Lelaki berambut uban itu tak
dapat menyembunyikan rasa gembiranya. Sebuah cek tertera angka ratusan
juta rupiah diciumnya berkali-kali. Senyum manis memancar awet dari
bibir tipis yang mulai keriput. Sejenak ia mengelap kaca mata tebalnya.
Ia menggosok-gosoknya pada baju kemeja yang berwarna merah pucat.
Kemudian, ia melangkah gagah keluar dari gedung pencakar langit di Kota
Buenos Aires.
“Tuhan, Terima Kasih” katanya. Seumur hidup, ia tak pernah mendapat uang sebanyak itu. Tetapi, ia tahu, apa yang harus dia lakukan dengan uang sebanyak itu. Janjinya tidak ia lupa.
***
“Kalau ini betul, aku akan mengajak kamu liburan ke luar negeri!” katanya sambil tertawa suatu ketika. Ada nada canda di balik suara serak basah itu. Namun, Tian, rekan kerjanya mendengar penuh perhatian. Sudah belasan tahun mereka bersama, bekerja sebagai petugas kebersihan di terminal. Penghasilan pas-pasan. Waktu libur sedikit. Sementara jam kerja padat.
“Kamu menang undian ?” teriak Tian. Matanya berbinar-binar melihat secarik kertas putih. Diraihnya, kemudian dibacanya sejenak. “Kamu beruntung!” katanya dengan nada histeris. Sebuah sapu ijuk dilepaskannya begitu saja. Bunyi sapu yang jatuh itu seakan memecahkan kesunyian di kamar istirahat karyawan.
“Nasib jarang ketimban rejeki. Lihat yang begini, bisa teriak histeris. Ini’kan bohong!”
Tian tidak menggubrisnya. “Aku harus dapat jatah!” ucapnya lirih. Ditanggapinya dengan tertawa. Baginya, tingkah temannya terbilang aneh.
***
Kesunyian pagi perlahan lenyap. Bunyi mesin mulai sahut-menyahut. Aktivitas di terminal mulai padat. Orang-orang mulai berdatangan. Mereka memadati terminal. Membeli karcis, kemudian mengantre sebentar. Lalu datanglah bus. Mereka itu naik, sebaliknya ada lagi yang baru saja turun dari bus. Menanti angkutan jurusan yang berbeda, lalu pergi lagi. Beginilah suasana tiap pagi.
Sementara di salah satu pojok ruangan, matanya yang sudah mulai rabun selalu mengawasi sekeliling. Sebuah sapu digengamnya erat. Sebelumnya, ketika terminal belum seramai ini, ia sudah menyapu keseluruhan area ruang tunggu terminal. Tak ada benda apapun, semisal plastik bungkusan makanan, boleh berada di area itu. Ia bahkan telah mengepelnya. Kini tugasnya sedikit ringan. Melihat, barangkali ada yang membuang sampah sembarangan. Lalu, jika ada, ia memungut dan menaruhnya di tempat sampah.
“Selamat pagi!” sapaan itu mengagetkannya. Namun suara itu tidak asing lagi. Lelaki yang kurang lebih seumuran dengannya. Berambut putih dan berkepala botak di bagian atas dahi. Mengenakan jas hitam lusuh, celana panjang berwarna hitam pucat, dan sol sepatu yang hampir menipis. Dia hampir tiga atau dua kali dalam sepekan datang ke terminal. Entah mau kemana, tidak pernah ditanyakan olehnya. Bertegur sapa sudah biasa.
“Selamat pagi juga!” balasnya sembari membungkukkan badan. Suaranya basnya sedikit merendah. Hatinya mulai terusik. Ia harus mengembalikan kertas undian itu. Baginya, pria itu yang lebih berhak memperoleh hasil undian itu.
Ia mendongakkan kepala. Pria itu sudah menjauh beberapa langkah darinya, menuju sebuah bus yang sudah siap berangkat. Meski tergesa-gesa, tatapan pria itu tetap mengarah kepadanya. Ia tersenyum sambil melambaikan tangannya dari dalam bus. Lalu bayangannya menghilang seiring dengan deru mesin bus yang menjauh dari terminal.
***
“Jika semua orang di terminal ini seperti dia, kita tidak perlu bersusah payah bekerja.”
“Siapa?” tanya Tian sembari mengunyah nasi. Mereka sedang istirahat makan siang. Tetapi ia belum mulai makan. Ia masih ingin bercerita tentang pria itu.
“Pria yang memberikan kertas undian itu.” jawabnya. Tian kaget. Dia menoleh. Matanya melotot tanda tak percaya. Mulutnya masih dipenuhi makanan. “Undian itu bukan kamu yang dapat? Kenapa dia memberikan undian itu kepadamu?”
“Memang bukan saya yang dapat. Tapi itu juga bukan miliknya. Hanya saja dia yang memungut bungkusan plastik makanan itu” jelasnya. Tian mengernyitkan dahi. Ia mulai berpangku tangan, tanda mau mendengarkan penjelasan lebih lanjut.
“Dia satu-satunya yang datang terminal yang peduli dengan sampah. Kalau ada plastik bungkusan makanan, ia selalu pungut. Sudah sering aku melihatnya. Ia mengenalku sebagai petugas kebersihan di sana. Selalu menegurku. Suatu kali aku melihatnya, tidak bermaksud sengaja untuk memperhatikannya. Seorang ibu membuang begitu saja bungkusan makanannya. Ia memungutnya. Lalu karena terburu-buru, ia menitipkan bungkusan sampah itu kepadaku. Ia memintaku untuk membuangnya ke tempat sampah. Tanpa sengaja, aku melihat kertas undian ini di dalam plastik bungkusan itu.” jelasnya.
Tian diam. Ia menyedok kembali nasi. Namun, raut mukanya mulai muram. Tatapannya kosong. Sesaat kemudian ia mengutarakan isi kepalanya.
“Apakah kamu berencana mengembalikan undian itu?” tanya Tian, ringan.
“Iya.”
Beberapa hari setelah itu, konsentrasi keduanya terpecah. Antara sampah dan pria itu yang harus mereka perhatikan di terminal. Aneh. Pria berwajah oval itu tak tampak beberapa hari ini ketika mereka mulai mencarinya. Kedua mulai resah. Pria itu semakin misterius.
“Bagaimana kalau kita tukarkan saja undian ini?” usul Tian. Ia mulai tak sabar. Pencarian pria itu seakan menemui jalan buntu baginya. “Barangkali setelahnya kita mendapatkan hadiahnya, kita harus memberikan jatah juga buat dia. Kalau kita bertemu lagi dengannya.” lanjutnya.
***
Cek senilai ratusan juta rupiah itu membuat lelaki tua itu ingat pada Tian. Ia segera mengambil ponsel dari sakunya. Merampatkannya di telinga.
“Kawan, kamu mau ke negara apa?” sergapnya sembari tertawa berderai panjang.
“Vatikan!” suara Tian yang terdengar dari ponsel terdengar jelas. Lelaki tua itu segera sontak diam. Ia mengeluarkan kaca matanya. Kerutan dahinya makin kentara.
“Vatikan?” tanyanya heran.
“Iya. Laki-laki yang sering kamu jumpai di terminal sudah di sana. Aku ingin bertemu dia. Coba saja kamu nonton berita di televisi sekarang.” terangnya dengan semangat berapi-api. Lelaki tua itu segera mematikan ponsel. Segera ia pulang ke rumah.
***
Ada rasa tidak percaya saat pria biasa mengenakan jas lusuh itu kini dibalut dengan jubah putih. Sebuah topi putih kecil berbentuk mangkuk menutupi kepalanya. Ia berdiri sembari memamerkan senyum dari sebuah jendela besar bangunan Vatikan. Senyum itu sudah biasa dia lihat di terminal.
“Dia ternyata memenangkan undian yang lebih besar. Tapi aku harus tetap memberikan bagiannya” katanya kepada dirinya sendiri. Sejenak kemudian, telpon berdering. Segera dijawabnya.
“Aku tidak jadi ke Vatikan!” suara Tian dari ponsel terdengar menggelagar dalam kamar sempit itu. Belum sempat ditanya lanjut, ia langsung menyambar.
“Kata Paus baru, uang untuk hadir acara pelantikannya lebih baik digunakan untuk membantu orang miskin” katanya sambil tertawa dan mengakhiri pembicaraan.
16 Maret 2013
“Tuhan, Terima Kasih” katanya. Seumur hidup, ia tak pernah mendapat uang sebanyak itu. Tetapi, ia tahu, apa yang harus dia lakukan dengan uang sebanyak itu. Janjinya tidak ia lupa.
***
“Kalau ini betul, aku akan mengajak kamu liburan ke luar negeri!” katanya sambil tertawa suatu ketika. Ada nada canda di balik suara serak basah itu. Namun, Tian, rekan kerjanya mendengar penuh perhatian. Sudah belasan tahun mereka bersama, bekerja sebagai petugas kebersihan di terminal. Penghasilan pas-pasan. Waktu libur sedikit. Sementara jam kerja padat.
“Kamu menang undian ?” teriak Tian. Matanya berbinar-binar melihat secarik kertas putih. Diraihnya, kemudian dibacanya sejenak. “Kamu beruntung!” katanya dengan nada histeris. Sebuah sapu ijuk dilepaskannya begitu saja. Bunyi sapu yang jatuh itu seakan memecahkan kesunyian di kamar istirahat karyawan.
“Nasib jarang ketimban rejeki. Lihat yang begini, bisa teriak histeris. Ini’kan bohong!”
Tian tidak menggubrisnya. “Aku harus dapat jatah!” ucapnya lirih. Ditanggapinya dengan tertawa. Baginya, tingkah temannya terbilang aneh.
***
Kesunyian pagi perlahan lenyap. Bunyi mesin mulai sahut-menyahut. Aktivitas di terminal mulai padat. Orang-orang mulai berdatangan. Mereka memadati terminal. Membeli karcis, kemudian mengantre sebentar. Lalu datanglah bus. Mereka itu naik, sebaliknya ada lagi yang baru saja turun dari bus. Menanti angkutan jurusan yang berbeda, lalu pergi lagi. Beginilah suasana tiap pagi.
Sementara di salah satu pojok ruangan, matanya yang sudah mulai rabun selalu mengawasi sekeliling. Sebuah sapu digengamnya erat. Sebelumnya, ketika terminal belum seramai ini, ia sudah menyapu keseluruhan area ruang tunggu terminal. Tak ada benda apapun, semisal plastik bungkusan makanan, boleh berada di area itu. Ia bahkan telah mengepelnya. Kini tugasnya sedikit ringan. Melihat, barangkali ada yang membuang sampah sembarangan. Lalu, jika ada, ia memungut dan menaruhnya di tempat sampah.
“Selamat pagi!” sapaan itu mengagetkannya. Namun suara itu tidak asing lagi. Lelaki yang kurang lebih seumuran dengannya. Berambut putih dan berkepala botak di bagian atas dahi. Mengenakan jas hitam lusuh, celana panjang berwarna hitam pucat, dan sol sepatu yang hampir menipis. Dia hampir tiga atau dua kali dalam sepekan datang ke terminal. Entah mau kemana, tidak pernah ditanyakan olehnya. Bertegur sapa sudah biasa.
“Selamat pagi juga!” balasnya sembari membungkukkan badan. Suaranya basnya sedikit merendah. Hatinya mulai terusik. Ia harus mengembalikan kertas undian itu. Baginya, pria itu yang lebih berhak memperoleh hasil undian itu.
Ia mendongakkan kepala. Pria itu sudah menjauh beberapa langkah darinya, menuju sebuah bus yang sudah siap berangkat. Meski tergesa-gesa, tatapan pria itu tetap mengarah kepadanya. Ia tersenyum sambil melambaikan tangannya dari dalam bus. Lalu bayangannya menghilang seiring dengan deru mesin bus yang menjauh dari terminal.
***
“Jika semua orang di terminal ini seperti dia, kita tidak perlu bersusah payah bekerja.”
“Siapa?” tanya Tian sembari mengunyah nasi. Mereka sedang istirahat makan siang. Tetapi ia belum mulai makan. Ia masih ingin bercerita tentang pria itu.
“Pria yang memberikan kertas undian itu.” jawabnya. Tian kaget. Dia menoleh. Matanya melotot tanda tak percaya. Mulutnya masih dipenuhi makanan. “Undian itu bukan kamu yang dapat? Kenapa dia memberikan undian itu kepadamu?”
“Memang bukan saya yang dapat. Tapi itu juga bukan miliknya. Hanya saja dia yang memungut bungkusan plastik makanan itu” jelasnya. Tian mengernyitkan dahi. Ia mulai berpangku tangan, tanda mau mendengarkan penjelasan lebih lanjut.
“Dia satu-satunya yang datang terminal yang peduli dengan sampah. Kalau ada plastik bungkusan makanan, ia selalu pungut. Sudah sering aku melihatnya. Ia mengenalku sebagai petugas kebersihan di sana. Selalu menegurku. Suatu kali aku melihatnya, tidak bermaksud sengaja untuk memperhatikannya. Seorang ibu membuang begitu saja bungkusan makanannya. Ia memungutnya. Lalu karena terburu-buru, ia menitipkan bungkusan sampah itu kepadaku. Ia memintaku untuk membuangnya ke tempat sampah. Tanpa sengaja, aku melihat kertas undian ini di dalam plastik bungkusan itu.” jelasnya.
Tian diam. Ia menyedok kembali nasi. Namun, raut mukanya mulai muram. Tatapannya kosong. Sesaat kemudian ia mengutarakan isi kepalanya.
“Apakah kamu berencana mengembalikan undian itu?” tanya Tian, ringan.
“Iya.”
Beberapa hari setelah itu, konsentrasi keduanya terpecah. Antara sampah dan pria itu yang harus mereka perhatikan di terminal. Aneh. Pria berwajah oval itu tak tampak beberapa hari ini ketika mereka mulai mencarinya. Kedua mulai resah. Pria itu semakin misterius.
“Bagaimana kalau kita tukarkan saja undian ini?” usul Tian. Ia mulai tak sabar. Pencarian pria itu seakan menemui jalan buntu baginya. “Barangkali setelahnya kita mendapatkan hadiahnya, kita harus memberikan jatah juga buat dia. Kalau kita bertemu lagi dengannya.” lanjutnya.
***
Cek senilai ratusan juta rupiah itu membuat lelaki tua itu ingat pada Tian. Ia segera mengambil ponsel dari sakunya. Merampatkannya di telinga.
“Kawan, kamu mau ke negara apa?” sergapnya sembari tertawa berderai panjang.
“Vatikan!” suara Tian yang terdengar dari ponsel terdengar jelas. Lelaki tua itu segera sontak diam. Ia mengeluarkan kaca matanya. Kerutan dahinya makin kentara.
“Vatikan?” tanyanya heran.
“Iya. Laki-laki yang sering kamu jumpai di terminal sudah di sana. Aku ingin bertemu dia. Coba saja kamu nonton berita di televisi sekarang.” terangnya dengan semangat berapi-api. Lelaki tua itu segera mematikan ponsel. Segera ia pulang ke rumah.
***
Ada rasa tidak percaya saat pria biasa mengenakan jas lusuh itu kini dibalut dengan jubah putih. Sebuah topi putih kecil berbentuk mangkuk menutupi kepalanya. Ia berdiri sembari memamerkan senyum dari sebuah jendela besar bangunan Vatikan. Senyum itu sudah biasa dia lihat di terminal.
“Dia ternyata memenangkan undian yang lebih besar. Tapi aku harus tetap memberikan bagiannya” katanya kepada dirinya sendiri. Sejenak kemudian, telpon berdering. Segera dijawabnya.
“Aku tidak jadi ke Vatikan!” suara Tian dari ponsel terdengar menggelagar dalam kamar sempit itu. Belum sempat ditanya lanjut, ia langsung menyambar.
“Kata Paus baru, uang untuk hadir acara pelantikannya lebih baik digunakan untuk membantu orang miskin” katanya sambil tertawa dan mengakhiri pembicaraan.
16 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar