Suara lembut yang
terdengar ketika memasuki rumah berlantai dua berada dekat gerbang utama Saint
Louis University, Baguio City menjadi pertanda bagi kami. Suara itu tidak asing
lagi. Begitu pun lagu “Say Something” yang dinyanyikan itu.
Ahmad dan Peng sedang berkolaborasi dalam presentasi hahah |
“Itu suaranya John.”
tebak Peng, teman seperjalanan saya hari itu. Pria berkaca mata, berbadan
mungil, dan kulit kecoklatan itu menyendengkan lagi telinganya. Pria yang
dulunya kupikir orang India,namun ternyata berasal dari Myanmar ingin
memastikan lagi suara itu.
Kami pun kemudian mengedap
masuk ke gerbang rumah itu. Berlangkah ragu-ragu. Dan ternyata dugaan kami
benar.
“Mana Ahmad?” tanya
kami ketika melihat John, Apeng, dan Emen.
“Dia sedang keluar
membeli makanan” jawab mereka singkat. Ahmad adalah pengontrak salah satu bilik
dari rumah itu. ia berasal dari Lebanon dan tinggal di Arab Saudi. Kini ia
berencana kuliah di Filipina. Dan dia dan kami harus mengambil kursus bahasa
Inggris. Hari itu ia mengundang kami untuk acara makan-makan bersama di
kontrakannya. Berhubung hari itu adalah hari terakhir kami menyelesaikan kursus
bahasa Inggris di Saint Louis University.
Satu dalam keanekaragaman |
“Ayo kalian ambil
minum dan makan kue di sana.” tawar Emen. Berdua kami mendekati kulkas di sudut
ruangan itu. Peng lekas tertawa setelah melihat kue tar. Geleng-geleng kepala
sebentar. Saya mulai paham. Di bagian Kue tar berlapis coklat itu tertulis
“welcome brothers”. Teringat beberapa hari lalu, Ahmad mengingatkan kami.
”kalau kalian datang ke rumah, saya harus menyiapkan sesuatu yang spesial.”
Seakan tidak menyangka, kalau ia mempersiapkan sespesial itu. Kue itu tidak
diragukan lagi kalau berharga mahal.
Tapi ketika beberapa
hari lalu itu Ahmad mengajak kami ke rumahnya, Peng tampak bersemangat. “Saya
akan ikut.” Segera kami bersepakat. Lalu ketika Ahmad meninggalkan kelas
duluan, Peng berkomentar lepas, “Tak kusangka dia seperti ini.”
Sebenarnya bagi Peng
kebersamaan kami selama mengikuti kursus bahasa Inggris memang mengubah banyak
hal dalam pandangannya yang berasal dari Myanmar.
“Saya jengkel sekali
melihat mereka. Amat menganggu.” ujar Peng mengungkapkan apa yang dia rasa
sejak awal pertemuan kami di kelas. Kami yang mendaftar kursus bahasa Inggris
sekitar dua puluhan orang. Datang dari berbagai negara seperti Palestina,
Korea, Cina, Indonesia, Mongolia, Eritrea, Arab Saudi, Somalia, Lebanon, thailand,
dan Myanmar.
Sebagian besar
berasal dari Timur Tengah dan berbicara bahasa Arab. Kekesalan itu karena mereka selalu ribut, berbicara bahasa Arab setiap saat, bahkan meskipun guru sedang mengajar mereka tetap bercakap-cakap, dan seperti tak menghargai kami yang berada di
situ.
“Saya tidak bisa
belajar kalau ribut seperti ini terus” curhat
Jenah yang berasal dari Korea. Bahkan ia marah-marah seorang asisten dosen.
“Tolong pisahkan kami dengan mereka.” bentaknya suatu saat.
Tak tahan dengan
situasi itu, kami bertanya Ahmad.
“Itu sudah biasa bagi
kami. Biarpun guru sedang ngajar, kami masih ribut-ribut.” ujarnya yang membuat
tambah kesal.
Berbeda dengan kami
yang jengkel melihat kelakuan mereka hanya karena sering ribut, Peng justru
punya alasan lain. Peng
melihat mereka dalam kaca mata bahwa mereka adalah orang-orang beragama Muslim.
“Kamu ingat Kasus
Rohingya di Myanmar?” tanya Peng. Saya mengangguk. “Rata-rata perspektif kami terbentuk
dari masalah itu.” katanya lagi.
Rohingya adalah sebuah kelompok
minoritas di Myanmar. Tahun lalu dibantai habis-habisan oleh kelompok mayoritas yang beragama Budha.
Banyak yang mati. Banyak juga yang diusir. Bahkan ada yang mencari suaka ke
Australia.
“sekarang mereka ada
teritori tertentu. Dijaga tentara agar tidak keluar masuk secara bebas dari
wilayahnya.” jelasnya. Kebencian masyarakat yang meluas memang membuat mereka
dibatasi seperti itu. Mereka dianggap warga Negara illegal.
Sejumlah kasus telah
memercik kebencian yang luas. “Mereka tak segan membunuh orang dan kerap menjadi dalang kasus kriminal[1], Bahkan
ada beberapa peristiwa pemerkosaan. Pelakunya dari Rohingya. Orang-orang Myanmar
tak suka membunuh binatang, tapi mereka berbeda. Mereka membunuh dengan kejam..”
Terbangunlah suatu
image buruk tentang mereka. Meluap menjadi kebencian meluas. Lalu upaya
menghabisi mereka pun dimulai tahun lalu itu. Dilaporkan sekitar
lebih dari 6000 ribu warga etnis Rohingya telah dibantai.
“Mereka itu rata-rata
orang beragama muslim. Jadi itu menjadi isu agama juga. “ ternyata ungkapan itu
menjadi alasan di balik sikap diamnya selama di kelas beberapa bulan awal. Peng
tidak banyak berbicara. Hanya memperhatikan guru. Dia takut dan jengkel dengan
mereka.
“Saya takut sekali
dengan mereka. Bayangan saya kembali ke Myanmar.” akunya.
Ahmad dan saya...Kue bikin romol lagi |
*****
Setelah beberapa
bulan, kami dipisahkan menjadi dua kelas. Bukan terutama karena usulan Jenah,
tapi pertimbangan agar kelas menjadi lebih efektif bagi kami pemula dalam belajar
bahasa Inggris.
Dan yang tersisa
bersama kami di kelas, hanya Ahmad dan
Luqman. Hari berlalu banyak kejutan mulai terukir. Kami semakin dekat satu sama
lain. Ahmad mulai terbuka tentang negaranya, budaya, dan sifat dasarnya.
“Banyak orang Kristen
di Lebanon. Tetangga dan teman-teman saya banyak yang katolik.” Cerita
Ahmad.Kami kaget. “Betul. Di sana sering ada konflik politik. Kalau kali ini
yang menjadi presiden dari kalangan Islam,
nanti akan diserang. Kemudian kali lain, seorang Kristen yang jadi Presiden,
kelompok muslim yang serang.” Katanya lagi. Itu informasi baru bagi kami. Lalu dia bercerita tentang presiden Michael Sulaiman,
seorang Kristen yang terpilih oleh suara mayoritas di Lebanon.
Begitu juga Lugman.
“Kalian tidak kawin? Masa?” reaksinya begitu mendengar tentang kehidupan para
selibat. Itu pertama kalinya dia mendengar tentang kehidupan imamat. Penasaran
dengan itu, ia datang mengunjungi kami di seminari pada suatu hari Minggu.
“Brother,
I will pray for you” katanya. Selanjutnya ia sering mengunjungi kami. Dan tiap
kali jalan bersama, begitu mata saya dan teman-teman seminari agak menggeliat
ketika melihat cewe cantik, dia segera memperingatkan. “Heits,,,itu tidak
bagus” tegurnya sambil tertawa.
Sikap
keduanya membuat kami perlahan-lahan segera mengoreksi diri. Ahmad misalnya,
hampir tiap pagi tidak pernah terlambat.. Tiap kali kami sudah mulai mengantuk,
ia izin ke toilet. Ternyata ia ke warung terdekat, membeli makanan ringan dan
permen. Lalu kami kaget dia datang lagi
dan mulai membagikan permen dan biskuit. Berhenti sejenak, lalu kami berbagi
cerita dengan guru. Belum lagi reaksinya yang spontan kerap membuat tertawa dan
menghibur.
Ia
juga amat perhatian. Suatu saat misalnya, seorang Guru memberi kami tugas untuk
menulis renungan tentang Allah. Spontan Itan, seorang teman dari Cina beraksi,
“ apa Allah?” Kami tertawa. Namun Ahmad tidak. Ia mulai menerangkan,
membantunya untuk mengerti. Memang bagi dia, Allah adalah ide baru. Beberapa
saat kemudian kami baru mengerti kalau paham tentang Allah dia tidak pernah
tahu. Dia masih memeluk agama lokal.
Peng
pun mulai terbiasa bercanda dengan Ahmad. Saling mengolok hampir tiap hari.
Setiap kali Peng mempresentasi dan berbicara dengan suara kecil, kami selalu
berteriak dan Ahmad selalu mempunyai suara yang besar. “Open your mouth!” Peng
tertawa. Ahmad pun sering kena balasannya. Setiap kali Ahmad berbicara, Peng
paling pertama berteriak, “hold your tongue!” segera kelas mengelegar. Kami
tertawa.
Kami
selalu mempunyai lima jam kuliah setiap hari. Meskipun selalu bersama selama 5
jam, rasanya tak cukup. Setelah kuliah, kami nongkrong bersama. Minum kopi,
rokok, dan nyanyi. Bahkan malam hari ketika sedang online kami bertegur sapa
dan bercanda lewat dunia maya.
Hal
itulah yang membuat kami sadar. “saya salah menilai dia.” aku Peng setelah
melihat persaudaraan di antara kami yang kian akrab selama beberapa bulan.
Baginya, melabeli orang dengan predikat-predikat tertentu adalah sesuatu yang
harus dihindari.
******
Inilah hari yang kami
harus kenang. Ini seperti acara perpisahan bagi kami. Mereka akan pulang libur
ke negaranya masing-masing. “ nanti kalau kamu ke rumah kontrakan saya, bawa
gitar ya. Nanti kita nyanyi bersama.” pesan
Ahmad beberapa hari yang lalu.
Setelah sekian lama
menunggu, Ahmad datang, ditemani Roy dan Johan dari Indonesia. “Sorry
teman-teman sudah lama menunggu. Kami baru pulang dari restorant Arab. Tidak
apa-apa’kan makan makanan Arab.”
Di Filipina memang
kesulitan mereka untuk dapat makanan yang halal. Hampir di setiap warung hanya
disediakan daging babi. Kalaupun ada sayur, selalu sudah dicampuri dengan irisan
kecil daging babi.
Kami mengangguk. Lalu
mereka sholat sebentar. Kebetulan hari jumat. Kami menanti. Lalu makan bersama.
Sesekali kami menyelipkan cerita lucu.
Tiba-tiba kemudian
ahmad menyuruh kami berdiri depan rumahnya. Berbaris rapi.
“Kita akan nyanyi dan direkam. Saya mau kirim
ke keluarga dan pacar saya.” katanya. Dengan rasa lucu, kami pun menyanyi dan di-videokan. Suara kami terdengar
hampir di seluruh kompleks itu. Siang itu kami ingin, kebersamaan dan persahabatan
itulah yang orang dengar dan saksikan.
Kami pulang dan
berpisah.
Kalau sudah narsis, saya tukang pegang kamera!! |
[1] Bisa dibuka di sini
sebagai perbandingannya. http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/07/29/inilah-kronologis-lengkap-pemicu-tragedi-rohingya-481586.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar