“Belikan lima bungkus rokok! Berikan itu pada ema de’laus!”. Intonasi
suara yang keras dan kasar. Suara ayah yang tidak seperti biasanya
kudengar sehari-hari. Sembari ia tak sungkan-sungkan mengeluarkan
selembar uang lima puluh ribuan. Bukankah itu aneh bagi orang yang penuh
perhitungan seperti ayah? Aku mulai bertanya-tanya. Apalagi ia menyebut
nama ema de’ Laus.
Aku mulai mengenal nama ema de’Laus
semenjak belum duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu kami bermain di
halaman kampung. Bentuk kampung kami seperti lingkaran. Rumah-rumah
seperti berada pada garis lingkaran, dengan pintu menghadap ke bagian
dalam, menghadap sebuah titik di tengah lingkaran itu. Yang disebut
halaman kampung adalah tempat bagian dalam itu.
Setiap sore ketika wajar mulai menyingsing, ibu-ibu kerap memanggil kami pulang. “Nana
pulang!”. Itu sebutan hangat di kampung kami untuk anak-anak. Saking
asyiknya kami bermain, kadang-kadang kami tak menggubris seruan para
ibu. Tapi kami tiba-tiba berhamburan pulang menuju rumah masing-masing
ketika seorang ibu, berteriak, “ema d’Laus sebentar lagi lewat.”
Sosok
ema d’laus memang menakutkan. Menjelang malam dia selalu lewat di
tengah kampung, entah pulang darimana. Dia tinggal sendirian di sebuah
gubuk agak jauh dari kampung, dekat kuburan umum. Berjanggut, selalu
tidak memakai alas kaki, badannya besar, mengenakan sarung, dan selalu
berjalan menunduk. Aku biasanya memperhatikannya dia dari dalam lubang
kunci pintu rumah.
Di kampung kami selalu diceritakan oleh
orang tua kalau ema d’laus mempunyai kesaktian tinggi. Ia berilmu
hitam, makanya sangat ditakuti. Parang dan api rupanya tidak mempan
untuk membunuhnya. Diceritakan pula, ia memiliki isteri seorang makhluk
halus, makanya ia tidak mempunyai seorang isteri manusia.
Meski cerita yang selalu ditonjolkan adalah gambaran keburukannya, namun
lelaki dewasa di kampung amat menghargainya.
Konon
diceritakan, ema d’Laus mempunyai kesaktian dalam menahan hujan. Sekitar
bulan November sampai Maret musim hujan berlangsung. Butiran air hujan
mengguyur lebat bulan-bulan itu. Akan tetapi, dalam kurun waktu yang
sama banyak diselenggarakan pesta pernikahan. Kemah dibuatkan di halaman
kampung. Orang rindu bergoyang ria dalam alunan musik. Namun setiap
orang merindukan pesta selagi kering sehingga tamu undangan dapat hadir.
Di saat itulah ema d’laus tampil sebagai penyelamat.
Pemilik
pesta cukup hanya mengantarkan tiga hingga lima ke bungkus ke gubuk ema
d’ laus yang terletak di atas bukit, hujan tidak akan turun selama
pesta berlangsung. Ema de’Laus dari sore sampai pagi, akan merokok
tiada henti-hentinya. Habis sebatang, dia membakar satunya lagi. Begitu
seterusnya hingga pesta usai di pagi hari.
Kata
orang-orang di kampung, sembari merokok dia mulutnya berkomat-kamit
membaca mantra. Dia selalu mendeteksi arah dari mana datangnya hujan.
Jika dari sebelah timur kampung, dia akan menghembuskan asap rokok ke
arah timur. Demikian pun jika dari barat, utara dan selatan. Tetapi dia
selalu menghembuskan ke arah langit.
Kesaktiannya itulah
yang membawa berkah. Pasalnya, hujan tidak sedikitpun menyentuh kampung
kami. Meski langit di sore hari begitu mendung, di kampung sebelah
kelihatan sedang diguyur hujan deras, orang-orang kampung selalu
berkata, “hujan tidak bakalan sampai sini.” Dan memang betul demikian.
Seusai pesta banyak orang bercerita tentang kehebatan ema de’ Laus. “
Hebat ema de’Laus!”. Begitu biasa terdengar cerita dari mulut ke mulut.
***
Aku
sendiri sebetulnya belum pernah bertatapan langsung ema de’ Laus.
Bertemu dengannya seolah-olah membutuhkan keberanian yang cukup.
Digambarkan orang-orang, tatapannya tajam menyelidiki bak elang,
suaranya keras menggelegar menakutkan, dan tak ada senyuman yang
melintas di wajahnya.
Ketika ayah menyuruhku mengantarkan rokok
pada ema de’Laus, aku bergemetar ketakutan. Bulu kudukku merinding.
“Ayah saja yang berikan. Aku takut”. ujarku dengan penuh harap. Namun
ayah menggeleng-gelengkan kepala. Pertanda tidak ada tawar-menawar lagi.
“Tapi untuk apa ayah?”
“Mohon
turunkan hujan”. Kata ayah pelan. Hujan memang menjadi masalah di
kampung kami akhir-akhir ini. Diharapkan hujan sudah turun lebat
bulan-bulan ini, tetapi tak kunjung datang. Sumber mata air mulai
berkurang. Tanah menjadi tandus. Siang hari suhu panas membara. Bila
angin bertiup kencang, debu dari halaman tengah kampung bertebaran
menari-nari.
“Anak-anak jangan main sepak bola dulu. Awas
debu! Nanti bisa sakit!” para orang tua mulai menasehati dan melarang
anak-anak bermain di tengah halaman kampung. Gemuruh suara setiap sore
mulai lenyap ditelan sepi. Setiap sore, anak-anak malah mulai sibuk
membantu orang tua menimba air di mata air yang letaknya jauh dari
kampung. Sebab mata air yang terdekat mulai mengering.
Satu
per satu keluarga mulai menunda pesta. Bukankah pesta selagi tidak ada
hujan amat dirindukan? Tidak lagi bagi orang kampung pada bulan-bulan
ini. Bayang-bayang gagal panen mulai menghantui mereka. Menyelenggarakan
pesta bukan perkara mudah lagi. “ Kita pertimbangkan dengan cermat
sebelum mengadakan pesta” begitu anjuran ketua ada di kampung
memperingatkan warga kampung. Sejak itu tidak ada pesta lagi.
***
Keringat
mengucur membasahi bajuku. Tidak mudah melewati jalan tanjakan seperti
ini. Belum lagi, semak belukar menghambat langkahku. Aku harus menebas
dan menepikan semua semak–semak setiap sebelum mengayunkan langkah.
Dari kejauhan terdengar gemerisik suara mengais-ngais tanah. Semakin
mendekat ke suara itu, semak yang menutupi jalan tak begitu lebat lagi.
“
Eh ternyata ayam! ” gumanku pelan. Seekor induk ayam dan keenam anaknya
mengais-ngais tanah, di antara rerumputan yang menguning. Aku
tersentak kaget. Di sekitar tempat itu, puntung dan batangan rokok
sangat banyak jumlahnya. Aku mendongakkan kepala dan mengamati tempat
itu. Tidak jauh dari tempat aku berdiri, asap putih mengepul dari sebuah
gubuk kecil. Di apit oleh dua pohon beringin besar. Sekelilingnya
ditumbuhi rerumputan liar yang tinggi.Gubuk itu kelihatan reyot dari
kejauhan bahkan terkesan tanpa penghuni. Sendi-sendi tumpuan dari bambu
yang dipasang pada keempat sudut seakan tak tegak lagi. Gubuk itu
tampak miring.
“Akhirnya aku tiba” ucapku dengan nafas terengah-engah.
Kini
aku berdiri tepat di depan pintu gubuk itu. Kutarik nafas dalam-dalam,
kemudian menghembus perlahan-lahan. Rupanya tak mempan. Cara itulah yang
biasa aku lakukan dikala gugup. Kali ini, meski telah mengolah nafas,
jantung sepertinya tak mau berhenti berguncang. Keringat dingin memencar
dari pori-pori tubuhku.
Aku sejenak berdoa. Aku mulai
membayangkan curah hujan akan menyegarkan sawah dan ladang warga kampung
kami. Musim pesta dan dendangan musik sebentar lagi meramaikan kampung.
Anak-anak kembali mengerumi halaman kampung setiap sore untuk bermain
bersama.
Suara batuk tiba-tiba menyela doaku. Batuk
berdahak dan beruntun. Itu suara yang membutuhkan pertolongan daripada
sekadar batuk biasa. Kuberanikan diri mengetuk kayu tua yang menjadi
pintu rumah itu.
“Masuk!” Meski serak, suara itu terdengar jelas. Kutolak perlahan pintu itu. Gelap mencekam. Aku mengamati dengan was-was.
“Kakek ada dimana?”
“Di
sini” katanya pelan. Suara itu keluar dari salah satu bilik kamar di
bagian dalam rumah itu. Cahaya lampu minyak memencar lewat belahan
jari-jari bambu yang menjadi dindingnya. Aku sadar kalau aku masih di
ruang tamunya.
Sesaat kemudian aku masuk ke dalam bilik
itu. Seorang lelaki tua tergolek lemah di atas sebuah tenda pembaringan.
Ia menyelimuti dirinya dengan secarik kain tipis. Lelaki itu menatapku
nanap dan aku terlongo. Tubuhnya bergetar, kusut dan berantakan. Aku
lantas maju ke depan mukanya.
“Nana, kamu siapa?”
tanyanya seketika. Ia tersenyum serupa sunggingan orang yang tidak
punya gigi. Janggutnya putihnya tak lagi selebat yang pernah aku lihat.
“Aku Ignas” kataku pelan dan tergugu. Aku tidak dapat menyembunyikan ketakutan pada wajahku.
“Kakek,
aku kemari membawa pesan Ayah, memohonkan hujan pada kakek. Ini
kubawakan tiga bungkus rokok” ucapku memohon sembari mengeluarkan tiga
bungkus rokok dari saku celanaku. Aku ingin segera pulang.
“Apakah nana membawa obat batuk?” sergah ema de’ Laus kepadaku. Aku menjadi ketakutan dan berkeringatan lagi.
“Tidak Kakek”.
“Hampir
sebulan lamanya aku sakit-sakitan.” Ia memulai cerita tentang sakitnya
dengan suara lembut sembari menyentuh pundakku. Ia mengalami batuk
berdahak, kadang darah keluar dari tenggorokannya. Tubuhnya yang susut
tak sanggup lagi berlama-lama di luar gubuk apalagi untuk berjalan jauh.
“Kenapa,
kek?” rasa takutku raib seketika selepas mendengar keluhnya. Ia tidak
menjawab pertanyaanku, tapi terus menumpahkan isi hatinya.
“Aku
harus menimba air sendiri. Aku harus irit meminum air, agar tidak
keseringan keluar dari gubuk ini.” jelasnya beruntun. Sambil mendengar
ceritanya, aku mengamati sekeliling. Bertumpuk-tumpuk bungkusan rokok
tersusun di sudut kamar itu. Cerita orang-orang tentangnya, seolah-olah
kembali memadati alam pikiranku.
“Nana, aku tak dapat mengisap rokok lagi” Aku tersentak kaget dari lamunan mendengar ucapannya.
***
Hujan
tak kunjung datang. Hari-hari keresahan menodai kegembiraan warga
kampung kami. Sepi. Tapi dengar, itu hanya di tengah kampung. Tengoklah
ke rumah-rumah. Di sana tidak ada ketenangan. Semua orang berbicara,
mengeluh, dan mengumpat. Ema de’Laus menjadi sasaran. Mereka
menganggapnya tidak berguna, bahkan bersumpah serapah.
Aku
hanya diam. Telah hampir seminggu lamanya, tiap sore kulewati halaman
tengah kampung. Menenteng serigen berisi air. Aku membawa sejumlah obat.
Kadang membawa beras.
“Kamu kemana?” tanya ketua adat ketika berpapasan denganku di jalan.
“Mengunjungi ema de’Laus” jawabku pelan sambil berjalan keluar dari wilayah kampung menuju sebuah gubuk di atas bukit.
Membeli Cinta
-
Di sebuah daerah tinggalah seorang saudagar yang kaya raya. Dia mempunyai
seorang hamba yang sangat lugu. Begitu lugunya, hingga orang memanggilnya
“si bo...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar