Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Ema De Laus

“Belikan lima bungkus rokok! Berikan itu pada ema de’laus!”. Intonasi suara yang keras dan kasar. Suara ayah yang tidak seperti biasanya kudengar sehari-hari. Sembari  ia tak sungkan-sungkan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Bukankah itu aneh bagi orang yang penuh perhitungan seperti ayah? Aku mulai bertanya-tanya. Apalagi ia menyebut nama ema de’ Laus.


Aku mulai mengenal nama ema de’Laus semenjak belum duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu kami bermain  di halaman kampung. Bentuk kampung kami seperti lingkaran. Rumah-rumah seperti berada pada garis lingkaran, dengan pintu menghadap ke bagian dalam, menghadap sebuah titik di tengah lingkaran itu.  Yang disebut halaman kampung adalah tempat bagian dalam itu.

Setiap sore ketika wajar mulai menyingsing, ibu-ibu kerap memanggil kami pulang. “Nana pulang!”. Itu sebutan hangat di kampung kami untuk anak-anak. Saking asyiknya kami bermain, kadang-kadang kami tak menggubris seruan para ibu. Tapi kami tiba-tiba berhamburan pulang menuju rumah masing-masing ketika seorang ibu, berteriak, “ema d’Laus sebentar lagi lewat.”

Sosok ema d’laus memang menakutkan. Menjelang malam dia selalu lewat di tengah kampung, entah pulang darimana. Dia tinggal sendirian di sebuah gubuk agak jauh dari kampung, dekat kuburan umum. Berjanggut, selalu tidak memakai alas kaki, badannya besar, mengenakan sarung, dan selalu berjalan menunduk. Aku biasanya memperhatikannya dia dari dalam lubang kunci pintu rumah.

Di kampung kami selalu diceritakan oleh orang tua kalau ema d’laus mempunyai kesaktian tinggi. Ia berilmu hitam, makanya sangat ditakuti. Parang dan api rupanya tidak mempan untuk membunuhnya. Diceritakan pula, ia memiliki isteri seorang makhluk halus, makanya ia tidak mempunyai seorang  isteri manusia. Meski cerita yang selalu ditonjolkan adalah gambaran keburukannya, namun lelaki dewasa di kampung amat menghargainya.

Konon diceritakan, ema d’Laus mempunyai kesaktian dalam menahan hujan. Sekitar bulan November sampai Maret musim hujan berlangsung. Butiran air hujan mengguyur lebat bulan-bulan itu. Akan tetapi, dalam kurun waktu yang sama banyak diselenggarakan pesta pernikahan. Kemah dibuatkan di halaman kampung.  Orang rindu bergoyang ria dalam alunan musik. Namun setiap orang merindukan pesta selagi kering sehingga tamu undangan dapat hadir. Di saat itulah ema d’laus tampil sebagai penyelamat.

Pemilik pesta cukup hanya mengantarkan tiga hingga lima ke bungkus ke gubuk ema d’ laus yang terletak di atas bukit, hujan tidak akan turun selama pesta berlangsung. Ema de’Laus  dari sore sampai pagi, akan merokok tiada henti-hentinya. Habis sebatang, dia membakar satunya lagi. Begitu seterusnya  hingga pesta usai di pagi hari.

Kata orang-orang di kampung, sembari merokok dia mulutnya berkomat-kamit membaca mantra. Dia selalu mendeteksi arah dari mana datangnya hujan. Jika dari sebelah timur kampung,  dia akan menghembuskan asap rokok ke arah timur. Demikian pun jika dari barat, utara dan selatan. Tetapi dia selalu menghembuskan ke arah langit.

Kesaktiannya itulah yang membawa berkah. Pasalnya, hujan tidak sedikitpun  menyentuh kampung kami. Meski langit di sore hari begitu mendung, di kampung sebelah kelihatan sedang diguyur hujan deras, orang-orang kampung selalu berkata, “hujan tidak bakalan sampai sini.” Dan memang betul demikian. Seusai pesta banyak orang bercerita tentang kehebatan ema de’ Laus. “ Hebat ema de’Laus!”. Begitu biasa terdengar cerita dari mulut ke mulut.
***
Aku sendiri sebetulnya belum pernah bertatapan langsung ema de’ Laus. Bertemu dengannya seolah-olah membutuhkan keberanian yang cukup. Digambarkan orang-orang, tatapannya tajam menyelidiki bak elang, suaranya keras menggelegar menakutkan, dan tak ada senyuman yang melintas di wajahnya.
Ketika ayah menyuruhku mengantarkan rokok pada ema de’Laus, aku bergemetar ketakutan. Bulu kudukku merinding. “Ayah saja yang berikan. Aku takut”. ujarku dengan penuh harap. Namun ayah menggeleng-gelengkan kepala. Pertanda tidak ada tawar-menawar lagi.

“Tapi untuk apa ayah?”

“Mohon turunkan hujan”. Kata ayah pelan.  Hujan memang menjadi masalah di kampung kami akhir-akhir ini. Diharapkan hujan sudah turun lebat bulan-bulan ini, tetapi tak kunjung datang. Sumber mata air mulai berkurang. Tanah menjadi tandus. Siang hari suhu panas membara. Bila angin bertiup kencang, debu dari halaman tengah kampung bertebaran menari-nari.

“Anak-anak jangan main sepak bola dulu. Awas debu! Nanti bisa sakit!” para orang tua mulai menasehati dan melarang anak-anak bermain di tengah halaman kampung.  Gemuruh suara setiap sore mulai lenyap ditelan sepi.  Setiap sore, anak-anak malah mulai sibuk membantu orang tua menimba air di mata air yang letaknya jauh dari kampung. Sebab mata air yang terdekat mulai mengering.

Satu per satu keluarga mulai menunda pesta. Bukankah pesta selagi  tidak ada hujan amat dirindukan? Tidak lagi bagi orang kampung pada bulan-bulan ini. Bayang-bayang gagal panen mulai menghantui mereka. Menyelenggarakan pesta bukan perkara mudah lagi. “ Kita pertimbangkan dengan cermat sebelum mengadakan pesta” begitu anjuran ketua ada di kampung memperingatkan warga kampung. Sejak itu tidak ada pesta lagi.
***
Keringat mengucur membasahi bajuku. Tidak mudah melewati jalan tanjakan seperti ini. Belum lagi, semak belukar menghambat langkahku. Aku harus menebas dan menepikan semua semak–semak  setiap sebelum mengayunkan langkah. Dari kejauhan  terdengar gemerisik suara mengais-ngais tanah. Semakin mendekat ke suara itu, semak yang menutupi jalan tak begitu lebat lagi.

“ Eh ternyata ayam! ” gumanku pelan. Seekor induk ayam dan keenam anaknya mengais-ngais  tanah, di antara rerumputan yang menguning. Aku tersentak kaget. Di sekitar tempat itu, puntung dan batangan rokok sangat banyak jumlahnya. Aku mendongakkan  kepala dan mengamati tempat itu. Tidak jauh dari tempat aku berdiri, asap putih mengepul dari sebuah gubuk kecil. Di apit oleh dua pohon beringin besar. Sekelilingnya ditumbuhi  rerumputan liar yang tinggi.Gubuk itu kelihatan reyot dari kejauhan bahkan terkesan tanpa penghuni. Sendi-sendi tumpuan  dari bambu yang dipasang pada  keempat sudut seakan tak tegak lagi. Gubuk itu tampak miring.

“Akhirnya aku tiba” ucapku dengan nafas terengah-engah.

Kini aku berdiri tepat di depan pintu gubuk itu. Kutarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembus perlahan-lahan. Rupanya tak mempan. Cara itulah yang biasa aku lakukan dikala gugup. Kali ini, meski telah mengolah nafas, jantung sepertinya tak mau berhenti berguncang. Keringat dingin memencar dari pori-pori tubuhku.

Aku sejenak berdoa. Aku mulai membayangkan curah hujan akan menyegarkan sawah dan ladang warga kampung kami. Musim pesta dan dendangan musik sebentar lagi meramaikan kampung. Anak-anak kembali mengerumi halaman  kampung setiap sore untuk bermain bersama.

Suara batuk tiba-tiba menyela doaku. Batuk berdahak dan beruntun. Itu suara yang membutuhkan pertolongan daripada sekadar batuk biasa. Kuberanikan diri mengetuk kayu tua yang menjadi pintu rumah itu.

“Masuk!” Meski serak, suara itu terdengar jelas. Kutolak perlahan pintu itu. Gelap mencekam. Aku mengamati dengan was-was.

“Kakek ada dimana?”

“Di sini” katanya pelan. Suara itu keluar dari salah satu bilik kamar di bagian dalam rumah itu. Cahaya lampu minyak memencar lewat belahan jari-jari bambu yang menjadi dindingnya. Aku sadar kalau aku masih di ruang tamunya.

Sesaat kemudian aku masuk ke dalam bilik itu. Seorang lelaki tua tergolek lemah di atas sebuah tenda pembaringan. Ia menyelimuti dirinya dengan secarik kain tipis. Lelaki itu menatapku nanap dan aku terlongo. Tubuhnya bergetar, kusut dan berantakan. Aku lantas maju ke depan mukanya.

Nana, kamu siapa?” tanyanya seketika. Ia tersenyum serupa sunggingan orang yang tidak punya gigi. Janggutnya putihnya tak lagi selebat yang pernah aku lihat.

“Aku Ignas” kataku pelan dan tergugu. Aku tidak dapat menyembunyikan ketakutan pada wajahku.

“Kakek, aku kemari membawa pesan Ayah, memohonkan hujan pada kakek. Ini kubawakan tiga bungkus rokok” ucapku memohon sembari mengeluarkan tiga bungkus rokok dari saku celanaku. Aku ingin segera pulang.

“Apakah nana membawa obat batuk?” sergah ema de’ Laus kepadaku. Aku menjadi ketakutan dan berkeringatan lagi.

“Tidak Kakek”.

 “Hampir sebulan lamanya aku sakit-sakitan.” Ia memulai cerita tentang sakitnya  dengan suara lembut sembari menyentuh pundakku. Ia mengalami batuk berdahak, kadang darah keluar dari tenggorokannya. Tubuhnya yang susut tak sanggup lagi berlama-lama di luar gubuk apalagi untuk berjalan jauh.

“Kenapa, kek?” rasa takutku raib seketika selepas mendengar  keluhnya. Ia tidak menjawab pertanyaanku, tapi terus menumpahkan isi hatinya.

“Aku harus menimba air sendiri. Aku harus irit meminum air, agar tidak keseringan keluar dari gubuk ini.” jelasnya beruntun. Sambil mendengar ceritanya, aku mengamati sekeliling. Bertumpuk-tumpuk bungkusan rokok tersusun di sudut kamar itu. Cerita orang-orang tentangnya, seolah-olah kembali memadati alam pikiranku.

Nana, aku tak dapat mengisap rokok lagi” Aku tersentak kaget dari lamunan mendengar ucapannya.
***
Hujan tak kunjung datang. Hari-hari keresahan menodai kegembiraan warga kampung kami. Sepi. Tapi dengar, itu hanya di tengah kampung. Tengoklah ke rumah-rumah. Di sana tidak ada ketenangan. Semua orang berbicara, mengeluh, dan mengumpat. Ema de’Laus menjadi sasaran. Mereka menganggapnya tidak berguna, bahkan bersumpah serapah.

Aku hanya diam. Telah hampir seminggu lamanya, tiap sore kulewati halaman tengah kampung. Menenteng serigen berisi air. Aku membawa sejumlah obat. Kadang membawa beras.

“Kamu kemana?” tanya ketua adat ketika berpapasan denganku di jalan.

“Mengunjungi ema de’Laus” jawabku pelan sambil berjalan keluar dari wilayah kampung menuju sebuah gubuk di atas bukit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text