Gugurlah sang penjaga itu. Kematian menjemputnya pagi-pagi hari itu.
Semua orang datang melayat. Mereka berbondong-bondong mengantarnya ke
liang lahat. Di tengah keramaian acara penguburan itu api perpecahan
seolah-olah turun ke tengah-tengah mereka.
“Siapakah yang
menggantikan Pak Yudas?” tanya seorang kepada yang lain. Semua tak
berani membuka mulut. Mereka memandang satu sama lain. Bola mata mereka
mulai menyindir dan menunding satu sama lain. Perlahan-lahan mereka
mulai terpancing untuk buka suara. Perdebatan pun dimulai. Masalah empat
puluh tahun silam itu pun akhirnya datang lagi.
Yudas
dikenal penduduk kampung itu sebagai seorang penjaga pohon di tengah
kampung selama empat puluh tahun. Dia hanya dikenal sebagai penjaga, tak
seorang pun yang mengetahui siapakah Yudas sebenarnya. Memang beberapa
orang yang sudah uzur usianya menyebut Yudas sebagai penyelamat.
Empat
puluh tahun silam Yudas hanya dikenal seorang musafir. Berpakaian
compang-camping, membawa sebuah tongkat, sebuah kantongan yang berisi
pakaian digenggamnya. Ketika melewati kampung itu, ia ditahan warga. Ia
ditawar menjadi penjaga pohon di tengah kampung itu. Ia menyepakatinya.
Sejak saat itulah ia tak pernah meninggalkan kampung itu. Pagi dan sore
hari ia selalu menyirami pohon yang sudah besar itu, menyiangi rumput
liar yang tumbuh di sekitarnya, dan menempatkan persembahan warga. Malam
hari pun ia tidur di dekat situ, di dalam sebuah pondok sederhana,
beratap daun rumbia, berdindingkan gedek bambu.
Entah
sudah berapa keturunan pohon itu dirawat bagai seorang bayi dan entah
untuk berapa lama lagi. Yang pasti warga setempat masih dibayang-bayangi
bencana dan penyakit menular. Pohon itu diyakini dihuni oleh roh-roh
halus. Jika tidak dirawat dengan baik, bencana pun menjemput. Musim
hujan tak ayal lagi pasti akan menyebabkan banjir. Pelbagai macam
penyakit tiba-tiba menyerang warga. Banyak warga yang mati secara
mengenaskan.
Namun empat puluh tahun ini, warga setempat
menikmati kemewahan. Panenan hasil pertanian selalu melimpah. Banjir
hebat yang kerap dicerita para kakek dan nenek seolah-olah mitos belaka.
Mereka tampak sehat dan energik, pun berdamai satu sama lain. Namun
mereka sadar, Pak Yudaslah yang paling berjasa atas semua itu.
***
Selepas
kematian Pak Yudas, orang-orang mulai sibuk mengurutkan silsilah
keluarganya. Kami dari keturunan siapa? Apakah leluhur kami pernah
menjadi raja? Seberapa populernya nama keluarga kami dalam sejarah?
Keluarga siapakah yang layak kami perintah? Hampir semua warga di
kampung itu mencari alasan untuk menjadi pemimpin dalam situasi itu.
“Dari keturunan kamu yang seharusnya menjaga pohon ini!”
“Kamu
tidak bisa memberi perintah seperti itu kepada kami. Kami berasal dari
keturunan keluarga Raja. Salah satu leluhur kami adalah istri kedua raja
Baruk.” jawab seorang kepada yang lainnya.
Sudah umum
diketahui, keturunan raja tidak boleh menjadi pesuruh atau pelayan,
apalagi hanya bertugas menjaga pohon. Soalnya jelas, siapa yang
memerintah siapa? Semua warga menarik garis keluarga. Bagaimana pun
caranya, mereka berusaha sedemikian rupa sehingga mempunyai jalinan
hubungan darah dengan keluarga raja.
Kekacauan meluas. Tak
satu pun keluarga yang mengaku tak memiliki hubungan darah dengan
raja. Keluarga-keluarga lantas mulai berkoalisi satu sama lain,
menggalang kekuatan. Dalam waktu singkat, terbentuk beberapa kubu yang
terus-menerus berdebat dan menebar kebencian satu sama lain.
“Keluarga mereka hanya keturunan dari seorang pengawal kesayangan raja.”
“ Tentu saja. Dari keturunan mereka yang seharusnya menjaga pohon itu”.
“ Tapi, keluarga mereka jumlahnya lebih banyak dari keluarga kita. Apakah kita sanggup memberi perintah kepada mereka?”
Begitulah
mereka berunding satu sama lain. Hari-hari mereka mulai disibukkan
dengan menggalang kekuatan. Mereka tentunya memperebutkan kursi
kepemimpinan, memperebutkan kuasa untuk memberi mandat dan perintah.
Siapakah
pemimpin akhirnya tak pernah terputuskan. Mereka berlarut-larut dalam
debat, menebar kebencian, dan sibuk mencari celah untuk menyerang satu
sama lain. Perang dan pembunuhan bisa saja terjadi setiap saat. Semua
itu seolah-olah tinggal menunggu saat yang tepat.
***
Sementara
itu, rumput-rumput liar dan tanaman menjalar mulai mengerumuni akar
pohon keramat itu. Pagi dan sore hari tak ada lagi yang menyiramnya. Tak
ada buah-buahan dan makanan yang dipersembahkan di situ. Ia makin tak
terurus, dan kelihatan menyeramkan.
Sebagian mulai tak
percaya cerita para leluhur. “Mungkinkah akan ada bencana? Kita biarkan
saja dulu pohon itu tak terurus. Barangkali bencana itu hanya mitos
belaka. Mengapa kita harus mencari pemimpin, toh jika ini hanya mitos
belaka? “ Mereka ini mulai lelah dengan kasak-kusuk dan intrik-intrik
politik yang tak pernah usai.
Yang lain tetap percaya.
Mereka percaya, empat puluh tahun silam situasi panas membara seperti
ini didinginkan dengan kehadiran Pak Yudas. Kala itu kekacauan telah
nyaris menjadi perang saudara. Tak terbayangkan harus berapa banyak
darah yang harus dikorbankan demi menjaga pohon keramat itu. Untunglah
suatu ketika, entah kenapa, Pak Yudas melintasi kampung itu. Padahal
kampung ini terbilang cukup terisolasi, berada di lereng dekat puncak
gunung sehingga hampir jarang disinggahi atau didatangi oleh orang dari
luar kampung.
“Apakah akan ada orang datang lagi ke kampung ini seperti Pak Yudas?”
“Kita tunggu saja. Pasti akan seseorang yang menyelamatkan kita.”
Orang-orang
mulai bernostalgia pada masa lalu. Mereka berharap, “Yudas” baru akan
datang lagi menyelamatkan situasi kisruh ini. Akan tetapi, mereka boleh
menanti seorang penyelamat seperti Yudas, sedangkan rumput dan tanaman
liar semakin tinggi dan pohon itu kian tak terurus. Bukan hanya itu,
masyarakat mulai terpecah belah. Tak ada lagi rapat bersama, tak ada
lagi kerja sama. Kampung kian suram dan mengerikan, benih-benih
kebencian tersirat dari tatapan mata mereka satu sama lain.
***
Musim
hujan pun akhirnya tiba. Hujan mengguyur tiada henti siang malam.
Butir-butir air hujan bak biji jagung itu perlahan-lahan mengenangkan
air. Mereka mulai sadar, banjir bukan sekadar mitos. Air perlahan-lahan
mulai menumpuk, menggenangi rumah warga, masuk menutupi semua taman,
bahkan mulai menutupi rumput liar yang memadati pohon keramat itu.
Tapi
orang-orang tetap mempersoalkan siapakah pemimpin yang layak memberi
perintah untuk menjaga pohon keramat itu. Pertarungan kepentingan kian
tak terbendung. Tak ada yang mengalah. Tak ada yang mau diperintah.
Semuanya ingin menjadi pemimpin.
Sampailah suatu hari,
ketika banjir mulai meluas dan wabah penyakit mulai mengganas, mereka
bertanya-tanya tentang Yudas. Siapakah Yudas sebenarnya? Darimanakah dia
sebenarnya berasal? Apakah ia mempunyai sanak saudara yang dapat
menolong kita untuk menjaga pohon ini?
“ Mari kita mencari asal usul Yudas, penyelamat itu!” begitu mereka berbisik satu sama lain.
“Kalian ke arah Barat dan kami ke arah Timur.”
“Kalian ke arah Selatan dan yang lain ke Utara”
Begitulah
akhirnya mereka berjalan menuju ke arah empat penjuru mata angin,
mencari asal-usul dan sanak saudara Yudas yang melayani dan
menyelamatkan itu. Satu per satu mereka menghilang dari kampung itu.
Banjir mulai surut. Wabah penyakit pun raib dari warga. Tak ada lagi
perdebatan, kekacauan mulai sirna. Keadaan kembali menjadi tenang dan
damai.
2 Februari 2013
Membeli Cinta
-
Di sebuah daerah tinggalah seorang saudagar yang kaya raya. Dia mempunyai
seorang hamba yang sangat lugu. Begitu lugunya, hingga orang memanggilnya
“si bo...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar