Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Air Mata Seorang Ibu

Saat gelap datang menjemput, air mata tak lekas meninggalkan pipi tua itu. Dia  terus-menerus menyekanya dengan tisu. Batinnya begitu terkoyak saat peristiwa silam itu kembali berlabuh dalam benaknya.

“Sudahlah, Bu!” seorang gadis coba menenangkan ibunya. “Semua orang pasti mengalami situasi sulit dan kita kadang-kadang  bingung menghadapinya”. Ibu tua itu tak dapat lagi menahan rasa harunya. Ia merangkul puteri bungsunya itu. Ia menangis tersedu-sedu.



            Kali ini air mata itu bukanlah untuk sebuah penyesalan atau sebuah peristiwa sedih yang menyayat hati seperti beberapa tahun silam. Lebih tepatnya ini adalah air mata bahagia. Memang peristiwa sedih itu masih terpahat kuat dalam ingatannya. Di suatu sore, saat hujan mengguyur kota Yogyakarta, halilintar sambar-menyambar, guntur juga sahut-menyahut, ia bergulat dengan perutnya yang sakit tak karuan. Beberapa kali ia mual, dilanjutkan dengan muntah.

            “Kita harus periksa ke dokter!” ujar Sarah, seorang temannya kala itu. Mula-mula ia bersikeras tidak menuruti anjuran temannya. “ Mungkin saya sakit lambung” jawabnya kala itu. Sarah rupanya tidak percaya dengan penjelasan asal-asalan seperti itu, Sarah tetap memaksa segera ke dokter. Ia kemudian menurutinya.

***

            Dokter memamerkan senyum ramahnya. “Selamat, Anda positif  hamil!”.
            “Tapi, dokter  saya belum menikah!”
            Dokter itu mengernyitkan dahi. Ia tidak menyangka pasien kali ini adalah seorang mahasiswi. Sedangkan Ia sendiri tidak menyangka, memadu asmara dengan Andi, pacarnya itu  kali itu berujung kehamilan baginya. Air mata penyesalan mengalir deras di pipinya. Ia meratapi kejadian itu di ruang dokter.

            Semenjak ia mengetahui dirinya hamil, awan gelap seolah-olah menaungi dirinya. Ia terus-menerus sedih dan murung. Ia selalu ingin menyendiri di kos dan beberapa kali absen ke kampus. Dalam hatinya ia selalu bertanya, apa yang harus dilakukannya dengan bayi dalam kandungannya. Tak seorang pun diberitahukannya tentang kehamilan itu, kecuali Sarah.

            Apakah saya  harus mengugurkan bayi ini? Itulah pertanyaan selalu muncul dalam benaknya. Memang kali itu usia kandungannya masih terbilang muda, masih dua belas minggu. Sementara langkah akademiknya di bangku kuliah masih tiga semester lagi. Baginya jelas bahwa keluarganya dan pacarnya pasti tidak menerima kenyataan itu. Ia bermaksud, mengugurkannya diam-diam, tanpa sepengetahuan Andi saat itu.

            “Jangan berniat seperti itu!” ujar Sarah ketika ia menyampaikan maksudnya. “Biar saya yang memberitahukan kepada keluarga dan pacarmu!” sambung Sarah saat itu sembari memberi ancaman kalau-kalau ia tega mengugurkan kandungannya. Sarah memang layak disebut sebagai malaikat saat itu. Dia mondar-mandir kesana-kemari, bahkan beberapa kali ia juga absen ke kampus demi menelpon keluarganya  dan menghubungi pacarnya.
***

            Kala itu ia sempat terperangah, tak percaya. “Ayahku tertawa?” tanyanya heran.
            “Iya, katanya mereka senang mendapat cucu pertama!” jelas Sarah. Air mata pun jatuh lagi, entah untuk beberapa kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Hatinya mulai tenang. Kegalauan perlahan-lahan raib dari kehidupannya.
            “Tapi bagaimana dengan bayi ini? Siapa yang bertanggung jawab menjadi ayahnya? Saya takut, Andi tak menerima kenyataan ini.”
            Sarah hanya diam. Ekpresinya datar. Beberapa saat kemudian ia memecahkan keheningan. “Andi memang tidak menerima kenyataan ini. Ia sangat marah!” terang Sarah. Bak disambar petir, ucapan Sarah seketika membuat kepalanya menjadi pening, nafasnya sesak, dan pandanganya menjadi kabur. Ia tak sadarkan diri saat itu.

            Setelah siuman ia sempat terperanjat melihat Andi sedang membolak-balikan halaman demi halaman sebuah buku dalam kamarnya. Tetapi ia sengaja bersikap dingin. Andi malah memamerkan senyum kepadanya. Senyum itulah yang selalu menaklukan kegusarannya.

            “Maaf! Saya memang sempat tidak menerima kenyataan ini. Tapi saya harus tetap terbiasa untuk selalu bertanggun jawab. Itu yang saya sering saya lakukan selama di seminari.”
***
Kali ini air mata itu telah berubah menjadi air mata bahagia. Ia menyadari, ternyata garis waktulah yang lebih berhak menentukan arti  dari setiap air mata yang keluar membasahi kelopak matanya  dan mengalir  membasahi pipinya.

“Ibu, saya  mau ditahbiskan!” ungkap Gusti, anak sulungnya beberapa bulan lalu. Perasaan haru kembali menyapanya. Ia menangis. Tetapi kali itu ia sepertinya tidak sanggup lagi menyimpan rahasia itu kepada anaknya. Ia memang pernah ingin menceritakan semua peristiwa itu semenjak Gusti masuk seminari menengah. Entah mengapa, saat seperti ini adalah waktu yang tepat baginya. Ia mulai bercerita panjang lebar tentang kisah silam yang kelam itu.

  “Maafkan saya!” katanya di akhir cerita itu.

         Gusti diam saja. Entah apa yang dipikirkan anak itu, mungkin saja dia marah mendengar pengakuan ibunya. Dia meninggalkan ibunya sendirian di kamar. Namun nama Sarah tiba-tiba datang menyergap dalam ingatan ibunya.
            “Sarah, Gusti mau ditahbiskan!” suara dari telpon itu terdengar jelas.
            “Gusti, anak sulungmu yang itu...”
            “Iya. Hadir acara tahbisannya, ya!”
***

Pagi ini pesta tahbisan dilangsungkan. Gusti mengenakan jubah berwarna kuning keemasan dengan beberapa imam muda yang lainnya. Ia tampak masih muda dan bersemangat. Misa tahbisan berlangsung meriah.

   Ibu yang mengenakan kebaya itu yang didampingi suaminya dengan stelan jas hitam seakan tidak mendaratkan pikirannya dalam perayaan yang sedang berlangsung. Matanya masih tampak berkaca-kaca. Ia kembali jauh ke masa silam.

“Ibu, terima kasih!” bisik Gusti seusai acara tahbisan. Ia memeluk erat ibunya. Air mata bahagia tidak tertahankan lagi. Perkataan Gusti rupanya membuka keran  air mata ibunya. Seharian ini ia berdiam diri di kamar, ditemani puteri bungsunya. Ia mengingat masa lalunya. Sedangkan Gusti dan suaminya sibuk melayani tamu yang datang.

“Ayah!” Sapaan puterinya mengagetkan dia. Ia melepas pelan pelukan dari puterinya. Ia memperhatikan Andi sudah berada di sampingnya, memamerkan senyum khas sejak awal pertemuan mereka. Andi menepuk pundaknya.

  “Sarah ada di luar. Dia mau bertemu kamu.”
Dia pun bergegas keluar bersama suaminya itu. Dari kejauhan ia melihat Sarah sedang bercakap-cakap dengan Gusti. Dia berteriak menyebut nama sahabatnya itu dengan cukup keras. Sarah menoleh dan berlari mendekat. Kali ini kedua ibu itu saling memeluknya erat satu sama lain. Kedua wanita itu menangis tersedu-sedu.
“Sarah, terima kasih!”

12 Januari 2013 pernah diterbitkan di majalah hidup!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text