Pages

Ads 468x60px

Jumat, 14 Maret 2014

Heidegger dan Masalah Onto-theologi


1. Pengantar
            Heidegger adalah salah seorang filsuf yang mengajak kita untuk selalu berpikir tentang prinsip-prinsip dasar atau kondisi-kondisi dasariah (nature) dari segala sesuatu. Maka dari itu, pertanyaan yang selalu muncul, “Apa itu?”, Apa ini?”, dan lain sebagainya. Pada intinya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu merangsang kita untuk selalu berpikir dan bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

            Sehubungan dengan itu, John  Peacocke dalam “ Heidegger and The Problem of Onto-Theologis” berusaha menelaah lebih dalam pemikiran Heidegger.  Dalam tulisan ini, diperlihatkan secara spesifik keberatan Heidegger terhadap metafisika, teologi, dan filsafat Barat di satu pihak, dan pemikiran John Peacocke tentang agama (religion) di lain pihak. John Peacocke secara khusus dalam tulisannya mengangkat persoalan, “Apakah yang disebut sebagai agama (religion)?” Persoalan ini jarang dibicarakan oleh  Heidegger sekaligus memiliki kedekatan dengan persoalan yang diusung oleh Heidegger, yakni “Apakah yang disebut sebagai teologi?”.


            Atas dasar itu, pertanyaan paling sentral untuk dijawab adalah mengapa Heidegger “segan” untuk menulis teologi? Atau apakah yang menjadi dasar penolakan Heidegger terhadap teologi? Pertanyaan tersebut dengan sendirinya membawa kejelasan baik bagi pertanyaan Heidegger sendiri maupun pertanyaan John Peacocke.

2. Keseluruhan Problematika Onto-theologi

            Onto-theologi adalah neo-logisme (neologism) yang berusaha menyingkapkan nature dari segala sesuatu. Onto-theologi sering disebut juga sebagai metafisika Barat yang dimulai dari Descartes dan diakhiri oleh kritik ontotheologis Heidegger. Dinamika metafisika ini pun tidak terlepas dari akarnya pada filsafat Yunani dan deklarasi Nietzsche tentang, “God is Dead”.

            Metafisika Barat bertolak dari pertanyaan: mengapa ada sesuatu daripada tidak sesuatu (apa)? Jelas bahwa metafisika Barat berpretensi melampaui beings untuk menemukan being as such dan  being as whole. Lantas dari pertanyaan ini akan terus memunculkan pertanyaan yang pada akhirnya menanyakan Being sebagai Ada yang terdasar (ground).

            Menghadapi pertanyaan tersebut, spekulasi metafisis (thingking[1]) Barat  menempatkan Being itu sebagai Causa Sui, Idea, substansi, atau Roh absolut, dasar segala sesuatu. Untuk mengenali jawaban tersebut, thinking menggunakan logika sebagai mesin pencari “sebab” (reason). Pada akhirnya, ciri logosentrisme ini menuntunkan kita kepada pencarian sebab yang paling ultimo (arkhe). Dengan mesin logika ini, Being sebagai arkhe seolah-olah menjadi terang dan jelas. Sebab thinking  dalam pengertian tersebut tidak lain adalah ketaktersembunyian berbagai pemikirannya yang pada gilirannya membuang jauh-jauh irrasionalisme. Thinking diidentikkan dengan rationalitas yang memberikan alasan-alasan dan penjelasan.

            Paham metafisika Barat itulah yang menjadi kritikan Heidegger. Bagi Heidegger, pertanyaan utama dalam metafisika bukanlah, “mengapa ada sesuatu (apa)?” melainkan “mengapa tidak ada sesuatu (apa)?”. Pertanyaan baru yang diajukan oleh Heidegger ini adalah pertanyaan tentang Being yang sebenarnya. Pertanyaan metafisika Barat yang menanyakan adanya sesuatu menyebabkan kelupaan Being pada dirinya sendiri. Being seolah-olah selalu diwahyukan dalam idea-idea sedemikian sehingga menutup kemungkinan terhadap kekuatan irrasionalisme. Secara singkat dapat dikatakan bahwa thinking diidentikkan dengan ratio yang berusaha memberikan argumentasi dan penjelasan saja sehingga menaruh perhatian pada dimensi yang tampak dari Being.

            Being dalam pemikiran Heidegger merupakan suatu yang selalu terbuka terhadap berbagai pertanyaan. Artinya bahwa dalam thinking mengenai Being, ada dimensi yang belum terpikirkan, tidak tampak (un-thought). Unthought  tersebut bukanlah suatu kekurangan yang inheren dalam thinking, melainkan menunjukkan suatu kekuatan irrasionalisme yang belum tersingkapkan. Dengan demikian, thinking dalam pengertian Heidegger masih terbuka terhadap kekuatan irrasionalisme. Pada titik ini kita melihat usaha Heidegger untuk melampaui metafisika Barat tersebut.

3. Deklarasi Nietzsche mengenai “God is Dead”

            Deklarasi Nietzsche mengenai “God is Dead” menandai suatu perubahan penting dalam sejarah filsafat. Meskipun demikian, Heidegger tetap menempatkan Heidegger sebagai pemikir terakhir metafisika Barat. Mengapa?

            “God” dalam deklarasi Nietzsche adalah nilai-nilai dan keadaan yang ideal yang merujuk pada dominasi konsep-konsep Kritianitas pada zamannya. Melalui deklarasi tersebut, Nietzsche menegaskan bahwa dunia ini sebenarnya adalah kekacauan (superabundant life). Menghadapi dunia seperti ini, manusia seharusnya menciptakan (revaluasi) nilai-nilai bagi dirinya sendiri yang dilandasi oleh will to power. Dengan kata lain, dia menolak untuk begitu saja tunduk kepada nilai-nilai Kristianitas. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa kematian Tuhan yang dimaksud Nietzsche adalah suatu keadaan raibnya(devaluasi) nilai-nilai. Keadaan tersebut disebut juga sebagai era nihilisme.

            Deklarasi ini sekaligus menjungkirbalikkan keseluruhan filsafat yang telah dibangun sejak filsafat Yunani. Pemikiran Platon yang kemudian diinterpretasi oleh kristianitas menunjukkan bahwa “the real world” adalah idea-idea. Idea menurut Platon adalah kebenaran, yakni ketepatan sesuatu yang tampak; ketepatan antara derajat pengetahuan dan objeknya. Dalam konteks ini selayaknya deklarasi “God is Dead” Nietsche ditempatkan, yakni raibnya konsep idea-idea tersebut. Dengan deklarasi itu, Nietzsche sebenarnya pada sisi lain mau memproklamirkan dua komponen yang menjadi elemen penting dalam metafisika Barat yakni nilai (value) dan ground.

            Di mata Heidegger, Nietzsche tetap digolongkan sebagai penganut metafisika Barat. Meskipun telah terlihat jelas bahwa Nietzsche telah mengkritisi filsafat-filsafat era sebelumnya. Menurut Heidegger, Platon dengan konsep idea-ideanya sebagai aletheia (kebenaran) merupakan akar dari kesalahan metafisika Barat. Being menurut Heidegger meskipun akan tampak  dalam beings tetapi tetap tidak pernah habis. Dengan menunjukkan bahwa kebenaran adalah ketaktersembunyian yang paling ultim, Platon sebenarnya mereduksi Being itu sendiri.

            Menurut  Heidegger Nietzsche tidak berbeda jauh dengan Platon. Meskipun mengkritik Platon, Nietzsche sebenarnya  mereduksi Being ke dalam nilai-nilai sehingga ia masih terperangkap dalam tradisi onto-theologi. Heidegger bahkan menandaskan bahwa Nietzsche disejajarkan dengan Aristoteles dan Thomas Aquinas. Aristoteles  mengklaim tentang prinsip dasar substansi sedangkan Thomas Aquinas berbicara mengenai  penggerak yang tak tergerakkan. Oleh karena itu, posisi argumentasi Heidegger yang menempatkan Nietzsche sebagai pemikir ontotheologis masih dapat diterima. Dalam arti, thinking masih direduksi ke dalam determinasi rasionalitas.

4. Apa itu Teologi?   
            Pertanyaan ini adalah kunci untuk memahami pemikiran Heidegger, terutama menyangkut tugas dari thinking. Pandangan Heidegger tentang teologi juga mengantar kita kepada pemahaman mengenai, “apa itu agama(religion)?”.

            Teologi adalah ilmu yang mempejari tentang Tuhan, relasi-Nya dengan manusia dan dunia, dan sistem pada dirinya sendiri. Sebagai sebuah bidang keilmuan, teologi tidak lain adalah rumusan sistematis mengenai Allah dan logos (kesadaran, rasionalitas). Akan tetapi dalam konteks Yunani yang belum mengenal konsep mengenai Tuhan, teologi diartikan sebagai ungkapan mite-poetic(sastra dari mite-mite) tentang dewa-dewa.

            Bagi Heidegger, konsep teologi sebagai sains yang mengandalkan rationalitas (logika) menyebabkan persoalan-persoalan. Pertama, sebagai positive sains teologi sejajar dengan psikologi, biologi, arkeologi, zoologi, dan patologi. Binatang merupakan jelas objek studi zoologi. Akan tetapi, apakah Tuhan merupakan objek investigasi dari teologi? Sulit dipastikan sebagaimana ilmu-ilmu yang lainnya. Menurut Heidegger, teologi sebenarnya menegaskan tentang sejarah (peristiwa pewahyuan) dan rumusan sistematik. Sejarah dalam konteks ini adalah suatu peristiwa yang  kemudian berkembang menjadi iman dari suatu komunitas. Dalam pengertian ini, teologi dilihat sebagai suatu usaha untuk meneruskan iman tersebut (sejarah) secara sistematis.   

            Kedua, menurut Heidegger teologi selalu berurusan dengan iman. Berteologi tidak lain adalah memikirkan hal-hal pokok yang nyata dalam teologi sesuai dengan tuntutan iman. Konsekuensinya, dalam teologi sebenarnya tidak ada kebebasan thingking. Dengan kata lain, thinking menjadi “mati” tatkala diarahkan dan dipersembahkan hanya untuk wahyu. Padahal, thinking sejatinya adalah ketika seseorang berusaha mencari apa yang menjadi haknya (kebebasannya)sendiri.

            Atas dasar itu, Heidegger mengatakan bahwa filsafat kristiani adalah suatu yang  absurb atau “omong kosong”. Klaim tersebut terungkap dalam tulisannya Phenomenology and theology. Dalam tulisannya An Introduction of Metaphysics dipertegas pula bahwa tidak ada teologi-fenomenologi. Menurut Heidegger, fenomenologi berhubungan erat dengan metode filsafat, yakni suatu prosedur ontologis yang memisahkan dengan tegas nature pada dirinya sendiri dengan konstruksi sains. Dengan kata lain, Heidegger memisahkan secara tegas antara teologi dan filsafat. Bahkan perceraian teologi dari filsafat tidak dapat didamaikan kembali.

            Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa teologi dalam pandangan Heidegger bukan thinking lantaran rumusan sistematisnya didorong semata-mata oleh iman. Selain tidak adanya kebebasan thinking, objek kajiannya tidaklah begitu terang dan jelas bagi Heidegger. Jika demikian, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah yang dimaksud dengan thinking menurut Heidegger.

5. Thinking dan Religion (Agama)

            Ada perbedaan yang tajam antara thinking  dalam filsafat Barat , metafisika, dan teologi di satu pihak dan thinking dalam pemikiran Heidegger di lain pihak. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, thinking dalam filsafat Barat telah direduksi menjadi determinasi rasionalitas. Sedangkan yang perlu digali adalah thinking dalam pemikiran Heidegger. Yang pasti dari pengertian thinking menurut Heidegger diperlawankan dengan argumentasi rasionalitas.

            Heidegger menyebut thinking dalam logosentrisme (filsafat Barat) sebagai kalkulatif (calculative). Thinking ini berhubungan erat dengan teknologi dan gestell.  Dari sudut pandang “thinking”(teknologi) ini dunia dilihat sebagai dasar pendirian. Dengan demikian, posisi Being  dalam era teknologi adalah sebagai standing reserve (dinomorduakan, disepelehkan). Adalah jelas bahwa “thinking” (teknologi) bukanlah thinking seperti yang dimaksud oleh Heidegger.

            Thinking dalam pandangan Heidegger adalah meditative thinking (meditasi thinking) yang merupakan negasi dari calculative thinking. Karakter dasar dari meditative thinking adalah ketenangan (serenity), diam di dalam logos yang berciri non-willed, non-force, dan non- concern activity ( tanpa keinginan, tanpa kekuatan, dan tanpa fokus pada kegiatan). Selain itu, meditative thinking adalah kegiatan menunggu panggilan guna menjadikan segala sesuatu menjadi bebas berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, tidak dimanfaatkan, dimanipulasi, dan didominasi sebagaimana dalam calculative thinking.

            Meditative thinking pada prinsipnya berusaha mendengarkan panggilan Being. Inilah yang disebut sebagai mendengarkan secara otentik (otentik hearing). Karena itu, prinsip dasar dalam meditative thinking adalah kesalehan, mau menerima, dan memberikan rasa hormat. Selain itu prinsip yang terutama dalam thinking (mendengarkan Being) adalah ucapan syukur atau pujian atas kedatangan panggilan tersebut. Secara singkat, tahap mendengarkan panggilan Being (otentik hearing) tersebut adalah mendengarkan panggilan Being itu sendiri, menempatkannya sebagai bagian dari dalam diri sendiri, dan menaatinya.

            Lantas, apakah yang dimaksud dengan agama (religion)? Ini adalah pertanyaan pokok dari John Peacocke. Menurut John, religion tidak dapat disamakan dengan teologi.  Religion tidak berada dalam batasan rasionalitas dan reason, tetapi essensi dasarnya adalah sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa religius thinking adalah thinking tentang kebenaran Being yang tercemin dalam meditasi yang paling dalam. Religius thinking ini tidak lain adalah suatu pencarian religius dan mengantar kita kepada yang luhur. Lebih lanjut, religius sebenarnya berada dalam suatu tuntunan hati (direction of the hearth). Sampai pada titik ini, John menarik suatu benang merah bahwa thinking yang dimaksudkan oleh Heidegger adalah essensi dari religius itu sendiri.

            Sebagai penutup tulisan ini, dikemukakan dua tanggapan kritis John Peacocke terhadap pemikiran Heidegger. Pertama, meskipun Heidegger sering di-“sama”-kan dengan Nietzsche, namun perbedaannya adalah bahwa Heidegger tetap memberi ruang bagi iman dan kepercayaan. Menurut Heidegger, memikirkan tiadanya Tuhan justru lebih menguatkan kemungkinan tentang adanya Tuhan. Dengan pernyataan demikian, Heidegger sebenarnya tidak tahan hidup di dunia tanpa Allah. Kedua, melalui meditative thinking, Heidegger berusaha mencari eksistensi Tuhan. Akan tetapi tampaknya sia-sia karena meditative thinking hanya merupakan keterbukaan kepada misteri dan malah membawa kembali kepada spekulasi metafisis ontotheologis. John percaya bahwa meditative thinking dimaksud oleh Heidegger adalah religius thinking.
           





[1] Sulit mendefinisikan secara persis arti dari thinking. Arti thinking dalam tulisan ini dapat diartikan kegiatan memikirkan. Akan tetapi, ada pembedaan yang tegas antara thinking dalam teologi, filsafat, dan metafisika dan thinking dalam pengertian Heidegger. Di satu pihak thinking ini berhubungan erat dengan rasionalitas, d lain pihak adalah tidak bisa direduksi ke dalam rasionalitas (Heidegger).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text