah keherananku. “Entah
dimulai kapan, sebelum meninggal ayahmu selalu datang ke sini sendirian. Dia
mulai membersihkan kubur-kubur di sini dan senantiasa membakar lilin hampir semua
kuburan yang ada di sini.”
Aku tak tahan menahan air mata. Mereka diam sejenak.
“Ya semenjak dia meninggal, kami sadar akan kebaikan yang
ia rintis sudah seharusnya diteruskan dan diabadikan. Makanya sejak itu, kami
selalu datang berdoa di sini dan merawat kuburan-kuburan ini.”
Lalu aku dipersilakan ke kubur ayahku. Bunga-bunga
bercorak kuning keemasan ditanam membentuk bingkai yang mengeliling kuburannya.
Di atasnya masih terlihat tumpuhan lelehan lilin yang membukit dan menindih
satu sama lain. Meski belum gelap betul sebagaimana beberapa tahun silam, sore
itu tampak tenang. Aku pun mulai membakar lilin.
Sebelum aku mulai berdoa, aku tertegun dengan tulisan
yang diukir dalam semen di bagian kepala kuburan itu. “HANYA CINTA DAN KEBAIKANLAH YANG ABADI.” Aku lalu
berlutut dan berdoa.
Baguio, 12 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar