Rasanya baru kemarin aku memimpikan semua ini. Tiba-tiba semua impian
itu datang menyalamiku penuh keramahan. Perisai dan pedang, ketopong
kepala, baju zirah, ikat pinggang dan kasut kaki serta penutup dada kini
berada di depan mataku.
“Kamu boleh memakainya” perintah kepala legion itu dengan suara
datar. Aku segera mengenakannya. Rasa-rasanya aku memikul beban seberat
tiga puluhan kilo. Tapi justru karena semua itulah aku berjerih payah
melewati seleksi demi seleksi. Menjalani latihan siang dan malam.
Menerobos hutan, mendaki gunung, melewati malam dalam gua-gua, dan olah
fisik yang keras.
“Selamat kamu jadi perwira Romawi!”
Aku menahan air mata haru. Wajah ayah menghampiri benakku. Wajah kusut itu tak mungkin tak tersenyum menatapku seperti ini.
“Nak, mau jadi apakah kamu kelak? tanyanya suatu ketika. Kala itu aku baru berusia tujuh tahun.
“ Perajurit Romawi Ayah!” jawabku tangkas. Ayah tersenyum. Bola
matanya berbinar-binar. Menjadi perajurit hampir pasti menjadi impian
setiap anak di wilayah kekuasaan kerajaan Romawi. Siapa yang tidak
tergiur menunggang kuda, berbadan tegap dan kekar, mengenakan pakaian
kebesaran romawi. Apalagi jika mereka datang mengawasi lorong-lorong
kota kami, semua orang sangat menghormati mereka. Sekali menyuruh,
rakyat takluk.
“Perajut Romawi datang!” begitu orang berteriak jika barisan kuda
para serdadu Romawi mau masuk gerbang kota. Anak-Anak berhamburan lari
ke rumah masing-masing karena ketakutan. Ada yang diseret oleh orang
tuanya. Banyak orang tua tidak ingin anaknya menyaksikan kekejaman
serdadu Romawi.
Tetapi ayah membiarkanku berdiri di depan rumah. Dia tidak
menyuruhku masuk rumah, apalagi menyeretku. Ia hanya menatapku dari
jendela rumah. Entah mengapa, setiap menyaksikan perajurit Romawi, rasa
senang menyelinap dalam relung hatiku. Semakin hari, aku semakin ingin
menjadi perajurit Romawi. Sepertinya aku mengabaikan begitu saja
perlakuan kejam mereka atas warga di kotaku.
“Bagaimana?”
“Aku senang melihat mereka ayah!”
***
Kepala legion kemudian memanggilku masuk ke dalam kemah. Aku melangkah dengan rasa bangga.
“Apakah kamu benar tidak hendak berkhianat?” Ia menyergapku dengan pertanyaan.
“Benar! Aku sudah berpegang pada sumpah!” jawabku tanpa ragu. Memang
sebelum terpilih menjadi perajurit, langkahku sempat terhenti. Kepala
pasukan meragukan aku.
“Kamu putera Simon orang Zelot?” selidik kepala pasukan di saat aku
hendak mencapai tahap akhir dalam masa pendidikan keperajuritan.
Kekaisaran Romawi mempunyai catatan merah untuk orang-orang Zelot.
Orang-orang Zelot adalah anggota sebuah partai fanatik. Mereka pernah
ikut ambil bagian dalam pemberontakan Yahudi (67-70). Ayahku salah satu
di antara pengikutnya, tanpa sepengetahuanku. Dia merahasiakan
keanggotaannya dariku. Orang-orang menyebutnya Simon orang zelot.
Ayahku seorang fanatik pada agama Yahudi. Ia rajin mengunjungi
sinagoga. Mereka benci dengan Kerajaan Romawi yang memenuhi pundi-pundi
kekayaannya dengan mengumpulkan upeti dari tanah jajahan. Orang Zelot
keras menentang penyerahan upeti oleh Israel kepada kaisar kafir, dengan
alasan hal itu dianggap pengkhianatan terhadap Allah, Raja Israel yg
sebenarnya.
“Aku bukan salah satu anggota partai itu”. Kala itu aku mengaku
dengan jujur. Niat tulusku dibayar mahal. Aku harus menempuh setahun
lagi dalam pelatihan keperajuritan.
***
Tantangan kali ini sungguh berat. Nafasku tiba-tiba terasa sesak.
Kepala pasukan memintaku bergabung dalam pasukan pengejaran terhadap
para pengikut Yesus. Sejak kematian Yesus, isu pemberontakan kembali
bertiup ke Istana kekaisaran Romawi.
Pemberontakan adalah kejadian yang paling ditakuti Kerajaan Romawi.
Pemberontakan Matatias, anak-anak dan pengikutnya pernah memompa denyut
nadi Kaisar Antiokhus IV. Bagi Roma, pemberontakan ibarat menyulutkan
api pada jerami yang telah dibasahi minyak. Sebisa mungkin, api tidak
boleh menyala. Segala isu tentang pemberontakan begitu muncul sesegera
mungkin dipadamkan.
Tugas itu membuat aku takut pada nasib ayah. Semenjak non-aktif dari
partai fanatik—orang-orang Zelot, ayah memang setia menjadi pengikut
Yesus dari Nasaret. Ia tergolong dalam dua belas rasul. Ayah simpatik
pada pemuda yang mati disalibkan itu. Kini ayah terdaftar sebagai
buronan tentara Romawi.
Apakah ini pengujian kesetiaanku sebagai perajurit? haruskah aku
menangkap, menyiksa, dan menyandera ayahku sendiri? Aku dikepung
bermacam-macam pertanyaan. Aku harus memutuskan sesuatu.
***
Ayah duduk di ruang tamu. Ia sedang menyeduh segelas kopi ketika aku
masuk rumah. Aku berdiri tepat di pintu masuk. Memandangnya sebentar.
Melihatku, ia lekas bergegas dari tempat duduknya, mendekati aku,
memelukku erat. Air mata tak terbendung. Akhirnya ia melihat aku
mengenakan baju zirah, dipadu dengan penutup dada, penopong kepala.
Ia menyuruhku duduk, menatapku lama, memperhatikan bola mataku yang
tak setegar bola mata perajurit. Air mata mengalir menyegarkan pipi yang
dulu tak lekas iba pada penderitaan warga di kota kami. Sebaliknya
wajah tua itu, walaupun tampak kusut dimakan waktu, bola matanya masih
berpijar terang. Ia masih begitu semangat. Ada simponi kebahagiaan yang
tampak dari tatapannya.
Aku sadar, dia adalah prajurit sebenarnya. Ia berjuang mencari
kemerdekaan sejati orang-orang di Israel dari penjajahan Romawi. Tak
hanya itu, Yesus, sang guru muda begitu mencerahinya. Semangatnya tidak
surut. Ia memengaruhi orang banyak dengan ajaran-ajaran dari Yesus—“sang
pemberontak itu”. Sebaliknya aku mencari kemerdekaan bagi diriku
sendiri. Aku mencari kehormatan dan kebesaran bagi diriku sendiri.
“Nak, kenapa kamu menangis?”
Mungkin ia jarang melihat seorang perajurit menangis. Apalagi aku yang sejak kecil tak pernah terbiasa dengan air mata.
“Nak, kamu seorang perajurit Romawi!”. Ia lantas memelukku lagi.
“Tidak ayah. Aku perajuritmu!”.
29 September 2012: cerpen ini pernah dimuat di Majalah Hidup
Membeli Cinta
-
Di sebuah daerah tinggalah seorang saudagar yang kaya raya. Dia mempunyai
seorang hamba yang sangat lugu. Begitu lugunya, hingga orang memanggilnya
“si bo...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar