Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Pohon Keramat

Gugurlah sang penjaga itu. Kematian menjemputnya pagi-pagi hari itu. Semua orang datang melayat. Mereka berbondong-bondong mengantarnya ke liang lahat. Di tengah keramaian acara penguburan itu api perpecahan seolah-olah turun ke tengah-tengah mereka.

“Siapakah yang menggantikan Pak Yudas?” tanya seorang kepada yang lain. Semua tak berani membuka mulut. Mereka memandang satu sama lain. Bola mata mereka mulai menyindir dan menunding satu sama lain. Perlahan-lahan mereka mulai terpancing untuk buka suara. Perdebatan pun dimulai. Masalah empat puluh tahun silam itu pun akhirnya datang lagi.


Yudas dikenal penduduk kampung itu sebagai seorang penjaga pohon di tengah kampung selama empat puluh tahun. Dia hanya dikenal sebagai penjaga, tak seorang pun yang mengetahui siapakah Yudas sebenarnya. Memang beberapa orang yang sudah uzur usianya menyebut Yudas sebagai penyelamat.

Empat puluh tahun silam Yudas hanya dikenal seorang musafir. Berpakaian compang-camping, membawa sebuah tongkat, sebuah kantongan yang berisi pakaian digenggamnya. Ketika melewati kampung itu, ia ditahan warga. Ia ditawar menjadi penjaga pohon di tengah kampung itu. Ia menyepakatinya. Sejak saat itulah ia tak pernah meninggalkan kampung itu. Pagi dan sore hari ia selalu menyirami pohon yang sudah besar itu, menyiangi rumput liar yang tumbuh di sekitarnya, dan menempatkan persembahan warga. Malam hari pun ia tidur di dekat situ, di dalam sebuah pondok sederhana, beratap daun rumbia, berdindingkan gedek bambu.

Entah sudah berapa keturunan pohon itu dirawat bagai seorang bayi dan entah untuk berapa lama lagi. Yang pasti warga setempat masih dibayang-bayangi bencana dan penyakit menular. Pohon itu diyakini dihuni oleh roh-roh halus. Jika tidak dirawat dengan baik, bencana pun menjemput. Musim hujan tak ayal lagi pasti akan menyebabkan banjir. Pelbagai macam penyakit tiba-tiba menyerang warga. Banyak warga yang mati secara mengenaskan.

Namun empat puluh tahun ini, warga setempat menikmati kemewahan. Panenan hasil pertanian selalu melimpah. Banjir hebat yang kerap dicerita para kakek dan nenek seolah-olah mitos belaka. Mereka tampak sehat dan energik, pun berdamai satu sama lain. Namun mereka sadar, Pak Yudaslah yang paling berjasa atas semua itu.
***
Selepas kematian Pak Yudas, orang-orang mulai sibuk mengurutkan silsilah keluarganya. Kami  dari keturunan siapa? Apakah leluhur kami pernah menjadi raja? Seberapa populernya nama keluarga kami dalam sejarah? Keluarga siapakah yang layak kami perintah? Hampir semua warga di kampung itu mencari alasan untuk menjadi pemimpin dalam situasi itu.

“Dari keturunan kamu yang seharusnya menjaga pohon ini!”
“Kamu tidak bisa memberi perintah seperti itu kepada kami. Kami berasal dari keturunan keluarga Raja. Salah satu leluhur kami adalah istri kedua raja Baruk.” jawab seorang kepada yang lainnya.

Sudah umum diketahui, keturunan raja tidak boleh menjadi pesuruh atau pelayan, apalagi hanya bertugas menjaga pohon. Soalnya jelas, siapa yang memerintah siapa? Semua warga menarik garis keluarga. Bagaimana pun caranya, mereka berusaha sedemikian rupa sehingga  mempunyai jalinan hubungan darah dengan keluarga raja.

Kekacauan meluas. Tak satu pun keluarga yang mengaku tak memiliki hubungan darah dengan raja.  Keluarga-keluarga lantas mulai berkoalisi satu sama lain, menggalang kekuatan. Dalam waktu singkat, terbentuk beberapa kubu yang terus-menerus berdebat dan menebar kebencian satu sama lain.

“Keluarga mereka hanya keturunan dari seorang pengawal kesayangan raja.”
“ Tentu saja. Dari keturunan mereka yang seharusnya menjaga pohon itu”.
“ Tapi, keluarga mereka jumlahnya lebih banyak dari keluarga kita. Apakah kita sanggup memberi perintah kepada mereka?”

Begitulah mereka berunding satu sama lain. Hari-hari mereka mulai disibukkan dengan menggalang kekuatan. Mereka tentunya memperebutkan kursi kepemimpinan, memperebutkan kuasa untuk memberi mandat dan perintah.

Siapakah pemimpin akhirnya tak pernah terputuskan. Mereka berlarut-larut dalam debat, menebar kebencian, dan sibuk mencari celah untuk menyerang satu sama lain. Perang dan pembunuhan bisa saja terjadi setiap saat. Semua itu seolah-olah tinggal menunggu saat yang tepat.
***
Sementara itu, rumput-rumput liar dan tanaman menjalar mulai mengerumuni akar pohon keramat itu. Pagi dan sore hari tak ada lagi yang menyiramnya. Tak ada buah-buahan dan makanan yang dipersembahkan di situ. Ia makin tak terurus, dan kelihatan menyeramkan.

Sebagian mulai tak percaya cerita para leluhur. “Mungkinkah akan ada bencana? Kita biarkan saja dulu pohon itu tak terurus. Barangkali bencana itu hanya mitos belaka. Mengapa kita harus mencari pemimpin, toh jika ini hanya mitos belaka? “ Mereka ini mulai lelah dengan kasak-kusuk dan intrik-intrik politik yang tak pernah usai.

Yang lain tetap percaya. Mereka percaya, empat puluh tahun silam situasi panas membara seperti ini didinginkan dengan kehadiran Pak Yudas. Kala itu kekacauan telah nyaris menjadi perang saudara. Tak terbayangkan harus berapa banyak darah yang harus dikorbankan  demi menjaga pohon keramat itu. Untunglah suatu ketika, entah kenapa, Pak Yudas melintasi kampung itu. Padahal kampung ini terbilang cukup terisolasi, berada di lereng dekat puncak gunung sehingga hampir jarang disinggahi atau didatangi oleh orang dari luar kampung.

“Apakah akan ada orang datang lagi ke kampung ini seperti Pak Yudas?”
“Kita tunggu saja. Pasti akan seseorang yang menyelamatkan kita.”

Orang-orang mulai bernostalgia pada masa lalu. Mereka berharap, “Yudas” baru akan datang lagi menyelamatkan situasi kisruh ini. Akan tetapi, mereka boleh menanti seorang penyelamat seperti Yudas, sedangkan rumput dan tanaman liar semakin tinggi dan pohon itu kian tak terurus. Bukan hanya itu, masyarakat mulai terpecah belah. Tak ada lagi rapat bersama, tak ada lagi kerja sama. Kampung kian suram dan mengerikan, benih-benih kebencian tersirat dari  tatapan  mata mereka satu sama lain.
***
Musim hujan pun akhirnya tiba. Hujan mengguyur tiada henti siang malam. Butir-butir air hujan bak biji jagung itu perlahan-lahan mengenangkan air. Mereka mulai sadar, banjir bukan sekadar mitos. Air perlahan-lahan mulai menumpuk, menggenangi rumah warga, masuk menutupi semua taman, bahkan mulai menutupi rumput liar yang memadati pohon keramat itu.

 Tapi orang-orang tetap mempersoalkan siapakah pemimpin yang layak memberi perintah untuk menjaga pohon keramat itu. Pertarungan kepentingan kian tak terbendung. Tak ada yang mengalah. Tak ada yang mau diperintah. Semuanya ingin menjadi pemimpin.

Sampailah suatu hari, ketika banjir mulai meluas dan wabah penyakit mulai mengganas, mereka bertanya-tanya tentang Yudas. Siapakah Yudas sebenarnya? Darimanakah dia sebenarnya berasal? Apakah ia mempunyai sanak saudara yang dapat menolong kita untuk menjaga pohon ini?
“ Mari kita mencari asal usul Yudas, penyelamat itu!” begitu mereka berbisik satu sama lain.
“Kalian ke arah Barat dan kami ke arah Timur.”
“Kalian ke arah Selatan dan yang  lain ke Utara”

Begitulah akhirnya mereka berjalan menuju ke arah empat penjuru mata angin, mencari asal-usul dan sanak saudara Yudas yang melayani dan menyelamatkan itu. Satu per satu mereka menghilang dari kampung itu. Banjir mulai surut. Wabah penyakit pun raib dari warga. Tak ada lagi perdebatan, kekacauan mulai sirna. Keadaan  kembali menjadi tenang dan damai.

2 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text