Tahun lalu pada suatu siang yang sangat panas, ketika saya dan ayah
naik motor dalam perjalanan kami ke Gua torong Besi di Reo, kami
berhenti sebentar di pinggir jalan, tepat di atas sebuah bukit kecil.
“Kamu
lihat di sana!” dia menunjukkan sebuah hamparan dataran yang cukup
luas, tanah gersang berwarna hitam tanpa tersentuh keindahan hijaunya
pohon atau rumput sekalipun, dan beberapa excavator, forklift, dump
truck, bull dozer yang meraung-raung bak singa kelaparan dan berkeliaran
kesana-kemari.
“Beberapa tahun silam, ketika kita ke
sini, kamu pernah melihat beberapa rumah di sana?” Tiba-tiba saya sadar.
Ya, di situ seharusnya ada beberapa rumah dan beberapa pohon besar yang
memayungi rumah-rumah di situ. Lalu saya pun menganggukkan kepala.
“Semuanya
ini dimulai tahun lalu. Ketika kami lewat, kami melihat banyak orang
berkumpul di sana. Mereka menangis dan berteriak histeris. “
“Kenapa?” Saya mulai penasaran.
Ayah
mulai bercerita. Katanya, seorang lelaki tua yang amat kharismatis
pernah tinggal di sana. Lumayan menakutkan ketika ayah mendeskripsikan
wajah orang tua itu. Berdahi lebar dan janggut putihnya tebal dan
panjang. Bola matanya bak elang, selalu mengunyah sirih pinang. Berjalan
tanpa alas kaki ke mana-mana dan agak pendiam.
Istrinya
sudah lama meninggal. Beberapa anak perempuannya yang sudah menikah
dan tinggal di sekitar tempat itu. Tapi dia lebih memilih tinggal
sendirian di sebuah gubuk kecil dan sederhana. Hanya ada seorang anak
laki-laki. Dua tahun lalu dia merantau ke Malaysia. Beberapa bulan
setelahnya hilang kabar. Di samping keluarganya, lumayan banyak keluarga
yang tinggal di situ.
“Dia amat sangat dihargai di sini”
terang ayah .”Kalau terjadi apa-apa di kampung ini, dia yang selalu
dicari pertama. Begitu juga kalau ada upacara-upacara adat. Dia juga
ditakuti. Kalau dia marah seseorang, ada kejadian aneh yang akan menimpa
orang itu.”
Dari cerita ayah, ada satu hal yang membuat
dia sangat spesial bagi saya. Ia seolah-olah percaya bahwa semua hal di
kampung itu seperti dihuni oleh makluk halus. Pohon, sumber air,
tempat-tempat tertentu di sini seolah-seolah berpenghuni. Pada
bulan-bulan tertentu, dia memberikan tugas kepada orang-orang di kampung
untuk mengantarkan sesajian ke tempat-tempat itu.
“Semua
orang hampir berkepercayaan yang sama. Jangankan menebang pohon
sembarangan, melewati tempat-tempat tertentu saja orang takut.” terang
ayah. “positifnya, semua orang melihat pohon-pohon dan mata air di sini
seolah-seolah ada pribadi di dalamnya yang harus dihormati.”
****
Cerita itu kemudian mulai berubah.
“Semenjak
dua tahun lalu, dia sakit-sakitan. Hanya bisa berbaring lemas di atas
tempat tidur. Anak-anak perempuannya, termasuk beberapa warga di kampung
ini berganti-gantian merawat dan menjenguknya tiap hari.”
Ayah berhenti sejenak untuk membakar sebatang rokok. Ketika dia diam, saya coba menyergapnya dengan pertanyaan.
“Dia sudah meninggal ayah?”
“Tunggu sebentar!” jawabnya menghembuskan gumpalan asap yang mendupai kumisnya yang tebal.
“Pada
suatu hari, kondisinya semakin parah. Kehilangan kesadaran membuat dia
seperti orang gila. Kira-kira hampir seminggu lamanya. Pada saat itulah
beberapa orang asing ke sini, bernegosiasi tentang lokasi tambang.
Mungkin karena tak ada orang yang bisa dimintai pendapat, akhirnya
diterima begitu saja.”
Setelah perjanjian itu, tahap awal
dimulai. Beberapa karyawan mulai datang ke sini. Namun anehnya, kata
ayah, orang tua itu mulai sembuh.Dari hari ke hari dia semakin bisa
tersenyum, berbicara, dan mengenali semua orang yang menjenguknya. Hanya
satu hal yang sering dia bicarakan setiap kali dikunjungi. “Ada kabar
dari Marsel” Nama anak laki-laki satu-satunya itu selalu disebutkannya
tiap saat. Semua orang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Setiap
kali melihat respon seperti itu, matanya menjadi berkaca-kaca. Tak lama
kemudian, air matanya jatuh perlahan-lahan.
Semua orang
menjadi khawatir ketika dia mulai sehat. “Jangan-jangan dia akan marah
kalau melihat apa yang baru terjadi di sini.” ujar ayah dengan suara
yang seolah-olah menghidupkan kembali suasana orang-orang saat itu.
“Untunglah dia belum bisa jalan-jalan keluar rumah saat itu.
“Pada
suatu kesempatan, ia mengumpulkan semua anak-anak, menantu, cucu, dan
beberapa warga kampung. Saat itulah orang mulai cemas.”
“Dia mengetahui apa yang terjadi?” saya memotong ayah, tak sabar dengan cerita itu.
“Bukan.
Dia hanya menyampaikan suatu permintaan. Katanya, ‘tolong carikan
informasi tentang anak laki-laki satu-satunya.’ Dan permintaan itu amat
bersyarat.”
“Bersyarat?”
“Iya. kalau anaknya
itu sudah tidak ada kabar lagi, dia akan menunjukkan kepada mereka
dimana ia seharusnya dikuburkan kalau meninggal. Entahlah kenapa ia
berbicara begitu. Kalau misalnya, anaknya masih hidup, soal itu biar
Marsel yang memutuskan.” jelas ayah sambil mengernyitkan dahinya.
Semenjak
itu, ketakutan mulai menyebar di antara anak-anak, menantu, dan
penduduk di sini. Mereka mencari cara agar dia tidak boleh keluar rumah
dan mengetahui apa yang terjadi. Lalu suatu ketika, salah seorang yang
sedang mengobservasi lokasi tambang didatangkan ke sana dan
menjenguknya.
Dalam skenario mereka, ia adalah penjual
pakaian yang berjalan dari kampung ke kampung. Dulu dia pernah di
Malaysia dan bertemu dengan anaknya. Lalu muncullah cerita bahwa dulu hp-nya
hilang dan mereka bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit yang agak
jauh dari kota. Itulah penyebab dia tiba-tiba hilang kabar.
“wajah
orang tua itu berseri-seri ketika mendengar kabar anaknya.” Ayah
melototi saya seolah-olah ia memahami perasaan orang tua itu. “ Namun
pada saat yang sama anak-anak perempuannya ketakutan. Mereka telah
memberikan kebahagiaan palsu kepada orang tuanya.”
Kemudian
informasi itu diteguhkan dengan penipuan selanjutnya. Sangat lincah
ayah menghidupkan suasana itu dengan nada suaranya yang rendah dan
sunggingan bibirnya yang menyindir komplotan orang-orang itu.
“Ada
sms dari Marsel. Katanya, ayah tidak usah jalan-jalan. Banyak-banyak
istirahat. Tahun depan dia akan pulang.” jelas ayah menirukan ucapan
mereka. Dan orang tua yang tak tahu menahu perkembangan teknologi dan
kemajuan zaman itu pun, hanya bisa tersenyum puas setiap kali mendengar
nama anaknya disebut.
****
Beberapa
hari awal, orang tua itu masih tampak bersemangat setiap kali mendengar
nama anaknya. Namun, itu tidak bertahan cukup lama. Beberapa minggu
kemudian, ia kelihatan tak antusias. Tak banyak bicara lagi. Lesuh.
