Saat gelap datang menjemput, air mata tak lekas meninggalkan pipi tua
itu. Dia terus-menerus menyekanya dengan tisu. Batinnya begitu
terkoyak saat peristiwa silam itu kembali berlabuh dalam benaknya.
“Sudahlah, Bu!” seorang gadis coba menenangkan ibunya. “Semua orang
pasti mengalami situasi sulit dan kita kadang-kadang bingung
menghadapinya”. Ibu tua itu tak dapat lagi menahan rasa harunya. Ia
merangkul puteri bungsunya itu. Ia menangis tersedu-sedu.
Kali ini air mata itu bukanlah untuk sebuah penyesalan
atau sebuah peristiwa sedih yang menyayat hati seperti beberapa tahun
silam. Lebih tepatnya ini adalah air mata bahagia. Memang peristiwa
sedih itu masih terpahat kuat dalam ingatannya. Di suatu sore, saat
hujan mengguyur kota Yogyakarta, halilintar sambar-menyambar, guntur
juga sahut-menyahut, ia bergulat dengan perutnya yang sakit tak karuan.
Beberapa kali ia mual, dilanjutkan dengan muntah.
“Kita harus periksa ke dokter!” ujar Sarah, seorang
temannya kala itu. Mula-mula ia bersikeras tidak menuruti anjuran
temannya. “ Mungkin saya sakit lambung” jawabnya kala itu. Sarah rupanya
tidak percaya dengan penjelasan asal-asalan seperti itu, Sarah tetap
memaksa segera ke dokter. Ia kemudian menurutinya.
***
Dokter memamerkan senyum ramahnya. “Selamat, Anda positif hamil!”.
“Tapi, dokter saya belum menikah!”
Dokter itu mengernyitkan dahi. Ia tidak menyangka pasien
kali ini adalah seorang mahasiswi. Sedangkan Ia sendiri tidak menyangka,
memadu asmara dengan Andi, pacarnya itu kali itu berujung kehamilan
baginya. Air mata penyesalan mengalir deras di pipinya. Ia meratapi
kejadian itu di ruang dokter.
Semenjak ia mengetahui dirinya hamil, awan gelap
seolah-olah menaungi dirinya. Ia terus-menerus sedih dan murung. Ia
selalu ingin menyendiri di kos dan beberapa kali absen ke kampus. Dalam
hatinya ia selalu bertanya, apa yang harus dilakukannya dengan bayi
dalam kandungannya. Tak seorang pun diberitahukannya tentang kehamilan
itu, kecuali Sarah.
Apakah saya harus mengugurkan bayi ini? Itulah
pertanyaan selalu muncul dalam benaknya. Memang kali itu usia
kandungannya masih terbilang muda, masih dua belas minggu. Sementara
langkah akademiknya di bangku kuliah masih tiga semester lagi. Baginya
jelas bahwa keluarganya dan pacarnya pasti tidak menerima kenyataan itu.
Ia bermaksud, mengugurkannya diam-diam, tanpa sepengetahuan Andi saat
itu.
“Jangan berniat seperti itu!” ujar Sarah ketika ia
menyampaikan maksudnya. “Biar saya yang memberitahukan kepada keluarga
dan pacarmu!” sambung Sarah saat itu sembari memberi ancaman kalau-kalau
ia tega mengugurkan kandungannya. Sarah memang layak disebut sebagai
malaikat saat itu. Dia mondar-mandir kesana-kemari, bahkan beberapa kali
ia juga absen ke kampus demi menelpon keluarganya dan menghubungi
pacarnya.
***
Kala itu ia sempat terperangah, tak percaya. “Ayahku tertawa?” tanyanya heran.
“Iya, katanya mereka senang mendapat cucu pertama!” jelas
Sarah. Air mata pun jatuh lagi, entah untuk beberapa kalinya dalam
beberapa bulan terakhir. Hatinya mulai tenang. Kegalauan perlahan-lahan
raib dari kehidupannya.
“Tapi bagaimana dengan bayi ini? Siapa yang bertanggung
jawab menjadi ayahnya? Saya takut, Andi tak menerima kenyataan ini.”
Sarah hanya diam. Ekpresinya datar. Beberapa saat
kemudian ia memecahkan keheningan. “Andi memang tidak menerima kenyataan
ini. Ia sangat marah!” terang Sarah. Bak disambar petir, ucapan Sarah
seketika membuat kepalanya menjadi pening, nafasnya sesak, dan
pandanganya menjadi kabur. Ia tak sadarkan diri saat itu.
Setelah siuman ia sempat terperanjat melihat Andi sedang
membolak-balikan halaman demi halaman sebuah buku dalam kamarnya. Tetapi
ia sengaja bersikap dingin. Andi malah memamerkan senyum kepadanya.
Senyum itulah yang selalu menaklukan kegusarannya.
“Maaf! Saya memang sempat tidak menerima kenyataan ini.
Tapi saya harus tetap terbiasa untuk selalu bertanggun jawab. Itu yang
saya sering saya lakukan selama di seminari.”
***
Kali ini air mata itu telah berubah menjadi air mata
bahagia. Ia menyadari, ternyata garis waktulah yang lebih berhak
menentukan arti dari setiap air mata yang keluar membasahi kelopak
matanya dan mengalir membasahi pipinya.
“Ibu, saya mau ditahbiskan!” ungkap Gusti, anak
sulungnya beberapa bulan lalu. Perasaan haru kembali menyapanya. Ia
menangis. Tetapi kali itu ia sepertinya tidak sanggup lagi menyimpan
rahasia itu kepada anaknya. Ia memang pernah ingin menceritakan semua
peristiwa itu semenjak Gusti masuk seminari menengah. Entah mengapa,
saat seperti ini adalah waktu yang tepat baginya. Ia mulai bercerita
panjang lebar tentang kisah silam yang kelam itu.
“Maafkan saya!” katanya di akhir cerita itu.
Gusti diam saja. Entah apa yang dipikirkan anak itu, mungkin
saja dia marah mendengar pengakuan ibunya. Dia meninggalkan ibunya
sendirian di kamar. Namun nama Sarah tiba-tiba datang menyergap dalam
ingatan ibunya.
“Sarah, Gusti mau ditahbiskan!” suara dari telpon itu terdengar jelas.
“Gusti, anak sulungmu yang itu...”
“Iya. Hadir acara tahbisannya, ya!”
***
Pagi ini pesta tahbisan dilangsungkan. Gusti mengenakan
jubah berwarna kuning keemasan dengan beberapa imam muda yang lainnya.
Ia tampak masih muda dan bersemangat. Misa tahbisan berlangsung meriah.
Ibu yang mengenakan kebaya itu yang
didampingi suaminya dengan stelan jas hitam seakan tidak mendaratkan
pikirannya dalam perayaan yang sedang berlangsung. Matanya masih tampak
berkaca-kaca. Ia kembali jauh ke masa silam.
“Ibu, terima kasih!” bisik Gusti seusai acara tahbisan.
Ia memeluk erat ibunya. Air mata bahagia tidak tertahankan lagi.
Perkataan Gusti rupanya membuka keran air mata ibunya. Seharian ini ia
berdiam diri di kamar, ditemani puteri bungsunya. Ia mengingat masa
lalunya. Sedangkan Gusti dan suaminya sibuk melayani tamu yang datang.
“Ayah!” Sapaan puterinya mengagetkan dia. Ia melepas
pelan pelukan dari puterinya. Ia memperhatikan Andi sudah berada di
sampingnya, memamerkan senyum khas sejak awal pertemuan mereka. Andi
menepuk pundaknya.
“Sarah ada di luar. Dia mau bertemu kamu.”
Dia pun bergegas keluar bersama suaminya itu. Dari
kejauhan ia melihat Sarah sedang bercakap-cakap dengan Gusti. Dia
berteriak menyebut nama sahabatnya itu dengan cukup keras. Sarah menoleh
dan berlari mendekat. Kali ini kedua ibu itu saling memeluknya erat
satu sama lain. Kedua wanita itu menangis tersedu-sedu.
“Sarah, terima kasih!”
12 Januari 2013 pernah diterbitkan di majalah hidup!
Membeli Cinta
-
Di sebuah daerah tinggalah seorang saudagar yang kaya raya. Dia mempunyai
seorang hamba yang sangat lugu. Begitu lugunya, hingga orang memanggilnya
“si bo...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar