Joe dan Imut hahaha |
“Putus cinta
sebenarnya gampang. Putus tapi masih cinta itulah yang sulit.” Status temannya
di facebook diingatnya lagi karena pas
untuk suasana hatinya belakangan ini.
Dia masih cinta. Masih sayang, malah pakai “banget.”
“Masa karena dia kamu seperti ini. Bukan
hanya dia wanita bro! Buka mata lebar-lebar.” Reaksi teman-teman menguatkan
dia. Tidak mempan. Ini yang benar-benar namanya galau.
“Begitulah kalau kalian sudah cinta.”
ujarnya membela. Mereka lantas terdiam. Seolah dunia cinta dunia insan itu
terlalu misteri. Teman-temannya hilang dari dari peredaran bersamanya beberapa
saat. Dia sendirian. Sepi.
Hari-harinya belakangan ibarat aktivitas
seorang detektif. Dikelilingi buku psikologi, ramalan, dan sebagainya. Semuanya
hanya demi satu alasan. Kenapa wanita yang dia cintai itu tiba-tiba diam.
Status yang dulunya pacaran, beberapa minggu lalu berubah menjadi complicated
dan sekarang lajang. Ia semakin tergila-gila memecahkan misteri itu.
Bahkan ada hal yang tergila. Menemui
temannya untuk membuktikan apakah gadis itu masih mempunyai perasaan atau tidak
melalui permainan kartu. “Masih ada.” kata temannya itu. Ia bangkit lagi.
Berusaha lagi. Masih ada harapan untuk jadian lagi.
“berikan aku alasan, kenapa kau
tiba-tiba berubah. Aku hanya butuh
alasan. Biarlah setelahnya kita tetap putus?” rayunya kepada wanita itu.
nadanya sedikit memohon belaskasihan. Wanita terdiam sejenak diseberang
telepon. Hanya desahan nafasnya panjangnya terdengar lembut.
“Tidak kenapa-kenapa.” jawabnya. Dia
semakin linglung. Marah. Tapi lumayan sabar untuk tidak melampiaskannya.
“Cukup ya. Aku mau keluar dengan mama.”
“Tunggu ...” telepon sudah mati. Kejam,
ujarnya dalam hati. Wanita itu seakan tak peduli dengannya. Membiarkannya
menderita tak tidur. Semangat belajarnya hilang total.
Ditunggunya hari esok. Mengirimkan pesan
singkat, apakah dibalas atau tidak. Eh, ternyata dibalas. Semangatnya bangkit
lagi. Diteleponnya.
Tak disangka jawaban itu yang
menyambutnya. Terlalu sayang, tak sempat meluapkan amarah. Hanya menghela nafas
panjang. Jiwa premannya lenyap seketika. Siapa yang tak kenal dia di sekolah?
Semenjak setahun lalu ia menjadi terkenal. Badan kecilnya ternyata berhasil
menumbangkan seorang kakak kelas yang badannya berbentuk karena sering fitness.
Apalagi terkenal karena ikut beladiri.
“nyali di atas segala-galanya.” Itu
prinsipnya. Naik tahta sebagai preman sekolah karena prinsip itu. Namanya
terkenal. Tiap kali jalan, banyak mata yang memperhatikan derap langkahnya. Dia
ibarat negara dimana adik-adik dan teman-teman kelas banyak mencari suaka.
Ternyata galau karena cinta tak mengenal
itu.
Sudah tiga puluh menit, matanya tak bisa
terpenjamkan lagi dalam selimut. Suasana hatinya kacau. Tapi ia masih mampu
menahan jatuhnya air mata.
****
Hati wanita itu ibarat laut yang tak
berdasar. Tak dapat diukur atau ditebak. Kesimpulannya dalam hati. Lalu
bangkit. Melipat selimut. Segera ke dapur.
Ibunya sedang memasak. Mata seorang ibu.
Amat peka.
“Kamu kenapa? Tidak pergi ke sekolah?”
“tidak kenapa-kenapa.” Berusaha
menyembunyikan. tapi ia merasa cukup nyaman dengan pendekatan ibunya. Lalu tak
dirahasiakannya lagi suasana hatinya itu. Ini kali pertamanya bercerita dengan
ibunya.
“Sebenarnya tidak seperti itu. Hati
wanita tetap punya dasar yang dapat diukur.”
“Kenapa?”
“Tanya sama ayahmu. Kenapa aku
tergila-gila dengannya hahahha ”
Ia langsung terpana. Baru disadarinya. Kisah
cinta ayah dan ibunya sedikit mengundang pertanyaan memang. Setidaknya sekarang
ia mengingat gurauan teman-temannya. “Kenapa sih bapa kamu menikah dengan ibu
kamu”. Ia tahu maksudnya. Ayahnya memang
tak hadir pada acara pembagian hidung oleh santo Petrus. Tingginya juga tak
seberapa. Dari penampakkan fisik, agaknya tidak cocok.
Kala itu dia hanya menjawab. “Otak
perempuannya kan ada tiga bagian. Otak fisik, otak logika, dan otak emosional.
Kalau otak fisik, perempuan akan selalu ingin laki-laki yang ganteng karena
pengamatan indera. Kalau otak logika, perempuan akan selalu bilang, ‘suka
laki-laki yang pintar, baik, perhatian, dsbnya. Tapi jangan salah. Yang buat
wanita jatuh cinta, bukan kedua otak itu. keduanya ibarat pintu gerbang saja
untuk jatuh cinta. Tapi tidak mutlak. Yang buat perempuan jatuh cinta adalah
otak emosi. Siapa yang bisa menggerakkan emosinya. Tak ada alasan rasional
untuk itu. Makanya kalau ditanya, ‘kenapa kamu suka sama dia?’ kebanyakan
perempuan yang sudah jatuh cinta, jawabnya begini, ‘tau lagi! Nyaman saja.’’
Aduh tidak tau bagaimana’ dsb.” Mungkin orangtuaku begitu.”
Teman-teman terperangah. Ia puas. Tapi
sebetulnya dia hanya menjawab sekenanya saja. Dia sendiri tak mengerti banyak
bagaimana menggerakkan otak emosi itu.
“Kenapa ibu jatuh cinta sama bapa?”
Ibunya berhenti sejenak dari memasak.
Mengambil kursi. Duduk manis dan mengedarkan senyum lebar.
“Ceritanya agak panjang. Dulu kami teman
semasa SMA. Suatu hari dia Datang ke rumah dengan teman-teman. Awalnya dia
terlihat cuek. Kupikir dia orangnya seperti itu. Diajak ngobrol, aku kaget.
Ngomongnya blak-blakan. Tapi semenjak itu kami dekat. Aku merasa nyaman
dengannya. Bola matanya tak mencurigakan seperti teman-temannya yang lain.”
jelas mamanya. Matanya seolah masih merekam kuat romantisme masa lalu itu.
Apakah wanita suka dicuekin? Apakah
wanita suka laki-laki yang blak-blakan? Kenapa wanita bisa mengetahui apa yang
dirasakan laki-laki? Pertanyaan-pertanyaan sudah mulai tumbuh bak jamur dalam
kepalanya.
“Mam, kenapa mama tahu, kalau
teman-temannya bapa dulu suka dengan mama?”
“hahahhaa...wanita punya pendeksi
perasaan yang kuat. Sepuluh kali lipat dari laki-laki.” Giliran mamanya yang
bikin penasaran kali ini. “wanita tahu, kalau laki-laki ada maunya.”
“Tapi semenjak kami pacaran, tiap hari
aku penasaran sama bapa kamu. Dia tidak seperti pacar mama sebelumnya.
Perhatian tiap saat. Tanya tiap saat. Pokoknya ngatur mama segalanya. Dia super
cuek. Beda. Beda sekali. Kadang kalau mama telpon, dia bilang, ‘ntar yah, aku
lagi belajar.’ Terus lebih gila lagi, kalau datang ke kosnya mama, tidak pernah
sms duluan. Beberapa kali mama malu. Belum mandi. Eh tau-taunya dia udah depan kos.”
Apakah ayahnya tidak sepenuhnya
mencintai ibunya? Kenapa ayahnya bisa secuek itu? pertanyaan itu membuatnya ia
terbang jauh. Raganya mematung saja.
“Hey, kamu masih dengar mama?”
“Iya mama.” Ibunya ketagihan
bercerita. Entah mengapa. Barangkali ia
mau anaknya mengerti tentang wanita.
“Bapamu tak pernah melarang mama. Kalau
aku jalan dengan teman, dia memperbolehkannya. Kukira itu hanya awal-awal saja.
Biasa laki-laki selalu baik di awal masa pacaran. Tapi tidak dengan dia. Konsisten
sikapnya. ”
Diam sejenak.
“Satu lagi. Bapamu tak pernah menanyakan
apa yang saya mau. Eh tau-taunya di ultahku, dia sudah bawa dengan boneka
doraemon. Aku sebenarnya tidak suka. Lalu aku komplain dengan manja. Eh
jawabannya membuatku terkejut. “
“terkejut bagaimana?”
“dia bilang,’aku sengaja memberikan
sesuatu yang bukan kamu suka. Supaya kamu mengerti bagaimana gejolak perasaan
belajar untuk menyukai sesuatu.’”
Tak tahan, keduanya tertawa. Tak
disangka, ayahnya sepandai itu bermain kata.
“Kalau soal bermain kata, bapamu paling
hebat. Satu kali. Dia tiba-tiba bilang, ‘minta nomor mama kamu.’ Dan mama
terkejut. ‘untuk apa?’ enteng saja dia jawab. ‘mau bilang terima kasih karena
sudah melahirkan anak yang manis dan cantik ini.’ Mama tertawa. Dan ketika mau
ngobrol lagi, ternyata dia udah matikan hpnya. Kejam kan? Teganya dia membuat
aku penasaran saat itu.”
Markus tertawa. Hatinya tertegun. Dia
mulai paham. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Sedikit demi sedikit ia mulai
mengoreksi diri. Ia membandingkan dengan kisah orang tuanya. Ada yang salah
yang ia lakukan dengan pacarnya selama ini.
“Mam lanjut masak dulu.” ujarnya. Ia
kembali masuk kamar. Kali ini ia tertidur pulas.
***
Hujan es. Atap rumah seperti diguyur
butiran batu. Amat ribut. Ia terjaga. Melihat jam. Mengusap matanya biar
penglihatan lebih terang. Terperanjat. Hari sudah sore. Ia melewati jam makan
siang. Keluar dari kamar dan tersenyum ketika memasuki ruang tengah.
Di sana seorang pria sedang duduk seolah
tak menyadari kehadirannya. Ia memperhatikannya sejenak. Membaca koran, kepalanya yang kian gersang
untuk pertumbuhan rambut tertunduk melahap halaman demi halaman. Tangannya tak
sekadar sibuk membuka halaman demi halaman koran itu,juga mengatur kacamatanya
yang beberapa kali melorot.
Ia mendehem untuk mencuri perhatiannya.
Ayahnya menoleh. Tersenyum. Kumis lebat dan janggut tebalnya tak serem lagi.
“Mari, duduk di sebelah sini.” Ada yang
aneh. Sepertinya ibunya membocorkan sesuatu.
“Kamu ada pertanyaan?”
Selagi ada kesempatan sebaiknya
dimanfaatkan, pikirnya.
“Apa sih rahasia bapa mendekati mama
dulu?” ia tersenyum cengar-cengir.
Baru kali ini ia bicara dengan ayahnya tentang itu. Pria tua itu tertawa. Barangkali
merasa diri hebat.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Hanya ingin tahu.” Ayahnya diam. Barangkali
ia ingin membongkar lagi file-file lama yang tersimpan di kepalanya. Sejenak
kemudian, ia tersenyum. Ada ide.
“Pernah sekali bapa diajak teman-teman
ke rumahnya. Saat itu, aku hanya berpikir untuk menemani mereka. Semua mereka
menyukainya. Bahkan bertaruh, siapa yang bisa menaklukan hatinya. Dan Kebersamaan kami hanya dihabiskan untuk
menceritakan mamamu. Di sana, di rumahnya, ternyata hanya aku yang bisa
berbicara lepas. Tak ada beban. Sedangkan teman-teman kelihatan aneh hari itu.
Ada yang alim. Ada yang mau kelihatan lucu. Mereka lain dari biasanya. Kikuk
dan berwibawa.”
Markus tak bisa menahan rasa lucu. Ia tertawa.
Ia mulai tahu. Perlunya tampil natural. Tapi itu tidak mudah. Rasanya kalau
depan gadis yang kita suka, tidak bisa seenaknya bertingkah. Takutnya wanita
bisa menjauh, pikirnya.
“Di pikiran ayah, dia adalah teman. Jadi
ayah bicara dengannya seolah-olah bicara dengan teman. Ternyata mamamu merasa
nyaman. Komunikasi berlanjut. Awal-awalnya aku cerewet. Tapi belakangan, ketika
mamamu mulai cerewet, ayah hanya diam. Tanya sedikit dan dengar. Hahaha...”
“Mama cerewet?”
Ayahnya mengintai keadaan sekitar. Bola matanya
memutar cepat.
“Tahu gak kamu kalau semua perempuan
pada dasarnya cerewet?” ujarnya setengah berbisik. Geleng-geleng kepala dan
dahinya mengernyit, pertanda belum yakin.
“Kalau perempuan masih agak alim-alim,
itu hanya awal-awal atau karena kita belum tahu mau-maunya mereka. Sekali kamu
tahu, ibarat menarik pelatuk nak. Dia akan bercerita dan mengejekmu sesukanya.
Rata-rata perempuan suka bercerita. Hanya kita butuh waktu membuat mereka
begitu.”
“hahahaha....Benar juga.” Ia teringat mantan
pacarnya. Awal –awal perkenalan benar-benar susah. “Mat malam” tegurnya. Hanya
dijawab, “jg”. Benar-benar hemat kata. Tapi hanya beberapa minggu setelahnya,
ternyata mantan pacarnya mulai bercerita banyak.
“Jadi pertama buat mereka nyaman. Kalo
ngobrol, anggap saja ngobrol dengan teman sendiri. Lalu sesekali aku gombalin
mama kamu. Pernah dia tanya serius begini, ‘kamu benaran sayang semakin sama
aku?’. Aku hanya jawab, ‘benar, tapi hanya tambah satu persen.’ ‘Kenapa hanya
satu persen?’ ‘yeah, karena sudah 99 persen aku sudah sayang sama kamu. Hanya
butuh satu persen, biar jadi seratus.lebih sempurna.’ Tertawanya ngakak. Selagi
tertawa, aku bilang, ‘jangan tertawa terlalu besar?’’emangnya kenapa?’’
horror!!, mending senyum saja.’’kenapa kalau senyum?’’senyummu manis.’ Dia
ngambek. Tapi ngambek romantis.”
“hahhahahha.....sulit dipercaya...!”
Muka markus memerah karena tertawa.
“Lalu ketika jadian dua prinsip yang aku
percaya. Bahwa kami bisa saja putus kapan saja. Artinya, sejak jadian, aku juga
sudah rela, kalau sesekali waktu nanti dia putuskan hubungan kami berdua.
Ternyata dengan begitu, aku semakin rileks. Tidak membatasinya. Tidak
mengekangnya. Dan dia semakin nyaman dan malah semakin sayang, bahkan takut
kehilanganku. Dia malah yang takut kehilanganku.”
“Ehem...” markus menyela dengan batuk
yang dibuat-buat. Ayahnya diam sejenak.
“Mau dilanjutkan atau tidak?” setengah
mengancam. Wajahnya tetap tersenyum.
“lanjut!”
“Kemudian, aku tidak menjadikan pacarku
sebagai urutan nomor satu. Pertama, kuliah. Kedua, dia. Karena, kalau dia jadi
nomor satu, sejak bangun pagi, aku pasti sudah mulai smsan, dan menyibukkan diri
seharian hanya untuk dia. Mengekangnya dengan pertanyaan bertubi-tubi. Dan itu
membuat wanita cepat bosan. Kalo game di komputer, itu seperti level satu, yang
membuat orang cepat bosan. Karena urusan
kedua, efeknya luar biasa. Dia ternyata penasaran. Kenapa sih, aku
kadang-kadang bilang, ‘aku belajar dulu, ntar baru telpon lagi’. Perempuan kan
suka penasaran. Itu seperti game level 4. Sulit dan orang akan betah, bahkan
lupa waktu.”
“hmph....seperti masih sulit.” Markus
berguman kecil.
“hahahha....sebenarnya tidak sulit.
Asalkan kamu bahagia duluan.”
“Apa hubungannya dengan bahagia?”
“Seorang yang bahagia, sebenarnya punya
daya tarik yang luar biasa. Punya karisma. Melihatnya saja sudah
mempesona. Dan sumber bahagia itu jangan
ditaruh pada wanita. Kenapa? Karena, kalau misalnya, kamu putus sama dia,
seolah-olah kamu jadi tidak bahagia. Seolah-olah kamu hanya bahagia karena dia.
Jadilah laki-laki bahagia, sebelum kamu mengenal dia. Jangan merasa bahwa kamu
hanya bahagia kalau berkenalan atau berpacaran sama wanita .”
“Hey sekarang jam makan malam!”
Keduanya kaget. Ibunya sudah berdiri di
pintu antara ruang tengah dan kamar makan. Lalu mereka beranjak ke ruang makan.
*****
Suasana meja makan seakan ada misteri.
Ia bisa membacanya. Ibunya tersenyum. Ayahnya pun tersenyum.
“sayang! Silakan pimpin doa.” ujar
ibunya. Markus setengah heran. Ayahnya memejamkan mata. Doa dimulai. Amat
khusyuk.
Selama jam makan, ayah dan ibunya
berbagi cerita. Sesekali mereka tertawa. Dia sedikit serius. Gairah makannya
bertambah. Namun kepalanya masih disesaki misteri. Ada pertanyaan yang belum
tertuntaskan. Ia makan cepat-cepat biar ada kesempatan bertukar pikiran lagi
dengan ayahnya.
“Nak, sebentar setelah makan kami berdua
ada keluar.” ujar ayahnya. Perhatiannya berhasil dialihkan sejenak.
“kamu sendirian di sini ya!” lanjut
ibunya.
“Oke.”
Selesai jam makan kedua orang tuanya
bergegas. Beres-beres sebentar, lalu mereka keluar dari pintu depan. Seiring
mereka berjalan, pertanyaan itu kembali datang menghampiri dirinya.
“Apa itu kebahagiaan? Bagaimana jadi
seorang yang bahagia?” tanyanya dalam hati. Rasanya awan-awan masih menutupi
alam pengertiannya tentang itu. (nantikan jawabannya dalam episode tentang
“kebahagiaan”). hahhha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar