Salah satu hal yang patut dicurigai di dunia ini adalah kebaikan. Hal
itu kembali terlintas dalam pikiranku ketika mulai menulis surat ini.
“Jangan lupa tulis surat ya! Harus!” pinta kedua wanita tua itu dalam
nada penuh harap yang dibingkai dengan segulum senyum saat itu. Bayangan
tentang keduanya kembali berlabuh dalam benakku.
Sesaat kemudian aku melemparkan saja ballpoint di atas secarik kertas
putih mulus itu. Menulis surat ternyata bukan pekerjaan mudah lagi.
Bertahun-tahun sudah sering bergumul dengan makalah berjumlah 5-10
halaman yang mengemas ide-ide ilmiah, ternyata mempersulit pikiran untuk
menulis surat dalam selembar kertas yang mesti sarat dengan ungkapan
emosi. Pun karena sudah terlalu dimanjakan oleh teknologi seperti email,
SMS, dan lain-lain. Tapi, tidak ada pilihan lain.Sinyal belum ada di
sana.
Apa yang mau ditulis, pikirku dalam hati.
Sejenak, aku hanya teringat pada mata yang mencurigai dari pria berbadan
kekar pada sore setiba di sana. Tapi aku beruntung bertemu dengannya.
Setelah berjalan kaki selama dua jam, akhirnya tiba juga di kampung itu.
“Nanti kalau sampai di sana, tanya saja sama orang di kampung itu, mana
arah jalan ke Pakawit.” ujar pastor paroki di Jansen memberikan
instruksi.
Tiba di kampung itu, semula memang
tak satu pun yang kujumpai. Beberapa rumah panggung kayu yang mengapit
sepanjang jalan itu terlihat sepi dan seperti tak berpenghuni. Hanya
beberapa ekor anjing berkeliaran dan ayam yang berjalan mondar-mandir di
bawah kolong rumah sedikit menutupi kesunyian yang mencekam itu. Ketika
aku beristirahat untuk beberapa saat, duduk di atas sebatang kayu,
muncullah pria berkumis itu dari arah hutan. Aku menanyainya. Dan kami
pun berkenalan sesaat.
“Kamu mau ke sana?”
tanyanya untuk ketiga kalinya. Aku hanya menganggukkan kepala. Terlintas
sedikit keraguan untuk mempercayainya karena ditanyai berulangkali.
Barangkali dia tuli. Tapi tidak ada pilihan. Percaya saja!
Lalu aku mengikuti dia melewati jalan setapak yang kurang terawat di
tengah hutan. Kurang lebih selama satu jam. Ketika menuruni lereng
bukit, dia berhenti sejenak.
“Sorry adik, saya
hanya bisa menghantarmu sampai di sini.” ujarnya. “ Itu rumahnya, kamu
mengikuti jalan ini.” Katanya lagi sambil menunjukkan sebuah rumah kecil
yang terletak di tengah-tengah kebun jagung di lembah di kaki bukit
itu.
“Oke. Terima kasih banyak atas bantuannya.”
Kami berpisah. Aku melanjutkan perjalanan. Benar-benar liburan yang
menyenangkan, pikirku dalam hati. Tinggal bersama umat, hanya itu alasan
yang kutahu ketika aku disuruh ke tempat ini oleh pastor Paroki di
Jansen.
****
Di depan rumah yang diapit oleh jagung setinggiku itu, aku sejenak diam
bagai patung. Dua orang wanita yang sibuk menumbuk padi di depan rumah
itu seolah-olah tidak melihatku. Padahal aku hanya berdiri beberapa
meter saja.
“Selamat sore!” tegurku untuk memecahkan kebuntuan itu.
“Selamat sore juga!” tak terlintas sedikitpun senyum dari wajah mereka.
Kerutan dahi terlihat menjadi lebih dalam ketika menatapku. Tidak ada
basa-basi lagi. Aku langsung mengatakan tujuan kedatanganku dengan cara
yang sangat formal disertai rasa malu yang luar biasa. Salah seorang di
antaranya menatapku dengan bola mata yang memiliki daya gravitasi untuk
membongkar semua isi hatiku. Seolah-olah ada yang kusembunyikan.
Lalu
mereka mengambil tasku, menyimpannya dalam rumah. Aku kemudian duduk
sebuah di sebuah kursi kayu kecil, menyaksikan mereka menumbuk padi.
Sesekali kulemparkan pertanyaan, namun tak sedikitpun mencairkan
ketegangan yang terlihat di wajah mereka.
Malam pun tiba. Gubuk kecil itu cukup sederhana untuk dijelaskan. Tak ada bilik, hanya terlihat seperti hall kecil. Semua berada dalam satu ruang itu; sebuah tempat tidur, dapur, lemari dan sebagainya, termasuk “ruang tamu”.
Sejak saat itu pikiranku mulai disesaki beberapa pertanyaan. Dimanakah
aku tidur malam ini? Apakah tuan rumahnya belum pulang dari kebun? Aku
menjadi lebih diam.
“Ayo kita makan! ” ujar
perempuan yang potongan rambutnya lebih pendek. Kami duduk bersila di
atas tikar yang dibentangkan di atas lantai tanah itu. Sebakul nasi,
sayur hijau segar, tiga piring, sebuah cerek dan dua gelas yang ada di
atas tikar itu menyisakan satu pertanyaan. Rupanya keheranan raut
wajahku itu dimengerti.
“Sorry kami tidak
menyiapkan apa-apa.” ujar salah satunya dengan memamerkan senyum lebar.
Ketegangan yang dimulai dari tadi sore terasa mencair seketika.
“Baru kali ini kami kedatangan tamu. Makanya kami agak terkejut dengan
kedatangan kamu hari ini. Dan kami belum menyiapkan apa-apa. Lihat saja
jumlah gelas yang kami miliki. Hanya untuk kami berdua..hahaha” lanjut
wanita yang keliatan lebih tua dan potongan rambut yang pendek tadi.
“Hanya untuk berdua?”
“Ya, hanya kami berdua. Kamu belum dengar tentang kami sebelum ke sini?”
“ Belum.”
Keduanya saling beradu pandang dan tertawa genit.
“Ceritanya lumayan panjang.” katanya lagi sambil menghela nafas
panjang. “ Kami berdua ketemu di Baguio. Saya bekerja di sana beberapa
tahun. Kami bekerja di tempat yang sama. Sejak melihat dia untuk pertama
kalinya, saya langsung merasa iba. Ia terlihat murung dan tak
bersemangat.” Ia berhenti sejenak, menoleh ke wanita yang lebih muda itu
seolah-olah meminta izin untuk dilanjutkan atau tidak. Hanya senyum
yang terpancar dari wajah oval itu.
“Selanjutnya
kami berkenalan, bercerita dari hati ke hati. Sejak itulah barulah saya
mengerti apa yang menyebabkan ia terlihat murung setiap saat. Ia baru
saja melahirkan anaknya dan ia kemudian memohon kedua orang tuanya untuk
merawatnya dan ke Baguio untuk melepaskan stress.”
“Stress?”
“Ya.” Kali ini ia sendiri yang menjawabnya. “Waktu itu saya sangat
stress. Suami saya pergi meninggalkan saya ketika saya masih hamil tua.
Untunglah di Baguio saya bertemu dengan dia ini. Dia yang menguatkan
saya setiap saat. Sejak itu kami amat dekat satu sama lain. Dan sungguh
teramat dekat,sampai-sampai rasanya semenit tak melihat satu sama lain,
dunia seakan ingin kiamat.”
“Kamu bisa mengerti apa yang kami maksudkan?” sambar wanita berambut pendek.
“Belum.”
“Kami pasangan lesbian sejak saat itu. Karena di tempat kerja kami
mulai merasa tak nyaman, lalu enam tahun lalu kami pindah ke sini. Dan
setiap keputusan selalu ada resikonya. Itulah yang kami alami sejak
tinggal di sini. Kami tidak punya tamu dan dunia terasa milik berdua.
Dan ketika kamu datang sore ini, rasanya ada yang janggal. Kami
seharusnya tidak menerimamu di tempat ini.” jelasnya kemudian yang
diakhiri dengan senyum. Lalu kami pun berlanjut membicarakan banyak hal
malam itu.
Agak susah aku memejamkan mata pada
malam itu. Banyak dialog berlangsung dalam hatiku. Apakah aku akan
datang kalau sudah tahu mereka lesbian, tanyaku dalam hati. Pertama kali
dalam hidup aku mengucap syukur atas ketidaktahuanku itu mengingat
begitu dalam makna perjumpaan itu.
Keesokannya harinya aku pamit. Perasaan haru tak dapat ditahankan. Keduanya menangis.
****
Sekarang aku tahu apa yang kutulis. Kuungkapkan semua rasa terima
kasihku kepada mereka dalam secarik kertas itu dan keinginanku yang
dalam untuk berbincang dan bertemu mereka lagi.
Tapi sebuah pertanyaan mengangguku seusai menulis.Siapakah yang akan
mengantar surat ini ke sana? Pak pos barangkali hanya sampai di kampung
itu. Seterusnya bagaimana?
Lalu kuurungkan
niat untuk membungkus kertas itu dalam amplop, menyimpannya dalam diari,
dan membaringkan diriku di tempat tidur.
Kenyataan dan Imaginasi
Pinukpuk, 31 Desember 2013
Membeli Cinta
-
Di sebuah daerah tinggalah seorang saudagar yang kaya raya. Dia mempunyai
seorang hamba yang sangat lugu. Begitu lugunya, hingga orang memanggilnya
“si bo...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar