Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Anak Yudas orang Zelot

Rasanya baru kemarin aku memimpikan semua ini. Tiba-tiba semua impian itu datang menyalamiku penuh keramahan. Perisai dan pedang, ketopong kepala, baju zirah, ikat pinggang dan kasut kaki serta penutup dada kini berada di depan mataku.

“Kamu boleh memakainya” perintah kepala legion itu dengan suara datar. Aku segera mengenakannya. Rasa-rasanya aku memikul beban seberat tiga puluhan kilo. Tapi justru karena semua itulah aku berjerih payah melewati  seleksi demi seleksi. Menjalani latihan siang dan malam. Menerobos hutan, mendaki gunung, melewati malam dalam gua-gua,  dan olah fisik yang keras.

“Selamat kamu jadi perwira Romawi!”

Aku menahan air mata haru. Wajah ayah menghampiri benakku. Wajah kusut itu tak mungkin tak tersenyum menatapku seperti ini.

“Nak, mau jadi apakah kamu kelak? tanyanya suatu ketika. Kala itu aku baru berusia tujuh tahun.

“ Perajurit Romawi Ayah!” jawabku tangkas. Ayah tersenyum. Bola matanya berbinar-binar. Menjadi perajurit hampir pasti menjadi  impian setiap anak di wilayah kekuasaan kerajaan Romawi. Siapa yang tidak tergiur menunggang kuda, berbadan tegap dan kekar, mengenakan pakaian kebesaran romawi. Apalagi jika mereka datang mengawasi lorong-lorong kota kami, semua orang sangat menghormati mereka. Sekali menyuruh, rakyat takluk.

“Perajut Romawi datang!” begitu orang berteriak jika barisan kuda para serdadu Romawi  mau masuk gerbang kota. Anak-Anak berhamburan lari ke rumah masing-masing karena ketakutan. Ada yang diseret oleh orang tuanya. Banyak orang tua tidak ingin anaknya menyaksikan kekejaman serdadu Romawi.

Tetapi ayah membiarkanku berdiri di depan rumah.  Dia tidak menyuruhku masuk rumah, apalagi menyeretku. Ia hanya menatapku dari jendela rumah.  Entah mengapa, setiap menyaksikan perajurit Romawi, rasa senang menyelinap dalam relung hatiku. Semakin hari, aku semakin ingin menjadi perajurit Romawi. Sepertinya aku mengabaikan begitu saja perlakuan kejam mereka atas warga di kotaku.

“Bagaimana?”

“Aku senang melihat mereka ayah!”

***
Kepala legion kemudian memanggilku masuk ke dalam kemah. Aku melangkah dengan rasa bangga.

“Apakah kamu benar  tidak hendak berkhianat?” Ia menyergapku dengan pertanyaan.

“Benar! Aku sudah berpegang pada sumpah!” jawabku tanpa ragu. Memang sebelum terpilih menjadi perajurit, langkahku sempat terhenti. Kepala pasukan meragukan aku.

“Kamu putera Simon orang Zelot?”  selidik kepala pasukan di saat aku hendak mencapai tahap akhir dalam masa pendidikan keperajuritan.
Kekaisaran Romawi mempunyai catatan merah untuk orang-orang Zelot. Orang-orang Zelot adalah anggota sebuah partai fanatik. Mereka pernah  ikut ambil bagian dalam pemberontakan Yahudi (67-70).  Ayahku salah satu di antara pengikutnya, tanpa sepengetahuanku. Dia merahasiakan keanggotaannya dariku. Orang-orang menyebutnya Simon orang zelot.

Ayahku seorang fanatik pada agama Yahudi. Ia rajin mengunjungi sinagoga. Mereka benci dengan Kerajaan Romawi yang memenuhi pundi-pundi kekayaannya dengan mengumpulkan upeti dari tanah jajahan. Orang Zelot keras menentang penyerahan upeti oleh Israel kepada kaisar kafir, dengan alasan hal itu dianggap pengkhianatan terhadap Allah, Raja Israel yg sebenarnya.

“Aku bukan salah satu anggota partai itu”. Kala itu aku mengaku dengan jujur. Niat tulusku dibayar mahal. Aku harus menempuh setahun lagi dalam pelatihan keperajuritan.
***
Tantangan kali ini sungguh berat. Nafasku tiba-tiba terasa sesak. Kepala pasukan memintaku bergabung  dalam pasukan pengejaran terhadap para pengikut Yesus. Sejak kematian Yesus, isu pemberontakan kembali bertiup ke Istana kekaisaran Romawi.

Pemberontakan adalah kejadian yang paling ditakuti Kerajaan  Romawi. Pemberontakan Matatias, anak-anak dan pengikutnya pernah memompa denyut nadi Kaisar Antiokhus IV.  Bagi Roma, pemberontakan ibarat menyulutkan api pada jerami yang telah dibasahi minyak. Sebisa mungkin, api tidak boleh menyala. Segala isu tentang pemberontakan begitu muncul sesegera mungkin dipadamkan.

Tugas itu membuat aku takut pada nasib ayah. Semenjak non-aktif dari partai fanatik—orang-orang Zelot, ayah memang setia menjadi pengikut Yesus dari Nasaret. Ia tergolong dalam dua belas rasul. Ayah simpatik pada pemuda yang mati disalibkan itu. Kini ayah terdaftar sebagai buronan tentara Romawi.
Apakah ini pengujian kesetiaanku sebagai perajurit? haruskah aku menangkap, menyiksa, dan menyandera ayahku sendiri? Aku dikepung bermacam-macam pertanyaan. Aku harus memutuskan sesuatu.

***
Ayah duduk di ruang tamu. Ia sedang menyeduh segelas kopi ketika aku masuk rumah. Aku berdiri tepat di pintu masuk. Memandangnya sebentar. Melihatku, ia lekas bergegas dari tempat duduknya, mendekati aku, memelukku erat. Air mata tak terbendung.  Akhirnya ia melihat aku mengenakan baju zirah, dipadu dengan penutup dada, penopong kepala.

Ia menyuruhku duduk, menatapku lama,  memperhatikan bola mataku yang tak setegar bola mata perajurit. Air mata mengalir menyegarkan pipi yang dulu tak lekas iba pada penderitaan warga di kota kami. Sebaliknya wajah tua itu, walaupun tampak kusut dimakan waktu, bola matanya masih berpijar terang. Ia masih begitu semangat. Ada simponi kebahagiaan yang tampak dari tatapannya.

Aku sadar, dia adalah prajurit sebenarnya. Ia berjuang mencari kemerdekaan sejati orang-orang di Israel dari penjajahan Romawi. Tak hanya itu, Yesus, sang guru muda begitu mencerahinya. Semangatnya tidak surut. Ia memengaruhi orang banyak dengan ajaran-ajaran dari Yesus—“sang pemberontak itu”. Sebaliknya aku mencari kemerdekaan bagi diriku sendiri. Aku mencari kehormatan dan kebesaran bagi diriku sendiri.

“Nak, kenapa kamu menangis?”
Mungkin ia jarang melihat seorang perajurit menangis. Apalagi aku yang sejak kecil tak pernah terbiasa dengan air mata.

“Nak, kamu seorang perajurit Romawi!”. Ia lantas memelukku lagi.

“Tidak ayah. Aku perajuritmu!”.

29 September 2012: cerpen ini pernah dimuat di Majalah Hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text