1. Pengantar
Heidegger
adalah salah seorang filsuf yang mengajak kita untuk selalu berpikir tentang
prinsip-prinsip dasar atau kondisi-kondisi dasariah (nature) dari segala sesuatu. Maka dari itu, pertanyaan yang selalu
muncul, “Apa itu?”,
“Apa
ini?”,
dan lain sebagainya. Pada intinya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu merangsang
kita untuk selalu berpikir dan bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Sehubungan
dengan itu, John Peacocke dalam “
Heidegger and The Problem of Onto-Theologis” berusaha menelaah lebih dalam
pemikiran Heidegger. Dalam tulisan ini,
diperlihatkan secara spesifik keberatan
Heidegger terhadap metafisika, teologi, dan filsafat Barat di satu pihak, dan pemikiran John Peacocke
tentang agama (religion) di lain pihak. John Peacocke
secara khusus dalam tulisannya mengangkat persoalan, “Apakah yang disebut
sebagai agama (religion)?” Persoalan
ini jarang dibicarakan oleh Heidegger
sekaligus memiliki kedekatan dengan persoalan yang diusung oleh Heidegger,
yakni “Apakah yang disebut sebagai teologi?”.
Atas
dasar itu, pertanyaan
paling sentral untuk dijawab adalah mengapa Heidegger
“segan” untuk menulis teologi? Atau apakah yang menjadi dasar penolakan
Heidegger terhadap teologi? Pertanyaan tersebut dengan sendirinya membawa
kejelasan baik bagi
pertanyaan Heidegger sendiri maupun pertanyaan John Peacocke.
2.
Keseluruhan Problematika Onto-theologi
Onto-theologi adalah
neo-logisme (neologism) yang berusaha menyingkapkan nature dari segala
sesuatu. Onto-theologi sering disebut
juga sebagai metafisika Barat yang dimulai dari Descartes dan diakhiri oleh
kritik ontotheologis Heidegger. Dinamika
metafisika ini pun tidak terlepas dari akarnya pada
filsafat Yunani dan deklarasi Nietzsche tentang, “God is Dead”.
Metafisika
Barat bertolak dari pertanyaan: mengapa ada sesuatu daripada tidak sesuatu
(apa)? Jelas bahwa metafisika Barat berpretensi melampaui beings untuk menemukan being
as such dan being as whole. Lantas dari
pertanyaan ini akan terus memunculkan pertanyaan yang pada akhirnya menanyakan Being sebagai Ada yang terdasar (ground).
Menghadapi
pertanyaan tersebut, spekulasi metafisis (thingking[1])
Barat menempatkan Being
itu sebagai
Causa Sui, Idea, substansi, atau Roh absolut,
dasar segala sesuatu. Untuk mengenali
jawaban tersebut, thinking
menggunakan logika sebagai mesin pencari “sebab” (reason). Pada akhirnya, ciri logosentrisme ini menuntunkan kita kepada pencarian sebab yang paling ultimo (arkhe). Dengan mesin logika ini, Being sebagai arkhe
seolah-olah menjadi terang dan jelas. Sebab thinking dalam pengertian tersebut tidak lain adalah ketaktersembunyian
berbagai pemikirannya yang pada gilirannya membuang jauh-jauh irrasionalisme. Thinking diidentikkan dengan rationalitas
yang memberikan alasan-alasan dan penjelasan.
Paham metafisika Barat itulah yang menjadi kritikan
Heidegger. Bagi Heidegger, pertanyaan utama dalam metafisika bukanlah, “mengapa
ada sesuatu (apa)?” melainkan “mengapa tidak ada sesuatu (apa)?”. Pertanyaan
baru yang diajukan oleh Heidegger ini adalah pertanyaan tentang Being yang sebenarnya. Pertanyaan
metafisika Barat yang menanyakan adanya sesuatu menyebabkan kelupaan Being pada dirinya sendiri. Being seolah-olah selalu diwahyukan
dalam idea-idea sedemikian sehingga menutup kemungkinan terhadap kekuatan irrasionalisme.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa thinking
diidentikkan dengan ratio yang berusaha memberikan argumentasi dan penjelasan
saja sehingga menaruh perhatian pada dimensi yang tampak dari Being.
Being dalam pemikiran Heidegger merupakan suatu yang selalu
terbuka terhadap berbagai pertanyaan. Artinya bahwa dalam thinking mengenai Being,
ada dimensi yang belum terpikirkan, tidak tampak (un-thought). Unthought tersebut bukanlah suatu kekurangan yang
inheren dalam thinking, melainkan
menunjukkan suatu kekuatan irrasionalisme yang belum tersingkapkan. Dengan
demikian, thinking dalam pengertian
Heidegger masih terbuka terhadap kekuatan irrasionalisme. Pada titik ini kita
melihat usaha Heidegger untuk melampaui metafisika Barat tersebut.
3.
Deklarasi Nietzsche mengenai “God is Dead”
Deklarasi Nietzsche mengenai “God is Dead” menandai
suatu perubahan penting dalam sejarah filsafat. Meskipun demikian, Heidegger
tetap menempatkan Heidegger sebagai pemikir terakhir metafisika Barat. Mengapa?
“God” dalam deklarasi Nietzsche adalah nilai-nilai dan
keadaan yang ideal yang merujuk pada dominasi konsep-konsep Kritianitas pada
zamannya. Melalui deklarasi tersebut, Nietzsche menegaskan bahwa dunia ini
sebenarnya adalah kekacauan (superabundant
life). Menghadapi dunia seperti ini, manusia seharusnya menciptakan (revaluasi)
nilai-nilai bagi dirinya sendiri yang dilandasi oleh will to power. Dengan kata lain, dia menolak untuk begitu saja
tunduk kepada nilai-nilai Kristianitas. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa
kematian Tuhan yang dimaksud Nietzsche adalah suatu keadaan raibnya(devaluasi)
nilai-nilai. Keadaan tersebut disebut juga sebagai era nihilisme.
Deklarasi ini sekaligus menjungkirbalikkan keseluruhan
filsafat yang telah dibangun sejak filsafat Yunani. Pemikiran Platon yang
kemudian diinterpretasi oleh kristianitas menunjukkan bahwa “the real world”
adalah idea-idea. Idea menurut Platon adalah kebenaran, yakni ketepatan sesuatu
yang tampak; ketepatan antara derajat pengetahuan dan objeknya. Dalam konteks
ini selayaknya deklarasi “God is Dead” Nietsche ditempatkan, yakni raibnya
konsep idea-idea tersebut. Dengan deklarasi itu, Nietzsche sebenarnya pada sisi
lain mau memproklamirkan dua komponen yang menjadi elemen penting dalam
metafisika Barat yakni nilai (value)
dan ground.
Di mata Heidegger, Nietzsche tetap digolongkan sebagai
penganut metafisika Barat. Meskipun telah terlihat jelas bahwa Nietzsche telah
mengkritisi filsafat-filsafat era sebelumnya. Menurut Heidegger, Platon dengan
konsep idea-ideanya sebagai aletheia (kebenaran)
merupakan akar dari kesalahan metafisika Barat. Being menurut Heidegger meskipun akan tampak dalam beings
tetapi tetap tidak pernah habis. Dengan menunjukkan bahwa kebenaran adalah
ketaktersembunyian yang paling ultim, Platon sebenarnya mereduksi Being itu sendiri.
Menurut
Heidegger Nietzsche tidak berbeda jauh dengan Platon. Meskipun
mengkritik Platon, Nietzsche sebenarnya mereduksi
Being ke dalam nilai-nilai sehingga
ia masih terperangkap dalam tradisi onto-theologi. Heidegger bahkan menandaskan
bahwa Nietzsche disejajarkan dengan Aristoteles dan Thomas Aquinas.
Aristoteles mengklaim tentang prinsip
dasar substansi sedangkan Thomas Aquinas berbicara mengenai penggerak yang tak tergerakkan. Oleh karena
itu, posisi argumentasi Heidegger yang menempatkan Nietzsche sebagai pemikir
ontotheologis masih dapat diterima. Dalam arti, thinking masih direduksi ke dalam determinasi rasionalitas.
4.
Apa itu Teologi?
Pertanyaan ini adalah kunci untuk memahami pemikiran
Heidegger, terutama menyangkut tugas dari thinking.
Pandangan Heidegger tentang teologi juga mengantar kita kepada pemahaman
mengenai, “apa itu agama(religion)?”.
Teologi adalah ilmu yang mempejari tentang Tuhan,
relasi-Nya dengan manusia dan dunia, dan sistem pada dirinya sendiri. Sebagai
sebuah bidang keilmuan, teologi tidak lain adalah rumusan sistematis mengenai
Allah dan logos (kesadaran,
rasionalitas). Akan tetapi dalam konteks Yunani yang belum mengenal konsep
mengenai Tuhan, teologi diartikan sebagai ungkapan mite-poetic(sastra dari mite-mite) tentang dewa-dewa.
Bagi Heidegger, konsep teologi sebagai sains yang
mengandalkan rationalitas (logika) menyebabkan persoalan-persoalan. Pertama,
sebagai positive sains teologi
sejajar dengan psikologi, biologi, arkeologi, zoologi, dan patologi. Binatang
merupakan jelas objek studi zoologi. Akan tetapi, apakah Tuhan merupakan objek
investigasi dari teologi? Sulit dipastikan sebagaimana ilmu-ilmu yang lainnya.
Menurut Heidegger, teologi sebenarnya menegaskan tentang sejarah (peristiwa
pewahyuan) dan rumusan sistematik. Sejarah dalam konteks ini adalah suatu
peristiwa yang kemudian berkembang
menjadi iman dari suatu komunitas. Dalam pengertian ini, teologi dilihat
sebagai suatu usaha untuk meneruskan iman tersebut (sejarah) secara sistematis.
Kedua, menurut Heidegger teologi selalu berurusan
dengan iman. Berteologi tidak lain adalah memikirkan hal-hal pokok yang nyata
dalam teologi sesuai dengan tuntutan iman. Konsekuensinya, dalam teologi
sebenarnya tidak ada kebebasan thingking.
Dengan kata lain, thinking menjadi
“mati” tatkala diarahkan dan dipersembahkan hanya untuk wahyu. Padahal, thinking sejatinya adalah ketika
seseorang berusaha mencari apa yang menjadi haknya (kebebasannya)sendiri.
Atas dasar itu, Heidegger mengatakan bahwa filsafat
kristiani adalah suatu yang absurb atau
“omong kosong”. Klaim tersebut terungkap dalam tulisannya Phenomenology and theology. Dalam tulisannya An Introduction of Metaphysics dipertegas pula bahwa tidak ada
teologi-fenomenologi. Menurut
Heidegger, fenomenologi berhubungan erat dengan metode filsafat, yakni suatu
prosedur ontologis yang memisahkan dengan tegas nature pada dirinya sendiri dengan konstruksi sains. Dengan kata
lain, Heidegger memisahkan secara tegas antara teologi dan filsafat. Bahkan
perceraian teologi dari filsafat tidak dapat didamaikan kembali.
Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa teologi
dalam pandangan Heidegger bukan thinking
lantaran rumusan sistematisnya didorong semata-mata oleh iman. Selain tidak
adanya kebebasan thinking, objek
kajiannya tidaklah begitu terang dan jelas bagi Heidegger. Jika demikian, yang
menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah yang dimaksud dengan thinking menurut Heidegger.
5.
Thinking dan Religion (Agama)
Ada perbedaan yang tajam antara thinking dalam filsafat
Barat , metafisika, dan teologi di satu pihak dan thinking dalam pemikiran Heidegger di lain pihak. Sebagaimana yang
dijelaskan sebelumnya, thinking dalam
filsafat Barat telah direduksi menjadi determinasi rasionalitas. Sedangkan yang
perlu digali adalah thinking dalam
pemikiran Heidegger. Yang pasti dari pengertian thinking menurut Heidegger diperlawankan dengan argumentasi
rasionalitas.
Heidegger
menyebut thinking dalam logosentrisme
(filsafat Barat) sebagai kalkulatif (calculative).
Thinking ini berhubungan erat dengan
teknologi dan gestell. Dari sudut pandang “thinking”(teknologi) ini
dunia dilihat sebagai dasar pendirian. Dengan demikian, posisi Being dalam era teknologi adalah sebagai standing reserve (dinomorduakan,
disepelehkan). Adalah jelas bahwa “thinking” (teknologi) bukanlah thinking seperti yang dimaksud oleh Heidegger.
Thinking dalam pandangan Heidegger adalah meditative thinking (meditasi thinking)
yang merupakan negasi dari calculative
thinking. Karakter dasar dari meditative
thinking adalah ketenangan (serenity),
diam di dalam logos yang berciri non-willed,
non-force, dan non- concern activity
( tanpa keinginan, tanpa kekuatan, dan tanpa fokus pada kegiatan). Selain itu, meditative thinking adalah kegiatan
menunggu panggilan guna menjadikan segala sesuatu menjadi bebas berkembang
sesuai dengan prinsip-prinsip dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, tidak
dimanfaatkan, dimanipulasi, dan didominasi sebagaimana dalam calculative thinking.
Meditative thinking pada prinsipnya berusaha mendengarkan panggilan Being. Inilah yang disebut sebagai
mendengarkan secara otentik (otentik
hearing). Karena itu, prinsip dasar dalam meditative thinking adalah kesalehan, mau menerima, dan memberikan
rasa hormat. Selain itu prinsip yang terutama dalam thinking (mendengarkan Being)
adalah ucapan syukur atau pujian atas kedatangan panggilan tersebut. Secara
singkat, tahap mendengarkan panggilan Being
(otentik hearing) tersebut adalah mendengarkan panggilan Being itu sendiri, menempatkannya
sebagai bagian dari dalam diri sendiri, dan menaatinya.
Lantas, apakah
yang dimaksud dengan agama (religion)?
Ini adalah pertanyaan pokok dari John Peacocke. Menurut John, religion tidak dapat disamakan dengan
teologi. Religion tidak berada dalam batasan rasionalitas dan reason, tetapi essensi dasarnya adalah
sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut, ia menerangkan
bahwa religius thinking adalah thinking
tentang kebenaran Being yang tercemin dalam meditasi yang paling dalam.
Religius thinking ini tidak lain
adalah suatu pencarian religius dan mengantar kita kepada yang luhur. Lebih
lanjut, religius sebenarnya berada dalam suatu tuntunan hati (direction of the hearth). Sampai pada
titik ini, John menarik suatu benang
merah bahwa thinking yang
dimaksudkan oleh Heidegger adalah essensi dari religius itu sendiri.
Sebagai penutup tulisan ini, dikemukakan dua tanggapan
kritis John Peacocke terhadap pemikiran Heidegger. Pertama, meskipun Heidegger
sering di-“sama”-kan dengan Nietzsche, namun perbedaannya adalah bahwa
Heidegger tetap memberi ruang bagi iman dan kepercayaan. Menurut Heidegger,
memikirkan tiadanya Tuhan justru lebih menguatkan kemungkinan tentang adanya
Tuhan. Dengan pernyataan demikian, Heidegger sebenarnya tidak tahan hidup di
dunia tanpa Allah. Kedua, melalui meditative
thinking, Heidegger berusaha mencari eksistensi Tuhan. Akan tetapi
tampaknya sia-sia karena meditative
thinking hanya merupakan keterbukaan kepada misteri dan malah membawa
kembali kepada spekulasi metafisis ontotheologis. John percaya bahwa meditative thinking dimaksud oleh
Heidegger adalah religius thinking.
[1] Sulit
mendefinisikan secara persis arti dari thinking.
Arti thinking dalam tulisan ini dapat diartikan kegiatan
memikirkan. Akan tetapi, ada pembedaan yang tegas antara thinking dalam teologi, filsafat, dan metafisika dan thinking dalam pengertian Heidegger. Di
satu pihak thinking ini berhubungan
erat dengan rasionalitas, d lain pihak adalah tidak bisa direduksi ke dalam
rasionalitas (Heidegger).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar