Beramal selalu menjadi ajakan yang
sentral selama masa prapaskah. Akan tetapi, tidaklah mudah memahami arti amal dalam
konteks Indonesia yang belakangan ini semakin hiruk-pikuk menjelang pesta
demokrasi.
Paus Fransiskus |
Aksi amal
bermunculan. Beberapa hari lalu di sebuah jejaring sosial, misalnya, seorang
mengunggah sebuah foto yang memperlihatkan sembako yang diberikan oleh seorang
calon legislatif. Beberapa bulan sebelumnya, di beberapa tempat bencana
terdapat posko-posko penyelamatan yang berbendera partai politik tertentu.
Barangkali kita bingung, yang mana aksi amal yang
benar-benar bercita rasa Kristiani?
Paus Fransiskus
dalam pesan masa praspakahnya (http://ncronline.org)
seakan menjernihkan pikiran kita tentang tindakan beramal khas Kristiani. Beramal
sebagai sebuah aksi
nyata dari doa dan pantang pada masa prapaskah ini seharusnya datang dari
sebuah refleksi yang mendalam tentang cinta Allah kepada kita umat-Nya.
Beramal dari
keberlimpahan bukanlah tipe khas Kristiani. Ia mengatakan, “ Allah tidak
membiarkan keselamatan jatuh begitu saja dari langit, seperti seseorang yang
memberikan derma dari kelimpahannya tanpa rasa altruisme dan kesalehan.”
Meskipun pandangan
ini mendatangkan kesulitan tersendiri karena bukan tidak mungkin orang
mengganggapnya hanya permainan kata saja, namun justru kesulitan itu sebenarnya memperlihatkan betapa radikalnya
pemahaman kristiani dalam beramal.
Memberi
dari Kekurangan
Memberi
dari kekurangan sejatinya bukanlah ungkapan Paus Fransiskus sendiri. Ia
menegaskan kembali apa yang disampaikan Yesus. Sebagaimana dituliskan dalam
injil Markus (12: 44),
Yesus menekankan pentingnya memberi dari kekurangan.
Paus Fransiskus lahir dengan nama Jorge Mario Borgoglio pada 17 Desember 1936 |
Yesus
mengatakan demikian ketika melihat
seorang janda miskin yang berada di antara orang-orang kaya memasukkan uang ke
dalam peti persembahan. Katanya, “ Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi
janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, seluruh
nafkahnya.” Persembahan janda itu bagi-Nya layak dicontohi.
Ungkapan
ini memang sulit dimengerti karena pada dasarnya
berlawanan dengan pertimbangan akal sehat sehari-hari. Dalam perhitungan
matematika, angka kecil jika dikurangi angka yang besar selalu menghasilkan
minus. Dalam dunia bisnis, minus merupakan gejala yang buruk. Rugi sebaiknya
dihindari. Maka, memberi dari kekurangan sebenarnya terlihat aneh.
Terbiasa
dengan logika seperti itu, saya misalnya,membenarkan
tindakan saya yang mengabaikan seorang ibu pengemis yang sedang menyusui
anaknya di sebuah jalan menuju ke kampus pada suatu hari. Tak sepersen sen pun
saya berikan padanya.
Menatapnya, logika saya
berbicara untung-rugi. Pikiran bahwa uang saku saya pas-pasan saja tiap bulan
dan prasangka bahwa orang miskin adalah pemalas, mengurungkan niat saya untuk
berbagi. Meskipun
tidak rugi-rugi amat, rasanya tidak pas kalau saya yang berkekurangan menolong
dia. “Sama-sama susah cari uang.” ungkap seorang teman dalam sebuah metromini
ketika seorang pengamen menghampiri kami pada suatu hari. Sepola pikir
dengannya, saya pun melewati ibu itu hanya dengan meninggalkan
rasa iba sesaat.
Akan
tetapi, justru berlawanan dengan logika demikianlah Paus Fransiskus memberikan
gambaran tentang cinta dalam pengertian Kristiani. Cinta itu tampak dalam peristiwa inkarnasi,
Allah menjadi manusia. Ini merupakan “misteri besar."
Sebagaimana dalam jamak
pengertian misteri selalu terkait dengan suatu peristiwa yang melampaui
tangkapan akal sehat, demikianpun Allah
menjadi manusia dikatakan suatu misteri
yang besar karena sulit dipahami bagaimana mungkin Allah yang kaya itu ingin
menjadi miskin.
Paus
Fransiskus mengatakan itulah cinta. Hanya karena cinta, Allah memilih menjadi
manusia. “Meskipun dia kaya, akan tetapi
karena kepentinganmu dia menjadi miskin. Kristus, Putra Kekal Allah, satu
dengan Bapa dalam kekuasaan dan kemuliaan, memilih menjadi miskin; dia tinggal
di antara kita dan mendekati masing-masing kita; menyampingkan kekuasaan dan
mengosongkan diri sehingga dia dapat
menjadi sama seperti kita dalam segala hal. Alasan dari semua itu adalah
cinta.”
Akan tetapi, karakter dasar
yang paling menonjol dari cinta Allah itu adalah intensinya untuk memberdayakan
umat manusia. “Karena kemiskinannya kamu menjadi kaya.” Tampak ketika ia rela
melucuti tahtanya, tinggal di antara kita, merasakan penderitaan manusia, dan
mengangkat martabatnya. Cinta Allah itu telah membawa suatu kesetaraan,
menghancurkan tembok pemisah, dan menghapus jarak antara Allah dan manusia.
Namun
cinta yang memberdayakan itu tidaklah instan. Butuh pengorbanan. Allah rela
melepaskan segala kekuasaannya dan menjadi sama dengan manusia dalam segala
hal. Paus menulis, “Dia bekerja dengan tangan manusia, berpikir dengan dengan
pikiran manusia, bertindak dalam pilihan yang manusiawi, dan mencintai dengan hati
seorang manusia.”
Cinta
tanpa hitung-hitungan itulah sebenarnya juga ditunjukkan oleh seorang ibu yang
menyusui seorang anak di jalan yang saya lewati. Entah ada yang memberinya uang
atau tidak, dalam kesahajaannya ia tetap menyusui anaknya. Entah suatu saat
anaknya membalas atau tidak, ia tetap merasa diwajibkan untuk merawat dan
membesarkan anaknya.
Jadi,
melalui peristiwa inkarnasi, Allah menghadiahkan sesuatu kepada manusia dengan
cara “mengurangkan” diri-Nya. Sementara, ibu tua itu membuat saya paham bahwa
meskipun berkekurangan kita masih mampu memberi.
Cinta
Kristus
Beramal dalam
pandangan Kristiani sebetulnya harus merefleksikan cinta Allah kepada manusia
itu. Bahwa Cinta itu melampaui hitung-hitungan akal sehat, semestinya terlibat, berkorban,
dan memberdayakan.
Memberi,
misalnya sepaket sembako , kemudian mengharapkan
sesuatu sebagai balasannya adalah contoh dari keterlibatan hitung-hitungan akal
sehat dalam ber-“amal.”
Tentang memberi
sebagai anak-anak Allah, Yesus bersikap amat radikal dalam ajarannya. Mengharapkan sesuatu
dari suatu pemberian bukanlah suatu sikap pengikut
Kristus.
Yesus
berkata , “Dan jikalau
kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima
sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada
orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu,
kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak
mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak
Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu
berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. “
Pun
apabila bertemu dengan seorang pengemis di jalan, tergerak hati karena
penampilannya yang kotor, kusam, dan dekil, kemudian kita memberi sedekah,meninggalkannya,
dan melupakannya bukan gambaran amal bercita rasa Kristiani.
Beramal
karena dorong perasaan sesaat bukanlah yang dimaksud Yesus. Adalah beda orang yang tergerak karena
perasaan iba saja dengan orang yang didorong oleh refleksi yang mendalam
tentang Cinta Allah.
Paus mengatakan
bahwa suatu dorongan bahwa, “ dalam wajah orang miskin dan tak diperhatikan kita
melihat wajah Kristus.”, diperlihatkan contohnya dalam tindakan seorang Samaria
yang baik hati. Cinta itu membuat kita sanggup mengambil suatu tindakan yang
berkelanjutan dalam menolong sesama.
Amal menjelang
paskah adalah pintu bagi umat nasrani
untuk merefleksikan cinta Allah kepada manusia. Bahwa dalam kesederhanaan dan
ketidakmampuan, kita sebenarnya mampu memberi dan mengambil tindakan yang mampu melawan segala upaya menistakan harkat
dan martabat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Selamat
beramal!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar