Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Setan?

Tahun lalu pada suatu siang yang sangat panas, ketika saya dan ayah naik motor dalam perjalanan kami ke Gua torong Besi di Reo, kami berhenti sebentar di pinggir jalan, tepat di atas sebuah bukit kecil.

“Kamu lihat di sana!” dia menunjukkan sebuah hamparan dataran yang cukup luas, tanah gersang berwarna hitam tanpa tersentuh keindahan hijaunya pohon atau rumput sekalipun, dan beberapa excavator, forklift, dump truck, bull dozer yang meraung-raung bak singa kelaparan dan berkeliaran kesana-kemari.


“Beberapa tahun silam, ketika kita ke sini, kamu pernah melihat beberapa rumah di sana?” Tiba-tiba saya sadar. Ya, di situ seharusnya ada beberapa rumah dan beberapa pohon besar yang memayungi rumah-rumah di situ. Lalu saya pun menganggukkan kepala.

“Semuanya ini dimulai tahun lalu. Ketika kami lewat, kami melihat banyak orang berkumpul di sana. Mereka menangis dan berteriak histeris. “

“Kenapa?” Saya mulai penasaran.

Ayah mulai bercerita. Katanya, seorang lelaki tua yang amat kharismatis pernah tinggal di sana. Lumayan menakutkan ketika ayah mendeskripsikan wajah orang tua itu. Berdahi lebar dan janggut putihnya tebal dan panjang. Bola matanya bak elang, selalu mengunyah sirih pinang. Berjalan tanpa alas kaki ke mana-mana dan agak pendiam.

Istrinya sudah lama meninggal. Beberapa anak perempuannya  yang  sudah menikah dan tinggal di sekitar tempat itu. Tapi dia lebih memilih tinggal sendirian di sebuah gubuk kecil dan sederhana. Hanya ada seorang anak laki-laki. Dua tahun lalu dia merantau ke Malaysia. Beberapa bulan setelahnya hilang kabar. Di samping keluarganya, lumayan banyak keluarga yang tinggal di situ.

“Dia amat sangat dihargai di sini” terang ayah .”Kalau terjadi apa-apa di kampung ini, dia yang selalu dicari pertama. Begitu juga kalau ada upacara-upacara adat. Dia juga ditakuti. Kalau dia marah seseorang, ada kejadian aneh yang akan menimpa orang itu.”

Dari cerita ayah, ada satu hal yang membuat dia sangat spesial bagi saya. Ia seolah-olah percaya bahwa semua hal di kampung itu seperti dihuni oleh makluk halus. Pohon, sumber air, tempat-tempat tertentu di sini seolah-seolah berpenghuni. Pada bulan-bulan tertentu, dia memberikan tugas kepada orang-orang di kampung untuk mengantarkan sesajian ke tempat-tempat itu.

“Semua orang hampir berkepercayaan yang sama. Jangankan menebang pohon sembarangan, melewati tempat-tempat tertentu saja orang takut.” terang ayah. “positifnya, semua orang melihat pohon-pohon dan mata air di sini seolah-seolah ada pribadi di dalamnya yang harus dihormati.”

                                                                            ****

Cerita itu kemudian mulai berubah.

“Semenjak dua tahun lalu, dia sakit-sakitan. Hanya bisa berbaring lemas di atas tempat tidur. Anak-anak perempuannya, termasuk beberapa warga di kampung ini berganti-gantian merawat dan menjenguknya tiap hari.”

Ayah berhenti sejenak untuk membakar sebatang rokok. Ketika dia diam, saya coba menyergapnya dengan pertanyaan.

“Dia sudah meninggal ayah?”

“Tunggu sebentar!” jawabnya menghembuskan gumpalan asap yang mendupai kumisnya yang tebal.

“Pada suatu hari, kondisinya semakin parah. Kehilangan kesadaran membuat dia seperti orang gila. Kira-kira hampir seminggu lamanya. Pada saat itulah beberapa orang asing ke sini, bernegosiasi tentang lokasi tambang. Mungkin karena tak ada orang yang bisa dimintai pendapat, akhirnya diterima begitu saja.”

Setelah perjanjian itu, tahap awal dimulai. Beberapa karyawan mulai datang ke sini. Namun anehnya, kata ayah, orang tua itu mulai sembuh.Dari hari ke hari dia semakin bisa tersenyum, berbicara, dan mengenali semua orang yang menjenguknya. Hanya satu hal yang sering dia bicarakan setiap kali dikunjungi. “Ada kabar dari Marsel” Nama anak laki-laki satu-satunya itu selalu disebutkannya tiap saat. Semua orang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Setiap kali melihat respon seperti itu, matanya menjadi berkaca-kaca. Tak lama kemudian, air matanya jatuh perlahan-lahan.

Semua orang menjadi khawatir ketika dia mulai sehat.  “Jangan-jangan dia  akan marah kalau melihat apa yang baru terjadi di sini.” ujar ayah dengan suara yang seolah-olah menghidupkan kembali suasana orang-orang saat itu. “Untunglah dia belum bisa jalan-jalan keluar rumah saat itu.

“Pada suatu kesempatan, ia mengumpulkan semua anak-anak, menantu, cucu, dan beberapa warga kampung. Saat itulah orang mulai cemas.”

“Dia mengetahui apa yang terjadi?” saya memotong ayah, tak sabar dengan cerita itu.

“Bukan. Dia hanya menyampaikan suatu permintaan. Katanya, ‘tolong carikan informasi tentang anak laki-laki satu-satunya.’ Dan permintaan itu amat bersyarat.”

“Bersyarat?”

“Iya. kalau anaknya itu sudah tidak ada kabar lagi, dia akan menunjukkan kepada mereka dimana ia seharusnya dikuburkan kalau meninggal. Entahlah kenapa ia berbicara begitu. Kalau misalnya, anaknya masih hidup, soal itu biar Marsel yang memutuskan.” jelas ayah sambil mengernyitkan dahinya.

Semenjak itu, ketakutan mulai menyebar di antara anak-anak, menantu, dan penduduk di sini. Mereka mencari cara agar dia tidak boleh keluar rumah dan mengetahui apa yang terjadi. Lalu suatu ketika, salah seorang yang sedang mengobservasi lokasi tambang didatangkan ke sana dan menjenguknya.

Dalam skenario mereka, ia adalah penjual pakaian yang berjalan dari kampung ke kampung. Dulu dia pernah di Malaysia dan bertemu dengan anaknya. Lalu muncullah cerita bahwa dulu hp-nya hilang dan mereka bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit yang agak jauh dari kota. Itulah penyebab dia tiba-tiba hilang kabar.

“wajah orang tua itu berseri-seri ketika mendengar kabar anaknya.” Ayah melototi saya seolah-olah ia memahami perasaan orang tua itu.  “ Namun pada saat yang sama anak-anak perempuannya ketakutan. Mereka telah memberikan kebahagiaan palsu kepada orang tuanya.”

Kemudian informasi itu diteguhkan dengan penipuan selanjutnya. Sangat lincah ayah menghidupkan suasana itu dengan nada suaranya yang rendah dan sunggingan bibirnya yang menyindir komplotan orang-orang itu.

“Ada sms dari Marsel. Katanya, ayah tidak usah jalan-jalan. Banyak-banyak istirahat. Tahun depan dia akan pulang.” jelas ayah menirukan ucapan mereka. Dan orang tua yang tak tahu menahu perkembangan teknologi dan kemajuan zaman itu pun, hanya bisa tersenyum puas setiap kali mendengar nama anaknya disebut.

                                                                      ****

Beberapa hari awal, orang tua itu masih tampak bersemangat setiap kali mendengar nama anaknya. Namun, itu tidak bertahan cukup lama. Beberapa minggu kemudian, ia kelihatan tak antusias. Tak banyak bicara lagi. Lesuh.
Sampailah pada suatu hari. Dia tiba-tiba berjalan keluar dari rumah itu. Jalannya pelan seakan-akan menghitung setiap langkahnya. Dan dia berjalan ke arah lokasi tambang. Semua orang terkejut. Tak ada yang menyangka hal itu terjadi.

Orang hanya menyaksikan dari dalam rumah ketika dia melewati tanah lapang di tengah kampung itu. Tak ada yang berani  menghampirinya. Saling menyalahkan satu sama lain mulai terjadi karena kelengahan mereka menjaganya.

“Kamu tahu, apa yang membuat mereka amat kejam dengan orang tua itu?” tiba-tiba ayah melemparkan pertanyaan itu di tengah ceritanya. Saya hanya bisa tertawa. Ayah tetap serius.

“Di sana dia melihat pekerja yang mengaku teman anaknya di Malaysia sedang menggali tanah dengan beberapa karyawan di situ. Dan itu adalah tanah warisan anaknya di Malaysia. Dijual oleh anak-anak mantunya.”

Saya cukup terperanjat mendengarnya.

“Lalu dia marah?”

“Tidak. Dia diam saja. Itulah yang menjadi keheranan orang-orang. Lalu ia pulang ke rumah. Malam itu tak ada yang berani menjenguknya. Semua takut dimarahi.Keesokkan harinya, pada hari kami melewati tempat ini tahun lalu, teriakan histeris seorang anak kecil dari rumah itu mengejutkan semua orang di sini. Mereka berlari ke sana, mengerumuni tempat itu. Hampir tak mempercayai apa yang mereka lihat. Tempat tidurnya bersimbah darah. Kedua urat nadi tangannya terputus.  Matanya membelalak. Janggutnya yang panjang terlihat layu. Dingin. Saat itulah ia meninggal.”

“Kenapa bisa setragis itu?”

“Mungkin itulah cara terbaiknya untuk memprotes kehilangan semua wibawa yang dia miliki.” jelas ayah sekenanya.

                                                                   ****

Menurut ayah, apa yang terjadi setelah itu menakutkan. Roh-Roh halus yang menghuni di tempat itu, seolah-olah mencari tempat hunian baru. Bukan lagi di pohon-pohon, mata air, atau tempat-tempat tertentu. Dan kali ini roh-roh itu benar-benar lebih menakutkan penduduk di sana daripada sebelumnya. Mereka seolah-olah diusir satu per satu dari tempat itu. Seiring dengan berpindahnya mereka dari tempat itu,semakin luaslah areal tambang di sana.

“Ayah, roh-rohnya pindah kemana? Kok, roh-roh itu tidak mengganggu para pekerja tambang di sini?”  tanya saya polos setelah mendengar penjelasannya.

 “Daripada ngomong lagi soal itu, mending kita lanjutkan perjalanan ke Gua Maria.” Ayah menyalipkan jari telunjuknya di depan bibir vertikalnya sambil mengedipkan mata kirinya. Sementara kepala saya masih dikerumuni sejumlah pertanyaan tanpa sedikit pun terlintas suatu pengertian.

Beberapa saat kemudian kami tiba di Gua Maria di Torong Besi. Sebelum berdoa, ayah mengajak saya untuk membersihkan sekeliling gua itu. Saya berusaha menyingkirkan semua cairan lilin yang membeku dan merembes di bawah kaki Patung Bunda Maria.

Di situ ada sebuah kotak. Saya mengangkatnya sebentar. Mata saya langsung membelalak ketika melihat isinya. Beberapa lembaran uang seratus ribuan ada di dalamnya.

“Ayah coba lihat ini!”

Ayah mendekat dan tersenyum. Saya mulai mengerti apa yang ayah maksudkan.

“Mungkinkah setan-setan itu pindah dalam benda ini?” tanya saya dalam hati sambil saya melebarkan retina mata melihat uang-uang itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text