Sampailah
pada suatu hari. Dia tiba-tiba berjalan keluar dari rumah itu. Jalannya
pelan seakan-akan menghitung setiap langkahnya. Dan dia berjalan ke
arah lokasi tambang. Semua orang terkejut. Tak ada yang menyangka hal
itu terjadi.
Orang hanya menyaksikan dari dalam rumah
ketika dia melewati tanah lapang di tengah kampung itu. Tak ada yang
berani menghampirinya. Saling menyalahkan satu sama lain mulai terjadi
karena kelengahan mereka menjaganya.
“Kamu tahu, apa yang
membuat mereka amat kejam dengan orang tua itu?” tiba-tiba ayah
melemparkan pertanyaan itu di tengah ceritanya. Saya hanya bisa tertawa.
Ayah tetap serius.
“Di sana dia melihat pekerja yang
mengaku teman anaknya di Malaysia sedang menggali tanah dengan beberapa
karyawan di situ. Dan itu adalah tanah warisan anaknya di Malaysia.
Dijual oleh anak-anak mantunya.”
Saya cukup terperanjat mendengarnya.
“Lalu dia marah?”
“Tidak.
Dia diam saja. Itulah yang menjadi keheranan orang-orang. Lalu ia
pulang ke rumah. Malam itu tak ada yang berani menjenguknya. Semua takut
dimarahi.Keesokkan harinya, pada hari kami melewati tempat ini tahun
lalu, teriakan histeris seorang anak kecil dari rumah itu mengejutkan
semua orang di sini. Mereka berlari ke sana, mengerumuni tempat itu.
Hampir tak mempercayai apa yang mereka lihat. Tempat tidurnya bersimbah
darah. Kedua urat nadi tangannya terputus. Matanya membelalak.
Janggutnya yang panjang terlihat layu. Dingin. Saat itulah ia
meninggal.”
“Kenapa bisa setragis itu?”
“Mungkin itulah cara terbaiknya untuk memprotes kehilangan semua wibawa yang dia miliki.” jelas ayah sekenanya.
****
Menurut
ayah, apa yang terjadi setelah itu menakutkan. Roh-Roh halus yang
menghuni di tempat itu, seolah-olah mencari tempat hunian baru. Bukan
lagi di pohon-pohon, mata air, atau tempat-tempat tertentu. Dan kali ini
roh-roh itu benar-benar lebih menakutkan penduduk di sana daripada
sebelumnya. Mereka seolah-olah diusir satu per satu dari tempat itu.
Seiring dengan berpindahnya mereka dari tempat itu,semakin luaslah areal
tambang di sana.
“Ayah, roh-rohnya pindah kemana? Kok,
roh-roh itu tidak mengganggu para pekerja tambang di sini?” tanya saya
polos setelah mendengar penjelasannya.
“Daripada ngomong
lagi soal itu, mending kita lanjutkan perjalanan ke Gua Maria.” Ayah
menyalipkan jari telunjuknya di depan bibir vertikalnya sambil
mengedipkan mata kirinya. Sementara kepala saya masih dikerumuni
sejumlah pertanyaan tanpa sedikit pun terlintas suatu pengertian.
Beberapa
saat kemudian kami tiba di Gua Maria di Torong Besi. Sebelum berdoa,
ayah mengajak saya untuk membersihkan sekeliling gua itu. Saya berusaha
menyingkirkan semua cairan lilin yang membeku dan merembes di bawah kaki
Patung Bunda Maria.
Di situ ada sebuah kotak. Saya
mengangkatnya sebentar. Mata saya langsung membelalak ketika melihat
isinya. Beberapa lembaran uang seratus ribuan ada di dalamnya.
“Ayah coba lihat ini!”
Ayah mendekat dan tersenyum. Saya mulai mengerti apa yang ayah maksudkan.
“Mungkinkah
setan-setan itu pindah dalam benda ini?” tanya saya dalam hati sambil
saya melebarkan retina mata melihat uang-uang itu.
Membeli Cinta
-
Di sebuah daerah tinggalah seorang saudagar yang kaya raya. Dia mempunyai
seorang hamba yang sangat lugu. Begitu lugunya, hingga orang memanggilnya
“si bo...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar